[2/3] It's today

By ayamkentaki

92.5K 9.2K 406

Kalau mencintai enggak harus memiliki maka memiliki enggak harus cinta. Iya, kan? More

Prolog.
1
2nd
4
5
6
7
8
EPILOG

3

8K 908 30
By ayamkentaki

Iya. Luna tau dia pernah menangis di kamar mandi kayak bayi.

Iya. Luna tau dia pernah bersumpah akan resign dari Adibrata Group dan mencari pekerjaan lain, seperti saran sahabatnya: Stella.

Iya. Luna tau dia pernah mengusir Adil dan bersumpah mati-matian kalau Luna enggak bakal menambah satu gelar tidak hormat lainnya: selingkuhan.

Tapi, jangan lupa. Luna juga pernah mengaku ia mencintai, ralat, memuja Adil. Adil itu hidupnya. Dan sama seperti yang Adil bilang dua bulan lalu pada Luna: he can live without her, he just don't want to. Luna juga sama. Dia bisa saja hidup tanpa Adil. Clueless dan act like a bitch--gonta ganti cowok, persis seperti apa yang dia lakukan dulu, sebelum Luna cinta mati sama Adil. Tapi, liat apa yang dia lakukan sekarang: she is back to the first square, crap.

Bedanya, sekarang, baik Ari, sahabat Adil yang dulu merupakan satu-satunya orang yang di kantor mengetahui hubungan mereka dan Stella, bekas housemates Luna yang sudah menikah dan pernah double date dengan Adil-Luna, sekarang enggak tahu apapun. Kali ini, Luna dan Adil benar-benar menggunakan kata 'backstreet' dalam artian sebenarnya. 

Sekarang, aktifitas Adil dimulai dari bangun, bersiap-siap, menjemput Luna di apartemen cewek itu baru kemudian mengemudikan mobilnya, sebuah SUV keluaran terbaru--Adil emang paling anti pakai sport car kayak laki-laki kebanyakan--menuju kantor mereka. Luna turun duluan, disusul Adil 4-8 menit kemudian. Kadang, mereka keluar bareng dari mobil kalau seandainya kondisi basement cukup sepi dan mereka sedang malas bersandiwara.

Satu-dua kali, Adil menginap di apartemen Luna. Adil sengaja tidak tinggal bareng dengan Luna, berjaga-jaga kalau Lia akan mengadu pada Ibunya atau apa. Sumpah mati, Adil sama sekali enggak mau Ibunya tau kalau Adil sudah kembali berhubungan dengan Luna. 

Sabtu dan Minggu, kecuali ada janji dengan Ibunya, Adil akan pamit pada Lia untuk bermain golf, renang atau apa saja. Pokoknya alasan-alasan masuk akal yang bisa membuatnya pergi dari rumah dan menemui Luna. 

Hubungan Adil dengan Lia? Sudah membaik. Mereka mengobrol satu-dua kali seminggu. Makan malam kalau sempat, sarapan kadang-kadang dan makan siang kalau keluarga singgah ke rumah mereka. Seperti hari ini:

"Dil, mbak Cintia, Mas Kafka sama Adel mau mampi nanti. Aku siapin makan siang. Kamu ikut, kan?"

Adil hanya mengangguk. "Nanti abis renang aku langsung balik, Li."

Lia hanya tersenyum saja. Lia tidak berpikiran negatif, di kepalanya, ia hanya membayangkan Adil sedang olahraga atau bertemu teman-temannya. Lia bahkan pernah dikenalkan pada Ari, sahabat Adil yang bekerja pada Adibrata group. Selama ini, di mata Lia, Adil masih cukup baik. Tidak pernah memberikan gerakan seperti seorang pervert atau apa. Adil bahkan tampak wajar dan menerima permintaan Lia dengan baik--tanpa membahas apa-apa.

Dan kenapa Luna mau menjabat status selingkuhan, you might ask. Luna sendiri tidak tahu. Yang Luna tahu, bahkan setelah ia usir, dua bulan lalu itu pun, Adil masih tetap kekeuh untuk mendekati Luna. Menungguinya pulang kantor, yang kadang sampai tengah malam itu, meski pada akhirnya Luna lebih memilih naik taksi. Adil juga memastikan Luna makan tiga kali sehari dengan teratur. Adil bahkan menghadiahkan Luna aneka benda-benda lucu: bunga, iPod yang diisi lagu-lagu yang ear catchy dan Luna dengar terus-terusan sampai bosan. Hal-hal remeh tapi berharga seperti itu.

Seperti sekarang ini, meski hanya berstatus selingkuhan atau apalah namanya itu, Adil jelas-jelas lebih memprioritaskan Luna. Adil lebih sering menghabiskan waktu bersama Luna. Bahkan, samar-samar, Luna mulai menyadari kalau Adil sudah mulai berani mengajaknya makan siang. Makan siang! Berbeda dengan sarapan atau makan malam, pada jam makan siang, otak, mata dan semua organ manusia sedang bekerja dengan maksimal. Semua orang bisa melihat dan memberitakan tentang mereka. Tapi, Adil tidak perduli. Coba, bagaimana hati Luna tidak menghangat lalu lama-lama lumer?

"Cintia sama keluarganya mau mampir ke rumah hari ini, Lun," keluh Adil saat Luna bertanya mereka akan makan siang apa. "Kami mau makan siang bareng."

Luna mengerti. Ini salah satu konsekuensi yang harus ia terima. Meski ia dinomor satu kan dibanding dengan Lia, perempuan yang jelas-jelas berstatus istri sah, tapi Luna tetap dinomor duakan dibanding keluarga Adil: Ibunya, Anisa ataupun saudari-saudarinya: Zahra dan Cintia.

Luna mengecup kening Adil, lalu mengangguk. Dia paham. Sangat paham. Semua hal di dunia ini memiliki konsekuensinya tersendirikan? Ini konsekuensi hubungan mereka. Menyembunyikan dari keluarga. Entah kenapa, situasi seperti ini membuat Luna merasa bersyukur menjadi seorang anak yatim-piatu yang tidak begitu diperdulikan keluarga angkatnya. Tidak ada orang yang akan membuat kehidupannya dalam aspek apapun menjadi ribet tidak karuan. Dia hanya melakukan apa yang dia mau. 

Sekarang, mereka sedang melakukan another movie marathon--hal yang paling sering mereka lakukan setiap akhir pekan. Biasanya sabtu diawali dengan olahraga--kadang hanya jogging, kadang renang, kadang bulu tangkis, basket one on one atau apa saja, dilanjutkan nonton DVD yang dibeli tiap jumat malam--dengan aneka genre, hari ini mereka menonton film thriller lalu setelah makan siang, Adil akan menemani Luna belanja mingguan aneka kebutuhan.

"Minggu depan gue mau ke lembang, Lun."

Luna menatap Adil, "trus?"

"Ikut yuk. Mumpung long weekend. Seninnya kan libur."

"Dil, ingat gak getaway terakhir kita berakhir gimana? Kita putus. Mau ngulang lagi?"

Adil nyengir, menampilkan sepasang lesung pipit yang menambah unsur ketampanannya. Lesung pipit yang ada di bawah matanya yang menyipit saat tersenyum itu. "Gue yakin yang ini baik-baik aja."

Luna memutar mata.

"I'll take it as yes, okay?"

Luna cuma mendengus. Adil memang keras kepala. Dan entah kenapa, kadang, Luna menyukai itu. Ada sedikit sisi dirinya yang suka dipertahankan. Ada sisi dirinya yang suka diperjuangkan. Ada sedikit, meski hanya sedikit tapi sisi ini berperan besar, sisi dirinya yang merasa kenyamanan terbesarnya adalah bertahan bersama Adit.

Setelah Black Swan, film yang mereka tonton akhirnya selesai, Adil segera berdiri. Luna memeluknya dari belakang. Tipikal back hug favorit Adil: posesif dan hangat--bukti tak terbantahkan kalau Luna mendambanya sebesar dambaannya pada wanita itu.

Mereka berciuman. Hangat, lembut dan sedikit menuntut.

"Pergi dulu, ya," pamit Adil. Luna tersenyum. 

"Dadah Adil."

****

Lift yang membawa Stella menuju bagian atas apartemen berhenti dengan sempurna. Saat ia keluar dari dalam lift, seorang laki-laki bertubuh tegap dan berwajah rupawan, tanpa melihatnya, masuk menuju kotak lift yang sempit itu. Pintu lift tertutup, membiarkan Stella menatap pintu itu dengan pandangan terperangah--menganga pula.

"Itu... Adil, kan?" Stella masih tidak bisa percaya. Apa yang Adil lakukan di sini? Menemui Luna? Lagi? Luna tidak kehilangan otaknya dan kembali berhubungan dengan suami orang yang satu itu, kan?

Tanpa bisa Stella cegah, kakinya berjalan lebih cepat. Menyongsong pintu apartemen yang ada di sudut lorong. Apartemen kecil yang pernah ia bagi dua bersama sahabatnya: Luna. Sahabat yang kehilangan otak dan akal sehat, tepatnya.

Persetan dengan bel, Stella memilih menggedor pintu apartemen itu dengan sedikit tidak manusiawi. Luna, dengan gusar membuka pintu secara tiba-tiba--wajahnya bahkan nyaris terkena kepalan tangan Stella yang sedang menggedor. 

"Apa, sih, Stel?" sungut Luna. "Kayak Tarzan, tau gak?"

"Tadi gue ketemu Adil," ujar Stella tanpa memperdulikan keluhan sekaligus penghinaan Luna. Luna terdiam. Ia menunduk, seolah lantai tempatnya berpijak semenarik itu. "Lo gak balikan lagi sama dia, kan, Lun?"

"Kalau iya, kenapa?" tantang Luna.

"Astaga, Luna! Dia suami orang!"

"Tapi dia enggak cinta sama istrinya, Stel. Mereka bahkan enggak saling menyentuh!"

"Bukan enggak, Lun. Tapi, belum."

"Ah, fuck off. Dia janji enggak bakal nyentuh istrinya."

"Dan lo percaya? Dia ninggalin lo buat cewek lain, Lun. Dan lo sekarang masih percaya sama dia? What's wrong with your brain, Lun?"

"Shut up!" Luna benar-benar gusar. "Gue tau lo emang teman gue, Stel. Gue tau mungkin maksud lo baik. Tapi, sumpah, ya Stel, bahkan setitik pun, lo gak punya hak buat ikut campur hubungan gue sama Adil."

"Lun, oper your eyes, Lun."

"Enough, Stel. Lo lebih baik pulang sekarnag sebelum gue meledak."

"Lo ngusir gue?" tanya Stella, tidak percaya. "Lo tega ngusir gue, Lun?"

"Tolong pulang, Stel," pinta Luna sekali lagi. Suaranya melemah.

"Fine. Tapi suatu hari lo bakal tau kalau gue benar."

Stella menghilang di balik pintu yang terbuka. Meninggalkan Luna yang hatinya teriris tapi tidak mau menangis--saking sakitnya nyeri yang meremas dadanya. Luna tau. Luna tau konsekuensi yang harus ia terima kalau memaksa hubungan terlarangnya dengan Adil. Tapi, apa Luna bisa menghentikan semua ini? Hatinya sudah terikat--pada Adil seorang. Dan bahkan kalau Luna maupun, ikatan itu tidak bisa lepas.

Dan apa yang dilakukan Stella tadi benar-benar menyakitinya. Bagaimana bisa Stella mengungkapkan kenyataan yang Luna tau pasti tapi mati-matian ia coba tolak itu? Seakan statusnya sebagai selingkuhan belum cukup. Seakan-akan hidupnya belum cukup malang. Kenapa Stella harus melempar pisau langsung ke jiwa Luna?

Continue Reading

You'll Also Like

169K 11.6K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
409K 10.3K 12
SUDAH DITERBITKAN BUKUNE PUBLISHING : Benny the Bear Loves the Quarterback : Book I. © 2024, Cecillia Wangsadinata (CE.WNG). All rights Reserved. NE...
67.3K 10.9K 23
▪︎ COMPLETED ▪︎ ------------------------------------------------------------------------- Ketika sebuah permen menjadi awal kisah cinta Jungwon ...
1.7M 28.6K 7
[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan me...