[2/3] It's today

By ayamkentaki

92.6K 9.3K 406

Kalau mencintai enggak harus memiliki maka memiliki enggak harus cinta. Iya, kan? More

Prolog.
2nd
3
4
5
6
7
8
EPILOG

1

12.5K 1K 29
By ayamkentaki

Muhammad Adil Adibrata, 32 tahun, sudah resmi menjadi seorang suami Camelia Putri, Putri dari keluarga Keandra yang asetnya tidak kalah banyak dari keluarga Adibrata. Pernikahan mereka adalah tipikal pernikahan keluarga kaya. Sengaja mencari sesama orang kaya yang babat, bibit, bebet dan bobotnya jelas supaya harta keluarga yang banyak tidak jatuh kemana-mana lagi tapi kesesama orang kaya.

Masalahnya, pernikahan Adil dan Lia bukanlah sebuah pernikahan impian seperti di buku dongeng. Mereka dijodohkan. Bukan. Bukan karena mereka buruk rupa, sombong atau apa. Tapi, karena keadaan. Adil terpaksa meninggalkan kekasihnya, Luna karena: satu, perbedaan agama dan dua, masalah internal pada tubuh Luna yang membuat kemungkinannya untuk mengandung kecil sementara keluarga Adibrata butuh seorang cucu laki-laki untuk penerus keluarga--mengingat Adil adalah anak laki-laki satunya di keluarga Adibrata. 

Sementara Lia, dia baru saja ditinggal menikah oleh Yusuf, laki-laki yang sangat dicintainya tapi berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda. Yusuf yang sadar diri akhirnya memilih meninggalkan Lia dan tidak berusaha untuk hubungan mereka karena memang ia sadar tak ada yang bisa diusahakan. Kesenjangan ekonomi mereka begitu.. nyata.

Sesuai kesepakatan mereka, mereka tidak akan bersentuhan fisik sama mereka siap. Ralat, sampai Lia siap. Karena itulah permintaan Lia. Adil sebenarnya tidak begitu keberatan karena satu-satunya perempuan yang ada di benaknya adalah Luna. Perempuan yang tadi datang ke pernikahannya dengan pakaian minimalis yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. Perempuan yang rambutnya jatuh halus menutupi bahu malam itu. Perempuan yang senyumnya lembut dan tawanya menular. Perempuan yang mengenakan sebuah cincin berlian di jari manis tangan kirinya--cincin yang seharusnya Adil jadikan cincin lamaran tapi akhirnya berujung menjadi sebuah cincin 'hadiah' biasa.

"Tidur duluan, ya, Dil," pamit Lia yang sudah mengganti kebaya putih cantiknya menjadi sebuah piyama merah jambu tertutup yang senada dengan celana panjangnya. 

Adil dan Lia sepakat mereka akan tidur pisah ranjang. Tapi, tidak sekarang di saat semua orang masih menginap di rumah ini. Itu akan sangat mencurigakan sekali. Apalagi, harusnya mereka sekarang sedang melakukan malam pertama. 

Adil tidak lagi tinggal di apartemen yang dulu dibelinya dengan menabung bertahun-tahun. Sekarang, ia tinggal di rumah bergaya minimalis dan berlantai dua yang ada di Jakarta Selatan ini. Rumah itu memiliki tiga buah kamar--plus satu kamar pembantu. Malam ini, Anisa, Ibu adil dan Zahra, adik Adil menginap. Begitu juga dengan pasangan suami istri Arif dan Sania, Ayah dan Ibu Lia. Mungkin, jika mereka sudah pulang besok, Adil harus memberihkan salah satu kamar, mengisi dengan ranjang yang mungkin dipindahkan dari apartemennya yang sekarang kosong itu dan membawanya ke salah satu kamar untuk dijadikan kamarnya sendiri. Tapi, untuk sekarang? Adil meraih sebuah bantal dan guling beserta selimut yang ketiganya berwarna putih bersih lalu tidur di atas sofa yang ada di sudut ranjang. Dingin. Dan kepalanya dipenuhi Luna.

****

Apartemen ini rencanya akan Adil kontrakkan. Tempat tidur yang tadinya akan dia bawa pulang, tidak jadi ia bawa pulang. Tempat tidur itu dan seluruh sudut apartemen ini, dipenuhi oleh wangi Luna. Masih jelas di benak Adil saat ia pertama kali berciuman--with tongue--dengan Luna di sofa yang ada di ruang tamu itu. Juga ketika mereka pertama kali bercinta di kamar ini. Dengan tempat tidur ini. Juga di kamar mandi. Di sofa. Di dapur. Di mana-mana. Setiap sudut tempat ini dipenuhi bayangan tentang bagaimana cara ia dan Luna bercinta.

Adil menatap frame foto yang masih berdiri di nakas. Foto yang ia tatap di tiap malamnya sebelum tidur--saat ia masih menempati kamar ini. Sudah lebih dari setahun. Tapi, semuanya masih nyata. Sentuhan itu, senyumnya, gerak-geriknya. Bahkan, samar, Adil seolah mendengar tawa Luna, mendengar Luna bertanya, "selai rotinya rasa apa, Dil?" tapi, yang ada hanya kehampaan.

Adil menyerah. Ia harus secepatnya keluar dari tempat ini. Ia harus secepatnya mengenyahkan Luna dari otaknya. Dengan membawa frame foto yang berisi wajah Luna dan dirinya yang terbingkai sempurna, Adil pergi meninggalkan apartemen itu.

****

Dalam 18 bulan terakhir bukan hanya satu atau dua laki-laki yang berusaha mendekati Luna. Bagaimana tidak? Luna itu supel, cantik dan kariernya meroket dengan cepat. Fandi, Raja, Enzo, named it. Luna bahkan enggak bisa menghitung atau mengingat. Kebanyakan hanya bisa Luna terima sebagai teman, date satu-dua kali atau yang paling awet: Adrian. Itupun cuma sempat pacaran dua bulan terus putus.

Gimana caranya bisa mertahanin satu hubungan, saat satu-satunya yang Luna pikirkan cuma Adil, mantan pacarnya yang bahkan sudah empat bulan terakhir menjabat status suami dari perempuan lain? Perempuan yang tampaknya soleha, baik hati dan paling penting: fertil--sehingga dapat memberikan keturunan untuk klan Adibrata.

Gimana juga caranya melupakan Adil saat Luna harus melihat laki-laki itu lima hari seminggu dan minimal delapan jam sehari--apalagi kalau lembur. Oke, laki-laki itu emang enggak benar-benar muncul sesering itu. Tapi, yang namanya satu kantor, pasti yang namanya ketemu di koridor, lobi, stuck di satu lift bareng atau malah harus terjebak di ruang presentasi karena memang tak terhindarkan ya semua kemungkinan seperti itu. Pasti ada, kan?

"Lo kenapa enggak resign aja, sih? Lo masih muda. Mau kerja di tempat lain tuh gampang. Pengalaman lo udah banyak--sebelum di tempat sekarang juga lo udah kerja bertahun-tahun, kan? C'mon, Lun.." Itu komentar Stella, dua minggu lalu saat Luna curhat tentang hidupnya yang superpayah ditemani segelas chamomile untuk Luna dan segelas Earl Grey untuk Stella.

Luna mengedikkan bahu. "Enggak tahu, Stel. Emang salah ya, gue bertahan? Gue cuma mau mandang Adil aja. Gue masih sayang banget. Belom bisa lepas. Meski gue enggak bisa sama dia, buat sekarang mandang mukanya aja, gue rasa cukup. Gue bego, ya, Stel?"

"Banget!" Stella mengucapkan dengan sungguh-sungguh. "Lo ngabisin masa muda lo cuma buat seorang cowok kemungkinan besar emang enggak perduli sama lo."

"Dia perduli, Stel," potong Luna.

"Oh, ya? Tau dari mana lo?"

"Dia masih beliin gue makanan kalau gue lembur..."

"Investasi. Kalau lo sakit, kerjaan divisi lo bisa gak kelar."

Luna menggembukan pipinya. Tampak kesal dengan Stella yang keras kepala. "Dia juga masih sering SMS gue. Dia masih nawarin nganterin gue pulang--walau gue tolak terus and so on."

"Lo masih SMSan sama dia Lun? Lun? Gak lo respon, kan?"

"Mana mungkin enggak gue respon, Stel. Gue sayang banget."

"Liat."

"Apanya?" Luna bingung.

"SMS lo sama dia."

Meski enggan, Luna tetap mengeluarkan ponsel pintarnya dan membuka box SMS. 

Adil: Lun dah tidur?

Luna: Lom. Masih ada kerjaan buat presentasi besok. Napa?

Adil: Gak bisa tidur.

Luna: Iyalah. Malam pertama.

Adil: Lia dah tidur.

Luna: Kesian amat ditinggal tidur.

Adil: Tidur, Lun. Tar sakit.

Luna: Lah ngaca

Adil: Ya udah. Tidur dulu, ya Lun

Luna: Okeeeeeeee

Adil: Lun, tadi gue dari apartemen.

Luna: Troos

Adil: Gue barusan bawa pulang foto kita yang disamping nakas, Lun

Luna: Yang gue nyengirnya aneh itu yak. Masih ada aja

Adil: Gak aneh, kok. Masih cantik.

Luna: Giliran dah jadi suami orang aja, baru tau cara ngegombal. Diajarin istrinya?

Adil: Diajarin keadaan

Luna: Udah ah mau kerja dulu bye mentang-mentang cuti ganggu orang doang ya lo bisanya

Adil: Hehehe met kerja

Adil: Lun mau balik bareng?

Luna: Sama patjar

Adil: Punya emang?

Luna: Punyalah. Gue laku.

Adil: Oh..

Adil: Balik bareng?

Luna: Dianter pacar

Adil: Oh

Adil: Lunch?

Luna: Udah mesen lontong sama OB.

Adil: Ok.

Adil: Pulang bareng? 

Luna: Meeting sampe malem, Diiil. 

Adil: Gue tungguin.

Luna: Gausaaah

Adil: Lun, lo di ruangan kan? Gue beliin hokben.

Luna: Hah, iya.

Luna: Makasi hokbennya Adil

Adil: Tumben gak takut gendut makan karbo malam-malam

Luna: Gak punya pacar, jadi gapeduli

Adil: Lah yang kemaren?

Luna: Dah putus

Luna: MAKASIH ADIL DAH NGANTER PULANG. hehehe gak nyangka ditungguin sampai midnight. langsung tidur ya abis ini

Adil: Selama tidur, Lun.

Luna: Hehehe

Dan seterusnya dan seterusnya yang isinya cuma "pulang bareng" yang enggak pernah Luna terima--kecuali yang satu itu dan ucapan selamat malam yang persis anak SMA baru pacaran sebulan.

"Lun, lo itu cantik, muda, baik hati. Kenapa sih lo enggak nyari cowok lain?"

"Love is blind, sayangku," kilah Luna.

"Love isn't blind. You are stubborn. Jangan main api lah, Lun. Dia itu suami orang."

"So what?"

"Astaga. Sumpah, ya. Brain Surgery tuh benar-benar butuh realisasi. Otak lo rusak."

Iya, Stella benar. Luna butuh operasi otak. Luna butuh otak baru yang daya kerjanya maksimal dan setidaknya bisa membuat dia bukan cuma realistis tapi juga berpijak pada bumi--menghadapi kenyataan.

Kenapa, Lun? Kenapa susah banget ngelupain Adil padahal di luar sana banyak yang lebih cakep, baik dan paling penting: seagama dan mau nerima kondisi Luna yang kemungkinan besar infertil itu apa adanya?

Kenapa malah ngarepin Adil yang jelas-jelas suami orang, beda agama dan membuang Luna karena cewek itu infertil? Dan lebih bodohnya lagi, kenapa Luna masih mengenakan cincin berlian yang diberikan Adil untuk hadiah perpisahan mereka?

Persetan dengan nilai-nilai sekolahnya dan kenyataan kalau dia lulus cum laude. Kenyataannya, Luna emang enggak bisa memakai otaknya dengan rasional kalau hubungannya udah sama Adil, kan? 

Adil.

Adil.

Adil.

Kenapa Luna harus cinta sama dia, sih?!

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 119K 25
[SUDAH TERBIT] Freya memang menyukai Gerald. Namun, dia tidak pernah berekspektasi tinggi, apalagi sampai bermimpi untuk menikah dengan Gerald sepert...
6.3M 575K 48
Beautiful Rose. Cerita klasik, tentang Sean yang jatuh cinta pada tokoh utama wanita. Lalu apa yang membuat Violet membenci mereka? Sean mencampakkan...
4.1M 278K 75
[PRIVAT ACAK - FOLLOW SEBELUM BACA] - Sederhana saja, ini tentang Kanaya dengan segala rasa sakit dan penderitaannya - "Kanaya Belva Anastasya" Gadi...
8.2M 819K 43
Bagaimana rasanya menikah dengan kakak kandung dari sahabat sendiri? Canggung? Menyenangkan? Atau, meresahkan? Begitulah kira-kira yang dirasakan Aya...