Brown Eyes

By KeavyCollins

479K 6.1K 159

Usianya baru 30 tahun. Tampan dan gagah. Dia seorang Dokter Orthopedi di Rumah Sakit Orthopedi Nasional. Dia... More

Brown Eyes - Chapter 2
Brown Eyes- Chapter 3
Brown Eyes - Chapter 4
Brown Eyes- Chapter 5
Brown Eyes - Chapter 6
Brown Eyes - Chapter 7
Brown Eyes Chapter 8
Brown Eyes - Chapter 9
Brown Eyes -Chapter 10
Brown Eyes - Chapter 11

Brown Eyes - Chapter 1

72.8K 887 14
By KeavyCollins

Dublin 2014

Chapter 1

Langkah kaki mantapnya menyusuri lorong rumah sakit. Matanya yang dingin menatap lurus ke depan, membuat siapapun yang berpapasan dengannya merasa segan sekaligus terpesona.

Jas putih bertuliskan Carrick National Orthopedic Hospital membalut kemeja garis garis biru putihnya, lengkap dengan tag nama 'Ciarán Egan' yang menggantung di sakunya. Cukup menunjukkan dia seorang dokter meski tanpa embel-embel gelar dokter di papan namanya.

Seorang dokter muda yang usianya bahkan belum mencapai 30 tahun. Seorang perawat menyusulnya dari belakang saat tahu tujuan dokter muda itu.

Mereka memasuki kamar nomer 304 yang ditempati oleh pemuda berusia 18 tahun, bernama Matthew.

Dua minggu lalu ia mengalami patah tulang karena bertabrakan dengan pemain lain saat bermain bola di sekolahnya. Tulang kering kakinya terinjak sepatu sepak bola kawannya. Setelah operasi pemasangan pen pertama, kini bertambah dengan tulang telapak kakinya menjadi bengkok. Dengan pemotretan lanjutan, Sang Dokter muda telah mengetahui apa yang akan dilakukannya.

"Selamat sore..." Senyum hangat langsung tersungging di sana.

"Aahh, dr. Ciegan..., selamat sore, Dok." Sambutan hangat diterimanya.

Ciarán menjabat tangan Tn. O'Byrne, Sang Ayah, dan bertos ringan dengan Matthew.

"Bagaimana kabarmu hari ini...?" Ciarán memeriksa pen di kaki pasiennya dengan seksama tanpa membuat sang pasien bertambah kesakitan.

"Sakit dan tak sabar untuk menunggu Dokter..." Matthew terkekeh renyah menahan sakit.

Ciarán tersenyum. "Baiklah..." Lalu menarik layar transparan yang tersedia di samping tempat tidur pasien, dan menghadapkannya pada mereka.

Ia menekan beberapa tombol, hingga terbuka sebuah hasil foto X-Ray Matthew di layar tembus pandang berukuran 21" itu, yang dapat disaksikan oleh mereka bersama.

"Akibat dari benturan kemarin, membuat bengkok tulangmu yang satu lagi." Ciarán menunjuk gambar di layar yang terlihat jelas gambar tiga dimensi struktur tulang yang tak sempurna, lengkap dengan pen yang masih menempel di sana.

"Lalu? Masih bisa diperbaikikah?" Suara Tn. O'Byrne terdengar cemas.

Ciarán mengangguk tenang dengan tersenyum, "Masih bisa. Hanya sepertinya diperlukan operasi lagi."

Jawaban yang cukup memucatkan pasien dan keluarganya.

"Maaf, tapi kita harus melepas pen yang ini dulu, sebelum memperbaiki yang bengkok ini. Dan untuk menyambungnya kembali, kita membutuhkan cangkok tulang sedikit dari sumsum tulang belakangmu..."

Matthew semakin pucat. "Haruskah...?"

Ciarán mengangguk tanpa ada pilihan lain, "Sebelum tulang ini semakin bengkok, dan memperlambat pemulihan tulangmu yang patah ini. Dan karena kau sudah berusia 18 tahun, kau boleh memutuskannya sendiri."

Matthew terkatup. Diliriknya kedua orang tuanya dengan pasrah.

"Lakukan, Dok, jika memang itu harus dilakukan," putus Matthew.

Ciarán mengangguk, "Baiklah, kita akan buat jadwalnya." Dengan tersenyum tenang.

Ia mengganti foto X ray di layar dengan file laporan pasien. Ia mengetik di sana, dan membubuhkan kode sandi sebagai validasi atas nama dirinya juga sidik jari jempolnya.

Ia beralih pada perawat yang mendampinginya, dengan nama Jacqueline tertulis di tag identitasnya.

"Tolong dipersiapkan semuanya, nanti saya tinggal konsultasi dengan tim bedah lainnya."

"Baik, Dok."

Ciarán mengangguk dan kembali pada pasiennya dengan tersenyum. Wajah pemuda ini sedikit mengingatkannya pada seseorang, terlebih dengan rambutnya yang pirang. Itu sebabnya ia tidak ingin mengecewakan lagi.

"Jangan takut, kami akan memperbaiki semuanya, dan kau akan bisa bermain bola nanti. Mungkin akan butuh waktu, tapi aku jamin, kau akan bisa bermain bola lagi!" Ciarán dengan pasti, yang langsung melegakan mereka.

"Itu yang kubutuhkan, terima kasih, Dok!" Matthew tersenyum senang.

"Sama-sama... Aku akan menengokmu besok sore, oke..."

"Siap, Dok!"

Ciarán mengangguk dan beranjak, kembali berjabat tangan dengan Tn. dan Ny. O'Byrne, sebelum keluar dari kamar.

Ciaran menarik nafas lega, pasien terakhirnya yang harus ia kunjungi hari ini, sebelum ia pulang.

"Saya boleh pulang sekarang, kan?" Ciarán memastikan lagi pada perawatnya, tanpa ada senyum di sana meski dengan suara tenang.

"Boleh, Dok," Perawat Jacq menjawabnya dengan tersenyum gugup.

Ciarán mengangguk, "Terima kasih." Masih dengan wajah tanpa senyum dan emosi. Lalu beranjak meninggalkan lantai ruang rawat inap rumah sakit ortopedi terbaik di negaranya.

Masih terdengar bisik-bisik dari perawat lainnya mengekor di belakangnya, Bahkan tanpa senyum-pun, dia masih terlihat mempesona. Aku suka wajah dinginnya...'– merupakan hal yang tidak aneh ia dengar, dan tak pernah dia meresponnya

Sampai di lobi bawah, langkahnya terhenti dengan seruan bersemangat.

"Dokter Ciegan...!!"

Ciarán berbalik dan melihat seorang gadis dengan tangan kiri terbalut gips, berlari kecil menujunya. Ia mengenalnya sebagaI salah satu pasiennya, bernama Aoife (baca Eva), umur 16 tahun.

Ciarán harus menggips tangannya seminggu yang lalu karena jatuh dari tangga sekolahnya.

"Hey, Aoife." Ciarán menyambutnya dengan hangat meski ada rasa cemas. Seingatnya Aoife baru akan kembali ke rumah sakit dalam dua minggu untuk mengecek gipsnya, bukan hari ini.

"Syukurlah aku bertemu dengan Dokter di sini..." Terengah engah Aoife mengatur nafasnya.

"Ada keluhankah?" Penuh perhatian mata tertuju pada gips hasil karyanya.

Gadis berambut coklat itu tersenyum renyah, "Ah, tidak ada, Dok..., hanya mau minta tanda tangan Dokter di gips-ku..." Dengan mengulurkan tangan yang terbalut gips kering dan keras, sementara tangan kanannya menyodorkan spidol berwarna hitam.

Ciarán tersenyum lega, dan menerima spidolnya. Terlihat sudah ada beberapa bubuhan tanda tangan di sana.

"Ahhh, sudah banyak rupanya..." Ciarán tersenyum renyah.

"Iya, teman-temanku..., tapi belum lengkap kalau belum ada tanda tangan Dokter Ciegan, hehehehe,"

Ciarán hanya tersenyum, "Di mana saya tanda tangannya...?" Dengan mencari spot yang masih kosong.

Tersisa tempat untuknya membubuhkan tandatangannya.

- GWS Aoife –big hug and love , Ciegan -

Aoife tersenyum senang dan puas. "Terima kasih, Dokter ..."

"Dengan senang hati..." Ciarán tersenyum.

"Ok, Dok, sampai ketemu minggu depan..." Aoife menyeringai gugup merah merona.

"Yup, sampai ketemu minggu depan..."

Gadis di hadapannya masih tersenyum gugup, dan dengan cepat memeluknya, mengagetkannya. Ciarán hanya tersenyum dan menepuk pelan.

Hanya sesaat, gadis itu langsung melepaskannya dan dengan tersenyum malu berlalu dari hadapannya dengan sesekali mencuri pandang tersenyum malu padanya.

Ciarán masih tersenyum tipis melihat pasien mudanya yang bersemangat.  Hmm mirip dengan Ally.

Ditariknya nafas dalam-dalam, sebelum ia kembali melangkahkan kakinya menuju pintu keluar dan mobilnya.

Memasuki mobil Porche hitamnya, tepat ponselnya berbunyi. Ia langsung menghubungkannya pada layar komunikator mobilnya.

"Selamat sore, Sayaaaanggggg...!!!" Seruan hangat penuh semangat serta wajah yang ia sayangi muncul di layar komunikatornya.

"Sore, Maaa..." Ciarán tersenyum hangat.

"Pulangkah kau malam ini, Nak? Haruskah Maa buatkan Sup Hati Angsa kesukaanmu agar kau pulang, Sayang...?" Ibunya sedikit merajuk.

Ciarán terkekeh dengan rajukan Ibunya, "Nanti malam aku pulang kok, Maa, tapi mungkin agak terlambat sampai rumah..."

"Kau di mana sekarang?"

"Baru mau keluar rumah sakit. Tapi masih ada yang harus aku lakukan sebelum pulang..."

"Ok..." Ibunya tersenyum ringan di layar kominikatornya.

"Ng..., kabar Dadda hari ini, Maa?" Ciarán setengah ragu.

Maureen Egan tersenyum hangat, "Daddamu, hari ini sibuk dengan lagu barunya di studio."

Ciarán terkatup, "Tentang Kelly...?"

Maureen menggeleng tersenyum, "Dia memang belum keluar dari sana sejak pagi..."

Ciarán terdiam perih.

"Tapi jangan takut, Daddamu baik baik saja..." Suara Ibunya berusaha kembali ceria untuk mengalihkannya. "Ci tak perlu khawatir."

Ciarán tersenyum tipis. Dari pengalamannya, Ayahnya sedang menenggelamkan diri dengan kesibukannya, terlebih setelah...

Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk.

"Sampai ketemu nanti malam, Sayang ..."

Ciarán mengangguk.

"Safe drive, baby..., LUV YAAA-MUAH!!!" kemudian menghilang dari layar komunikatornya.

Ciarán tersenyum pada Ibunya sebelum mematikan komunikatornya.

Ditariknya nafas dalam-dalam, sebelum menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah sakit. Ia butuh pergi ke suatu tempat sebelum pulang ke rumah.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 62K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
9.7M 881K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
6.1M 479K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
2.5M 274K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...