Broken Home

By amandaadeline

2.6M 173K 15.4K

Anak manapun pasti tidak menginginkan orang tuanya berpisah, sama halnya dengan Rachel. Rachel juga tidak men... More

Prologue
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
27
28
29: [END]
attention
unsteady
Sesa

26

50.8K 3.3K 188
By amandaadeline

"Obstacles are put in your way to see what you want is really worth it for."
Anonymous

•••

Edward merubah posisinya menjadi posisi duduk. "Ellena? Untuk apa kamu telepon saya?"

Ellena tertawa licik di seberang sana. "Saya hanya memberitahu kalau anak anda ada bersama saya. Dia akan aman jika anda menuruti perintah saya. Dan anak anda akan celaka bahkan anda tidak akan melihatnya lagi jika anda melapor pada polisi dan tidak menuruti perintah saya. Saya akan melepaskan anak anda jika perusahaan milik anda di ubah menjadi atas nama saya."

Dan Ellena memutuskan sambungan teleponnya. Ia berdecak kesal. Rahang serta pundaknya mengeras. Dadanya bergemuruh. Tangan kirinya mengepal kuat-kuat. Tak habis pikir dengan mantan istrinya yang sudah gila itu. Ia tidak dapat berpikir bagaimana caranya mengakali masalah ini. Otak serta hatinya sudah terlebih dahulu memanas. Menyulitkan dirinya untuk berpikir jernih.

Rio yang sudah mencari Rachel dan bernasib sama seperti Edward yakni ia tidak menemukan gadis itu. Hampir semua tempat sudah ia jelajahi. Termasuk tempat yang sering di kunjungi Rachel. Namun percuma saja, karena nyatanya, Rachel sekarang sedang berada di dalam gedung tua yang jauh dari kota ini.

"Gimana Om? Rachel udah ketemu?"

Edward menggeleng lemah sebagai jawaban. Rahangnya mengeras. Punggungnya merosot. Otaknya masih terus berputar, mencari jalan keluar dari masalah ini. Ia tidak mungkin memberi perusahaan yang sudah ia rintis susah payah untuk wanita itu. Tapi ia juga tidak mungkin membiarkan anak semata wayangnya harus celaka.

Rio membuka suara, "Yaudah, aku cari Rachel lagi ya Om. Semoga kali ini ketemu."

"Tidak perlu. Ini sudah terlalu malam, lebih baik kamu pulang Rio. Terimakasih kamu udah bantuin Om cari Rachel," sanggah Edward dengan cepat.

Rio tersenyum pahit mendengar nada sedih dalam kalimat itu. "Nggak papa, Om. Biar saya cari Rachel sampai ketemu."

"Tidak perlu, Rio. Kamu pasti lelah karena mencari Rachel seharian. Biar kita lanjutkan mencarinya besok. Kamu lebih baik istirahat, Ibumu pasti mencemaskanmu," ujar Edward seraya menepuk pundak Rio.

Rio tersenyum tipis. "Oke. Saya pulang dulu ya, Om."

Edward membalasnya dengan anggukan kecil seraya melambaikan tangan ke arah Rio yang kini sudah hilang bersama mobil sport miliknya.

Edward membanting tubuhnya di kasur. Tangannya terulur mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Ia melonggarkan dasinya yang terikat kencang.

Edward tak sanggup membayangkan jika wanita itu menyiksa putrinya, ia mengerang kencang di buatnya. Membayangkannya membuat dada Edward seperti di hujami ribuan tombak secara bersamaan.

Ia tidak akan membiarkan putrinya di siksa oleh wanita itu. Oh jangankan menyiksa, melukainya saja ia tidak akan tinggal diam. Sungguh, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi pada putrinya.

Bi Ima datang dengan secangkir teh hangat di tangannya. Edward yang melihat itu pun mengisyaratkan untuk menaruh teh itu di atas meja. Mengetahui itu, Bi Ima langsung menaruh teh buatannya di atas meja tanpa berkata sepatah kata pun.

Bi Ima pergi dengan perasaan sedih melihat Tuannya sangat kacau seperti itu. Yang lebih membuatnya sedih adalah, Rachel yang sudah ia anggap anaknya sendiri hilang.

Edward menyesap teh hangat buatan Bi Ima. Rasa hangat langsung terasa di kerongkongan. Namun teh ini tidak dapat menghangatkan hatinya yang terlanjur membeku.

Matanya menatap langit-langit kamar yang berwarna keemasan. Otaknya masih terus berpikir apa solusi yang tepat untuk masalahnya kali ini.

Setelah berpikir sangat lama, Edward menemukan solusinya. Ia tersenyum puas seraya mengambil ponsel yang berada di sampingnya. Ia membuka aplikasi Messages dan mulai mengetikkan sesuatu disana.

Edward kembali membaringkan tubuhnya yang sudah sangat lelah ini. Dan tak terasa, dirinya sudah terlelap bersama angin yang berhembus tenang.

•••

Tepat pukul 8 pagi, Edward sudah siap dengan pakaian kerjanya. Kali ini bukan kantor tempat tujuannya, melainkan gedung tua tempat dimana Rachel berada. Disana, ia akan menyerahkan berkas-berkas perusahaan dan Ellena akan menyerahkan putrinya sebagai gantinya.

Edward berjalan menuju parkiran. Disana sudah ada Rio dan kedua pria orang berpakaian serba hitam yang tengah menunggu dirinya. Edward mengisyaratkan mereka bertiga untuk segera memasuki mobil.

Ketiganya segera memasuki mobil. Namun kedua pria yang wajahnya tertutup topi hitam itu masuk lewat bagasi mobil yang cukup luas. Sedangkan Rio duduk di sebelah kursi kemudi. Dengan cepat Edward memacu mobilnya keluar dari pekarangan rumah.

Setelah Ellena memberitahu alamat gedung tua itu, Edward segera memacu mobilnya menuju alamat tersebut. Hanya keheningan yang menyelimuti mobil tersebut. Rio dan Edward sama sama tidak membuka suara. Rio memegangi koper berisikan berkas-berkas perusahaan Edward dengan kencang sampai-sampai tak sadar tangannya berkeringat.

"Apa Om yakin?" tanya Rio seraya menatap Edward yang tengah sibuk dengan jalanan di hadapannya.

Edward menatap Rio sekilas lalu berkata, "Om tidak pernah seyakin ini," ujarnya penuh keyakinan.

Rio tak pernah melihat Edward seyakin ini. Ia pun hanya mengangguk dan merapalkan doa semoga semua rencana ini akan berjalan sukses tanpa kendala apapun.

Mobil yang di kendarai Edward mulai menyusuri jalanan bebatuan. Di sebelah kanan dan kirinya hanya terdapat pepohonan yang tinggi menjulang. Edward sesekali melirik GPS karena jujur, ia tidak tau menau tentang tempat ini. Bahkan ia baru pertama kali datang ke tempat ini. Tempat yang bisa di bilang terpelosok dan jauh dari keramaian. Wajar saja lelaki super sibuk seperti Edward tidak mengetahuinya.

Terlihat gerbang tua yang tak terurus berada di kanan jalan. Edward sudah menduga bahwa di situlah tempat dimana Rachel di sembunyikan. Dan dugaannya benar karena GPS menunjuk tempat itu.

Dengan cepat Edward memarkirkan mobilnya di halaman tersebut. Ia melihat sekeliling gedung tua itu dengan lamat-lamat. Cukup menyeramkan, pikirnya.

Ia tidak bisa membayangkan Rachel berada di dalam gedung tua itu seorang diri. Membayangkannya membuat dada Edward seperti di hujami ribuan batu kerikil. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena dirinya lagi-lagi Rachel harus menanggung semua ini. Semua ini salahnya.

Edward menginterupsi Rio dan kedua orang–yang tidak di ketahui namanya itu– sebelum benar-benar keluar dari mobil miliknya.

Edward keluar dari mobilnya dengan langkah santai sembari memegang koper yang berisikan berkas-berkas penting perusahannya yang nantinya akan di berikan kepada Ellena.

Ellena tersenyum licik tak jauh dari tempat Edward berada. Edward semakin mendekat dengan langkah yang semakin mantap. Tak berapa lama, kedua wanita suruhan Ellena keluar bersama dengan Rachel.

Tubuh Edward kaku saat melihat Rachel dengan penampilan yang sangat menyedihkan. Wajahnya pucat pasi serta kusam, rambutnya sangat berantakan, baju putih yang ia kenakan sudah berubah warna menjadi kumal, matanya sayu karena semalaman ia tidak tidur dan tubuhnya terlihat sangat kurus. Rachel terlihat sangat menderita.

Edward mengepalkan tangannya melihat Ellena menarik kasar tubuh Rachel untuk lebih dekat dengannya. Terlihat, Rachel tersenyum kecil kearah Edward. Edward tahu, di balik senyuman itu ada rasa sakit yang di derita Rachel. Edward menatap Rachel dengan teduh, berusaha menguatkan gadis itu lewat tatapannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Ellena tersenyum penuh arti saat Edward berada tepat di hadapannya. Ia berkata, "Akhirnya kau datang, honey. Sudah lama kita tidak bertemu. Jujur, aku sangat merindukanmu tentang ki–"

Ia menatap kesal ke arah Ellena. "Cukup! Saya tidak ingin berbasa-basi. Langsung saja pada pointnya," potong Edward cepat.

Ellena berjalan mendekat lalu menyentuh bahu Edward dengan lembut. "Jangan terburu-buru, sayang. Kita bahkan belum bernostalgia betapa bahagianya kita dahulu."

Edward segera menepis tangan Ellena dengan kasar. "Cukup Ellena!" ujar Edward yang jengah dengan kelakuan mantan istrinya itu.

"Baiklah. Saya akan memberikan anakmu dan kamu memberikan berkas-berkas perusahaan itu."

Rachel menggeleng, mengisyaratkan Papa untuk tidak menyetujui permintaan Ellena. Ia menatap nanar ke arah koper yang sedang di pegang Edward. Di dalam koper itu terdapat bekas perusahaan Papanya, perusahaan yang sudah susah payah di bangun oleh Papanya. Rachel tidak ingin Edward merelakan perusahannya demi dirinya. Ia tahu Edward sangat bekerja keras untuk perusahannya itu, ia tidak ingin membuat semua kerja keras Papanya sia-sia karena kini ia memberikan perusahannya itu kepada Ellena. Dan itu karena dirinya.

Edward menyodorkan koper yang berisi berkas-berkas perusahaan itu ke hadapan Ellena bersamaan dengan itu Ellena melepaskan cekatannya pada Rachel. Ellena meraih koper itu dengan cepat dan Rachel segera mendekat ke arah Edward.

"Kamu gapapa sayang?" tanya Edward yang terlihat sangat khawatir. Ia memegangi kedua lengan Rachel, memastikan bahwa Rachel baik-baik saja.

Rachel mengangguk ragu dan berusaha tersenyum lebar. Ia tak sanggup menahan gejolak hatinya untuk memeluk sang Papa. Sedetik kemudian ia sudah berhambur ke dalam pelukan Edward. Hangatnya pelukan Edward membuat Rachel sedikit tenang.

Rachel menangis di dalam pelukan Edward. Tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat pasi. "Maafkan Papa yang tidak bisa menjagamu, sayang. Maafkan Papa. Papa janji kejadian ini tidak akan terulang lagi," bisik Edward.

Rachel melepas pelukannya. Mata coklat hazel miliknya langsung bertemu dengan mata hitam pekat milik Edward. "Papa kenapa memberi perusahaan itu kepada Ellena karena Rachel? Perusahaan itu sudah Papa bangun dengan kerja keras Papa. Rachel gak mau usaha Papa sia-sia karena Rachel. Perusahaan itu sangat penting, Pa." Rachel menunduk, satu persatu air matanya menetes dan akhirnya jatuh.

"Rachel lebih penting buat Papa. Perusahaan itu bisa di bangun lagi. Tapi Rachel tidak. Papa lebih baik kehilangan perusahaan daripada harus kehilangan putri kecil Papa." Edward segera memeluk tubuh mungil Rachel yang masih bergetar. Hati Edward cukup lega karena sekarang Rachel sudah berada di sisinya. Ia mengecup puncak kepala Rachel dengan sayang.

"SIALAN! KAMU MEMBOHONGI SAYA EDWARD!" teriak Ellena. Rachel dan Edward sontak melepas pelukannya dan menatap Ellena yang tangannya sudah terlebih dahulu di borgol.

Rachel membelalakan matanya, sedetik kemudian ia menatap Edward yang sedang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan.

"BAJINGAN!"

"LIHAT SAJA, AKU AKAN MEMBALASNYA NANTI. CAMKAN ITU!"

Beberapa menit kemudian mobil polisi datang untuk menjemput Ellena. Di detik berikutnya, ia bersama kedua anak buahnya itu segera masuk ke dalam mobil dengan kedua tangan terborgol. Rio berjalan menuju tempat Rachel dan Edward berdiri, tangannya memegang koper dan segera menyerahkannya kepada Edward.

"Om berterimakasih banyak sama kamu, Rio. Kamu sudah banyak membantu Om," ucap Edward dengan tulus. Kemudian ia melanjutkan lagi, "Sebagai ucapan terimakasih, bagaimana kalau malam ini kita makan malam bersama?" tawar Edward.

Dengan senang hati Rio menerimanya. Lagipula, ia pun tidak ada acara lain. Ia tidak mungkin menolak rejeki nomplok seperti ini.

Rio mengangguk mantap. "Boleh, Om."

•••

"Gimana makanannya? Enak?" tanya Edward sesaat melihat Rio yang sudah menghabiskan makanannya.

"Enak banget, Om," jawab Rio cengengesan. Edward tersenyum sedangkan Rachel hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum geli melihat kelakuan Rio.

Namun memang benar, makanan yang di hidangkan Bi Ima sangat enak. Tidak bisa di pungkiri Rio pun sempat bingung ingin mencicipi yang mana dulu karena semuanya menggugah selera. Mulai dari sate ayam, ayam goreng, ikan bakar, rendang, dan makanan khas indonesia lainnya.

Jika perutnya terbuat dari karet, mungkin ia akan menghabiskan seluruhnya. Sayang, perutnya memiliki kapasitas terbatas. Jika masih di paksakan, ia khawatir perutnya akan meledak.

Ia membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu kala Edward membuka suara. "Sepertinya, Om harus ke kamar. Ada pekerjaan yang harus om selesaikan. Rio ajak Rachel keluar. Tapi di sekitar rumah saja," cerocosnya.

Rio mengangguk. "Siap, om."

Edward berdiri dari duduknya dan mengedipkan sebelah matanya pada Rachel lalu berlalu menuju kamarnya.

Rachel memutar bola matanya. Ini pasti akal-akalan Papa, batinnya.

Rachel berjalan mendahului Rio menuju kolam renang yang berada di halaman belakang. Rio mengikutinya dengan berjalan di belakang Rachel. Suasana berubah canggung saat mereka berdua duduk di samping kolam renang dengan jarak yang cukup dekat.

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

"Hel."

"Yo." panggil mereka bersamaan. Mereka bertatapan namun di detik berikutnya tawa mereka pecah. Menertawakan diri mereka yang lagi-lagi berucap sama.

"Lo nggak di apa-apain kan sama wewe gombel itu?" tanya Rio.

Rachel tau persis kalau wewe gombel yang di maksud Rio itu tak lain dan tak bukan adalah Ellena. Rachel pun menggelengkan kepalanya, matanya terfokus pada kolam renang. Berusaha menormalkan degup jantungnya . Ia tidak pernah merasakannya saat sedang bersama orang lain, ia hanya akan merasakannya saat ia sedang bersama Rio.

Apakah ini yang namanya jatuh cinta?

"Rachel?" panggilan Rio membuat Rachel kembali ke dunia nyata.

"Eh iya? kenapa?" tanya Rachel lalu tersenyum kikuk.

Rio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya menggeleng. "Mending lo istirahat aja, hel. Udah malem juga."

Rachel tersenyum tipis, namun Rio tidak melihatnya. "Lo mau pulang?" tanya Rachel polos. Entah kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya. Pertanyaan yang terdengar sangat konyol.

Tangan Rio terulur mengacak rambut Rachel gemas. "Yaiyalah, hel."

Rachel cemberut, terlihat sangat menggemaskan di mata Rio. "Kan kirain mau nginep," belanya.

"Yaudah, gue pulang dulu ya," pamit Rio sebelum memasuki mobilnya.

Rachel mengangguk. "Hati-hati."

•••

a/n: masih ada yg mau baca cerita ini? MAAFKAN aku lama bgt updatenya huhu. aku gantung berbulan-bulan sorry bgt:( awalnya aku udh gaada niat lanjutin cerita iniblg tp akhirnya berubah pikiran krn aku pikir syg banget. yaudah deh di lanjut jdnya. maafkan ya kalo part ini aneh krn jujur aku juga lg hiatus tp aku paksain nulis demi kalian. semoga ga mengecewakan ya part ini. happy reading!

Continue Reading

You'll Also Like

298K 10.4K 51
#32 in Teen Fiction 😊 #376 in teen Fiction #430 in Teen Fiction #797 in Teen Fiction Kisah seorang gadis yang mempunyai keluarga yang broken home...
14.4K 413 84
Rasa yang masih ada pada hati yang sama, teruntuk orang yang sama. • • • • Semoga QOUTE ini mampu mewakili perasaan kalian, terkhusus untuk orang yan...
2.5M 61K 200
Pikiran,rasa,uneg-uneg Tuangkan semuanya dalam sebuah karya. Tuangkan,apapun itu,jauh lebih baik daripada memendamnya. Sindiran dari beberapa situs d...
156K 7.8K 92
Book ini berisikan semua curhatan tentang kalimat yang tidak bisa ungkapkan secara langsung.