Pagi-pagi. Saatnya berangkat ke tempat kerja masing-masing.
"Ingat: hari ini kita harus lebih teliti," kata Sakura serius, sambil memakai topi seragamnya. "Sekarang kita sudah tahu: Pangeran Takumi tidak mati. Dia benar-benar ada di Fukui. Dan, sepertinya, tidak mengenal Evaliot lagi."
"Iya—tapi bagaimana bisa?" tanya Higina sangsi. ""Sang Pangeran hanya mengelak, Sakura."
Genma meliriknya sambil tertawa pelan. "Yang itu sudah dibicarakan kemarin, Milady. Turuti saja apa katasi pengantar pizza," katanya ringan. Sebelah sepatu converse pun melayang ke arahnya.
"Iya, tapi..." Tabitha yang sedari tadi diam, kini bersuara. "Tidak ada kemungkinan seorang—maksudku tiga orang—pengendali—maksudku pengatur pernikahan—bertemu dengan pemuda yang baru berumur 175 tahun di tempat kerja," sambungnya. "Rasanya... ada yang salah sejak awal."
"Kecuali ketika suatu saat Takumi menikah dengan manusia," ujar Rira datar. Yang lain menoleh.
"M-menikah?" Ayumi terkejut.
Semua orang terdiam. Sampai akhirnya Sakura menepuk-nepukkan tangannya.
"Kembali ke intinya, teman-teman: mencari Pangeran Takumi tidak sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Saat kita mendapatkannya, bawa Pangeran pulang ke hadapan Raja dan Ratu. Bagaimana pun caranya."
***
Jadi ini yang namanya Miraculous Wedding, pikir Aya. Kelihatannya lumayan juga.
"Hei," sapa seorang pria yang sedari tadi menunggu di depan pintu kaca, wajahnya berbinar begitu melihat Aya. Takashi, tunangannya. Aya hanya tersenyum sembari membiarkan pria itu memeluk bahunya erat.
"Hei. Sudah lama di sini?" tanya Aya hangat.
"Tidak. Baru saja," pria itu mengangkat bahu. "Tapi kita harus cepat. Mereka sudah menunggu di dalam."
Takashi membimbing Aya memasuki bangunan Miraculous Wedding. Beberapa pegawai terlihat keluar masuk gedung, berbicara di telepon sambil berjalan terburu-buru. Orang-orang Fukui seperti biasa. Kebanyakan dari mereka sangat gila kerja.
"Sekitar jam 1 nanti aku perlu mampir ke kedai Tuan Fukuda, Takashi. Err... yang fanatik terhadap segala sesuatu berbau Italia itu," celetuk wanita itu tiba-tiba. Diliriknya Takashi yang sedang memerhatikan kertas yang ditempel di dinding. Entah tata tertib atau hanya jadwal pulang pegawai.
"Oh ya? Buat apa?" tanyanya santai. Ia mengantar tunangannya ke ruang tunggu—berupa satu set sofa dan meja di sudut ruang resepsionis. Dari tempat ini terlihat pintu-pintu di lantai atas berlabel 'staff only'.
"Memesan pizza, tentu saja. Langsung di antar ke rumah. Untuk adikku," jelas Aya. Suaranya agak merendah begitu mengingat Ame. Ada rasa iba sebagaimana kakak pada umumnya, tetapi, hei, Aya 'kan bukan psikiaternya.
Kedua pasangan tersebut menunggu sekitar beberapa menit ketika terlihat tiga orang pegawai, kelihatannya orang-orang yang dipilih untuk mengatur pernikahan mereka, memasuki ruang tunggu.
"Ohayou gozaimasu, eh—bonjour!"
Salam yang konyol bagi seorang wedding organizer membuat Aya dan Takashi berbalik, mengamati tiga orang pegawai tersebut dengan lebih jelas. Dua orang laki-laki dan satu orang perempuan, lebih tepatnya. Si perempuan tersenyum kepada keduanya, tetapi senyumnya ceria seperti... anak-anak. Paling tidak remaja.
"Ini bukan Prancis, Tabitha," komentar salah satu pria berambut merah. Pandangannya teralih pada Aya dan Takashi. "Selamat datang, Tuan Naharu dan Nona Matsuzaki. Senang bisa membantu Yang Muli—ehm. Anda."
Pria satunya, berambut cokelat gelap, bersikap lebih tenang dibanding dua partner-nya, menambahkan dengan nada kalem. "Sekarang, bisa kita mulai di sini atau di tempat lain saja?"
Perempuan itu tersenyum elegan kepada Takashi dan Aya. Kelihatannya sudah kembali menjadi wanita dewasa; kekonyolan 'bonjour' di awal percakapan melenyap. "Bagaimana kalau dimulai dengan perkenalan singkat? Iya 'kan, Haz—maksudku Ri—maksudku... Genma?"
***
"Aku berani sumpah akan ada yang mengejutkan hari ini."
Sachiko Obana, wanita 33 tahun yang sudah lama bekerja di kedai Tuan Shino, bergumam kepada dirinya sendiri sementara ia mengepak pizza-pizza yang akan dikirim ke segala penjuru Fukui. Ia bergumam tentang hal itu setiap hari—akan ada yang mengejutkan hari ini. Seperti angin ribut atau apalah.
Sementara itu, musik lembut mengalun dari pengeras suara yang dipasang di sudut-sudut ruang pegawai sebagai hiburan. Kebanyakan rekan-rekannya sedang bertugas mengantarkan pizza. Salah satu pegawai yang masih tinggal di sana adalah Sakura, sedang membersihkan debu dari topi seragamnya.
"Kau kelihatan santai sekali. Senang karena Tuan Shino jatuh cinta pada cara kerjamu?" tanya wanita itu sinis.
"Tidak," jawab Sakura singkat. Ia bahkan mengangkat wajah dan menautkan alisnya. "Aku malah tidak santai sama sekali. Tugasku di sini belum selesai."
"Terserahlah," Sachiko menghela napas. Rekan kerja barunya ini sangat aneh. Terkadang, kosa katanya tidak memiliki arti sama sekali. Beberapa sulit dimengerti. Di satu sisi, wanita ini terlihat anggun dan berpendidikan. Kenapa dia malah jadi pengantar pizza?
"Apa kau pernah melihat seorang laki-laki... umurnya 175 tahun, bersayap emas, dan memiliki tanda lahir di bawah mata kanannya yang bersinar di bawah sinar matahari?" tanya Sakura tiba-tiba. Perkataannya langsung mencuri perhatian beberapa pegawai dan tukang servis yang lewat di dekat mereka.
Sachiko menghentikan pekerjaannya. "Di mana ada laki-laki seperti itu? Dasar gila," wanita itu menjawab dengan kasar. "Nah, apabila ada sesuatu yang mengejutkan hari ini, maka hal itu adalah kau."
Rekan di sebelahnya hanya menggeleng-geleng. Sakura mulai menyisir rambut oranye keemasannya dengan tangan—dan entah dari mana rambut itu bergerak-gerak, seolah tertiup angin. Padahal tidak ada angin hari ini.
Wanita itu menghela napas dalam-dalam. "Baik. Begini saja: apa kau pernah melihat laki-laki berumur 17 atau 18 tahun, kurang lebih 5cm lebih tinggi dariku, bermata teal pucat, dan memiliki warna rambut yang tidak dimiliki manusia?" tanya Sakura lagi. Kali ini dengan pengucapan lebih lambat dibanding sebelumnya.
Sachiko terdiam sebentar. "Ah, yang ini lebih masuk akal. Tapi sepertinya aku tidak pernah lihat, dear." Dan kali ini, intonasinya jauh lebih sopan dibanding yang tadi. "Memang ada desas-desus di televisi soal laki-laki bercat rambut yang—entahlah, mungkin mirip dengan yang kau cari—tapi itu sudah lima tahun lalu. Aku juga tidak terlalu memerhatikan berita akhir-akhir ini," katanya sambil lalu. "Siapapun dia, orang itu pas dengan seleraku. Aku suka laki-laki yang mengecat rambutnya."
Lima tahun lalu, pikir Sakura. Tepat saat Pangeran Takumi hilang! "Tapi, Obana-san," tegurnya. "Yang aku cari ini... dia tidak mengecat rambutnya. Namanya Takumi, dan aku perlu menemuinya. Aku dan teman-temanku."
"Pembicaraanmu kembali tidak masuk akal," gerutu Sachiko. "Sudahlah. Saatnya jalan. Setelah itu, kalau ada perlu, aku ada di toko di ujung jalan. Aku akan ada di sana setelah mengantar pizza," katanya. "Perhatikan omonganmu. Nonsense. Sayonara, Hayai-san," dan dengan itu, dia berjalan keluar sambil membawa satu pak pizza di tangannya. Mengantarkan mereka pada alamat yang dituju.
***
Berpasang-pasang manusia.
Higina tersenyum sembari menata buket-buket lili di etalase toko. Berpasang-pasang manusia, laki-laki dan perempuan... Yang laki-laki memberikan pasangannya mawar, yang perempuan mengajak pacarnya ke kafe. Atau tempat yang disebut mall itu. Atau bahkan makan cokelat bersama.
"Istirahatlah beberapa menit, Kaijou-san," tegur sang pemilik florist, Nyonya Miharu. Higina tidak melihatnya sejak pertama kali ia menjalankan shift. "Hari ini jamnya Shimura. Kau bisa keluar sampai waktumu tiba." Wanita itu melirik jam mungil yang dilingkarkan di tangannya, yang belum pernah dilihat Higina. "Sana."
"Baik, Nyonya," balas gadis itu dengan enggan. Ia merasa konyol memanggil seseorang dengan sebutan "nyonya". Wanita yang lebih tinggi kedudukannya dari Higina hanyalah sang Ratu. Namun, ditinggalkan juga bangku tempatnya duduk selama shift berlangsung dan keluar dari bangunan florist.
Udara di luar lebih buruk dibanding di dalam florist. Sinar matahari dan asap buang kendaraan membuat dunia tampak seperti dilapisi kabut; mobil-mobil berlalu lalang membuat pandangannya pusing. Di mana ia bisa menemukan Pangeran Takumi? Sejauh ini banyak orang menghampiri florist dan tidak ada satupun dari mereka yang mirip sang pangeran.
Mungkin Higina bisa bertanya. Tidak ada salahnya mencoba.