LOVELY NATALIE ✅ (SUDAH CETAK...

By dindinthabita

67.9K 1.8K 56

Natalie, gadis remaja kelas 3 SMA NEGERI populer di Jakarta. Berwajah ayu dengan gerak geriknya yang anggun d... More

BAB 1: PERTEMUAN
BAB 2
BAB 4
BAB 5
KARAKTER DAN TOKOH LOVELY NATALIE
COMING SOON #LOVELY KARENINA : LOVELY SERIES
TEASER LOVELY KARENINA
SEKUEL SUDAH PUBLISH

BAB 3

2.6K 235 9
By dindinthabita

Natalie menaiki tangga putar yang menuju kamar-kamar yang berada di lantai atas rumah Wanda yang sangat menarik hati gadis remaja itu. Rumah besar itu terkesan feminim diantara kemaskulinannya. Wanda sengaja menata rumahnya sesuai hobi masing-masing tuan rumah yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki dan wanita itu sangat memperhatikan minat masing-masing kedua putra kesayangannya.

Natalie melihat sebuah ruang terbuka tepat langkahnya sampai dilantai atas. Ruang terbuka itu dihias dengan wallpaper merah hitam dengan beberapa poster band luar negeri terkenal. Sebuah permadani bulu bermotif gitar besar terbentang ditengah ruangan dengan beberapa alat band lengkap seperti dua buah gitar listrik dan gitar klasik serta seperangkat drum ukuran sedang. Dan ada sebuah lemari terbuka setengah dinding yang dipenuhi oleh sederetan cd dan dvd karena disana juga terdapat sebuah televisi layar datar yang tergantung di dinding diseberangnya.

Untuk sejenak Natalie menatap area itu dengan tertarik membuat Ali melirik dan menyentuh ujung gitar listrik berwarna merah itu. Dia menatap Natalie yang menatap kagum. "Ini daerah kekuasaan Marshal. Anak itu mencintai musik dan memainkan alat musik."

"Jadi Tante Wanda membuat ini semua untuk Marshal? Bagaimana dengan kak Ali?" Natalie memandang Ali tanpa mendengar penjelasan pria itu tentang hobi Marshal.

Sejenak Ali terdiam melihat antusiasme Natalie yang hanya ditujukan padanya. Dia kembali menekan perasaannya dan mencoba bersikap tenang. Dia melepas pegangan pada ujung gitar dan membalikkan tubuhnya.

Ali berjalan menuju sebuah lorong dimana terdapat dua buah pintu saling berhadapan. Dalam sekali pandang Natalie langsung tahu bahwa pintu kamar yang ditempeli poster Maroon Five adalah kamar Marshal. Dia melihat bahwa Ali membuka kamar yang berada diseberang dan perlahan pintu kamar berwarna putih itu terbuka.

"Aku tidak mempunyai area khusus seperti Marshal, tapi aku khusus meminta Mama untuk membuatkanku kamar yang sedikit lebih besar dari milik Marshal," Ali membuka pintu kamarnya dengan perlahan.

Aroma musk yang maskulin menerpa penciuman Natalie saat gadis itu melangkah masuk. Sebuah cahaya lembut dari sinar matahari sore memasuki kamar yang sangat luas yang bernuansa hitam putih itu. Kamar itu tidak memiliki banyak barang yang tidak penting namun Natalie dapat melihat bahwa dibagian sisi kanan kamar itu terdapat sebuah area luas yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan dan photo-photo pemandangan yang tertempel didinding tersebut. Dilantainya terdapat sebuah meja lukis dan sebuah nakas kecil yang diatasnya diletakkan sebuah kamera dan alat melukis. Di bagian dekat balkon, Natalie melihat lantainya melengkung setengah lingkaran dengan didalamnya terdapat sebuah lemari sebesar dinding dengan berisikan deretan buku bersampul. Tanpa pikir panjang lagi Natalie berlari kearea cengkung itu dan menatap kagum pada deretan buku yang ada didalam lemari.

"Wah....banyak sekali! Terjemahan semuanya?" Natalie menatap Ali dengan sepasang matanya yang bersinar.

Deg! Ada sebuah dentuman halus menerpa sisi hati Ali membuat dia melangkah mendekat dan berdiri disamping Natalie. Dia berdehem ketika dilihatnya gadis remaja itu berusaha menggapai salah satu buku yang berada dibagian atas. Ali melihat bahwa Natalie berusaha meraih buku bersampul merah dan gadis itu tampak kesulitan mencapainya. Dengan tubuhnya yang tinggi, Ali meraih buku bersampul merah itu dan memberikannya pada Natalie.

Wajah Natalie merona saat pandang matanya bersirobok pada sepasang mata kelam milik Ali. Berpagutan sejenak seolah mendekap tubuh dan hatinya yang melonjak. Dengan erat Natalie mendekat buku bersampul merah itu didadanya. Sekilas Ali membaca judul buku tersebut dan dia bertanya pendek.

"Itu kamus sastra dan umum bahasa Perancis?"

Natalie menunduk dan mengangguk. "Mengapa kak Ali menyimpan kamus bahasa Perancis? Apakah kak Ali pernah meliput sesuatu disana sehingga membutuhkan kamus ini?"

Ali terdiam dan dia mencoba mengingat kapan dia memiliki kamus butut itu. "Aku pernah ke Paris untuk meliput berita kenegaraan tetapi sejak SMA aku sudah memiliki kamus itu. Aku tertarik pada negara itu. Pada sejarahnya dan pada bahasanya..." apa yang kulakukan? Aku menceritakan hal sepele itu pada gadis remaja ini? Tapi betapa terkejutnya Ali saat melihat binar mata bening didepannya itu.

Natalie tersenyum lebar. "Aku ingin kesana suatu hari. Melihat istana Versailles...melihat Paris...melihat Eiffel dan ingin membuktikan perkataan orang-orang bahwa Bahasa Perancis adalah bahasa romantis di dunia," lalu dia menatap Ali dengan wajah ayunya yang membuat pria dewasa didepannya itu terpaku. "Aku ingin berada disana bersama pangeran berkuda putih dalam khayalanku sejak kecil, hehehehe..."

Ali mencoba berpaling dari pemandangan manis didepannya itu namun apa yang diucapkannya sangat bertolak belakang dengan niat hatinya. "Kalau kamu mau, aku bisa mengajarimu bahasa Perancis itu". Setelah mengatakan hal itu Ali langsung membungkam mulutnya. Dia berharap Natalie tidak mendengar ocehannya namun dari reaksinya, gadis itu telah mendengar semuanya.

Wajah cerah Natalie menghiasi wajah bujur telur itu membuat Ali terpaksa menyerah. "Benarkah kak Ali?" dan Ali yakin sekali bahwa gadis yang terlihat lemah lembut itu meloncat kegirangan.

Ali meraih buku bersampul merah itu dan membuka lembar pertamanya dan menatap Natalie dengan tajam. " Minggu depan aku ingin mendengar hapalanmu pada abjad A. Aku juga akan mendengar cara pengucapanmu. 20 kata pada abjad A". diam-diam Ali mulai menikmati kebersamaannya bersama Natalie yang dianggapnya hanyalah seorang gadis ingusan.

Natalie mengangguk berulang kali dan kembali memeluk buku bersampul merah itu dengan erat. Rasa senangnya hampir membuatnya ingin berjingkrak sesuka hatinya. Tiba-tiba pandangannya beralih pada pintu balkon yang terbuka. Dia menatap lurus dimana balkon itu menghadap. Ternyata Ali juga mengikuti pandang mata Natalie.

Dia mengusap dahinya dan berkata datar. "Balkonmu bersebrangan dengan balkonku. Aku bisa melihatmu dari sini".

Natalie menoleh Ali dan memandang sejenak wajah tampan yang terkesan cuek itu dan sekilas meskipun hanya kecil sekali kemungkinannya, jiwa kewanitaannya merasakan bahwa ada tatapan hangat dari sepasang mata tajam Ali. Hal itu membuat darah Natalie berdesir menghangatkan sepasang pipinya dan membuat sepasang kakinya gemetar.

"Aku...aku...aku pulang dulu kak..." dengan menguatkan hatinya, Natalie melangkah menjauhi Ali dan setengah berlari keluar dari kamar beraroma maskulin itu.

Ali melongo melihat Natalie yang terbirit-birit kabur dari hadapannya. Dia menghembuskan napasnya dengan heran. Dia mengusap rambutnya dan tertawa pendek. "Dasar bocah". Dia juga akan memutuskan untuk keluar dari kamarnya seraya meraih tas dan kameranya.

****

Natalie berlari cepat menuruni tangga rumah Tante Wanda dengan wajah memerah dan dada berdebar. Dia nyaris tidak melihat sekitarnya saat mencapai tangga terakhir dia menabrak sesuatu yang keras.

"Aww!!!" Natalie setengah menjerit ketika merasakan wajahnya menubruk sebuah dada keras dihadapannya. Dia mendongak dan mendapati bahwa orang yang ditabraknya dan memegang lengannya dengan khawatir adalah Marshal.

Sepasang mata Marshal membulat. Dia tertawa dan menyapa Natalie. "Loh? Nata? Kamu ada disini? Apa yang kamu lakukan dari atas?" jelas ada nada penuh tanda tanya dari suara Marshal yang ceria.

Namun Natalie tidak ingin menceritakan kebahagiaan kecilnya selama beberapa menit bersama Ali pada Marshal apalagi dia mendengar suara langkah kaki menuruni tangga dibelakangnya.

Sambil tetap mendekat buku bersampul merah itu didadanya, Natalie menggeleng dan tersenyum masih dengan sisa kemerahan di wajahnya. "Gak ada apa-apa, Shal. Udah ya. Bye!" Natalie melepaskan lengannya yang dipegang Marshal dan segera berlalu dari hadapan pemuda itu.

Marshal menatap Natalie dengan heran. Ketika gadis itu melewatinya sekilas dia mengenali benda yang dipeluk oleh Natalie dengan erat didadanya seperti sebuah jimat. Jantungnya berdegup tidak enak. Dia mengenali salah satu koleksi buku yang dimiliki oleh kakaknya. Dia tersentak saat suara Ali menegurnya dengan ramah dibelakangnya.

"Sudah pulang Shal?"

Marshal memutar balik tubuhnya dan dia langsung berhadapan dengan kakak laki-lakinya yang tampak jantan dan macho dengan wajah dinginnya yang berdarah arab. Gadis manapun akan jatuh cinta pada Ali dan hanya gadis gila saja yang tidak tergoda oleh abangnya itu. Kebanyakan gadis menyukai pria dewasa dengan pembawaan tenang seperti Ali. Terbayang oleh Marshal wajah merona Natalie yang baru saja dilihatnya.

"Itu tadi Natakan? Dia dari ataskan? Apa bersama Mama?" Marshal menunjuk arah kemana berlalunya Natalie.

Alis Ali terangkat dan berjalan melewati adiknya. Dia merogoh saku celana jeansnya untuk mengeluarkan kunci mobilnya. "Dia tadi meminjam kamus Perancisku". Langkah Ali terhenti karena Marshal menahan bahunya. Dia menoleh adiknya dengan tatapan menegur.

Marshal menarik mundur tangannya dari bahu Ali. Dia berusaha santai dihadapan Ali bagaimanapun abangnya itu lebih besar darinya dan meskipun mereka sama-sama mendalami karate, Ali lebih senior dan bahkan abangnya itu sudah menjadi pelatih. "Apa dia ke kamarmu? Maksudku...." Marshal mencoba mencari kalimat yang tidak menyinggung Ali.

Ali menatap sikap canggung adiknya dan dia semakin yakin bahwa pemuda tanggung itu benar-benar menyukai Natalie. Dia menggerakkan telunjuknya dan mendorong dahi Marshal. "Mama merekomendasikan bukuku padanya. Jadi aku membawanya keatas untuk memilih buku yang disukainya untuk dipinjam bahkan dia melihat area musikmu diatas". Dan seperti yang diduga oleh Ali, adiknya itu langsung sumringah saat dia mengatakan hal itu.

"Hehehe..."

Ali menarik kembali jarinya dan membalikkan tubuhnya dan melambai pada adiknya. "aku pergi dulu".

Seakan teringat akan sesuatu, Marshal berlari mendekati Ali. "Bang!" dia melihat bahwa Ali berhenti untuk menatapnya. Dia menelan ludahnya dengan rasa tidak enak. "Tidak ada yang terjadikan? Maksudku....bukan seperti yang kau pikirkan!!"

Dalam hati Ali tertawa melihat tingkah adiknya. Tapi dia memasang tampang serius dan bertanya singkat. "Memangnya apa yang kupikirkan?"

Keringat muncul di tengkuk Marshal. "Maksudku...bang Ali dan Nata ada didalam kamar...tidak ada yang terjadikan? Maksudku...aih Bang...kau tahulah maksudkukan?" Marshal menatap Ali dengan wajah merah padam.

Ali mendengus tertawa. Dia menepuk kepala adiknya dan menjawab ringan. "Kami hanya mengobrol....hanya sebentar". Muncul perasaan untuk menyimpan momen singkat yang dirasakannya bersama Natalie barusan. Ali memutuskan untuk segera pergi namun kembali adiknya bertanya.

"Apa Nata menggetarkan hatimu, bang?"

Ali merasakan sebuah tamparan pada dinding hatinya. Menggetarkan hati? Tanpa diketahui oleh Marshal, Ali memejamkan matanya sejenak. Sebuah kenangan pahit bertahun lalu mengembara kembali didalam ingatannya. Dia membuka kembali matanya dan kini sorot mata itu tampak dingin saat dia menjawab adiknya." Dia hanyalah bocah sama sepertimu, Shal". Dan dia segera melangkah pergi sebelum adiknya kembali melontarkan pertanyaan konyolnya.

Didalam mobilnya untuk sejenak Ali menghembuskan napasnya. Dia mencengkram erat setirnya. Dia mengingat kembali jawabannya untuk Marshal. "Bocah?" Ali mendengus. Sebuah bisikan didalam hatinya mengusik pertahanannya. Ayolah, Ali. Dilihat dari sisi manapun gadis itu bukanlah seorang bocah. Bahkan jiwa kelakianmu menyadarinya bahwa gadis itu bukanlah seorang bocah. Kau sejenak tidak menganggapnya seorang bocah ingusan. Hatimu yang bandel itu masih keras kepala saja!

Ali menepuk setir dengan gemas dan dia menghidupkan mesin mobilnya keluar dari garasi rumahnya. Suara deru mesinnya membuat ibunya, Wanda yang berada di tamannya mengerutkan keningnya. 

****

Dengan senandung kecil Natalie memasuki rumahnya dan hampir berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Ketika itu dia berpapasan dengan Natasha yang berniat untuk turun. Melihat adiknya, Natalie menyapa cepat dan meneruskan larinya memasuki kamar. Natasha mengangkat bahunya dan dia juga sambil bernyanyi menuruni tangga karena saat itu hatinya juga sedang senang. Marshal telah bergabung didalam klub basket sekolah meskipun putra dan putri memiliki pelatih yang berbeda tetapi hari latihan mereka sama. Dan senangnya bertambah karena nanti malam Marshal akan memintanya untuk menemani pemuda itu membeli beberapa perlengkapan.

Natalie menghempaskan tubuhnya diatas ranjangnya seraya menatap buku bersampul merah itu yang dipegangnya tinggi-tinggi di udara. Senyum masih menghiasi wajahnya dan sambil berguling dia mulai melembari halaman pertama. Dia mulai untuk mempelajari kosakata pada abjad A dibantu oleh smartphonenya untuk mendengar pengucapan tiap kosakata. Dia ingin segera bisa menghapal dan mengucapkan kata per kata bahasa Perancis itu. Bukan karena dia ingin mendapatkan hadiah dari Ali tetapi lebih tepatnya dia ingin bertemu kembali dengan pria dingin itu.

Dan malam itu sebelum dia merebahkan dirinya, Natalie berdiri tepat ditepi balkonnya. Senyumnya terlihat manis menaungi wajah ayunya ketika dia menatap balkon diseberangnya yang terlihat tertutup. Tapi dia tahu bahwa pemilik kamar itu sudah berada didalam kamar itu. melalui cahaya yang tampak dari gorden pintu balkon. Didalam pelukannya masih berada buku kamus bersampul merah itu. sesaat sebelum memasuki kamarnya, Natalie bergumam lirih. "Met tidur kak Ali".

Dari jarak yang tidak terlalu jauh itu Ali berdiri disisi pintu balkonya. Jarinya menyibak sedikit gorden pintu itu dan sepasang matanya menatap sosok mungil berambut hitam yang berdiri dibalkon setengah lingkaran itu. Pantulan cahaya lampu yang putih terang menimpa sosok anggun itu sehingga Ali dapat melihat cukup jelas wajah gadis remaja itu. Seolah matanya bersirobok dengan sepasang mata bening itu membuat Ali menekan pelipisnya. Lama dia menatap Natalie hingga gadis itu membalikkan tubuh dan masuk kembali kedalam.

Barulah Ali menyibak gorden dan membuka pintu balkonnya sehingga udara malam kota Jakarta menerpa kulitnya. Udara malam terasa dingin namun terasa segar. Ali bersandar di kusen pintu dengan sebelah kaki menyilang. Dia merogoh saku jeansnya mengeluarkan bungkus rokoknya, mengambil sebatang dan melempar bungkusnya dilantai. Dia menyulut ujung rokok itu dan menghembuskan asapnya ke udara lepas tepat pintu kamarnya terbuka.

Ali melirik Marshal yang masuk ke kamarnya dengan wajah penasaran. Alis hitamnya yang tebal terangkat naik melihat Marshal menutup pintu kamarnya dan melangkah mendekat. Ali tersenyum tipis seraya melepas rokok dari sudut bibirnya.

"Tidak mengetuk pintu dulu, Shal?"

"Apa yang kamu lakukan, Bang?" Marshal bertanya tanpa mendengar ucapan Ali. Wajah tampannya yang belia terlihat memerah membuat tanpa sadar Ali melebarkan senyumnya. Marshal menjadi dongkol setengah mati melihat senyum itu. "Jangan tersenyum mengejek seperti itu!" tudingnya masam.

Ali menunjuk batang hidung adiknya dengan masih terselip batang rokoknya yang berasap. "Apa yang sudah aku lakukan padamu?" tanya Ali halus. Meski kadang Marshal membuatnya jengkel, namun rasa sayang Ali amat besar terhadap adiknya yang bandel itu.

Marshal merasa sangat kekanakan saat itu sehingga membuatnya berdehem untuk mengubah sikapnya didepan kakaknya yang cool itu. Soalnya dia ingat siang tadi sudah mendesak abangnya dengan pertanyaan yang sama."Nata!"

Kini Ali ternganga mendengar jawaban singkat Marshal. Dia menunda mengisap rokoknya dengan membungkuk mematikan benda itu di asbak yang terletak diujung kakinya. "Nata? Ada apa dengan anak itu?"

"Apa ada yang terjadi di kamarmu saat berduaan dengan Nata?" demi Tuhan, ayolah bang! Wajahku sudah panas seperti kompor gas, dalam hati Marshal mengeluh. Tapi dia memutar bola matanya saat melihat wajah bingung Ali. "Maksudku...apa kamu tidak mengganggunya...eeee..seperti menciumnya atau apalah!" Marshal mempercepat kalimatnya sebelum menunduk.

Sejenak Ali tidak mengerti maksud perkataan Marshal namun perlahan dia memahami maksud adiknya. Tanpa dapat dicegah lagi dia terbahak. Marshal mengangkat wajaahnya dengan rasa bingung yang luar biasa. Dirasakannya bahwa Ali mengacak rambutnya sambil menurunkan sedikit pandangannya agar tatapan mereka sejajar.

"Tadi siang kamu sudah bertanya. Aku bukan pria mesum, Marshal Aditya". Ali tersenyum tipis dengan tatapan matanya yang tajam yang membuat adiknya mengangguk berulang kali. Ali melepaskan tangannya dari rambut Marshal dan membalikkan tubuhnya. "Lagipula Nata hanyalah remaja baru tumbuh sama sepertimu".

Marshal tersenyum lebar dan meninju pelan bahu lebar Ali. "Lega deh dengar kalimat itu darimu, Bang".

Ali menoleh Marshal sekilas dan mendengus pelan. "Sesuka itukah kamu dengan Nata?" tiba-tiba ada rasa ingin tahu yang besar melanda hatinya untuk mengetahui sedalam apa perasaan Marshal terhadap gadis berambut panjang itu.

Dengan wajahnya yang berseri bersama senyum lebar itu, Marshal menjawab cepat membuat Ali terpaku. "Suka. Suka sekali sama Natalie. Mungkin bisa dikatakan aku jatuh cinta, Bang".

Deg! Tanpa disadari oleh Marshal, Ali menyentuh dadanya yang seketika berdenyut nyeri. Tapi dengan tenang dia menepis semua rasa aneh yang mulai menggerogoti hatinya. Dia bersikap acuh dan merespon asal. "Tapi Tasha sepertinya naksir kamu".

Bola mata Marshal membesar dan dia menepis dugaan Ali dengan tawa konyolnya itu. "Tasha? Dia persis seperti teman laki-laki. Dia jago basket dan aku juga suka sama dia. Dia teman main yang asyik". Lalu Marshal menatap Ali lebih lekat. "Kalau kamu, Bang? Tidak inginkah kamu mencari pacar lagi?" kemudian dia terdiam saat menerima tatapan setajam silet dari sepasang mata kelam Ali.

Marshal mengibaskan kedua tangannya dan cepat-cepat berkata. "Mama bilang dia cemas kamu belum mendapatkan pacar lagi sejak kejadian 5 tahun lalu. Mama khawatir Bang Ali belum bisa melupakan Mbak Dewi..."

"Cukup!"

Marshal terdiam mendengar bentakan Ali. Dia melihat bahwa abangnya itu mengepalkan tinjunya dan sebelum dia mendapatkan amarah Ali, dia segera mundur ngacir dari kamar pria itu setelah mengucapkan maafnya.

Ali mengetatkan rahangnya dan menekan kepalannya pada dinding kamarnya. Dia menghembuskan napas berat dan mengusap wajahnya yang terasa kaku. Dewi! Nama itu seolah membuka kembali luka lamanya. Membuka celah yang selama ini ingin ditutupnya. Sepotong nama itulah yang membuatnya merasa tidak perlu jatuh cinta pada gadis manapun. Sepotong nama itulah yang membuatnya tidak mempercayai yang namanya cinta. Yang membuatnya berhati dingin dan sinis. Yang membuat hatinya hambar dan memilih untuk lebih mencintai pekerjaannya.

"Dasar bocah tengil", omel Ali pada Marshal. Dia menarik pintu balkonnya karena dia sudah kehilangan mood untuk menikmati suasana malam itu. sejenak dia menatap balkon yang berada diseberangnya. Cahaya lampu kamar dibalik pintu tertutup itu terlihat remang.

Mimpi apa kamu malam ini, Nata? 

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

9.8M 636K 30
"Jadi gini rasanya di posesifin sama ketua genk?" -Naya Arlan dirgantara, ketua genk Pachinko yang suatu malam pernah menolong seorang gadis, sampai...
29.2M 2.5M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
ZiAron [END] By ✧

Teen Fiction

7.8M 734K 69
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. TERIMAKASIH] _________________________________________________ (16+) Hanya kisah kedua pasang...
13.8M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...