A & Z (On Going)

Bởi hanagatayuu77

4.4K 233 17

★☆★ Tinggal serumah, Punya anak yang menggemaskan Saling melengkapi dan berbagi. Pasti langsung berpikir jik... Xem Thêm

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan

Sembilan

377 26 2
Bởi hanagatayuu77

Delight Cafe yang terletak di daerah Kemang menjadi pilihan Aby untuk bertemu Bima dan istrinya. Cafe yang langsung disukainya ketika Bima mengajaknya kemari pertama kali. Bagunan dengan dua tingkat ini mampu membuat Aby ketagihan untuk datang kemari di sela waktu senggangnya.

Delight Cafe terdiri dari dua view, lantai bawah yang dikelilingi kaca transparan sehingga bisa membuat pengunjung melihat pemandangan luar, serta adanya panggung kecil dengan sebuah grand piano hitam di tengah ruangan yang setiap harinya diisi oleh penyanyi cafe untuk menemani mereka, dan jangan lupakan dindingnya yang berwarna peach yang ditempeli stiker-stiker lucu juga kursi dan meja yang di tata begitu apiknya. Sehingga terlihat unik dan tak biasa. Sedangkan lantai atas yang dikhususkan untuk private room bagi mereka yang ingin mengadakan pertemuan keluarga ataupun bisnis.

Aby sangat suka dan kagum dengan semua tatanan desain ataupun arsitektur yang digunakan cafe ini, yang mampu membuatnya nyaman dan betah berlama-lama duduk di sofa merah yang ia duduki saat ini.

Suasana yang tenang dengan ditemani musik yang mengalun dari speaker kecil yang terpasang di pojok ruangan seharusnya mampu membuat wanita itu sedikit lebih rileks, padahal ia sengaja memesan private room agar mereka bisa leluasa bicara.

"Aby.. Aku-"

Aby menghela nafas melihat Zeevana yang terlihat gugup. Wanita yang duduk di sampingnya dengan dress pink pucat polkadot selutut itu berkali-kali meremas tangannya.

"Jangan tegang begitu, Zee. Mereka tidak akan memakanmu."

Zeevana melayangkan pukulan kecil di lengan berotot pria yang kini tengah tersenyum geli sebelum merangkul bahunya.

"Everything will be fine, trust me," mau tak mau Zeevana menganggukan kepalanya melihat tatapan teduh pria di sampingnya.

"Terima kasih kau mau berada di sini, menemaniku," dikecupnya rahang Aby sebagai ungkapan betapa beruntung dan terimakasihnya ia dipertemukan dengan pria seperti Aby.

"Sudah kubilang kan, aku akan selalu di sampingmu, apapun keadaannya."

Zeevana mengangguk disertai senyum simpul mendengar jawaban Aby, perasaannya sedikit lega bisa melihat senyum pria tampan yang saat ini sibuk menggoda Keano.

"Maaf membuat kalian menunggu lama," Zeevana yang mendengar suara Bima ketika pintu terbuka langsung terdiam kaku, sedangkan Aby menoleh lalu tersenyum seraya berdiri dan memeluk pria yang lebih tinggi beberapa inchi darinya.

"Hai Kak-"

"Indri," sahut Indri cepat seraya mengulurkan tangan, menjabat tangan Aby.

"Aby. Ayo duduk," Aby mempersilahkan keduanya duduk di sofa merah seberang meja. Ia pun kembali duduk di sisi Zeevana yang menunduk dalam.

"Zee, kau tidak ingin menyapa kakakmu juga kakak ipar?" bisik Aby tepat di telinga Zeevana. Wanita itu melirik dari sudut matanya jika kedua orang yang duduk di hadapannya kini tengah memperhatikan dirinya.

"Kau tidak merindukan Kakak, Zeeva?" Bima akhirnya angkat bicara, ia tidak tahan dengan situasi tegang saat ini. Duduk diam sembari memperhatikan Zeevana pun tak akan ada hasilnya, wanita itu tidak akan bicara apa-apa jika tidak ada yang memulainya.

"Apa kau juga tidak ingin melihat kakak iparmu dan menyapa calon keponakanmu?" seketika Zeevana mengangkat kepalanya, menatap Bima lalu beralih ke wanita berhijab hijau muda yang duduk di sampingnya, tatapannya turun ke perut besar Indri.

"Jadi benar kau-" Zeevana tak sanggup melanjutkan kata-katanya hanya air mata yang luruh begitu saja, ia bahkan sampai menutup mulutnya dengan sebelah tangan untuk meredam isakan.

Aby dengan tanggap mengambil alih Keano yang tetap diam meskipun sempat menatap Zeevana cukup lama sebelum kembali fokus dengan mainan karetnya.

"Kurasa aku keluar dulu agar kalian lebih leluasa bicara."

"No! Please, stay here, By," Zeevana menatap Aby memohon. Ia tidak mau ditinggal di ruangan itu tanpa Aby.

Aby mengangguk, ia kembali duduk setelah meletakan Keano di stroler. Ia tidak bisa menenangkan gadisnya jika masih menggendong Keano.

"Don't cry, Zee," Aby menangkup wajah sembab Zeevana dengan tangan besarnya, jemarinya mengusap lembut lelehan air mata yang membasahi pipi.

Bima yang melihat bagaimana Aby menenangkan adiknya terpana. Ia tidak menyangka jika Zeevana bisa seterbuka itu dengan orang lain. Seingatnya, Zeevana tidak mudah dekat dengan orang lain selain keluarga dekatnya, bahkan saat adiknya masih sekolah hanya mempunyai beberapa teman saja. Ia merasa menyesal dan gagal karena sempat merasa putus asa mencari keberadaan Zeevana sehingga membuatnya harus menunggu sembilan tahun hingga tiba di hari ini, bertemu adik perempuan satu-satunya.

Bima menoleh ketika merasakan Indri menggenggam tangan kirinya yang bertumpu di paha, ia bisa merasakan genggaman hangat tangan istrinya. Senyum wanita itu sedikit bisa membuatnya merasa tenang.

Bima menghela nafas panjang sebelum kembali menatap Zeevana yang kini memeluk Aby erat seraya menggumamkan kata tidak mau.

"Kau kan sudah janji padaku untuk memperbaikinya, setidaknya cobalah, Zee," Aby menatap Zeevana, memohon.

Bima tidak berpaling sedikitpun, menatap lurus kedua orang yang duduk di depannya. Aby yang sedang membisikan sesuatu ke Zeevana sehingga tak lama kemudian senyum tipis itu tersungging di wajah sembabnya.

"Kalian bicaralah, aku akan ajak Keano jalan-jalan," Aby bangkit dari duduknya, menatap Bima dan Indri lalu Zeevana yang menatapnya sebal. Tangannya bergerak mengusap poni pendek Zee lalu turun ke hidung mancungnya, mencepitnya dengan tekanan ringan yang langsung dihadiahi berupa pukulan di lengan oleh sang pemiliknya.

"Kalau sudah, telpon aku."

Zeevana memperhatikan Aby yang berjalan keluar ruangan dengan mendorong stroler Keano. Ia menarik nafas panjang sebelum menoleh ke arah Bima yang tetap fokus memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.

Bima memperhatikan dalam diam ketika Zeevana berdiri dari duduknya, namun ia langsung terkesiap ketika wanita itu justru menghampirinya bahkan langsung bersimpuh di dekat ia duduk. Indri bahkan memekik kaget.

"Apa yang sedang coba kau lakukan Zeeva?! Bangun!"

"Tidak. Aku ingin meminta maaf padamu Kak, aku bersalah. Tolong, maafkan aku," ucap Zeevana lirih disela isak tangisnya.

Indri merenas tangan Bima pelan, menatap cemas suaminya yang terlihat begitu emosi, ia sangat tidak ingin melihat suaminya lepas kendali seperti beberapa tahun lalu, ketika Ayah mertuanya menyuruh Bima berhenti mencari keberadaan Zeevana.

Namun kekhawatiran itu sirna ketika Bima menarik nafas panjang sembari memejamkan mata kemudian tersenyum ke arahnya. Maka ia pun tersenyum.

Tatapan Bima lurus ke arah Zeevana yang masih bersimpuh dekat kakinya. Melihat adiknya seperti itu membuatnya ikut merasakan betapa menyesalnya atas tindakan Zeevana dulu. Ia bisa melihat ketakutan di mata indah adiknya saat tak sengaja Zeevana menatapnya.

"Bangun Zee, Kakak tidak akan memarahimu. Kau tidak ingin memeluk Kakak? Tidak rindu padaku?" ujar Bima dengan suara tercekat, pandangannya pun mulai mengabur oleh kabut tipis yang membayang dipelupuk mata.

"Zeeva-" tanpa menunggu lagi Bima menyentak lengan Zeevana hingga wanita itu tersentak, mendongak, menatapnya terkejut.

"Dasar anak nakal!" Bima membawa tubuh kurus Zeevana ke dalam dekapan lengan kekarnya. Tangannya mengusap lembut punggung rapuh adiknya. Wanita itu semakin tergugu, ia pun semakin mengeratkan pelukan mereka ketika kedua lengan Zeevana melingkari pinggangnya.

"Kau tahu betapa rindunya Kakak dengan adik nakalku ini, hm? Dan apa kau tahu berapa lama Kakak mencarimu, Zeeva? Sembilan tahun."

"Aku minta maaf, Kak. Maaf," isak Zeevana terbata.

"Rasa bersalah karena tidak bisa menjagamu selalu menghantuiku, kau tahu? Kakak memang bodoh tidak pernah menanggapi keluhanmu dulu sehingga kau pergi dari rumah. Andai dulu Kakak-"

"Tidak. Kakak tidak bersalah, kau yang terbaik Kak. Bahkan hanya kau yang mau mendengarkan keluh kesahku, kau yang selalu menemani dan menyemangati ketika Ayah dan Bunda tidak memperdulikan keberadaanku. Kau yang selalu dan selalu ada," potong Zeevana. Ditatapnya Bima yang menatapnya berkaca-kaca. Dihadapan Zeevana, Bima tidak pernah sekalipun menunjukkan sisi rapuhnya. Bagi Zeevana, Bima adalah malaikat pelindungnya yang kuat. Namun kini, pria itu terlihat begitu bersalah.

"Jangan menangis Kak Bim," pria itu memejamkan mata, merasakan sentuhan tangan mungil Zeevana. Dulu, ketika Zeevana menangis ia yang akan menghapus air mata adiknya, namun kini Zeevana telah dewasa, menjelma wanita dewasa walaupun kekeraskepalaan itu masih ia lihat dalam iris hitam kelamnya.

"Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar panggilan itu," biarpun Adam, Zico dan Zafran memanggilnya Kak Bim namun tetap saja terdengar berbeda jika Zeevana yang mengucapkannya.

"Ya, sangat lama," aku Zeevana membenarkan, air mata kembali mengaliri pipinya.

"Kakak tidak menyangka kalau kau akan jadi wanita cantik seperti sekarang," Bima memperhatikan penampilan Zeevana yang menatapnya tak suka. Wanita itu mencebik, lalu tatapannya beralih ke balik punggung Bima. Seorang wanita berhijab, menatapnya dengan senyuman tulus, dan terlihat begitu anggun dengan gamis yang dikenakannya.

"Kak, bisa kau lepaskan pelukanmu dan kenalkan aku dengan wanita cantik di belakangmu?" Zeevana berucap pelan seraya mengusap pipinya dengan punggung tangan.
Bima menoleh sekilas ke arah istrinya yang tersenyum, lalu menatap Zeevana yang menatapnya berbinar.

Ya Tuhan, betapa aku merindukan tatapan ini.

"Kak Bima."

Bima tersentak mendengar seruan tak sabar Zeevana. Pria itu tergagap, "Oh-"

"Aku kenalan sendiri saja," sela Zeevana seraya duduk di sisi Indri. "Kakak pasti sudah tahu siapa aku yah, tapi aku belum tahu siapa wanita beruntung ini. Kita kenalan dulu boleh yah?" Zeevana tersenyum malu. Ia gugup tentu saja. Pertama bertemu tapi langsung disuguhi adegan drama.

Baik Bima maupun Indri terkekeh geli melihat tingkah malu-malu gadis bersurai sebahu itu. Tak terkecuali Zeevana yang menyadari kegugupannya.

"Panggil saja Indri, kurasa kita sepantaran."

Zeevana menoleh ke arah Bima yang berdiri menjulang di sisinya, pria itu meringis lebar.

"Pedofil."

"Hei, aku dengar itu. Dan aku bukan pedofil, adikku yang manis. Kami hanya terpaut beberapa tahun," ujar Bima tak setuju.

Zeevana mendengus, "Beruntung sekali kau dapat daun muda, Kak," cibirnya melirik Bima. " Seharusnya kau jangan mau dengan pria pemarah ini, Kak," biar bagaimanapun Indri sudah menjadi kakak iparnya, rasanya kurang pantas ia menyebut namanya saja.

"Ingat Zeeva, kau adikku. Jadi sifatmu pun tak jauh beda denganku."

Zeevana menatap Bima sengit karena ucapan telak pria itu.

"Kalian itu kakak-adik, wajar saja kalau sifat kalian mirip bahkan sama," Bima semakin melebarkan senyumnya mendengar istri tercintanya membenarkan kalimatnya.

"Ugh! Kalian benar-benar cocok."

Bima sontak tergelak melihat raut kesal yang ditunjukkan Zeevana. Pria itu menyela di antara kedua wanita tercintanya, masing-masing tanggannya menggenggam tangan Indri dan adiknya. Suasana yang tadinya tegang perlahan mencair.

"Aku bahagia sekali kita bisa berkumpul seperti ini," Bima memeluk kedua wanita itu bersamaan. Senyum bahagia tercetak di wajah tampannya.

"Dan akan lebih bahagia kalau kau bisa pulang ke rumah, kita kembali berkumpul bersama Ayah dan Bunda, Adam juga kakak kembarmu," sambung Bima seraya menatap dalam Zeevana yang juga menatapnya sayu.

"Aku tidak yakin dengan itu, Kak."

"Kenapa? Kau tidak ingin pulang ke rumah? Tidak rindu dengan Bunda?" cecar Bima.

Ingatan Zeevana melayang ke hari di mana ia bertemu tanpa sengaja dengan keluarganya. Bunda menangis dan memanggil-manggil namanya. Penyesalan dan rasa bersalah selalu ada bahkan semakin bertambah. Rasanya begitu sesak memikirkan berapa banyak air mata yang dikeluarkan ibunya untuknya, pasti tidak terhitung lagi.
Ia tidak berani lagi untuk bertatap muka dengan wanita yang telah mempertaruhkan nyawa untuknya lahir ke dunia.

"Bunda akan senang bertemu denganmu lagi Zeeva, beliau begitu merindukanmu," ujar Bima dengan menggenggam tangan Zeevana. Wanita itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menggeleng pelan.

"Aku belum bisa Kak."

"Tapi sampai kapan kau akan lari begini? Kau tahu kan lari tidak akan pernah menyelesaikan masalah," Bima memandang kecewa Zeevana. Ia sudah bisa membayangkan kebahagiaan serta kehangatan keluarga yang dulu pernah ada. Namun sepertinya keinginan itu harus ia tunda.

Zeevana tahu apa yang dikatakan Bima benar, bahkan Aby tak henti-hentinya mengatakan kalimat seperti Bima katakan. Tapi tetap saja rasa takut akan kemarahan ibunya membuatnya mengubur jauh-jauh keinginan itu. Bisa saja Bima mengatakan kalau ibunya tidak akan marah dengannya hanya sebagai pendorong ia agar mau bertemu orang tuanya.

"Aku tahu, kau pasti akan berpikir lama untuk kembali ke rumah. Tapi tolong, Kakak mohon padamu, sekali ini saja temui Bunda. Bicaralah dengannya," Bima mulai mengiba melihat kekeraskepalaan adiknya.

"Kau tidak pernah tahu bukan sejak kau pergi Bunda sering keluar masuk rumah sakit? Memang sakitnya tidak parah, tapi ia terlalu stress memikirkanmu sehingga berpengaruh dengan kesehatannya," Bima teringat masa awal ibunya yang harus dirawat di rumah sakit akibat dehidrasi parah serta asam lambung yang tinggi. Wanita paruh baya itu begitu tak berdaya, sehingga mengharusnya terbaring selama sepuluh hari. Bahkan tak jarang dalam tidurnya memanggil nama Zeevana, atau menangis tanpa sadar.

"Bunda sangat menyayangimu, Zeeva. Beliau mencintaimu dengan segenap cinta yang ia miliki. Begitu pula kami, kakak-kakakmu. Kakak mohon, kesampingkan egomu dan temuilah Bunda walau hanya sebentar. Kakak tidak mau lagi melihat Bunda harus terbaring di ranjang pesakitan seperti dulu," Bima yakin bahwa ibunya pun sama dengannya, menyayangi Zeevana meskipun terlihat tidak perduli dengan anak gadisnya. Ia yakin jika ibunya mempunyai alasan dibalik sikapnya yang terlihat acuh tak acuh.

Zeevana semakin menunduk, bahunya berguncang hebat.
Bima dengan sigap menarik tubuh mungil Zeevana dalam pelukannya, mengusap punggungnya.

"Usia manusia tidak ada yang tahu Zeeva," ucap Bima dengan suara lirih. Pria ini pun menahan tangisnya sedari tadi. Sedangkan Indri sudah tergugu di sampingnya.

"Waktu sembilan tahun Kakak rasa sudah cukup bagimu untuk menyiksa orang tuamu," sebenarnya Bima tidak ingin mengatakan kalimat seperti itu, tapi ia sudah kehabisan akal untuk membujuk Zeevana.

"Apa Kakak harus berlutut dan memohon padamu agar kau mau bertemu dengan Bunda?"

Zeevana melepaskan pelukannya, menatap Bima tak percaya seraya menggeleng keras. Bibirnya bergetar hebat.

"Aku mohon jangan Kak."

"Kalau begitu, temuilah Bunda. Hanya Bunda," kembali Bima membujuk Zeevana.

"Kau hanya perlu menemui Bunda, tidak dengan Ayah jika kau belum bisa memaafkannya," lanjut Bima yang melihat keengganan di wajah adiknya.

Zeevana mengusap air mata yang terus berjatuhan dengan punggung tangan. Wanita itu mencoba menarik nafas, paru-parunya terasa sesak.

"Aku- akan menemuinya. Tapi nanti, tidak sekarang."

"Kapan?!" sentak Bima kesal membuat kedua wanita di sana berjengit kaget. Pria itu berdiri dari duduknya, berjalan ke sana kemari sembari meremas rambutnya gusar.

"Honey..."

"Diam, Ndri," Bima mengangkat tangannya membuat wanita hamil besar itu seketika terdiam. Tatapan teduh yang biasanya Indri lihat setiap menatap mata hitam Bima kini tertutup kabut emosi. Tajam dan dingin.

"Dengar Zeevana Indrajati," Bima mengucapkan mana Zeevana dengan penuh penekanan, sedangakan Zeevana semakin takut melihat tatapan tajam Bima. Zeevana tidak pernah melihat Bima lepas kontrol seperti ini.

"Aku hanya memintamu untuk menemui ibumu, wanita yang melahirkanmu, wanita yang mempertaruhkan nyawanya untuk anak gadis yang sangat ia harapkan kehadirannya. Kau- tidak tahu kan betapa bahagianya Bunda ketika mengetahui bahwa anak yang dikandungnya berjenis kelamin perempuan," telunjuk Bima menunjuk Zeevana yang menangis dalam pelukan Indri.

Ingatannya melayang di mana ibunya pulang dari rumah sakit dengan wajah berseri-seri. Meskipun ibunya tidak pernah menceritakan secara gamblang padanya kalau beliau senang mengandung bayi perempuan, tapi Bima sudah cukup mengerti dengan raut bahagia yang ditunjukkan ibunya kala itu.

Namun entah alasan apa yang membuat ibunya berubah setelah Zeevana lahir dan berumur dua tahun, wanita itu tidak lagi begitu perhatian dengan Zeevana kecil. Sehingga ia dan adik-adiknya-lah yang menjaga Zeevana, mengajaknya bermain bahkan bergantian menemani tidur Zeevana kecil. Dan hingga saat ini Bima tidak mengetahui alasan dibalik sikap ibunya yang berubah. Wanita berusia 59 tahun itu tidak pernah sekalipun menceritakannya.

"Kakak mohon padamu, Zeeva," Bima berjalan pelan ke samping Zeevana yang masih menangis, di raihnya tangan adiknya, mengecupnya penuh sayang bersamaan dengan luruhnya pertahannya. Pria itu menangis di depan kedua wanitanya.

"Temuilah Bunda, beliau begitu merindukanmu. Jika kau takut datang sendiri, ada Kakak yang akan menemanimu atau kau bisa mengajak Aby. Kau mau ya?"

"Kak-"

"Kakak mohon Zeeva, sekali ini saja kau turuti kemauan kakak ya? Kakak janji tidak akan memaksamu untuk pulang ke rumah."

"Baiklah, aku akan menemuinya."

Bima tersenyum lalu memeluk adiknya erat. Pria itu tahu kalau Zeevana tidak akan tega padanya.

"Bagaimana kalau besok kita ketemu Bunda?"

Zeevana menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Hari Minggu kak."

Mau tidak mau Bima menyetujui, mungkin memang adiknya butuh waktu untuk memantapkan hatinya.

Aku hanya ingin yang terbaik untuk keluargaku, Ya Rob. Harap Bima dalam hati.

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

32.8K 3.4K 47
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
4.7M 515K 32
Setiap orang pasti pernah melakukan satu kesalahan besar. Kesalahan yang membuatnya menyesal bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Bagi Gadis, kesal...
946K 2.6K 6
Kisah Perselingkuhan penuh gairah, dari berbagai latar belakang Publish ulang di wattpad!
1.2M 95K 54
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...