Reconciliation

By MarsHeaven

1M 67.1K 5.2K

Trust takes years to build, seconds to break and forever to repair. Dia kembali hadir dalam hidupku dan akhir... More

5. Titik Balik
9. Re-post Keputusan
11. Pengakuan
12. Luka yang Kembali Terbuka
14. Bimbang
15. Goodbye
Bagian 16 - Pulang
17. Sulit Melepaskan dan Memaafkan
18. Luapan Emosi 1
18. Luapan Emosi 2
19. Rujuk
Kuis RC
20 - Honeymoon 1
20 - Honeymoon 2
21. Pecah
22. Semak Membara - 1
22. Semak Membara 2
Pengumuman
Pengumuman Lagi
23.1 Berani Memaafkan
23.2 Berani Memaafkan
24
25
26
Q and A
Jawaban Q and A

13. Alasan Pergi

26.1K 2.8K 197
By MarsHeaven

Yan nungguin ceritaku, aku harus minta maaf mungkin nggak bisa sering update. lagi-lagi aku harus nyerah karena masalah kesehatan. pasti pada bilang kok aku sakit mlulu :). Iya Emang aku sering sakit, apalagi semenjak pindah tinggal di tempat baru. Kayaknya masih harus beradaptasi. Dokterku yang biasanya nangani aku tinggal di Cikarang, jadi aku sering bolak balik Jakarta-cikarang minggu-minggu ini. Dan itu capek banget. 3 Jam dijalanan itu bikin pantat sakit. :)

Kalau yang nungguin updatean ku, mohon untuk sabar menunggu. kalau sempet pasti aku update kok. makasih :)

Enjoy

____________________________________________________________________________

Daniel masih tersenyum dan menggenggam tanganku, matanya menatapku hangat, aku tahu dia sedang mengatakan tanpa suara bahwa semuanya baik-baik saja, ada dia di sampingku. Apa yang dia lakukan membuatku tenang. Kesedihanku perlahan menghilang.

Saat aku membalas senyumnya, Rey tiba-tiba menarikku agar mendekatinya. Seketika tubuhku kaku, sentuhannya membuatku tidak nyaman.

Melihatku yang menolak sentuhannya, dia menatapku menuntut, matanya terus menatapku lekat. Begitu tangannya memeluk pinggangku kencang aku menggeliat dan menjauhkan tubuhku darinya. Tidak suka melihat apa yang aku lakukan, dia memberikan tatapan tajam dan kembali menarik tubuhku mendekat padanya.

"Gimana perjalanannya?" tanyanya tepat di telingaku.

Dengan sengaja aku mengabaikan pertanyaannya, perhatianku kembali pada Daniel. "Kamu mau mampir?"

Daniel tersenyum, "Lain kali aja, aku ada janji sama mama."

"Okay, titip salamku buat mama."

"Iya" jawabnya, tangannya mengacak rambutku gemas. Aku cemberut dan langsung merapikan rambutku. Dia tertawa, lalu menoleh pada Laura "Mau pulang bareng?"

"Nggak," Laura menggeleng, tangannya menyentuh lengan Rey mesra. "Rey mau nganterin."

Ucapannya membuatku melepaskan diri dari pelukan Rey. "Aku mau ketemu anak-anak dulu. Hati-hati di jalan, Dan. Mari, Laura." Aku menganggukkan kepala pada Laura, lalu tersenyum pada Daniel. Mengabaikan Rey sepenuhnya.

Samar-samar aku bisa mendengar percakapan mereka di belakangku.

"Ayo Rey anterin aku pulang." Suara manja itu masih aku ingat dengan jelas. Suara manja penuh rajukan yang bisa membuat semua orang menuruti kemauannya. "Kita udah lama nggak ketemu, gimana kalau kita makan bareng?"

"Hari ini aku nggak bisa." Kecuali Daniel, rajukannya tidak membuat Daniel luluh. "Kamu tinggal di mana di sini?"

"Hotel Rey. Kemarin dia yang jemput aku di bandara."

Rey tidak pernah bisa menolak permintaannya. Sejak dulu selalu seperti itu.

*****

Sampai di ruang tengah Si Kembar sedang bermain Lego. Rey yang membelikannya sebagai hadiah ulang tahun. Sejak kecil Si Kembar mempunyai hobby yang sama, suka merakit. Puzzle dan lego adalah mainan favorit mereka.

"Ma, Tante Laura itu siapa sih?" Luce yang selalu penuh rasa ingin tahu, mendongakkan kepalanya. Rasa penasaran terlihat jelas di matanya.

"Teman Papa, tadi ketemu di mana sama Tante Laura?" terus terang aku penasaran bagaimana mereka bisa bertemu Laura.

"Di kamar hotel Papa, abis beli mainan kan kita ke sana dulu Ma, terus ketemu Tante Laura."

"Aku nggak suka Tante Laura." ucap Luys tiba-tiba. Aku heran mendengarnya, Luys biasanya tidak suka memperhatikan orang lain. Cenderung cuek.

"Aku juga." timpal Luce

"Ingat nggak mama dulu pernah bilang apa? Nggak boleh mudah membenci orang, nggak baik, apalagi kalian baru ketemu sama Tante Laura."

"Tapi Tante Laura terus dekat-dekat papa, aku nggak suka." Suara Luys mulai terdengar kesal.

"Tante Laura kan teman Papa, teman dari kecil malah jadi mereka sangat akrab." Aku menelan ludah, dulu seringkali aku mengucapkan itu untuk diriku sendiri.

Si Kembar terlihat akan membantahku, namun terhenti saat melihatku tersenyum dan mengelus kepala keduanya lembut.

"Mama ke kamar dulu, mau mandi. Mainannya diberesin kalau udah selesai" Si Kembar mengangguk patuh dan kembali asyik bermain lego.

Sampai kamar bukannya langsung mandi, aku malah duduk terpekur di sofa. Memandangi setiap sudut kamarku dengan pikiran penuh kenangan masa lalu. Senyumku terukir saat melihat fotoku dan Si Kembar yang aku letakan tepat di atas kepala tempat tidur. Kami melakukan foto close up itu tiga bulan lalu, saat aku ulang tahun. Melihat foto itu membuatku kembali mengingat foto-foto Rey dan Laura. Foto yang membuatku menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Aku terbangun saat mendengar percikan air dari kamar mandi. Awalnya bingung, tidak tahu sedang berada di mana namun kebingunganku tidak bertahan lama saat mataku tertumbuk pada deretan foto yang membuatku tadi memutuskan untuk tidur.

Foto-foto yang berderet itu membuat hatiku tak tenang dan mungkin sedikit cemburu. Aku meraba perutku yang mulai membesar, mengelusnya dengan sayang. "Apa yang telah mama lakukan, De. Mama telah mengambil keputusan yang salah."

"Udah bangun?" Rey keluar dari kamar mandi hanya mengenakan boxer pendek. Tangannya sibuk mengeringankan rambut dengan handuk. "Kenapa nggak bilang kalau kamu di sini, aku pulang kamu nggak ada. Untung pas banget mama nelpon jadi aku tahu kamu ada di sini. Handphone juga nggak aktif."

"Jam berapa sekarang?" tanyaku saat melihat langit sudah gelap, sengaja mengabaikan ucapan Rey.

"Jam delapan."

Ternyata aku tidur hampir dua jam.

"Kamu sakit?" Rey mendekatiku, lalu meletakkan telapak tangannya di dahiku.

Aku menggeleng.

"Sudah minum obat? Perutnya masih mual nggak?" tangannya meraba perutku dan membelainya lembut. Spontan aku menjauhkan tubuhku, sentuhannya membuatku tidak nyaman, kaget dan gugup.

Rey tersenyum kaku, menyadari aku menolak sentuhannya.

"Aku cuma kelelahan." Tanpa melihat Rey aku berdiri dan berjalan kearah kamar mandi.

Rey berubah, dia tak lagi menjadi sosok dingin yang terus mengabaikanku. Sejak kejadian kopi pagi itu hubunganku dan Rey perlahan membaik. Kami mulai saling bicara, Rey mulai meluangkan waktunya untukku. Jika biasanya dia pulang malam dari kantor, kini dia mulai pulang lebih awal. Kadang membawa makanan atau memesannya kemudian kami makan malam bersama. Bahkan sudah beberapa kali Rey menemaniku kontrol kehamilan. Sikapnya lebih hangat padaku, dia tak canggung lagi menunjukkan perhatiannya.

"Kejora, aku turun ke bawah duluan, kalau udah selesai kamu langsung nyusul aja, yang lain udah nunggu buat makan malam." Rey mengetuk pintu kamar mandi pelan.

"Iya." Aku cepat-cepat menyelesaikan mandiku. Begitu keluar kamar mandi aku menemukan kantong-kantong hasil belanjaku dengan mama tadi siang ada di atas tempat tidur. Rey pasti yang membawanya kesini, tadi sebelum aku mandi kantong-kantong itu belum ada. Tanpa memilih, aku mengambil salah satu dress yang tadi mama belikan.

Langkahku belum menyentuh ujung bawah tangga, saat mendengar beberapa orang tengah bicara dan tertawa. Langkahku mengikuti arah suaranya hingga sampai dapur. Lalu, hanya bisa berdiri terpaku melihat apa yang aku lihat. Pemandangan itu membuatku sedih. Laura duduk nyaman dan akrab bersama keluarga Rey. Mereka tertawa lepas dan terlihat nyaman satu sama lain. Hal yang tentu saja sangat sulit aku lakukan, karena walaupun keluarga Rey menerimaku dengan tangan terbuka, mereka masih sering bersikap segan padaku. Cenderung sopan.

"Ra, kenapa cuma berdiri, ayo sini kamu pasti udah lapar." Opa melambaikan tangannya dengan antusias, memintaku agar bergabung bersama mereka.

"Kamu cocok sekali pakai baju itu Ra, warna bajunya bikin kulitmu kelihatan cerah. Dress pilihan mama bagus kan Pa?" Ucapan antusias Mama Lyra dijawab anggukan setuju oleh Papa James.

Dress yang aku kenakan berpotongan simple, tanpa lengan berwarna pink lembut dan bermotif tribal kecil-kecil. Mama Lyra yang memilihkannya. Tadi pagi saat melihatku masih mengenakan celana jeans padahal perutku sudah mulai membesar, mama bersemangat mengajakku berbelanja. Kami berkeliling ke beberapa store brand ternama yang kebetulan masih satu gedung dengan apartemen Rey.

"Makasih, Ma." Jawabku canggung seraya mendekkati mereka. Namun langkahku terhenti, karena bingung harus duduk di mana. Opa duduk di ujung meja, Mama dan Papa di sisi kanannya, lalu Rey dan Laura di sisi kirinya.

Laura yang melihatku hanya berdiri menyadari kebingunganku, "Sorry Ra, aku selalu duduk di sini kalau makan jadi kebiasaan deh." Ucapnya dengan nada ceria.

Aku tersenyum simpul, "Nggak papa, aku duduk di sebelah mama aja." Aku berharap Rey akan menghentikanku dan memintaku duduk di dekatnya. Sayangnya aku harus kecewa, karena Rey tak mengatakan apapun. Seolah masalah aku duduk di mana bukan masalah baginya.

Selama makan malam berlangsung aku kebanyakan diam, hanya bicara saat ada seseorang yang mengajakku bicara atau bertanya padaku. Lagi-lagi aku seperti berada di tempat asing dan sendiri, padahal di sekelilingku orang-orang saling bercanda dan menggoda. Terkadang mereka malah tertawa.

Begitu makan malam berakhir, kami berpindah duduk di ruang tengah. Luara pulang setelah bicara sebentar dengan kami. Aku dan Rey menginap, karena Mama dan Opa terus memaksa. Malam ini pertama kalinya aku tidur di rumah keluarga Rey semenjak kami menikah. Rey masih bicara dengan Opa dan Papa mengenai perusahaan sedangkan aku dan mama bicara sambil menonton televisi.

"Laura itu teman Rey sejak kecil, rumahnya dulu di depan. Ada teman cewek yang lain juga, Relis namanya rumah sebelah persis. Tiga tahun lalu Laura pindah ke Milan, mengejar karir modelingnya. Relis kuliah di London bareng sepupu Rey." Mama tiba-tiba menjelaskan hubungan Rey dengan teman-teman wanitanya."Kamu jangan salah sangka sama hubungan mereka, mereka cuma teman kok nggak lebih."

"Iya, Ma."

"Kamu pasti capek, sejak makan malam kamu kebanyakan diam. Istirahat duluan aja, nanti Mama yang bilang sama Rey." Aku mengangguk, lalu mulai beranjak ke kamar Rey.

Sesampainya di kamar Rey aku langsung mengganti baju dan berbaring di tempat tidur. Mataku sulit terpejam, aku terus bergerak-gerak gelisah.

"Belum tidur?" Rey mendekat, lalu merapikan selimut yang menyelimuti tubuhku.

"Belum," aku bangun dan bersandar di kepala tempat tidur.

Rey tersenyum, lalu membuka bajunya. Dia memang selalu tidur hanya mengenakan boxer atau celana tidur panjang.

Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku, jadi tanpa basa basi langsung bertanya padanya. "Laura, diakah alasanmu menolak menikah denganku."

"Hah?" raut mukanya berubah bingung.

"Laura adalah alasanmu menolak menikah denganku dulu."ulangku lagi.

"Apa maksudmu, aku nggak ngerti." Rey mengalihkan tatapannya.

"Kamu mencintainya?"

"Aku nggak mau menjawabnya"

"Itu bukan pertanyaan yang sulit, kamu hanya perlu jawab iya atau nggak?"

"Sebelum kita menikah aku sudah bilang, jangan saling mencampuri urusan masing-masing. Jadi pertanyaan kamu nggak perlu aku jawab." Ucapnya tajam dan penuh tekanan.

Aku mendesah dan perlahan berdiri, malam itu adalah pertengkaran kami yang pertama kali semenjak menikah. Setelah itu kami baik-baik saja dan bersikap seperti biasanya, namun Rey akan menghindar jika topik tentang Laura keluar. Dia enggan membicarakan perasaannya pada Laura denganku.

Sambil menyiapkan air untuk bubble bath, aku mengingat semua kenangan itu. Pertemuanku dengan Rey dan Laura membuka kembali luka lama yang sejak dulu ingin aku lupakan. Tapi, ternyata aku masih belum bisa. Luka penuh kenangan pahit itu masih terpatri jelas dalam ingatan. Aku menikah dengan lelaki yang mencintai wanita lain, dan sialnya aku menyadari itu saat hatiku mulai terarah padanya. Aku mencintainya, jadi aku marah saat menyadari perasaannya. Aku mencintainya, tapi dia tidak.

Hampir satu jam aku berendam sampai airnya berubah dingin, badanku mulai berkerut dan menggigil. Sadar sudah terlalu lama menghabiskan waktu dan belum membuat makan malam aku segera menyelesaikan mandiku. Menutupi tubuhku dengan handuk besar yang menutupi dada sampai paha, lalu mengeringkan rambut dengan handuk kecil sampai terasa sedikit lebih kering dan mulai mengikatnya.

Terlalu asyik dengan apa yang aku lakukan, hingga tak menyadari ada orang lain yang berada dalam ruangan yang sama denganku, sampai sebuah suara membuatku terpekik kaget dan berteriak panik.

"Sudah lama aku nggak lihat kamu seperti ini."

"Ngapain kamu disini! Keluar!" teriakku, begitu malu dan juga marah hingga suaraku bergetar.

"Keluar!" teriakku lagi, karena bukannya pergi Rey malah menyunggingkan senyum puas.

"Aku bilang keluar!" Akhirnya Rey menurut, dia membalikkan badannya. Aku pikir dia akan keluar dari kamarku, tapi bukannya keluar dia malah menutup pintu dan menguncinya.

Sikap Rey membuatku panik, dengan langkah tergesa aku menuju ke lemari dan mengambil beberapa helai baju serampangan. Karena panik, baju-baju itu malah berhamburan keluar dan berantakan. Saat berjongkok untuk meraih beberapa helai baju, tangan Rey menarikku agar berdiri dan mendorong tubuhku kencang hingga menabrak lemari. Seketika aku menjerit kesakitan.

"Lepasin Rey, ini nggak lucu!" desisku marah, tanganku sekuat tenaga memegang handuk yang menutup tubuhku, menahannya agar tidak terlepas.

Rey tak terpengaruh dengan kemarahanku, tangannya sekarang justru menarik kedua tanganku, mengunci keduanya tepat di samping kepalaku.

"Rey...." aku mulai memohon, "Lepasin ... jangan seperti ini." Ucapku dengan suara gemetar.

"Ini terakhir kalinya," ucapnya dengan ketegasan yang menggetarkan. "Ini terakhir kalinya aku biarkan kamu pergi dengannya. Setelah ini tidak akan ada lain kali."

"Rey..." Aku meronta.

"Jangan biarkan dia menyentuhmu, jangan pernah tertawa di depannya, Jangan pernah mengabaikanku di depannya, Jangan pernah menyebut namanya di depanku" lanjutnya, ucapannya pelan tapi penuh dengan ancaman.

Nafasnya memburu, beberapa kali dia menghembuskan nafasnya kencang. Aku tahu saat dia melakukan itu, berarti dia sedang berusaha menahan amarahnya.

Begitu dia melepaskan tanganku, aku pikir dia sudah selesai. Tapi, apa yang aku pikirkan salah, alih-alih melepasku, Rey justru menggendongku dan membantingku ke atas tempat tidur.

Kepanikan yang tadi sempat berkurang, kembali membesar. Spontan aku memegang handukku kuat agar tidak terlepas. Handuk kecil yang menutupi rambutku sudah terlepas entah kemana. Hasilnya rambut basahku sekarang tergerai berantakan.

"Rey... kamu mau apa?" tanyaku gemetar.

"Meminta hakku."

"Kita sudah membicarakannya, aku tidak mau melakukannya." Belum selesai bicara, bibir Rey sudah menyentuh bibirku, melumatnya keras.

"Kenapa kamu meninggalkanku?" Rey berbisik di telingaku, lalu menggigit dan meniupnya lembut.

"Rey....hentikan. Aku mohon." Aku mulai memelas.

"Aku nggak akan berhenti sebelun kamu menjawab pertanyaanku." Bibirnya kembali mendekati bibirku, kemudian berbisik lembut. "Kenapa kamu pergi?"

"Rey... aku mohon jangan lakukan ini." Saat Rey terus mengabaikanku dan memindahkan bibirnya di lekukan leherku, airmataku perlahan turun. Aku menangis.

"Kejora?"

"Jangan Rey, aku mohon." Aku terisak. Isakan yang sama memilukannya seperti saat malam aku memutuskan meninggalkannya.

"Mau bawa makanan, Ra?" tanya Mama. "Kamu melamun lagi." Lanjutnya saat melihatku tidak langsung menjawab pertanyaannya.

Mama menatapku sedih, lalu perlahan mendekatiku kemudian memelukku hangat.

"Jangan terus bersedih Ra, sudah lebih dari enam bulan kamu seperti ini."

"Aku nggak pa-pa ma, tadi lagi ngelamun mikirin nanti malam mau makan apa." Pembohong yang pintar. " Aku nggak bisa masak, jadi aku sama Rey lebih sering makan di luar atau pesan makanan terus dibawa ke apartemen."

"Kalau terus belajar pasti bisa."

"Iya, ma. Mama bawain apa?" tanyaku ceria, mencoba menutupi kesedihan yang menyelingkupiku.

Tadi saat sedang membantu mama membereskan sisa-sisa makan siang kami, mama tanpa sadar menyebut cucunya yang belum sempat lahir. Mama bilang sekarang pasti dia sedang sibuk membantuku mengurus cucu kesayangannya. Dan seperti sebelumnya, segala ucapan yang berhubungan dengan bayiku akan langsung membuatku sedih. Tak terkecuali apa yang mama ucapkan tadi.

Sudah berbulan-bulan berlalu, namun kesedihanku belum juga sirna. Rey berusaha menghiburku agar merasa lebih baik. Seperti mengajakku liburan atau menghabiskan waktu lebih banyak denganku. Memang sedikit membantu, tapi tidak bisa membuatnya hilang sama sekali.

Aku masih merindukan bayiku dan berharap dia ada di gendonganku sekarang.

"Nah sudah,ini makanannya. kamu di antar Pak Nim aja yah jangan naik taksi. Kebetulan Pak Nim lagi di rumah."

"Makasih, Ma." Mama tersenyum hangat, dan seperti kebiasaannya setelah aku kehilangan bayiku mama akan menyentuh perutku lembut dan mulai berdoa. Doa penuh harapan agar aku bisa kembali hamil.

Hal yang tidak ketahui akan sulit terkabul.

Pernikahanku dengan Rey tidak berjalan normal seperti pernikahan pada umumnya. Rey memang suamiku, tapi hanya status saja. Tidak ada hubungan romantis di antara kami. Sejak aku kehilangan bayiku, kami memang lebih dekat. Tapi, lebih seperti sabahat. Rey bersikap seperti sahabat yang baik dengan selalu berada di sampingku melalui masa sulit. Tapi hanya itu, tidak lebih.

Aku pernah menyatakan perasaanku padanya, aku bilang aku mencintainya dan dia hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis. Tidak ada balasan ungkapan rasa sayang yang sama.

Herannya aku cukup puas dengan hubungan kami yang seperti ini.

"Pak Nim, minta tolong antarkan saya ke kantor Rey saja, saya mau ketemu dia dulu sebelum pulang ke apartemen."

"Baik, Mba."

Setengah jam kemudian, kami sampai di kantor Rey. Pak Nim mengantarku sampai lobby kemudian berkata kalau dia akan menungguku di parkiran tempat biasa dia menunggu Rey pulang.

Saat sedang menunggu lift sebuah suara memanggil, ternyata Reno. Teman Rey yang pernah aku pukul dan orang yang menyebabkan aku dan Rey bertemu pertama kali.

"Ngapain, Ra?" tanyanya ramah.

"Mau ketemu Rey, kamu?"

"Aku abis ketemu Rey."

"Nggak berantem lagi kan?"

"Nggaklah. Emangnya kita anak-anak. Abis pamitan sama dia." Reno tersenyum canggung. " Tadinya mau ketemu kamu juga, tapi Rey bilang nggak usah."

"Kamu mau kemana emangnya?"

"India. Mau belajar tekstil di sana."

"Rey cerita masalah anak kalian. Aku turut sedih." Ucapnya hati-hati.

"Makasih. Si Dedek belum berjodoh sama aku kayaknya."

"Bagus kamu bisa merelakannya, Ra. Rey khawatir sama kamu, takut kamu nggak siap kehilangan."

Aku menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Rey datang beberapa kali ke clubku, dia sedikit bercerita. Dia mengkhawatirkanmu."

"Aku udah nggak pa-pa sekarang, belum ikhlas sepenuhnya. Tapi, nanti semoga aku bisa merelakan semuanya."

"Semoga." Reno tersenyum lebar. " Lift kamu datang. Jaga kesehatan Ra, Dan maaf dulu hampir mukul kamu."

"Emang kamu mau mukul beneran?"

"Nggaklah. Masa aku mukul cewek. Pengecut tahu."

"Bagus deh kalau tahu." Reno tertawa.

Begitu pintu lift yang akan membawaku ke ruangan Rey terbuka, aku langsung berpamitan dengannya. Ruangan Rey berada di lantai duapuluh tujuh gedung perkantoran ini. Rey pasti kaget saat melihatku nanti. Biasanya saat aku datang, aku mengabarinya terlebih dahulu. Entah kenapa kali ini aku ingin membuat kejutan untuknya.

Ruang kantor Rey terletak di ujung kanan lantai ini, memiliki pemandangan paling indah. Lantai ini selalu terlihat lenggang karena memang tidak banyak orang yang bekerja di sini. Hanya Rey, Papa James dan sekretaris pribadi mereka. Sebelum sampai ruangan Rey, aku harus melewati ruangan meeting terlebih dahulu. Ruangan ini lebih lebar dari ruangan lainnya. Di depannya berjejer, pot-pot besar dengan tanaman yang tingginya lebih tinggi dari tubuhku.

Saat baru setengah jalan aku melihat Rey keluar dari ruangannya. Dia berdiri dan sedang bicara dengan seseorang. Aku mengurungkan niatku untuk menyapanya, saat menyadari siapa yang sedang dia ajak bicara. Laura. Mereka terlibat pembicaraan yang cukup serius, beberapa kali Rey menepuk bahu Laura pelan, menenangkannya.

Aku bersembunyi di balik pot tanaman. Memperhatikan mereka dengan hati bergetar. Beberapa kali aku meragu, haruskah aku menghampirii mereka atau tetap bersembunyi. Saat hatiku masih berperang, Rey menarik Laura agar mengikutinya. Mereka berjalan ke arah pintu darurat yang aku tahu menuju rooftop gedung.

Langkahku gemetar, aku mulai ketakutan namun terus memaksakan diri untuk mengikuti mereka. Pikiran-pikiran buruk sudah memenuhi kepalaku. Berkali-kali aku merapal mantra yang sama, aku harus percaya Rey, aku harus percaya Rey.Aku terus memasukkan pikiran itu ke dalam otakku, berharap mendapat energy positif.

Ragu-ragu, aku memutar kenop pintu. Seketika tubuhku membeku. Pemandangan yang aku lihat di depanku mematahkan semua rapalan mantra yang aku ucapkan berkali-kali tadi. Laura menangis dalam pelukan Rey. Beberapa kali Rey terlihat mencoba untuk menenangkannya dengan membelai punggung Laura lembut. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka ucapakan satu sama lain. Sampai akhirnya Rey mendongakkan wajah Laura agar menghadapnya, kemudian mencium bibirnya, melumatnya. Mereka berciuman dan saling membalas.

Aku menutup mulutku tak percaya, dengan cepat aku berbalik dan dengan langkah gontai menuruni anak tangga.

Hari itu Rey menghancurkan kepercayaanku dan yang bisa aku lakukan hanyalah menangis pilu sama seperti mala mini. Sentuhannya pada tubuhku mengingatkanku pada hari itu.

----------------------------------------------------------------------------------------

Thanks for read, vote and comment

Mars, 20 Mei 2016

XOXO

marsHeaven

Continue Reading

You'll Also Like

838K 83.1K 25
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
2.8M 299K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
359K 28.1K 37
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...
593K 25.4K 40
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...