Bad Juliet?

By graciawee

255K 19.8K 863

[ Silahkan dibaca. Kali aja jadi jatuh dalam kisah Juliet yang bukan sekedar misterius. ] Juliet Assandra di... More

P R O L O G
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
E P I L O G
Mau Bilang Doang [Author Note]
Mau Bilang Doang [Author Note 2]
SEQUEL BAD JULIET!!!
TRAILER SEQUELL
Mau Bilang Doang [Author Note 3]

27

3.9K 350 9
By graciawee

Rakata Praditya.

Rafael baru saja selesai membaca nisan yang ada di hadapannya sekarang. Kemudian dia menaruh karangan bunga mawar putih yang sempat dibeli mereka. Maksudnya dengan Juliet. Gadis itu menatap kosong ke arah makam sahabatnya. Setelah tiga tahun mengurung niat untuk ke situ, akhirnya Juliet datang juga dengan sosok yang mungkin tidak diduga Rakata.

"Aku masih ingat, Ka. Waktu itu baru aja kamu menang turnamen balapan. Mama sama aku seneng banget kamu menang. Udah malem padahal, tapi Mama ngijinin kita buat ke kafe dan ngerayain kemenangan pertama kamu." Juliet teringat momen terakhir mereka waktu itu. Rafael menyimak serius ucapan Juliet.

"Semestinya waktu itu Mama ikut. Tapi Mama malah diculik mereka saat perjalanan pulang. Kamu batalin pesta kecil-kecilan kita dan malah bantuin aku buat nolongin Mama dari brengsek-brengsek itu. Harusnya dari awal aku cegah kamu buat bantuin aku, Ka. Kamu gak akan berakhir di sini andai kamu gak nolong aku." Air mata Juliet lolos turun ke wajahnya sekarang. Rafael memberikan sapu tangannya itu menghapus air mata itu. Dia kemudian merangkul pundak Juliet.

Juliet berdeham, "Kenalin, dia Rafael Jordan. Yang sering aku curhatin ke kamu lewat bintang tiap dia ngelakuin hal yang ngeselin."

Kalau ini situasi yang biasa saja, pasti Rafael akan merespon ucapan Juliet dengan mata melotot. Untung saja tidak. Sepertinya Rakata masih saja melindungi Juliet dari kejauhan sana. Rafael tidak jadi memprotes ucapan Juliet.

"Dia sekarang jadi pacar aku. Jangan ketawa pokoknya yah kalau denger ini. Aku udah lumayan dewasa buat pacaran, kan? Hehe," Juliet tertawa kecut sekarang.

"Hai, Ka. Gue Rafael. Lo gak perlu kuatir lagi kalau sahabat lo ini berulah. Ada gue yang bakal ngejaga dia. Lo juga jaga dia dari atas sana, yah?" ujar Rafael akhirnya setelah beberapa menit tadi dia hanya diam saja. Juliet tersenyum samar menatap Rafael sekarang.

"Great to meet you, brother." Gumam Rafael setelah itu. Juliet kemudian bersandar di pundak Rafael sembari menatap makam itu. Dua orang itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Penuh kenangan, penyesalan, dan harapan.

***

Matahari baru saja akan tenggelam. Senja tiba lagi. Juliet terbangun dari tidur siangnya. Dia menyadari Rafael masih tertidur di sampingnya. Mereka masih berada di dalam mobil, menatap tanah kosong di dekat pemakaman pribadi keluar Praditya. Mereka sengaja tidur sejenak di situ. Karena memang perjalanan kembali dari pemakaman akan memakan waktu yang cukup lama.

"Udah mau malem ternyata," gumam Juliet, kemudian bergegas menuju sebuah tempat, membiarkan Rafael yang masih saja tertidur.

Mobil GNR itu kemudian beranjak pergi dari pemakaman. Tanpa ada yang tahu bahwa ada sepasang mata yang menatap kepergian mereka.

Musik klasik terdengar di mobil itu. Dia hanya sibuk menyetir dan sesekali melirik pemandangan di sekitarnya. Aroma pegunungan memang lebih baik dari perkotaan. Dia hanya tersenyum samar melewati jalanan itu lagi. Lalu dia melirik ke arah Rafael yang kini mulai membuka kedua matanya.

"Kenapa gak bangunin dari tadi, Julie?" tanya Rafael dengan suara seraknya.

"Lo capek habis berantem sama orang-orang brengsek itu. Jadi butuh tenaga sedikit lebih banyak dari gue." Juliet tersenyum samar. Rafael hanya mengangguk mengerti.

"Apa gue bisa becanda sekarang?" tanya Rafael tiba-tiba. Juliet merasa aneh dengan pertanyaan Rafael.

"Kenapa pakai ijin segala?" Juliet terkekeh. Padahal Rafael belum mengucapkan hal yang lucu.

"Kita berdua belum mandi. Dan sekarang udah malem juga." Rafael akhirnya mengucapkan hal yang menurutnya cukup lucu. Juliet terkekeh lalu menghentikan mobilnya.

"Sudah sampai di pemberhentian favorit gue." Rafael jadi kebingungan. Lalu dia melirik keadaan sekitar. Mereka berhenti di sebuah rumah kecil yang penuh dengan berbagai bunga.

"Ini tempat apa?" tanya Rafael, penasaran.

"You'll know." Juliet kemudian keluar dari mobil duluan, diikuti Rafael setelah itu. Mereka masuk ke dalam rumah yang tanpa penjagaan dari siapapun.

Rafael terkagum melihat isi rumah mungil itu. Tidak seperti yang terlihat dari luar, rumah itu ternyata cukup luas. Tempat itu begitu cantik. Ada banyak tanaman di sana. Kemudian terdapat sebuah kolam air panas di tengah-tengah rumah itu. Rafael masih tak berhenti kagum. Seolah dia tak mengira ada tempat sebagus ini juga di Indonesia.

Sedangkan Juliet baru saja keluar dari ruangan kecil yang ada di sana dengan mengenakan sebuah piyama. Dia mengambil sesuatu dari ruangan itu seperti kaus bersih dan dua handuk. Masing-masing diberikan satu kepada Rafael. Tentu saja Rafael jadi bertanya-tanya tempat apa ini sebenarnya.

"Gedung tua itu tempat privasi lo. Dan ini tempat gue. Tetap cantik walaupun bertahun-tahun gue gak ke sini. Berkat penjaga tempat ini," jelas Juliet. Tempat itu adalah hadiah Vina di ulang tahun Juliet yang ke 14 tahun.

"Terus penjaganya ada di mana?" tanya Rafael sembari membuka kaus yang dikenakannya dan masuk duluan di kolam itu.

"Udah pulang. Batas waktu jam 5 doang karena penjaganya harus pulang ke kampung seberang." Juliet ikut masuk ke dalam kolam itu setelah membuka piyama yang dipakainya. Gadis itu mengenakan pakaian renang.

Juliet kemudian mendekatkan tubuhnya pada laki-laki yang kini menatapnya heran. Dia menyentuh lebam yang ada di wajah Rafael dengan tatapan yang sulit diartikan. Tiba-tiba Juliet tersenyum. "Mau main, gak?"

"Main?"

Rafael jadi bertanya-tanya, permainan apa lagi yang akan mereka mainkan? Kala itu, di saat dirinya mengajak Juliet bermain, dia menggunakan momen itu untuk menyatakan perasaannya. Lalu apa yang direncanakan Juliet untuk ini?

"Dulu waktu gue sama Raka ke sini, kita punya satu permainan seru."

Baiklah. Dugaan Rafael ternyata memang salah. Juliet hanya sedang ingin bernostalgia. Hal tersebut membuat Rafael merasa canggung. Dia tak harus berpikir sejauh itu. "Apa permainannya?" tanya Rafael akhirnya.

"Truth or dare. Gak bisa jawab, ganjarannya nahan napas selama semenit atau lebih." Juliet mengingat bahwa permainan seperti itu sangat lah seru pada masanya. Rakata selalu kalah dan harus mendapat hukuman untuk menahan napas di kolam itu. Tapi Juliet kerap kali kesal karena sahabatnya itu pandai dalam segala hal. Termasuk menahan napas di air. Hal yang sepele baginya.

Rafael mengerutkan dahinya, namun dia mengangguk pada akhirnya. "Siapa yang duluan?" tanya Rafael.

"Lo aja. Tanya apapun. Tapi jangan yang kayak terakhir kalinya. Gue emang sayang sama lo." Rafael terkekeh. Ternyata Juliet masih ingat dengan permainan mereka beberapa bulan yang lalu itu.

"Ke mana aja lo semalam?" Juliet terdiam. Dia pergi ke gedung tua itu dan tidak mendapati apapun.

"Gedung tua. Nyari sesuatu tapi gak ada apapun yang berhubungan dengan mereka." Rafael mengangguk. Pertanyaan pertama memang selalu mudah untuk dijawab.

"Sekarang gue. Kapan lo ketemu brengsek itu dan denger omong kosong dia?" tanya Juliet merasa kali ini pertanyaannya juga akan mudah dijawab Rafael.

"Hari di mana lo ditembak di gedung tua. Waktu gue ngilang tanpa kabar." Juliet sudah menduganya.

"Basic question. Berapa kali lo gak senyum?" Rafael tersenyum usil. Dia tahu pertanyaan kali ini akan berhasil.

"That's a freak question, El. Lo tahu gue gak bisa jawab berapa." Juliet cemberut. Namun akhirnya mengaku kalah.

"Gue ngitung nih." Ujar Rafael yang hanya dijawab anggukan oleh Juliet. Gadis itu kemudian menenggelamkan dirinya di bagian kolam yang lebih dalam lagi. Rafael menghitung dari ujung kolam tersebut. Di dalam air Juliet jadi tersenyum. Dia jadi mengingat sosok Rakata dengan lebih jelas. Dan hal tersebut benar-benar membuat gadis itu makin merindukan Rakata.

"Juliet?" Gadis itu tersadar dari lamunannya. Dia kemudian kembali ke permukaan kolam. Sudah lewat satu menit. Juliet menatap Rafael yang kini hanya geleng-geleng kepala.

"My turn again!" saut Juliet dari pertengahan kolam. Dia sudah siap untuk membalas Rafael. Permainan akan lebih seru, bukan?

"Sebutin nama cewek yang deket atau pacaran sama lo waktu di London!" seru Juliet, membuat Rafael terkejut mendengar pertanyaan Juliet. Sejak kapan dia tahu bahwa Rafael cukup dekat dengan banyak cewek di sana?

"Satu." Rafael berbohong. Tapi yang penting dia bisa menjawabnya, kan?

"Bohong. Jawabannya lima. Alexandra, Kattie, Laura, Cassandra, dan Anne. Heran? Cliff yang ngomong ke gue. You're such a player, men." Juliet menjulurkan lidahnya. Rafael jadi geleng-geleng kepala mendengar ucapan Juliet. Walaupun begitu dia cukup senang. Juliet bahkan membicarakan tentangnya meski sampai pada fakta memalukan seperti itu.

"Oke. Gue kalah." Juliet terlihat senang melihat kekalahan Rafael. Kini Rafael terlihat serius lagi. Dibanding Juliet yang tampaknya belum menyadari sesuatu. Gadis itu masih saja tersenyum usil dan berada di tengah kolam, menunggu Rafael menangani kekalahannya.

"Gue ngitung." Rafael mengangguk saja, kemudian kakinya kini tidak menyentuh dasar kolam lagi. Dia berada di bagian yang lebih dalam sekarang, menenggelamkan tubuhnya, dan kesulitan bertahan menyambutnya. Rafael hampir saja tidak mendengar suara Juliet dalam menghitung.

"Lima sembilan, enam puluh! Oke, El. Hukuman selesai!!" seru Juliet. Namun sayangnya tidak respon apapun.

Juliet memutar kedua bola matanya, "El?" Masih tidak terdengar tanda apapun selain tubuh Rafael yang terlihat hanya diam di tempat.

"El!!"

Juliet baru sadar kalau Rafael tidak sadarkan diri. Juliet langsung masuk ke dalam kolam itu dan mendapati Rafael yang memang tidak dapat mendengarkan apapun sekarang. Juliet dengan cepat menarik tubuh Rafael ke permukaan kolam, membopong tubuh yang lebih berat dari berat tubuhnya. Bibir Rafael terlihat membiru. Juliet mengecek denyut nadi Rafael. Syukur lah masih dapat terasa. Juliet langsung melakukan pertolongan pertama yang hanya dia ketahui lewat film-film yang pernah ditontonnya. Seperti menekan bagian dada Rafael dan memanggil-manggil Rafael beberapa kali.

"Phobia?"

"Air. Gue bego berenang. Lo?"

Juliet beberapa kali merutuk dirinya. Dia benar-benar lupa bahwa Rafael tidak bisa berenang. Merasa masih tidak ada respon sama sekali, satu-satunya cara terakhir adalah membuat napas buatan. Tanpa ragu-ragu lagi, Juliet membuat napas buatan dan berharap Rafael tidak berakhir seperti ini.

"Gue mohon, El." Juliet beberapa kali membuat napas buatan. Hingga akhirnya mata Rafael terbuka, seiring air yang sempat masuk ke dalam paru-parunya langsung keluar lewat mulut Rafael. Dia beberapa kali mengambil napas dalam-dalam, berusaha memperbaiki pernapasannya lagi.

"El!! Gue lupa lo takut berenang. Gue gak harus main ginian. Gue pikir lo Ra-"

"Udah. Gue baik-baik aja." Rafael memotong ucapan Juliet. Dia sudah bisa menebak ucapan yang dipotongnya. Rakata. Juliet pikir Rafael adalah Rakata.

"Makasih udah nyelamatin gue." Rafael hanya memilih memeluk sejenak tubuh Juliet.

"Maaf udah ngebahayain lo kayak gini." Rafael melepaskan pelukannya kemudian berjalan menjauh dari Juliet, mengambil handuk dan kaus yang diberikan Juliet. Ada tulisan 'Praditya' yang ada di situ, membuat Rafael lagi-lagi hanya menarik napas dalam-dalam, memendam pikiran yang mengusiknya. Dia kemudian memakai pakaiannya lagi dan membiarkan kaus pemberian Juliet.

***

Cliff dan Regrisca sudah siap untuk membuka ruangan penyimpanan itu. Di bagian luar rumah terdapat Mbok Laras, Pak Hardjo, dan seorang detektif kepolisian yang berjaga. Mencegah untuk terjadi kekacauan lagi. Berhubung Cliff sudah tahu maksud Ramon mengincar keluarga mereka, jadi dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terdapat di ruang penyimpanan itu.

"Kak!!" Suara Juliet terdengar jelas di tempat itu. Tentu saja Cliff dan Regrisca jadi menoleh. Waktu sudah larut malam dan dia baru mendapati adiknya baru saja sampai. Lengkap dengan mengenakan pakaian yang seingat Cliff hanya ada di vila milik Juliet. Kakaknya itu menatap penuh tanya kepada Juliet.

"Lo udah tahu kita dari mana. Jadi jangan nanya yang gak penting dulu, Kak."

"Nanya kenapa bibir Rafa biru kayak gitu, penting kan?" Cliff menatap Rafael yang hanya diam saja, tanpa ekspresi apapun.

"Jangan bilang lo mainin permainan lo sama Rakata? Dek, Rafa itu gak tahu berenang. Lo gak tahu atau apa sih?" bentak Cliff tiba-tiba. Sudah lama Cliff tidak memarahi Juliet. Dan sekarang dia tengah marah karena sahabatnya hampir saja mati.

"Berapa menit lo buat hukumannya? Semenit? Dua menit? Juliet, semestinya lo nanya dulu kalau Rafa tahu berenang apa enggak!" bentak Cliff lagi.

"Cliff, gue udah baik-baik aja kok. Calm down," ujar Rafael akhirnya, menenangkan Cliff.

Namun Juliet jadi larut dalam ucapan Kakaknya. Air mata gadis itu turun lagi, membuat Rafael dan lainnya sadar kalau Juliet kini hanya terdiam.

"Julie, lo na-" Juliet menepis tangan Rafael yang sempat berusaha menghapus air matanya. Gadis itu kini memilih keluar dari tempat itu, berlari menuju kamar, tak kuasa menahan rasa kesalnya karena kebodohan yang dia ciptakan sendiri. Cliff yang menyadari dirinya sudah terlalu kasar, langsung mengejar adiknya. Masalah kakak-beradik, setelah lama hal itu tidak terjadi.

***

"Mereka sudah tahu keberadaan kamera dan penyadap suara itu," ujar seseorang yang menatap layar komputer di ruangannya itu. Dia mulai berpikir apa lagi yang harus dilakukannya. Selagi berpikir, dia menatap seorang wanita tua yang masih diikat di kursi, masih tak sadarkan diri.

"Jangan apa-apakan dia. Kalau perlu rawat dia baik-baik setelah dia sadar. Anak itu tidak akan melakukan rencananya lagi jika kita menyiksa bisu ini," ujar seseorang itu yang adalah Ramon.

"Kalau gitu, apa gue harus bawa dia ke kamar sekarang?" tanya seorang wanita, lantas adalah Cikita. Ramon mengangguk.

"Jangan biarkan mereka tahu posisi kita ada di mana. Biar mereka sibuk mencari keberadaan kita sampai informasi baru datang lagi dari mereka." Cikita mengangguk mengerti. Dia menarik kursi roda yang diduduki Vina yang tengah tidak sadarkan diri itu. Sebelum dia keluar dari ruangan Ramon, wanita itu menghentikan langkahnya sejenak.

"Sepertinya anak itu gak akan menjalankan tugasnya dengan baik. Dia membongkar tempat kita di sana, Ramon." Cikita mengutarakan apa yang dilaporkan anak buah mereka tentang apa yang terjadi kemarin.

"Lantas permainan saya akan lebih menarik."

Continue Reading

You'll Also Like

579K 39.3K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
911 183 9
Menyimpan rahasia selama bertahun-tahun memang menyakitkan, tetapi akhirnya rahasia yang dipendam sendirian bisa ia curahkan agar sekian rasa menggan...
652 151 10
Ini bukan cerita dongeng, tapi cerita tentang eliska dan rehan Pertemanan mereka sudah tidak diragukan lagi oleh orang orang yg sudah mengenal mereka...
TARGETED By Yeon

Fanfiction

128K 8.9K 40
Sebuah kesalahan besar saat kau dan aku pernah dipertemukan. Semua menjadi semakin rumit ketika nasib buruk membawa kita pada suatu kelamnya hubungan...