Secret Admirer

By vikyauliasafitri

66.5K 3.8K 107

Apa yang kamu pikirkan mengenai mencintai? Melihat ia yang dari jauh? Menatap senyumnya yang memukau? Diam-di... More

Bab 1
Bab 2
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18

Bab 3

3.8K 242 10
By vikyauliasafitri

Hari minggu ini aku sibuk dengan agenda merapihkan apartemen sederhana milikku. Mulai dari menyapu seluruh ruangan, mengepel dan tak lupa mengelap kaca. Semuanya aku bersihkan berharap tak ada satu titik debu pun yang menempel di apartemenku.

Album foto itu terjatuh begitu saja ketika aku sibuk merapihkan tumpukan buku-buku lama. Didalam album foto itu mencuat beberapa foto kenanganku ketika aku masih duduk di bangku SMA. Foto-foto itu menarik perhatianku membuatku mengambil album foto dan mulai bernostalgia memandangi momen-momen yang terabadikan lewat bidikan kamera.

Foto pertama memperlihatkan aku dan Elena yang saling berlangkulan. Saat itu kami mengenakan name tag berwarna biru muda. Aku masih ingat kapan foto itu diambil. Saat itu aku dan Elena sama-sama menjadi panitia pensi yang ada disekolah kami. Lihat saja di foto ini ada panggung dan orang-orang yang sangat banyak dibelakang kami.

Foto selanjutnya adalah foto kami bertiga. Ya, foto diriku, Elena dan juga Tama. Aku dan Elena mengapit Tama yang tepat berada ditengah-tengah kami. Di foto itu lengan Tama merangkulku dan juga Elena tapi satu yang membuat Elena lebih spesial di foto ini. Elena mendapatkan tatapan dari kedua mata Tama sedangkan aku sibuk tersenyum kearah kamera.

Aku menutup album menyudahi acara nostalgia yang menguras emosiku. Terlalu lelah mengenang masa-masa aku merasakan rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Meski kini aku masih merasakannya tetap saja masa yang lalu lebih menyakitkan untuk diingat kembali.

Aku berlari kekamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah bercucuran keringat membereskan apartemen ini aku juga butuh untuk dibersihkan. Aku menyalakan lampu kamar mandi tapi tetap saja kamar mandi milikku masih saja gelap belum ada cahaya yang menarangi ruangan itu. Aku berulang kali berusaha menyalakan lampu tapi hasilnya sama. Sepertinya lampunya sudah usang hingga harus diganti.

Aku mengambil kursi dari meja makan dan memasukannya kamar mandi. Aku mencoba meraih lampu yang ada dikamar mandi tapi tak terjangkau olehku. Aku terlalu pendek untuk bisa mengganti lampu yang sudah mati.

Aku berlari keluar dan menuju apartemen Tama. Ia pasti mau membantuku untuk memasang lampu. Aku membuka pintu apartemen Tama seperti biasanya dan langsung masuk kedalam.

Aku tercekat dan tak bisa berkata apa-apa. Disana ada Tama dan Ariana tengah berciuman. Bibir mereka saling bertaut dan sebelum mereka menyadari keberadaanku aku berlari secepat mungkin menuju apartemenku.

Aku menyandarkan punggungku dipintu apartemenku. Jantungku melompat-lompat melihat adegan mesra yang baru saja ditunjukan oleh Tama. Rasa sakit juga menyelinap karena memikirkan bahwa Tama sudah menemukan perempuan lain.

Ketukan pintu membuatku terlonjak kaget. Aku mendengar Tama berteriak meminta dibukakan pintu olehku. Aku menggigit bibirku cemas Tama tau aku melihatnya berciuman dengan Ariana. Dua kali aku melihatnya ciuman dengan perempuan yang berbeda, ia pasti berpikir aku perempuan aneh yang suka mengintip orang yang bermesraan.

"Sabrina buka atau gue dobrak nih pintu" aku mendengarnya mengancamku. Oh Tuhan tolong aku, aku tak mau bertemu dengannya. Aku butuh bernapas dari apa yang baru saja aku lihat.

"Gue hitung sampe tiga Sabrina dan kalo lo gak mau buka pintu gue beneran dobrak" aku loncat-loncat tak menentu karena sepertinya Tama tak main-main dengan ancamannya.

"Satu... dua..ti..." aku langsung membuka pintu sambil menundukkan kepala tak berani menatap Tama. Aku merasakan Tama merangsek maju membuatku mundur beberapa langkah.

"Kenapa keapartemen gue?" tanyanya cuek seperti ia tadi tidak melakukan adegan bermesraan bersama Ariana.

"Itu..gue..aduh..itu.." aku jadi gagap tak bisa bicara lancar karena aura menakutkan yang Tama keluarkan.

"Apa Sabrina?" kini Tama maju saat aku berusaha menjauh darinya.

"Gue mau minta tolong buat gantiin lampu" aku mengatakannya dalam satu hembusan napas sambil menutup mata karena gugup karena baru saja menemukan ia berciuman dengan perempuan lain.

"Lampunya mana?" aku menunjuk meja makan tempat dimana lampu berada. Ia bertanya dimana ia harus mengganti lampu dan aku menunjuk kamar mandi.

"Pegangin kursinya" ucap Tama membuatku gugup.

Aku memegang kursi yang kini dinaiki oleh Tama. Dengan cekatan Tama mengganti lampu yang mati dengan lampu yang baru. Aku mendongak keatas melihat ia yang ternyata sudah selesai bekerja.

Ia tiba-tiba berjokong membuat mata kami sejajar. Aku memalingkan muka dan hendak pergi tapi tengan Tama mengunci dan ia membuatku menatap kedua matanya. Kemudian tanpa diduga senyum muncul di wajahnya.

"Lain kali ketuk pintu dulu" ia mengacak rambutku.

"Sorry" lirihku membuatnya tersenyum memaklumi.

"Damn Na lo dua kali liat gue ciuman" umpat Tama sambil memukul kursi pelan. Aku mundur selangkah takut karena ia tiba-tiba mengumpat didepanku.

"Sorry bukan maksud gue bikin lo takut" ia meminta maaf sambil memegang kedua bahuku.

"Sorry dua-duanya kecelakaan karena gue gak bener-bener pengen liat lo ciuman" tuturku merasa bersalah dan sedih sekaligus.

"Iya gue tau hanya gue.. ah sudahlah" ungkap Tama yang meninggalkanku begitu saja.

***

Kecanggungan luar biasa merasuki diriku ketika melihat Tama. Kami tak sengaja bertemu diambang pintu kantin. Tadinya aku akan pura-pura tak melihat tapi Adeline menyapa Tama dan Bimo yang ada beberapa meter dihadapanku.

Aku menunduk enggan memperlihatkan wajahku ketika kami semua masuk kedalam kantin yang cukup ramai. Dengan komposisi tempat duduk yang tak mengenakan aku harus duduk berhadapan dengan Tama. Aku benar-benar tak bisa melihat laki-laki itu.

Adeline sepertinya bisa membaca aura ketegangan yang terpancar dari wajahku. Beberapa kali ia mencuri pandang padaku dan melayangkan tatapan pertanyaan kenapa kau bisa secanggung ini. Aku hanya mengangkat bahu karena tak mungkin aku menjelaskan apa yang terjadi pada Adeline sementara Tama ada disini.

"Na mau makan apa?" ucap Adeline dengan suara agak tinggi. Aku terkejut kemudian tak sengaja menatap wajah Tama. Ia sepertinya dari tadi menatapku, mengamatiku yang tengah melamun.

"Hmm nasi goreng" ucapku buru-buru melirik Adeline karena takut berlama-lama melihat Tama.

"Gue yang pesen minum deh, kalian pesen apa?" tanya Bimo yang berdiri disamping Adeline. Setelah kami menyebutkan pesanan kami mereka berdua pergi memesan meninggalkan aku dan Tama.

Aku sibuk mengecek ponselku meski tak ada satu pun pesan yang masuk. Daripada aku harus menatap Tama lebih baik aku pura-pura sibuk dengan duniaku. Suara deheman dari Tama membuatku mendongak menatapnya. Ia nampak bingung untuk memulai pembicaraan.

"Damn Na bisa gak lupain yang kemaren gue kayak penjahat dilihatin lo kaya gitu" desah Tama frustasi melihat aku yang tak berbicara.

"So..rry" lirihku karena tak tau harus berkata apa lagi dan sekali lagi aku mendengar ia mendesah frustasi.

Adeline dan Bimo datang menyelamatkan suasana canggung yang menyelimutiku. Aku bersembunyi di balik obrolan Adeline dan Bimo. Sungguh rasanya ingin pergi dari sini secepatnya.

"Na lo inget Nino yang pernah sekelas sama kita di kelas bahasa Indonesia?" tanya Bimo disela-sela makan. Kepalaku kini tengah membayangkan laki-laki jangkung dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Aku juga ingat jika Nino hobi berat naik gunung membuat kulit laki-laki itu lebih sawo matang tapi tak mengurangi wajahnya yang manis.

"Iya kenapa emang Bim?" tanyaku.

"Kemaren dia sekelas lagi sama gue dikelas pak Danu" ungkapnya kemudian menyuapkan sendok penuh makanan kemulutnya membuatnya berhenti menjelaskan ada apa dengan Nino.

"Dia bilang titip salam buat lo kayanya dia suka sama lo deh" ucap Bomo yang membuat aku mendapatkan tatapan dari Adeline dan Tama. Merasa diperhatikan seperti itu aku menunduk fokus makan.

"Gimana nih Na? Salam balik gak?" tanya Bimo yang mengetuk-ngetuk meja membuatku menatapnya. Aku menatap Bimo sambil memikirkan jawaban yang tepat.

"Hmm ya kalo orang kasih salam ya harus dikasih salam balik" ungkapku karena menurutku itu adalah salah satu bentuk kesopanan.

"Na lo tau kalo lo kasih salam balik tapi gak punya perasaan apa-apa itu bikin salah paham" ucap Tama tiba-tiba membuatku tak mengerti apa maksud dibalik kata-katanya.

"Maksud lo?" tanyaku yang kini mulai berani menatap wajah Tama.

"Maksud Tama nanti Nino ke-GR-an kalo lo menyambut salamnya" Adeline memutar bola matanya geram karena aku tak mengerti maksud dari perkataan Tama.

"Tapi Na ini waktu yang tepat untuk lo move on" Adeline menatapku penuh arti membuatku hampir saja tersedak.

"Gue juga setuju Na, Nino anaknya baik lagi nanti gue ajak makan siang bareng deh demi lo" ujar Bimo ikut-ikutan mendukung ucapan Adeline. Aku menatap Tama satu-satunya orang yang belum berkomentar mengenai Nino. Wajahnya tanpa ekspresi dan entahlah apa yang ada dikepalanya.

"Gue juga setuju, sudah saatnya lo move on dari Gilang" Tama mengacak rambutku sambil tersenyum mendukung apa yang dikatakan Adeline. Ia tak tau jika sangat menyakitkan mendengarnya merelakanku dekat dengan laki-laki lain sedangkan aku hanya ingin dekat dengannya.

***

Laki-laki bernama Nino itu kini bergabung denganku. Kentara sekali ia ingin menarik perhatianku karena rela satu meja denganku, Adeline, Tama dan Bimo. Padahal teman-temannya tengah makan dimeja sebrang.

Berulang kali Bimo dan Adeline menggodaku karena ada Nino disini. Sementara laki-laki itu nampak tak peduli dengan godaan-godaan yang keluar dari mulut Adeline dan Bimo. Sementara Tama, jangan tanya dia, ia tengah sibuk berkencan dengan Ariana melalui ponselnya. Ia bahkan tak mau repot-repot melihat aku dan Nino.

"Na gue denger lo hobi baca ya?" aku mengangguk enggan bersuara.

"Sabtu ini ada pameran buku loh, lo mau gak pergi sama gue?" aku melihat Adeline dan Bimo nampak tersenyum-senyum mendengar Nino mengajakku kencan. Sementara Tama entah aku tak bisa melihat ekspresi di wajahnya. Oh, iya entah sejak kapan ia sudah tak menatap layar ponselnya dan sibuk menelaah Nino. Mungkin ia tertarik pada laki-laki yang kini berusaha mengajakku berkencan.

"Hmm oke" aku setuju dengan ajakan kencan Nino. Tak ada salahnya mencoba dekat dengan laki-laki lain selain Tama dan Bimo. Dan besar harapanku bahwa Nino ini bisa membuatku melupakan Tama yang singgah dihatiku.

Aku melihat Nino ber-high five ria dengan Bimo setelah mendengar aku setuju pergi kencan dengannya. Aku tersenyum karena ternyata Nino tipikal orang yang menunjukan perasaannya pada orang-orang berbeda sekali dengan diriku yang selalu menyembunyikan perasaanku. Aku melirik Adeline yang kini juga tengah tersenyum seperti mendukung keputusanku menerima ajakan kencan dari Nino.

"Tunggu pamerannya sabtu ini kan? Boleh gue ikut" aku melirik Tama terkejut atas apa yang baru saja ia minta. Apa aku tak salah dengar ia akan ikut dikencan pertamaku bersama laki-laki lain. Apa ia waras? Bukankah seharusnya ia tau bahwa Nino laki-laki yang duduk dihadapanku ini bersusah payah mengajakku hanya untuk pergi berdua dan atas dasar apa Tama ingin ikut. Aku bisa mendengar Bimo mengumpat pada Tama.

"Boleh" aku melemas ditempat kenapa juga Nino membiarkan laki-laki lain ikut dalam kencaannya. Apa ia main-main ingin dekat denganku? Oh Tuhan jika Tama ikut maka aku bukannya bisa melupakannya tapi malah menambah kenangan mengenainya dalam hatiku. Lapur sudah tekadku yang tadi bersemangat mengenal Nino.

"Oke gue ada kelas lagi, sampe ketemu sabtu" Nino mengedipkan sebelah matanya padaku kentara sekali menggodaku membuat Adeline dan Bimo sibuk menyorakiku.

"TAMA TEMEN LO MAU KENCAN KENAPA LO GANGGUIN" Adeline sudah mewakiliku untuk marah karena kelakuannya yang seenaknya ikut kencanku.

"Gue cuman pengen tau gimana sikap tuh cowok, cocok gak sama sahabat gue yang paling baik ini" ia tersenyum manis padaku kemudian mengacak rambutku dan pergi meninggalkan kami tak peduli Adeline yang marah-marah karena sikapnya yang seperti itu.

***

Hari kencan itu tiba, tunggu seharusnya aku tak menyebut itu kencan. Mana ada kencan dimana ada dua laki-laki disampingmu. Hah, aku tak tau apa yang akan terjadi nanti ketika berhadapan dengan Tama.

Pameran itu cukup ramai, banyak sekali pasangan muda, keluarga dan yang lainnya yang mengerumuni pameran ini. Bagi pecinta buku sepertiku pameran seperti adalah surga dunia. Bagiku tempat menjual buku-buku murah merupakan suatu hiburan tersendiri.

"Karena gue tau kalian ingin berduaan, gue bakal pergi sendiri" ungkap Tama meninggalkanku dan Nino. Aku melirik laki-laki disampingku ia tampak cuek dan mengendikkan kedua pundaknya.

"Lo sama Tama sahabatan udah lama?" tanya Nino yang kini berjalan beriringan bersamaku. Aku pun menjelaskan hampir sepuluh tahun aku mengenal Tama.

"Lo pernah suka sama Tama?" aku melirik Nino tak nyaman, kenapa juga laki-laki ini bertanya hal sensitif seperti itu. Aku melancarkan aksi berbohong pada Nino. Aku mengatakan Tama sudah seperti saudara laki-lakiku.

"Mantan lo yang terkahir Gilang kan?" aku mendesah kemudian berhenti berjalan. Aku menatapnya sebal, sungguh dari tadi ia membahas hal-hal yang tak nyaman untukku.

"Bisa kita berhenti bicara masa lalu gue" ia tertawa kemudian meminta maaf. Ia bilang ia tak tau harus bertanya apa.

"Lo hobi naik gunung?" tanyaku yang mencoba menyambung pembicaraan karena acara kesalku padanya yang membahas mantanku.

"Ya, kapan-kapan lo harus ikut gue naik gunung" ucapny penuh semangat. Ia bahkan dengan semangat empat lima mengatakan bahwa naik gunung adalah hiburannya ketika penat. Ia juga bilang betapa menakjubkannya pemandangan diatas gunung. Aku tersenyum melihat ia begitu senang menceritakan pengalamannya naik gunung. Ia menularkan aura positif hanya dengan senyuman yang muncul diwajahnya.

"Na lo tu cantik kalo lagi senyum kayak gitu" ungkapnya tiba-tiba membuatku merona malu. Sungguh belum pernah aku dipuji segamblang itu oleh pria. Mantan-mantanku yang dulu tak suka membual seperti yang dilakukan Nino.

"Dan lebih cantik lagi ketika pipinya merona merah" ucapnya membuatku menunduk malu sungguh diperlakukan seperti itu.

"Bisa berhenti memuji" ucapku malu. Ia tertawa dan mengandeng tanganku untuk berjalan disampingnya.

Aku sudah memutar pameran buku ini hingga kakiku pegal. Aku juga sudah membawa buku sebanyak empat buah. Setelah lelah aku meminta Nino untuk pulang dan akhirnya ia setuju untuk pulang.

Keributan kecil terjadi ketika kami hendak pulang. Nino bersihkeras ingin mengantarku pulang sementara Tama bilang ia yang akan mengantarkanku pulang. Kenapa juga Tama hari ini sangat keras kepala. Dengan berat hati Nino mengihlaskan diri melihat aku pulang bersama Tama.

"Lo kok gak mau Nino anterin gue pulang?" ucapku ketika aku berada di mobil Tama. Ia diam melihat jalanan yang tampak lenggang. Aku bahkan harus mengulang dua kali pertanyaan itu hingga ia menjawab.

"Gue gak suka liat lo sama dia" deg, suara jantungku terdengar kencang dikedua telingaku. Benarkah apa yang aku dengar? Mungkinkah ia cemburu? Ya Tuhan benarkah ia tak suka melihatku dengan laki-laki lain?

"Kok gitu katanya lo mau liat gue move on dari Gilang dan sekarang ada cowok yang deketin gue lo kok malah gak suka" ucapku mencoba mengorek-ngorek isi hati Tama.

"Gue tau, tapi bukan Nino. Lo tuh udah gue anggep adik kecil gue dan gue gak akan biarin laki-laki sembarang yang deketin adik kecil gue ini" ia menatapku lembut membuat harapanku pupus. Aku salah sangka, ia tak cemburu. Ia hanya menganggapku adik kecilnya yang perlu ia jaga. Perasaan sedih itu muncul lagi dalam hatiku. Kenapa begitu sedih menyadari aku hanya adik kecil dalam hatinya. Tak bisakah ia melihatku sebagai seorang perempuan?

"Kenapa? Alasannya apa?" tanyaku.

"Karena dia gak baik buat lo?" oh ya?

"Masa? Gue liat dia baik, orang yang menyenangkan" ucapku mengelak apa yang dikatakan Tama.

"Sabrina Adriana dengerin gue, Nino bukan cowok yang tepat" aku meloto karena ia membentakku. Sungguh baru kali ini ia membentakku seperti itu.

"Darimana lo tau dia gak tepat buat gue?" tanyaku lagi karena atas dasar hak apa ia bisa menetukan bahwa laki-laki itu tepat buatku.

"SABRINA LO GAK TAU KAN KALO NINO ITU PLAYBOY" aku menatapnya tak percaya kini ia mengehentikan mobilnya dan membentakku.

"KALO KATA GUE JAUHIN YA JAUHIN NA, BISA GAK LO DENGERIN GUE SEKALI AJA" aku meringkuk mundur takut karena Tama hilang kendali seperti ini.

"TERUS KENAPA HARUS GUE DENGERIN LO SEMENTARA DULU LO GAK DENGERIN GUE, LO TAU DULU GUE SERING BANGET INGETIN LO MENGENAI DINA, REVA, LISA DAN MASIH BANYAK LAGI. DULU GUE SERING INGETIN LO KALO MEREKA SEMUA CUMAN MAININ LO TAPI LO GAK DENGERIN GUE DAN SEKARANG LO KASIH PETUAH KAYAK GITU KE GUE?????" aku jadi geram karena Tama terus saja mendesakku untuk menjauhi Nino padahal aku berusah keras dekat dengan laki-laki itu agar bisa melupakannya.

"Itu beda Na" aku tersenyum kecut mendengar alasannya.

"BEDA DIMANA TAMA, COBA JELASIN!!!!!" ucapku yang belum bisa menurunkan nada bicaraku.

"OH GUE TAU BEDANYA KARENA LO BISA DEKET PEREMPUAN MANA PUN SESUKA LO TAPI GUE HARUS MINTA IZIN SAMA LO KALO DEKET SAMA COWOK LAIN. ATAS DASAR APA TAMA LO LAKUIN INI??? LO GAK PUNYA HAK ITU" ucapku menangis terisak muak dengan sikapnya yang seperti ini yang membuatku salah paham. Dulu aku pikir tiap kali ia melarangku dekat dengan laki-laki lain itu karena ia cemburu tapi lihat ia hanya laki-laki egois yang mengikatku disisinya tanpa memikirkan perasaanku.

Aku membuka seat belt kemudian pergi dari mobilnya. Aku tak peduli lagi apa yang Tama katakan. Aku bahkan menutup kedua telingaku ketika ia terus meneriakkan namaku. Aku butuh menjauh dari laki-laki yang sudah berulang kali menyakiti hatiku.

"Na maafin gue" ia mencekal tanganku sementara aku sibuk melepaskan cekalannya. Wajahku tak karuan karena kini air mata sudah mengalir.

"Na please maafin gue" ia menarikku kepelukannya membuatku terus memukul dadanya sambil menangis.

"Lo jahat" ucapku sambil terus menangis.

"Iya gue tau gue jahat" ucapnya yang kini melepaskan pelukan kemudian menghapus air mata.

"Maafin gue adik kecil, jangan menangis lagi oke. Nanti gue beliin lo cotton candy deh" ia tersenyum membuatku menunduk malu karena sudah menangis dihadapannya. Meski sudah berulang kali menangis dihadapan Tama tetap saja aku malu.

***


Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 19.6K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
1.2M 60.9K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...