Reconciliation

By MarsHeaven

1M 67.1K 5.2K

Trust takes years to build, seconds to break and forever to repair. Dia kembali hadir dalam hidupku dan akhir... More

5. Titik Balik
11. Pengakuan
12. Luka yang Kembali Terbuka
13. Alasan Pergi
14. Bimbang
15. Goodbye
Bagian 16 - Pulang
17. Sulit Melepaskan dan Memaafkan
18. Luapan Emosi 1
18. Luapan Emosi 2
19. Rujuk
Kuis RC
20 - Honeymoon 1
20 - Honeymoon 2
21. Pecah
22. Semak Membara - 1
22. Semak Membara 2
Pengumuman
Pengumuman Lagi
23.1 Berani Memaafkan
23.2 Berani Memaafkan
24
25
26
Q and A
Jawaban Q and A

9. Re-post Keputusan

23.2K 1.6K 81
By MarsHeaven

Maksudnya aku bilang marathon kemarin adalah aku akan upload cerita teratur, bukan seharian terus langsung tamat. Diusahakan aku update 2 hari sekali yah. akunya masih lumayan sibuk. tapi tetep aku sempetin update.

yang kemarin nanyain aku kenapa udah nggak nyantumin lagu lagi di setiap partnya, alasannya adalah karena banyak yang sekarang make begitu tiap kali upload cerita. dan biasanya, biasanya nih kalau mulai banyak yang latah begitu aku nggak suka #peace. ngeselin yah, biarinlah aku emang ngeselin kok.

Mulai part kemarin cerita ini akan berbeda dari cerita dulu yang pernah di upload. aku udah mulai nemuin ciri khas dari tulisanku :), dan RC ini mengikuti alur cerita seperti cerita2ku yang lain. Jadi kalau pada nanya kok beda sama yang dulu, emang beda. Kali ini lebih apa yah, hmmm lebih dalam dan kompleks.

Seperti tahun2 sebelumnya mau ngucapin selamat ulang tahun buat @drediajeng, 11 years and still counting Dre. Seneng punya sahabat kayak kamu, kita sering banget berantem, sering banget beda pendapat tapi sering dan cepet baikan juga. Kamu orang pertama yang mengerti jalan pikiranku, orang yang ngerti apa yang aku mau tanpa harus aku katakan. Wish all the best for you... always.

enjoy

_______________________________________________________________

Mendapat penolakan dariku, bukannya menjauh Rey malah makin mendekat. Saat dia mengulurkan tangannya, aku kembali mundur beberapa langkah. Bertahun-tahun berlalu, namun aku masih belum bisa melupakannya. Bayiku harusnya bisa hidup, bayiku harusnya di sini tertawa bersama adik-adiknya. Tapi, dia tak ada di sini, dia pergi. Dia pergi karena aku tak menginginkannya, dia pergi karena aku menyalahkannya.

"Kejora," Rey mengulurkan tangannya menghapus airmataku. Aku menepis tangannya kasar. Melihatnya berdiri di depanku sekarang, membuatku mengingat hari kelam itu.

Dia menatapku sedih, kemudian tiba-tiba bertanya "Anak-anak nggak sekolah?"

"Mereka libur hari ini."

"Apa rencana mereka hari ini?"

"Aku mau ajak mereka belanja bulanan."

"Aku boleh ikut?"

"..."

Rey akan kembali mengatakan sesuatu namun terhenti saat langkah-langkah kaki bergerak cepat menuruni anak tangga. Si Kembar sudah turun.

"Mama!" teriak mereka bersamaan.

"Kata Mbok Nah hari ini kita mau diajak belanja bulanan?"

"Terus kata Mbok Nah kita boleh ikut ke toko. Beneran Ma?"

Aku mengangguk. Mereka memang sangat suka jika diajak belanja bulanan karena bisa main kereta dorong dan memilih snack-snack kesukaan mereka sendiri.

"Nanti aku boleh minta beng beng-nya banyakan Ma, kemarin aku cuma dibeliin dua bungkus." Luce mulai membujukku untuk membelikan makanan favoritnya.

"Aku mau banyakin Taro aja." Luys menimpali.

"Nggak boleh, mama tetap bakalan beli sama kayak biasanya."

"Yah... mama... tambahin." Rajuk mereka bersamaan.

"Nggak boleh. Kalau kebanyakan nggak bagus buat kalian. Mandi gih mama buatin sarapan dulu."

Muka mereka langsung cemberut. Tapi walaupun kesal, mereka tetap menuruti permintaaanku. Dengan langkah berat mereka berjalan ke halaman belakang, tempat mereka biasa mandi sambil bermain-main.

"Om Rey ngapain di sini?" Suara terkejut salah satu diantara mereka mengalihkan perhatianku. Sejak tadi aku melupakan keberadaan Rey karena terlalu asyik bicara dengan si kembar.

Rey berjalan menghampiri mereka, menurunkan tubuhnya agar tinggi mereka sejajar. "Om mau main sama kalian."

"Yah... kita mau ikut mama belanja sama ke toko jadi nggak bisa nemenin Om. Eh bentar aku tanya mama Om boleh ikut apa nggak?" Luce mendekatiku, "Ma...Ma... Om Rey boleh ikut kita nggak? Kasihan Om Rey, kan ke sini mau ketemu kita tapi kitanya kan mau pergi sama mama. Boleh ikut yah ma?"

"Mama kan mau kerja sayang."

"Iya mama kerja terus kita main sama Om Rey. Nggak pa-pa kan Ma?"

Si Kembar terus memaksa, hingga membuatku akhirnya memberikan anggukan setuju. Mereka meloncat-loncat kegirangan, Rey juga melebarkan senyumnya saat melihatku menganggukkan kepala.

Saat aku membuat sarapan Rey membantu Si Kembar mandi. Dari dapur aku bisa mendengar teriakan dan tawa mereka. Rey ikut sarapan bersama kami setelahnya, dia juga membantu Si Kembar berpakaian. Selama itu aku terus mengabaikannya, beberapa kali dia mencoba mengajakku bicara, namun aku hanya menjawabnya dengan gelengan atau anggukan.

*****

"At... tack, Om ambilin yang itu, yang ukuran besar. Iya yang itu, ambil dua kan Ma?"

"Hmm..." aku bergumam, Luys sedang meminta Rey mengambil detergen.

"Punya mama udah semua?" Luce mendekatkan dirinya pada Luys untuk melihat daftar belanjaan yang sudah aku catat. Hampir saja dia jatuh dari kereta dorong, aku sampai harus memegang tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Udah. Sekarang giliran kita. Ayo Om dorong lagi, kita ke tempat makanan." Luys menepuk-nepuk tangan Rey memintanya agar mendorong kembali kereta dorong belanjaan.

Si Kembar gembira sekali karena bisa menaiki kereta dorong tanpa gantian. Biasanya aku hanya memakai satu kereta dorong, jadi mereka duduk di dalam kereta dorong bergantian. Tapi sekarang, karena ada Rey kami bisa menggunakan dua kereta dorong. Luys ada di kereta dorong yang Rey pegang sedang Luce bersamaku.

Karena mall baru buka jam sembilan pagi, kami ke Twins terlebih dahulu. Begitu sampai Twins Si Kembar langsung menjadi tour guide dadakan. Mereka menjelaskan semua jenis kue yang aku jual juga semua makanan dan minuman favorit mereka.

Aku meninggalkan keduanya bersama Rey. Mereka bermain di playground yang memang sengaja aku siapkan untuk tamu yang membawa anak-anak. Dari ruang kerjaku aku bisa melihat semua yang mereka lakukan. Rey terlihat sudah terbiasa bermain dengan mereka, kadang mereka tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka bicarakan.

"Ma lapar, makan dulu yuk Ma." Ajak Luce.

"Iya nanti abis belanja kita langsung makan. "

Mereka tertawa senang. Begitu masuk ke area snack, tawa mereka makin kencang. Bengbeng dan taro menjadi pilihan pertama mereka. Seperti biasa mereka merengek-rengek agar aku membelikan lebih banyak, yang tentu saja aku tolak. Aku tidak mau mereka terlalu banyak memakan makanan seperti ini, tidak baik untuk kesehatan.

"Biasanya kamu hanya sendiri nemenin mereka?" Rey bertanya pelan padaku.

"Hmmm..."

"Nggak repot?"

Aku menggeleng.

"Sampai kapan kamu akan menjawab ucapanku hanya dengan mengangguk, menggeleng terus menggumam."

"..."

Aku menolak menjawab ucapannya, lalu megalihkan perhatianku pada Si Kembar. "Nggak boleh Orea, kalian udah ambil Bengbeng." Larangku, saat diam-diam Si Kembar memasukkan Oreo ke dalam kereta dorong.

"Ya Mama..." mereka cemberut " Togo boleh?"

"Nggak boleh!"

"Masa cuma Taro sama Bengbeng. Kita mau Oreo."

"Kalau mau Oreo, Nutellanya mama ambil."

"Ihh... mama nanti kita makan roti bakar sama apa?"

"Sama Oreo."

"Nggak enak!"

"Oreo apa Nutella?"

Mereka memayunkan bibirnya, sebelum kemudian menjawab lirih, "Nutella." Jawab mereka bersamaan.

Saat mereka menaruh kembali Oreo di tempatnya, Rey tertawa. Dia tertawa senang, hingga membuat kami menatapnya penuh keheranan. Tak berapa lama rasa heranku bertambah dengan keterkejutan saat tangannya dengan santai mengacak rambutku gemas.

"Kamu nggak berubah." Ucapnya dengan penuh senyum.

Terlalu shock dengan sikapnya, membuatku hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Setelah mengacak rambutku, Rey berjalan lebih dulu dengan Luys dan kereta dorongnya, tawanya masih terdengar. Si Kembar yang tidak tahu apa yang terjadi bahkan ikut tertawa.

"Ma buruan kejar Om Rey." Luce menepuk tanganku pelan. "Om Rey udah jauh Ma, buruan kejar." Tambahnya yang aku balas dengan anggukkan ragu-ragu.

*****

Kami makan di salah satu restauran jawa favorit kami di mall ini, Si Kembar sangat suka nasi goreng jawa yang mereka jual. Sedangkan aku sangat suka nasi gudegnya. Pelayan restaurannya sudah akrab dengan kami karena kami bisa datang beberapa kali selama sebulan.

"Mba Jora mau pesan seperti biasa?"

"Iya."

"Kalau mas-mas ganteng ini mau nasi goreng sama kayak biasanya juga."

"Iyaaaa...." Angguk keduanya semangat.

Sang pelayan wanita berpaling pada Rey, saat itu wajahnya langsung memerah. Dengan malu-malu dia bertanya, "Bapak mau pesan apa?"

"Nasi goreng sama seperti pesanan mereka."

"Minumnya?"

"Es teh manis!!!" jawab Si Kembar kompak.

"Ditunggu pesanannya."

Si Kembar kembali ribut, kali ini yang jadi bahan keributan mereka adalah lebih kuat siapa spiderman atau superman. Karena sudah terbiasa melihat keduanya seperti itu, aku hanya diam memerhatikan mereka dengan tangan menopang dagu. Aku tidak pernah ikut campur, biasanya setiap kali aku mengeluarkan pendapat tentang perdebatan mereka, akan berakhir dengan "mama cewek jadi nggak ngerti" . Sudah sangat lama, aku memilih diam saat mereka ribut dan baru mulai buka suara saat ditanya.

"Apa mereka selalu seperti ini?" tanya Rey lirih.

"Hmmm...."

"Kamu pasti kerepotan."

"Mana mungkin membesarkan anak sendiri repot. Lagipula aku mencintai mereka sepenuh hati."

Jawabanku membuat Rey langsung menoleh padaku, aku juga melakukan hal yang sama. Matanya menatapku lekat tanpa berkedip. Entah berapa lama kami terus saling menatap seperti ini, tatapan kami terputus saat pelayan tadi membawa makanan pesanan kami.

"Silakan dinikmati."

"Terima kasih." Si kembar kembali menyahut bersemangat.

Dengan gerakan canggung aku langsung menggeser piring-piringnya ke arah Si Kembar. Tanganku bergetar. Beberapa kali telur yang coba aku ambil dari atas nasi goreng mereka gagal aku ambil. Begitu telurnya berhasil aku ambil, aku langsung memisahkan kuning telur dari putih telurnya dan mengembalikan putih telurnya kembali ke piring Si Kembar.

"Om nggak suka kuning telur juga?" tanya Luys saat dilihatnya Rey memisahkan kuning telur dari putihnya.

"Iya."

"Sama dong kayak kita. Kita juga nggak suka kuning telur rasanya aneh." ujar Luys seraya mengangkat bahunya geli, matanya mengernyit lucu.

"Oh yah... lalu apa yang kalian suka?"

"Ice cream. Apalagi rasa coklat."

"Terus ayam goreng buatan mama. hmmm... rasanya enak."

"Kalau yang nggak kalian suka?" tanya Rey, rasa ingin tahunya terlihat jelas.

"Aku nggak suka wortel" jawab Luce cepat

"Aku juga sama, wortel rasanya gak enak." ujar Luys menambahkan.

"Kalau Om, Om suka apa?"

"Om suka putih telur, tapi om nggak suka ice cream. Om nggak terlalu suka makanan manis. Om juga suka ayam goreng, tapi udah lama banget Om nggak pernah makan lagi."

"Kenapa?" tanya mereka, lagi lagi bersamaan.

"Om pernah makan ayam goreng yang rasanya sedikit aneh."

"Sedikit aneh? maksud Om rasanya berantakan? Om mesti nyobain ayam goreng buatan mama, rasanya enak banget. Mama mau kan buatin buat Om Rey?"

"hmm...apa?" tanyaku kebingungan saat tiba-tiba Luce bertanya padaku.

"Mama mau kan buatkan ayam goreng buat Om Rey, Om Rey suka ayam goreng tapi udah lama nggak makan lagi, gara-gara terakhir makan rasanya berantakan."

"Berantakan?" Aku menoleh pada Rey, menatapnya penuh tanya "Bukan berantakan kali, cuma rasanya kurang enak."

"Berantakan, warnanya hitam, rasanya asin, bentuknya nggak jelas." jawab Rey geli.

"Tapi setidaknya masih bisa dimakan." sahutku kesal.

"Memang masih bisa dimakan, tapi setelah itu perutku sakit seharian."

"Benaran Om?" tanya Luce, yang dijawab Rey dengan anggukan. "Om sampai harus bolak balik toilet berkali-kali dan manggil dokter."

"Kamu nggak manggil dokter!" ujarku kesal.

"Aku manggil dokter! Harris datang ke kantor hari itu dan memeriksaku."

"Bohong! kamu hanya makan sedikit. Bisa saja itu dari makanan lain."

"Aku bisa memastikan hari itu aku hanya memakan ayam goreng buatanmu."

"Jadi yang buat ayam goreng berantakan itu mama?" tanya Luys. Saat itu kesadaranku langsung kembali, sejak berdebat dengan Rey, aku lupa masih ada si kembar bersama kami.

"Mama udah kenal Om Rey lama?" Luys kembali bertanya.

"Nggak. Bukan begitu maksud mama..."

"Tapi tadi Om Rey bilang mama yang buat ayam gorengnya."

"Om Rey nggak pernah bilang begitu" sahutku kesal. Tidak tahu harus mengatakan apalagi pada si kembar, beruntung Rey mengalihkan pembicaraan.

"Boleh aku ajak mereka main hari ini?"

"Sebelum jam empat sore aku janji mereka sudah pulang." Lanjutnya, tahu aku akan menolak permintaannya. "Mereka akan aku jaga dengan baik." Tambahnya.

Dia mengatakannya dengan tatapan mata penuh permohonan. Padahal Rey yang dulu aku kenal tidak pernah memohon, dia selalu memaksa. Rey yang dulu tidak pernah meminta izin, dia akan melakukan semua keinginannya tanpa pernah mau susah-susah bertanya.

"Kejora?"

"Antarkan mereka tepat waktu." Ucapku lirih.

"Terima kasih" Rey mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh seolah apa yang aku katankan adalah hadiah paling berharga.

Aku mengajak bicara si kembar "Habis ini kalian main sama Om Rey, jadi anak baik. Mama tungguin di toko, kalau udah selesai main kalian ketemu mama di sana. Okay?"

"Okay!" sahut mereka kompak.

*****

Sudah lebih dari setengah jam aku mondar-mandir gelisah di ruang kerjaku. Sejak memberikan Si Kembar pada Rey tadi pikiranku tak tenang. Harusnya aku minta nomor telepon Rey, jadi aku bisa menghubunginya dan menanyakan keadaan mereka. Bagaimana kalau Rey membawa mereka pergi? Bagaimana kalau Rey memisahkanku dengan mereka? Kegelisahanku berubah jadi ketakutan, tanganku mulai berkeringat.

"Masuk!" seruku, saat terdengar ketukan halus dari arah pintu.

Tak lama kemudian Daniel melongokkan kepalanya "Aku ganggu?" aku menjawab dengan gelengan sambil tersenyum.

"Kenapa wajahmu berkerut-kerut gitu?" tanya Daniel begitu mendekatiku.

"Rey bawa anak-anak dan sampai sekarang mereka belum pulang."

"Kamu tenang aja, Rey nggak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada mereka." kata Daniel.

"Kamu ada nomor teleponnya kan? Tolong hubungin dia, tanyain keadaan anak-anak."

"Ada," aku menghela nafasku lega. "Ini bicaralah sendiri." Daniel memberikan handphone-nya padaku.

"Ya Dan."

Rey mengangkat panggilanku pada deringan pertama.

"Ini aku, Kejora."

"Ada apa?"

Aku mengernyit saat mendengar suaranya yang tiba-tiba terdengar kasar dan marah.

"Aku mau tahu kabar anak-anak."

"Kenapa? Takut aku membawa mereka kabur sampai kamu harus meminta tunanganmu menghubungiku."

"Mereka sedang apa?" tanyaku mengabaikan ucapannya.

"Mereka sedang tidur, sebentar lagi aku bangunin dan balikin ke kamu."

"Terima kasih."

"Begitu sulitkah kamu percaya padaku? Aku sudah berjanji tadi akan membawa mereka pulang."

"Bawa mereka ke toko, aku menunggu di sini. Terima kasih." Balasku, lagi-lagi mengabaikan ucapannya.

Aku menghela nafasku frustasi, bicara dengan Rey tidak pernah mudah. Saat aku menoleh pada Daniel dia sedang tersenyum memerhatikanku. Wajahnya terlihat lelah.

"Kamu apa kabar?"

"Baik, setelah ketemu kamu." Lingkaran matanya membesar, dia terlihat pucat dan berantakan.

"Kamu udah makan?"

"Belum, makanya aku ke sini. Ayo temenin aku makan." Ajaknya, dia meraih tanganku dan menarikku agar berjalan di sampingnya.

Kami makan siang di restauran sederhana tidak jauh dari Twins, letaknya tepat di pinggir pantai. Dari tempat kami duduk kami bisa melihat indahnya Pantai Senggigi dengan jelas.

Aku pikir kami akan merasa canggung satu sama lain setelah apa yang terjadi. Tapi ternyata tidak. Kami masih sama seperti sebelumnya, tetap bicara ringan dan bersahabat.

"Aku minta maaf untuk semuanya, Dan. Apa yang terjadi pasti membuat kita... maksudku kamu nggak nyaman. Tapi, kita sudah tahu hal ini akan terjadi, sekuat apapun kita menghindarinya anak-anak cepat atau lambat pasti akan bertemu papa mereka. Aku mencoba..."

"Aku mencintaimu, Jora,"

Aku membeku.

Tanpa berkata apa-apa, aku mendongak menatap Daniel. Aku tidak bicara ataupun tersenyum.

"Aku tahu ini terdengar konyol. Tapi aku tetap mencintaimu, walau aku tahu statusmu. Aku tetap mencintaimu." Dengan tenang Daniel meraih tanganku dan mengenggamnya erat.

"Kamu tahu Dan, hal terbaik apa yang aku miliki?" tanyaku seraya meremas genggaman tangannya lembut.

"Anak-anak." Jawabnya yakin, yang aku jawab dengan gelengan.

"Bukan, kamu... kamu hal terbaik yang aku miliki" jawabku sambil tersenyum. "Kamu segala hal terbaik yang pernah aku harapkan. Selalu...." lanjutku.

*****

"Mama!"

Aku menoleh dan menemukan Si Kembar tengah digandeng Rey. Sejak kapan mereka di sana. Daniel mengusap pipiku perlahan, cepat-cepat aku mengusap airmataku tidak mau mereka melihatnya.

"Kapan datang sayang?"

"Dari tadi," jawab Luce cemberut. "Kita manggilin mama sama daddy dari tadi tapi nggak nengok-nengok."

"Baju kalian bagus?" tanyaku saat mereka makin dekat.

"Om Rey yang beliin, baju kita basah.Tadi kan kita berenang di hotelnya Om Rey, Ma. Om Rey ngajarin kita berenang. Tadi sih masih pake pelampung, kata Om Rey kalau kita udah bisa gerakin kaki bener baru boleh nggak pake pelampung." Kali ini Luys yang menjawabnya.

"Kamu nggak marah hanya karena aku membelikan mereka baju kan?" kata Rey ketus, matanya melihatku dan Daniel tajam.

Aku menggeleng pelan, dari sudut mataku aku melihat Daniel yang nampak tidak nyaman.

"Daddy kapan datang?" Luys mendekat pada Daniel.

"Belum lama, ini baru selesai makan sama mama. Seru mainnya hari ini?"

"Seru!"

Daniel mengacak rambut keduanya bergantian, "Daddy pergi dulu, ada janji lain." ujarnya kemudian, Daniel hanya melirik Rey sekilas, mengabaikannya.

"Kalian terlihat mesra. Benar-benar pasangan romantis." Rey bicara saat Daniel mulai menjauh dan Si Kembar sudah berlari-lari kecil, asyik bermain.

Aku menatapnya sengit, entah kenapa semua kata yang keluar dari mulut Rey tidak ada yang enak di dengar.

"Maaf aku tidak mengabarimu." aku terhenyak, kata maaf bukanlah kata-kata yang akan dengan mudah Rey ucapkan "Ini kartu namaku, ada nomor teleponku di sini. Lain kali hubungi aku dengan handphone-mu sendiri, jangan handphone orang lain." Aku menerimanya tanpa bicara.

"Sebaiknya kamu pergi." aku memanggil Si Kembar. "Anak-anak ayo pamit dulu sama Om Rey, Om Rey mau pulang." Rey mengernyit tidak suka. Karena aku terang-terangan telah mengusirnya.

"Dadah Om... makasih bajunya."

"Sama-sama." Rey berjongkok tepat di depan mereka dan memeluk mereka bersamaan.

Setelah itu dia berdiri dan berjalan menghampiriku. "Ini," dia mengulurkan kantong berlogo salah satu toko mainan terkenal. "Aku beli buat mereka, tapi mereka tolak. Mereka bilang kamu nggak suka kalau mereka menerima barang dari orang lain." Aku menerima kantongnya, "Padahal aku papa mereka, tapi mereka menganggapku orang lain." Ucapnya ketus.

*****

Kebiasaanku setiap malam adalah menidurkan Si Kembar sambil membaca buku cerita. Kadang kami hanya saling menceritakan hal-hal apa saja yang telah kami lakukan seharian. Biasanya aku membutuhkan waktu satu jam sampai akhirnya Si Kembar benar-benar tertidur lelap.

"Ma...aku suka Om Rey." ujar Luys saat aku menyelesaikan buku cerita yang kubaca.

"Aku juga, Om Rey baik." timpal Luce. "Kenapa papa gak pernah datang Ma?" pertanyaan polos itu membuatku takut dan gemetar, sudah lama mereka tidak pernah menanyakan keberadaan Papa mereka.

"Kok tumben tiba-tiba nanyain papa?" tanyaku seraya membelai kening mereka lembut.

"Kemarin pas di sekolah Om Rey kan nungguin kita sampai selesai, Ma. Kata ibu-ibu masa muka Om Rey mirip banget sama aku dan Luys. Tadi pas diajak Om Rey main juga banyak yang bilangin begitu, kita dibilang anaknya Om Rey." Hatiku terasa teriris. Kemiripan mereka memang begitu kentara. "Papa nggak sayang kita yah Ma?"

"Papa sayang kok sama kalian," ucapku hampir terisak.

"Terus kenapa Papa nggak pernah datang? Daddy malah yang sering datang." Luys kali ini yang bertanya.

"Kalian nggak suka daddy datang?"

Luys mendongak menatapku, lalu makin mengeratkan pelukannya. "Kita sayang daddy, tapi daddy bukan papa?" aku terpaku, jawaban Luys menusuk hatiku, benar Daniel bukan papa mereka.

"Sudah malam, kalian tidur besok kan sekolah." Aku perlahan berdiri lalu mencium kening keduanya bergantian.

Setelah mematikan lampu kamar dan memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci aku masuk ke kamarku. Cukup lama aku hanya duduk melamun. Hingga tengah malam aku hanya duduk memikirkan semuanya. Aku sudah membicarakannya dengan Daniel, keputusan sudah aku ambil. Tapi, hatiku masih meragu karena aku takut makin terluka.

Kartu nama yang sejak sore tadi aku terima, hanya aku pandangi. Sekarang sudah tengah malam, mungkin dia sudah tidur. Masalah ini sudah sangat membebaniku. Aku ingin segera menyelesaikannnya, agar aku bisa tenang.

"Halo?"

"Hei."

"Ini aku, Kejora."

"Aku tahu."

Aku benci rasa percaya dirinya, dia menyapaku seolah-olah sudah tahu aku akan menghubunginya.

"Aku ingin kita bertemu."

"Sekarang?"

"Bukan sekarang tapi besok pagi. Sekarang sudah larut, untuk apa aku keluar rumah malam-malam hanya untuk menemuimu."

"Karena kamu merindukanku, kamu bisa menjadikan itu sebagai alasan. Lagian apa salahnya menemui suami sendiri tengah malam."

"Besok kita ketemu di mana?"

"Kamu bisa datang ke suites- ku."

Aku langsung mengingat apa yang dia lakukan beberapa hari yang lalu di suites-nya. Aku tidak mau berada dalam situasi yang sama lagi, jadi aku menolak untuk bertemu dengannya di sana.

"Besok aku datang ke kantormu. Kita ketemu di sana."

Rey tertawa, suara tawanya begitu renyah seolah apa yang baru saja dia dengar merupakan hal yang paling lucu yang pernah dia dengar.

"Kita bertemu besok pagi, di kantorku. Okay."

"Okay."

*****

Rey membuatku menunggu lebih dari satu jam. Sejak kedatanganku tadi, sekretarisnya sudah mengatakan kalau Rey sedang ada teleconference, jadi tidak bisa segera menemuiku. Aku duduk gelisah, menunggunya. Interior ruang tunggu ini membuatku tidak nyaman, sejak aku duduk, aku merasa ada orang yang terus mengawasi gerak-gerikku.

"Bu, silakan masuk. Pak Rey sudah selesai." Sekretaris Rey bicara dengan senyum canggung. Mungkin merasa tidak enak karena telah membuatku menunggu lebih dari satu jam.

"Terima kasih."

"Ibu mau minum apa?"

"Tidak usah, terima kasih." Aku mengangguk padanya dan berjalan ke ruangan Rey yang berjarak hanya beberapa meter dari tempatku menunggu sejak tadi.

Saat berpikir akan segera bertemu dengannya, tubuhku menegang. Walau aku sudah mengambil keputusan dan telah memikirkannya masak-masak, masih ada ketakutan kalau keputusan yang aku ambil bisa saja salah.

Begitu melewati pintu dan melihat Rey sudah menungguku aku makin gelisah dan tak yakin dengan keputusanku sendiri.

"Jadi apa keputusanmu?" tanyanya dingin.

"Sebelum kamu mendengar keputusanku, aku ingin kamu mendengar apa yang akan aku katakan." Aku meremas tanganku gugup. Berbeda dengan Rey yang mengangguk tenang seraya tersenyum tipis.

"Selama ini aku berpikir, anak-anak tidak membutuhkan papanya. Daniel sudah memerankan peran itu dengan baik selama ini. Bagi anak-anak-----"

"Apa hubungan semua ini dengannya!" potong Rey marah.

"Aku ingin kamu hanya mendengarkan ceritaku, setidaknya dengarkan dulu sampai selesai baru kamu berkomentar." Sahutku kesal.

Saat aku mendapatkan anggukan dari Rey, aku kembali melanjutkan. "Bagiku, sosok Daniel sudah cukup untuk menggantikanmu. Daniel menyayangi mereka. Mereka bahkan memanggil Daniel dengan panggilan Daddy."

"Dan memanggilku Om , aku tidak pernah berpikir kamu bisa begitu jahat." tukas Rey sinis.

"Daniel menjaga kami dengan baik, memberikan perlindungan terbaik." lanjutku mengabaikan kritikan tajamnya. "Hal yang mungkin tidak akan aku dapatkan dari orang lain. Bagiku Daniel seperti malaikat yang Tuhan kirimkan untukku. Dia tidak pernah ada diantara kita. Aku baru bertemu dengannya setelah berpisah denganmu, dia baru tahu keberadaanmu beberapa hari yang lalu. Jadi, jangan pernah menyalahkannya."

"Dalam kondisi seperti ini, kamu lebih membelanya. Jadi apa keputusanmu, kamu akan tetap tinggal di sini dan terus bersamanya?" Rey mengumpat pelan, aku cukup senang tidak menangkap seluruh umpatannya. Beberapa kata umpatan terdengar cukup kasar.

"Aku memilihmu." ucapku lirih.

Percakapan dengan Daniel langsung berkelebat cepat.

"Bukan, kamu..... kamu hal terbaik yang aku miliki. Kamu segala hal yang pernah aku harapkan. Selalu." Aku mulai terisak.

"Jora..."

"Untuk itu kamu pantas bahagia, kamu pantas mendapat seseorang yang lebih baik. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa mencintaimu sebesar kamu mencintainya. Kamu pantas mendapatkan itu. Dan orang itu bukan aku."

"Tapi, aku bahagia bersamamu. Aku bahagia dengan kita. Kamu dan anak-anak itu sudah cukup."

"Dan..."

"Kamu hanya perlu berada di sampingku, tak masalah jika kamu tak mencintaiku sebesar aku mencintaimu. Kamu hanya perlu di sampingku, lalu aku dapat melakukan apapun." aku mengulurkan tanganku, membelai rahangnya lembut.

"Aku nggak bisa Dan, aku hanya akan menyakitimu."

"Kamu hanya perlu di sampingku." tetesan air mata mulai menyentuh tanganku. Aku menghapus tetesan di pipi Daniel pelan."Kamu hanya perlu di sampingku. Tinggallah bersamaku. Cukup ada di dekatku. Tidak perlu ada cinta,aku hanya butuh kamu. Hanya kamu....." Aku menggapai tangan Daniel, meremasnya. Daniel terus mengulang kata-kata yang sama hingga aku tak kuasa menahan tangisku lagi.

"Anak-anak membutuhkan papa mereka."

"Aku bisa menjadi apa yang mereka butuhkan. selama ini aku sudah melakukannya."

"Tapi rasanya tak akan sama, Dan. Rasanya tidak akan sama."

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Thanks for read, vote and comment

Mars. 25 April 2016

XOXO

tuheRofiah

Continue Reading

You'll Also Like

236K 17.6K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
1.4M 111K 35
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
4.3M 129K 88
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž π‘©π’†π’“π’„π’†π’“π’Šπ’•π’‚ π’•π’†π’π’•π’‚π’π’ˆ π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’˜π’‚π’π’Šπ’•π’‚ π’šπ’ˆ π’ƒπ’†π’“π’‘π’Šπ’π’…π’‚π’‰ π’Œπ’† 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π’π’‚π’Šπ’ 𝒅𝒂𝒏 οΏ½...
8.8M 109K 44
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...