Reconciliation

By MarsHeaven

1M 67.1K 5.2K

Trust takes years to build, seconds to break and forever to repair. Dia kembali hadir dalam hidupku dan akhir... More

5. Titik Balik
9. Re-post Keputusan
11. Pengakuan
12. Luka yang Kembali Terbuka
13. Alasan Pergi
15. Goodbye
Bagian 16 - Pulang
17. Sulit Melepaskan dan Memaafkan
18. Luapan Emosi 1
18. Luapan Emosi 2
19. Rujuk
Kuis RC
20 - Honeymoon 1
20 - Honeymoon 2
21. Pecah
22. Semak Membara - 1
22. Semak Membara 2
Pengumuman
Pengumuman Lagi
23.1 Berani Memaafkan
23.2 Berani Memaafkan
24
25
26
Q and A
Jawaban Q and A

14. Bimbang

28.4K 2.9K 187
By MarsHeaven

Hayokkk ngaku, siapa yang tiap hari inbox dan ngitung lamanya hari  aku nggak post cerita. Ighhh co cweet banget. Tapi lagi-lagi aku harus minta maaf bakalan lama postnya. Nggak bisa dua hari sekali. Nggak Papa yah yang penting masih sempet post cerita.

Oke... enjoy Mba Ora dan Mas Rey.

_______________________________________________________________________________

Sejak meninggalkan Rey berkali-kali aku bertanya pada diriku, apa keputusan yang aku ambil sudah tepat? Aku salah dengan meninggalkan ikatan pernikahan kami begitu saja. Tidak seharusnya aku melakukan itu, tapi saat itu aku sudah tidak bisa lagi hidup dengannya. Melihatnya membuatku ingat bagaimana dia telah menghancurkan kepercayaanku.

Aku percaya seseorang bisa berubah karena dua alasan. Bisa karena orang yang spesial datang dalam hidupnya atau orang yang spesial keluar dari hidupnya. Aku banyak berubah karena Rey datang dakam hidupku.

Dia membuat hidupku tak sama lagi. Tak pernah sama.

Hari di mana dia melangkahkan kakinya ke dalam hidupku, aku berubah total. Semuanya selalu tentang dia. Dia menyentuh dan memenuhi semua aspek dalam hidupku, membuatku tak mengenali diriku lagi.

Dia mengabaikanku, tapi aku selalu memperhatikannya. Dia menanggapku tak ada, tapi aku menganggap dia sebagai pusat duniaku. Aku tak pernah lelah dan selalu mengharapkannya.

Alasannya sederhana, karena aku mencintainya.

Saat aku memutuskan pergi, hatiku masih terpaut padanya. Aku masih menginginkannya sama besarnya seperti dulu. Tapi lalu aku menyadari, aku mungkin akan dengan mudah memaafkannya namun sulit bagiku untuk bisa mempercayainya lagi. Karenanya aku memilih pergi.

Hubungan kami mungkin tidak akan seperti ini seandainya dulu aku minta penjelasan darinya atas apa yang aku lihat. Namun, aku terlalu pengecut. Karena tanpa penjelasannya aku tahu apa yang akan Rey katakan. Rey mencintainya, bukan aku.

Aku masih menangis saat Rey menyelimuti tubuhku, kemudian menarikku dalam dekapannya. Dia menepuk-nepuk lenganku lembut, sesekali membelainya. Bibirnya yang berada di lekukan leherku terus memintaku agar berhenti menangis.

Aku mengalami déjà vu. Rey pernah melakukan hal yang sama padaku dulu. Saat aku kehilangan dia yang tak pernah bisa melihat indahnya dunia.

"Ibu buatin makanan yah Nduk. Kamu mau makan apa?"

Aku tersenyum berterimakasih padanya sambil menggeleng.

"Kamu belum makan dari pagi. Ibu bawa tauco, mau yah ibu buatin soto."

"Rara nggak lapar, Bu."Ibu mendesah, sejak kemarin aku memang menolak semua tawaran makanan darinya. Padahal ibu sengaja membawa banyak makanan dari Brebes agar aku mau makan, tapi semuanya aku tolak.

"Kupat blengong mau?"

Aku kembali menggeleng.

"Mba Ora mau aku beliin makanan nggak, Bakso atau sop daging?" Biasanya aku akan marah jika adikku Amada memanggilku Ora, namun kali ini rasa marah itu pun enggan muncul.

Aku merasa kosong.

"Rara mau istirahat dulu aja bu, nanti Rara pasti makan kok."

Aku tersenyum pada keduanya, lalu berdiri. Ibu mendekatiku, berniat membantuku kembali ke kamar. Namun, terhenti saat dilihatnya Rey yang sejak tadi diam ikut berdiri dan meletakkan tangannya dibahuku.

"Aku bisa sendiri." Ujarku pelan. Rey tak mendengarkan, dia meletakkan tangannya di kakiku lalu mengangkat tubuhku seolah beratku seringan kapas. Sepanjang perjalanan menuju kamar, yang bisa aku lakukan hanyalah menahan nafas.

"Kamu harus makan." Ucapnya sambil merebahkanku di tempat tidur.

Sejak tiga hari yang lalu saat aku kehilangan bayiku, ini pertama kalinya dia bicara denganku. Anak kami.

"Belum lapar. Nanti kalau lapar aku makan."aku berbalik membelakanginya. Menarik selimut menutupi tubuhku. Tanganku tanpa sadar menyentuh perutku dan membelainya lembut. Tak ada lagi gundukan di sana, aku benar-benar kehilangan dia.

Aku menangis, sejak tahu dia pergi ini pertama kalinya aku menangis. Selama berhari-hari aku berusaha tegar di hadapan semua orang. Terlebih di depan ibu. Begitu mengetahui apa yang terjadi padaku, ibu dan Amada bergegas menemuiku. Ibu datang sendiri dengan kereta dari Brebes karena kebetulan Bapak sedang ada di Surabaya, sedang Amada datang dari Bandung dan sengaja bolos kuliah.

Sambil menangis tanganku terus membelai perutku, berharap dia kembali. Rey menghentikan apa yang aku lakukan dengan menautkan tangan kami. Dia ikut berbaring di sampingku. Menarikku ke dalam dekapannya. Memintaku berhenti menangis. Menenangkanku dengan kecupan-kecupan lembutnya. Berkata dengan lembut bahwa semuanya baik-baik saja.

"Ma... Mama..." teriakan Si Kembar membuatku menggeliat, mencoba melepaskan diri dari dekapan Rey.

"Mama!" mereka kembali berteriak tidak sabar.

"Sebentar, Nak." Balasku serak. Aku melepas tangan Rey yang masih memelukku kasar. Menarik selimut menutupi tubuhku, lalu mengambil beberapa baju yang berserakan di lantai asal.

Sampai kamar mandi, aku langsung cuci muka. Mataku memerah dan mulai membengkak. Samar-samar aku mendengar Rey membuka pintu dan bicara dengan Si Kembar.

"Mama mana, Pa?"

"Di kamar mandi."

"Kamar mama kok berantakan banget sih Pa, kayak abis ada Godzilla lagi ngamuk."

"Tadi mama lagi nyari baju, terus nggak ketemu. Lupa ditaruh di mana, malah jatuhin baju-bajunya ke lantai."

"Mama nyari baju? Terus lupa taruh di mana? Mana mungkin. Mama itu kan cerewet banget kalau kita suka berantakan. Nggak pernah lupa juga kalau abis naruh barang. Suka bilang jangan sembarangan naruh barangnya."

"Nggak boleh berantakan."

"Inget-inget naruh barangnya di mana, jadi nggak teriak-teriak nyariin."

Mereka bicara bergantian dengan cepat. Aku tersenyum, aku memang sering mengatakan itu. Pantas mereka sering bilang aku cerewet.

"Kenapa nyari mama?" dari suaranya, aku tahu Rey sedang menahan tawa.

"Lapaarrrr...." Jawab mereka kompak.

"Mama belum masak, Pa."

"Iya udah mau jam tujuh nih perutku udah bunyi-bunyi terus." Kembali mereka bicara bergantian.

"Makan di luar aja yuk." Ajak Rey.

"Nggak mau!"

"Aku juga nggak mau, nggak suka makan di luar enak makan masakan mama."

Aku keluar kamar mandi, mataku masih terlihat merah dan mulai membengkak, namun wajahku sudah terlihat lebih segar. Si Kembar berlari mendekatiku, menarik-narik kaos oblong kebesaran yang aku kenakan tidak sabar. Keduanya mulai merengek agar bisa segera makan malam. Aku tertawa melihat keduanya, lalu duduk berjongkok agar tinggiku sejajar dengan mereka.

"Mama abis nangis?" Luys bertanya seraya menyentuh kelopak mataku.

Pertanyaannya membuatku melirik Rey, dia tengah memperhatikan kami dengan mata tertuju pada kakiku. Aku mengikuti arah tatapannya lalu menyadari kalau aku mengenakan hot pants pendek jauh di atas lutut. Seketika aku langsung berdiri dan menurunkan kaosku tidak nyaman.

"Tadi mata mama kemasukan busa sabun." Jawabku berbohong.

"Sakit?"

"Nggak, cuma perih. Ayo turun, mama masak dulu biar kalian nggak kelaparan."

Mereka mengangguk kompak dan mulai berdebat makanan apa yang seharusnya aku masak. Aku memotong perdebatan mereka dengan menggenggam tangan mereka masing-masing di kedua tanganku.

Rey yang kehadirannya aku abaikan sejak tadi, menyingkir dari tengah –tengah pintu. Memberikan kami jalan. Saat kami melewatinya, Luce berhenti. Tangannya terlepas dari genggamanku, dia mengulurkan kedua tangannya pada Rey, lalu dengan suara memelas berkata.

"Pa, gedong."

Aku terpaku, tidak menyangka Luce dengan mudah bermanja-manja pada Rey. Sama sepertiku, Rey juga hanya diam mematung. Menatapku dan Si Kembar bergantian sebelum akhirnya tersenyum lebar dan mengangkat Luce dalan gendongannya.

Rey tertawa senang, mencium pipi Luce gemas. Dia melirik Luys dan mengulurkan tangannya yang bebas untuk menggendongnya, yang di sambut Luys dengan anggukan antusias. Melihat itu, aku melototkan mataku dan langsung mengangkat Luys dalam gendonganku. Tidak akan aku biarkan Rey menggendong keduanya bersamaan. Berbahaya, apalagi dia melakukannya sambil menuruni anak tangga.

*****

Rey dan Si Kembar menungguku selesai memasak di ruang tengah. Mereka bermain lego. Rey membelikan mereka lego berbentuk miniature bangunan-bangunan ikonik dari seluruh dunia. Mereka membongkar dan memasang mainan itu penuh semangat. Larut dalam dunia yang mereka sangat nikmati.

Aku melupakan fakta sama seperti Si Kembar, Rey juga sangat suka memainkan bongkah-bongkahan itu dan kepingannya lalu menyusunnya menjadi model apa saja yang dia inginkan. Dulu di apartemen kami ada ruangan khusus untuk menyimpan semua koleksi legonya. Ternyata kegemaran Si Kembar pada Lego menurun darinya.

Mereka berhenti bermain, saat melihatku memindahkan hasil masakanku ke meja makan. Si Kembar langsung berlari ke dapur dan mengambil piring dan gelas yang biasa mereka gunakan. Piring dan gelas itu aku pesan khusus di sebuah toko online di Jakarta karena ada stiker Batman dan Spidermannya. Rey ikut melakukan hal yang sama, dia mengambil piring dan gelas, lalu menatanya di meja makan.

Aku membuat sop ayam, ikan goreng bumbu sambal ijo, ayam goreng, tempe dan tahu goreng. Si Kembar berteriak kegirangan saat melihat hasil masakanku. Keduanya cepat duduk dan memberikan piringnya agar segera aku isi. Begitu menuangkan sop, aku mengambil beberapa potong wortel yang ikut terbawa dan memindahkannya ke piringku.

"Ma... masih ada wortelnya." Luce merengek saat melihat masih ada wortel yang luput aku ambil. Luys yang duduk di sampingnya mengambil wortel itu dan meletakkannya di piringku. Aku tersenyum padanya dan mengucapkan terima kasih.

Luys selalu bersikap layaknya kakak dan merasa lebih tua dari Luce. Jika Luce adalah anak yang ceria, Luys lebih pendiam. Luce cepat akrab dengan orang lain, sedang Luys lebih sering menjaga jarak kecuali orang itu telah membuatnya nyaman.

Si Kembar memang sering membuatku berteriak kesal, tapi mereka jarang sekali membuatku marah. Mereka memang anak yang aktif, terlalu aktif hingga kadang membuatku kewalahan namun jarang sekali sampai membuatku kehabisan kesabaran.

"Papa nggak makan?" lagi-lagi aku melupakan ada Rey di dekatku. Dia tak bersuara sejak kami mulai duduk, hingga aku tak menyadari kehadirannya.

"Ini Papa mau makan." Rey tersenyum kikuk. Sejak tadi ternyata dia melamun.

Aku mengambil piringnya dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk. Sama seperti yang aku lakukan pada makanan Si Kembar tadi aku juga memisahkan potongan-potongan wortel yang terbawa ke piringku. Rey tidak suka wortel, dulu jika kami makan bersama dan ada wortel di piringnya dia akan memberikannya padaku. Berbeda dengan Rey dan si Kembar, aku sangat suka makan wortel.

"Terima kasih." Rey tersenyum lebar.

Aku tak membalas ucapannya. Mengabaikannya.

Hal yang membuatku merasa beruntung sekarang adalah ada Si Kembar di antara kami. Mereka mencairkan suasana dengan perdebatan mereka yang tak ada habisnya. Beberapa kali aku harus melerai mereka, karena perdebatan mereka sudah mulai memanas. Rey lebih banyak diam malam ini, tapi aku tahu matanya terus memperhatikan kami. Aku menyadari sesekali senyum kecilnya muncul.

"Itu apa?" tanyaku saat melihat ada sebuah koper berukuran besar ada di ruang tengah. Aku tidak melihatnya tadi.

"Bajuku." Jawab Rey santai.

"Baju?"

"Aku tinggal di sini sampai kita kembali ke Jakarta."

"Kamu..." aku tak melanjutkan ucapanku saat menyadari suaraku yang meninggi. Si kembar menatapku heran.

"Sudah makannya?" tanyaku lembut pada keduanya.

"Udaaahhh..."

"Kalau udah naik ke atas, siap-siap tidur. Jangan lupa sikat gigi sama cuci tangan dan kaki. Nanti mama nyusul abis beres-beres. Okay?"

Tak menunggu lama mereka langsung mengangguk dan berlarian menaiki tangga.

"Pelan-pelan jalannya!" teriakku

"Iya!!" balas mereka dengan berteriak juga.

Setelah yakin Si Kembar sudah berada di atas dan takkan bisa mendengar suaraku, aku mengalihkan perhatianku pada Rey.

"Maksud kamu apa sih Rey?"

"Apa?"

"Koper itu, apa maksudnya?"

"Aku sudah bilang tadi, aku tinggal di sini sampai kita kembali ke Jakarta." Jawabnya tenang.

"Kamu nggak bisa seenaknya membawa barang-barang kamu ke sini dan langsung memutuskan tinggal di sini begitu saja."

"Kenapa nggak bisa?"

"Karena itu rumahku." Jawabku marah.

"Lalu apa salahnya, aku bukan tinggal di tempat orang lain, ini rumah istriku."

Ketenangan yang Rey tunjukan, membuatku semakin marah dan kesal. "Berhenti main-main Rey, aku nggak mau kamu di sini. Ini rumahku, kamu nggak bisa seenaknya."

"Aku nggak main-main, makanya aku bawa baju-bajuku ke sini."

"Rey!"

"Aku akan tetap tinggal di sini."

Yang bisa aku lakukan hanyalah menghela nafasku putus asa, tahu Rey tidak akan pernah mengubah keputusannya. Akhirnya aku memilih mengabaikannya dan mulai sibuk bersih-bersih.

Bersama Rey memang tidak pernah mudah. Rey yang keras kepala dan suka seenaknya sendiri akan selalu menjadi Rey yang seperti itu. Dia takkan pernah berubah.

"Aku tahu kamu nggak suka dengan keputusanku, tapi aku ingin dekat dengan anak-anak. Aku sudah kehilangan banyak waktu dengan mereka." Rey yang tiba-tiba berdiri di sampingku, saat aku sedang mencuci piring membuatku harus menahan nafas.

"Kamu bisa mengatakannya lebih dulu, sebelum membawa barang-barangmu ke sini."

"Saat seharian kamu sibuk dengan Daniel, mana mungkin aku punya kesempatan itu." Aku menoleh padanya, marah karena dengan mudah dia melimpahkan kesalahan padaku. "Aku sudah menyiapkan semuanya, kamu selesaikan semua urusanmu secepatnya jadi kita bisa segera pergi."

Kali ini aku bukan hanya menolehkan kepalaku padanya, aku berbalik menghadapnya dan menatapnya penuh tanya.

"Aku belum mengurus sekolah Si Kembar."

"Aku sudah mengurusnya, mereka bisa pindah kapan saja ."

"Toko kueku, aku belum bisa meninggalkannya."

"Besok ada beberapa orang yang bisa kamu wawancarai untuk membantu menjalankan toko kuemu. Paman Yoga kemarin sudah mencari beberapa kandidat yang cocok."

Cukup sudah. Aku sangat marah sekarang, terlalu marah hingga rasanya aku ingin berteriak tepat di telinganya. Yang aku lakukan selanjutnya adalah melepas spoons yang aku genggam dengan kasar ke arahnya.

Rey menatapku kaget.

"Kamu pikir apa yang kamu lakukan! Berhenti bersikap seenaknya lalu memutuskan apa yang harus aku lakukan tanpa bertanya padaku. Pertama kepindahanmu kemari, lalu sekolah anak-anak dan sekarang toko kueku. Siapa kamu seenaknya mengatur hidupku?" teriakku, kesabaranku sudah habis.

"Aku suamimu." Jawabnya dengan ketenangan yang sama, seolah kemarahanku tidak mempengaruhinya sama sekali.

"Iya, kamu suamiku dan aku adalah istri yang meninggalkanmu." Potongku cepat. "Aku istri yang tidak bisa lagi tinggal denganmu jadi memilih pergi, aku istri yang tidak sanggup lagi menghadapimu, aku istri yang lebih memilih membesarkan anak-anakku sendiri daripada harus membesarkan mereka denganmu. Aku istri yang muak dengan sikapmu hingga membuatku pada batas tak ingin lagi berurusan denganmu."

"Aku cabut ucapanku kemarin, kamu yang marah nggak menggoda sama sekali." Potongnya.

"Bagus, jadi lebih baik kamu keluar dari rumahku sekarang."

Rey menatapku tak percaya. "Kamu sudah memilihku, sudah seharusnya kamu ikut pulang denganku. Yang aku lakukan sekarang hanyalah mempermudah semuanya."

"Tanpa bertanya padaku?"

"...."

"Tidak ada gunanya kita bicara sekarang. Kamu sedang marah. Dan aku nggak mau membuatmu makin marah. Barang-barangku tetap aku tinggal di sini, malam ini aku pulang ke hotel. Besok pagi aku datang lagi. Kita harus bertemu wali kelas anak-anak. Besok hari terakhir mereka sekolah."

Berdiri terpaku tanpa bisa mengatakan apapun, itulah yang aku lakukan selanjutnya. Sikap Rey yang membiarkan keinginanku begitu saja, membuatku terkejut. Dia orang yang paling keras kepala yang pernah aku kenal, tidak mudah mengalah dan selalu punya maunya sendiri.

*****

Seperti ucapannya semalam, Rey datang pagi ini. Dia datang terlalu pagi, Si Kembar bahkan belum bangun. Aura pertengkaran kami semalam masih terasa, Rey mengabaikanku. Dia duduk di ruang tengah sibuk dengan handphonenya dan tak mengajakku bicara. Saat Si Kembar turun, baru dia mendekatiku.

Setelah sarapan, kami langsung ke sekolah Si Kembar. Ini pertama kalinya aku datang ke sekolah Si Kembar di temani orang lain. Biasanya aku selalu datang sendiri. Beberapa kali Daniel membujukku agar dia bisa menemaniku, namun aku selalu tolak. Aku tidak ingin orang-orang berprasangka yang tidak-tidak. Apalagi pada Daniel, aku tidak mau nama Daniel tercemar. Daniel akan dicap buruk, jika berada di sekeliling wanita dengan dua anak yang tidak jelas statusnya.

Saat kami sampai sekolah, semua mata memperhatikan kami penuh minat, sebentar lagi gossip tentangku pasti akan menyebar. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka ucapkan tentangku, sudah lama aku memilih mengabaikan ucapan mereka. Membesarkan dua orang anak tanpa suami, apalagi yang bisa aku harapkan selain omongan-omongan miring penuh prasangka buruk.

Semua urusan administrasi untuk kepindahan Si Kembar sudah selesai. Rey tidak main-main dengan ucapannya. Dia memang sudah menyelesaikan semuanya. Hari ini, hari terakhir mereka sekolah. Tiga jam lagi aku baru bisa menjemput mereka pulang.

Dari sekolah Si Kembar aku langsung ke Twins, entah sengaja atau tidak Rey mengikutiku. Dia tak bicara, kadang dia berjalan di belakangku atau di depanku. Jika kebetulan kami jalan beriringan, aku dengan sengaja memperlambat jalanku atau mempercepatnya. Melihatku melakukan hal kekanakan seperti itu, Rey menyunggingkan senyum geli. Aku menyadarinya dari sudut mataku, bagaimana dia berusaha menahan tawa.

Aku sering melewati jalan ini, tidak tiap hari memang. Biasanya aku melewatinya saat mengantar jemput Si Kembar dari sekolah. Aku menyapa beberapa orang yang aku temui, kebanyakan dari mereka adalah warga lokal yang bekerja sebagai penjaga pantai atau pemain surfing. Si Kembar sering menonton mereka beratraksi di tengah-tengah deburan ombak jadi banyak diantara mereka yang mengenalku. Pemuda-pemuda itu berkulit coklat legam dengan badan-badan yang kekar.

Saat sedang bicara dengan salah satu di antara mereka, tiba-tiba Rey menarikku mendekat padanya, tangannya merangkul pinggangku kencang. Aku mengernyit, terkejut dengan apa yang dia lakukan.

"Kamu ngapain sih?" aku menggeliat, mencoba melepaskan diri dari rangkulannya.

"Aku pengin makan cupcakes buatanmu."

"Kamu nggak suka makanan manis." Sahutku ketus.

"Tiba-tiba aku suka. Ayo." Dia menarik tubuhku begitu saja tanpa menunggu balasanku.

"Kamu kenapa sih, aneh."

Rey melirikku, hanya sekilas sebelum kemudian kembali menarikku agar jalan bersamanya.

"Sering lewat sini?"

"Tidak setiap hari, tapi sering."

"Sendiri?"

"Kadang bareng anak-anak, kadang bareng Daniel. Aku lebih suka jalan kaki saat ke Twins. nggak terlalu jauh dari rumah." Aku merasa tanganku makin di genggam kencang. Saat aku meliriknya, wajah Rey terlihat menegang. Lagi-lagi dia marah, Apa aku salah bicara.

Tidak mau membuatnya makin marah aku memilih diam, membiarkan dia terus menggenggam tanganku dan menutup mulutku rapat-rapat.

"Jora..." aku mendongak, lalu melihat Mama Malinsa sedang duduk di teras Twins.

"Mama?" aku mencoba menarik tanganku dari genggaman Rey, namun bukan melepaskannya dia malah menggenggamnya makin kencang.

"Kamu sibuk?" tanyanya lembut, bibirnya tersenyum. Senyum yang sama seperti yang Daniel miliki. Matanya menatap tanganku yang masih digenggam Rey.

"Nggak Ma." Jawabku canggung.

"Bisa kita bicara, hanya berdua."

Aku mengangguk, lalu dengan tanganku yang bebas aku menarik tangan Rey yang masih enggan melepaskan genggamannya. Rey menolak menuruti permintaanku, genggamannya malah semakin erat hingga membuatku meringis kesakitan.

"Rey," aku menyentuh rahangnya lembut. "Lepasin..." genggamannya merenggang.

Cara ini selalu berhasil sejak dulu. Saat dia sulit sekali dibujuk, dulu aku sering melakukan hal yang sama padanya. Menyentuh rahangnya lembut.

"Aku menunggu di sini, jangan lama." Mungkin hanya perasaanku saja, tapi suara Rey terdengar ketakutan.

Mama Mallinsa berjalan mendahuluiku masuk ke dalam Twins. Dia langsung duduk di meja paling sudut. Melihat ketenangan yang dia tunjukan, membuatku gelisah. Aku tahu apa yang ingin Mama Mallinsa bicarakan.

"Daniel, sudah menceritakan semuanya. Mama tidak pernah menyangka hal serumit ini akan terjadi."

"Maaf, Ma. Semua salahku."

Mama Mallinsa kembali memberikan senyumnya. "Kamu nggak perlu minta maaf, hal-hal seperti ini tidak bisa dihindari." Ucapannya membuatku semakin gugup dan gelisah.

"Kamu tahu Rey sabahat Daniel, kan?"

"Iya, Ma."

"Sahabat baik." Mama lagi-lagi tersenyum. "Mama menganggap Rey seperti anak Mama sendiri, mereka sudah lama berteman. Nggak heran saat melihat Luys dan Luce, Mama seperti mengenal mereka."

Mama Mallinsa menarik tanganku dari bawah meja, kemudian menautkan tangan kami.

"Jora, nggak bisakah kamu ubah keputusanmu?" dia mengatakannya penuh permohonan hingga membuatku merasa menjadi orang yang sangat jahat. Aku merasa sangat bersalah karena membuatnya harus memohon seperti ini padaku. "Mama tahu ini keputusan yang sulit, tapi Mama mohon Jora demi anak mama, demi Daniel. Mama mohon ubah keputusanmu."

"Ma... aku nggak bisa. Daniel akan terluka. Dia pantas mendapatkan seseorang lebih baik."

"Apa karena statusmu? Kamu tahu Daniel.... Kami tidak pernah mempermasalahkannya. Kami menerima kamu apa adanya Jora. Kami menyayangimu dan anak-anak."

Aku menggeleng dengan muram. "Bukan seperti itu Ma, Daniel pantas bahagia dan itu bukan denganku."

"Anak itu sejak beberapa hari yang lalu kelihatan aneh, berkali-kali mama bertanya tapi dia tidak menjawabnya. Akhirnya kemarin mama paksa di agar pulang dan menceritakan semuanya. " Mama menepuk tanganku lembut, "Kamu adalah harapan yang datang saat kami putus asa, kamu bukan hanya menyelamatkan nyawanya tapi juga menyelamatkan kami keluarganya. Kamu membuatnya kembali tersenyum, kamu membuatnya bisa kembali memulai hidup tanpa terus dihantui rasa bersalah. Demi Tuhan, mama tidak pernah mempermasalahkan statusmu Jora, tidak pernah. Bagi kami, kamu sudah seperti keluarga. Mama selalu berharap kalian bisa bersama, Daniel sangat mencintaimu. Mama mohon, untuk kali ini saja, kali ini saja penuhi permintaan Mama."

Kami menangis dengan saling menggenggam tangan. Sama sepertinya aku juga merasakan pilu yang amat sangat.

"Ma..."

"Mama akan bicara dengan Rey, dia pasti akan mengabulkan permintaan Mama. Dia sahabat Daniel dia pasti akan mengerti. "

Aku tak bisa mengabulkan permintaan Mama, Daniel pantas mendapatkan yang lebih baik. Dan wanita itu bukan aku, wanita yang mengunci hatinya rapat-rapat, wanita yang tidak bisa memberikan cintanya, Wanita yang tidak pernah mengizinkan orang lain untuk menyentuh hatinya.

"Ma, Daniel dia akan mendapatkan wanita yang lebih baik, yang bisa membuatnya bahagia."

"Kamu bisa membuatnya bahagia."

"Anak-anak membutuhkan papa mereka."

"Kalau begitu biarkan anak-anak ikut Papanya. Kamu bisa tetap di sini."

Rey yang sejak tadi duduk cukup jauh dari kami, tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dan menarikku agar ikut berdiri. Ekspresinya tak terbaca, berbeda dengan biasanya, saat aku bisa membaca ekspresinya dengan jelas. Daniel berdiri tepat di belakangnya, menatapku penuh luka dan kekecewaan.

___________________________________________________________________________

Thanks for read, vote and comment


Mars, 25 Mei 2016

XOXO

tuheRofiah

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
3M 152K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...