Gairah... Istri Pertama

By captainbdk

861K 15.5K 297

Kesalahan yang pertama dan sangat vital adalah ketika ia mengijinkan suaminya menikahi Adel. Selingkuhan suam... More

SINOPSIS
SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS

The End

51.6K 1.1K 129
By captainbdk


        Sania pulang dengan letih, ia kecewa, karena anaknya yang biasa menyambutnya, tak ada. Ia langsung mencari pembantunya di belakang.

        "Bik..."

        Ia langsung menegur pembantunya. Biasanya Ardhy akan menyambutnya dan memberi ciuman kepadanya. Tapi sekarang itu tak ada. Bahkan teriakannya juga tak terdengar. Itu membuat perasaan Sania menjadi kosong. Ia menatap pembantunya.

        "Ya, Nya?"

        "Ardhy mana...."

        "Tadi bersama Tuan!"

        "Tuan siapa?"

        "Ya Tuan Yoga, Nya...."

        "Kapan kesininya?"

        "Tadi, satu jam yang lalu. Lalu Ardhy dibawanya. Saya bilang jangan, tapi Tuan bilang sebentar, hanya kangen saja. Putar-putar kota. Saya tak bisa mencegahnya Nya, saya hanya pembantu disini...."

        "Kan bibik saya titipin!"

        "Tapi Nya...."

        "Ya sudah, biar aku susul mereka. Kemana tadi....!"

        "Katanya sih cuman sebentar Nya. Mungkin hanya ke toko saja membeikan Ardhy mainan. Tadi cuman bilang begitu kok...."

         Sania meninggalkan pembantunya. Ia menunggu dengan cemas. Mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah. Celana jeans dan kaos putih. Begitu lama tak ada mobil masuk, Sania mengeluarkan mobilnya lagi. Dengan gemas ia membawa mobilnya ke kota Legenda. Pasti Ardhy dibawa ke rumah itu. Satu jam perjalanan. Tol macet lagi. Membuat sania makin stress. Ia tak akan merelakan Ardhy di bawa Yoga ke rumahnya, meski Ardhy adalah anaknya. Mereka sudah berpisah. Dan pengadilan memutuskan Ardhy ikut dirinya, bukan ikut ayahnya.

          Begitu sampai, Sania yang sedang marah, melihat Ardhy sedang bermain dengan mertuanya. Mungkinkah mereka yang menyuruh?

          Sania langsung memasukkan mobilnya di halaman rumah itu. Dan ia langsung memeluk anaknya, ketika ardhy menyongsongnya.

          "Ma...."

          "Ardhy...!"

          Sania meneteskan air mata. Yoga dan kedua orang tuanya berdiri menatapnya. Sania bangkit, dan menatap mereka dengan tajam.

          "Mulai sekarang, kalau mau mengambil Ardhy harus bilang dulu padaku. Aku paha, kalian merindukannya. Tapi ini sudah tanggung jawabku. Semenjak putusan pengadilan, semuanya sudah selesai...!"

          "San, kami hanya kangen saja....!'

          "Ardhy bukan sudah anakmu lagi. Membawa tanpa ijin, bisa kulaporkan penculikan. Ia permata hidupku, penghibur laraku. Kalian sengaja ingin membuatku sakit...?'' Sania keras menentang mata mantan suaminya. Ia juga menatap mertuanya, dan juga ia tahu di balik jendela, istri Yoga melihatnya secara sembunyi-sembunyi.

           "Sampai sebegitu jauhkah sikapmu memutuskan persaudaraan ini?"

          "Kau yang memulai..."

          "Aku kan udah minta maaf. Lalu tadi, karena kangen, aku mampir kesana, dan kebetulan aku lihat Ardhy juga sendirian. Maka kucari bibik, dan aku minta ijin untuk membawanya..!"

          "Lain kali kalau mau ambil harus ada aku, beberapa lama, dan untuk apa. Kalau tidak ada aku, tak akan kuijinkan Ardhy pergi dari rumah...!"

         "San, kita memang cerai, tapi jangan lupa, Ardhy adalah anakku. Ia juga cucu Papa dan Mama. Apa kau tak kasihan mereka?"

         "Lalu apa di saat kau menikah, kau tak kasihan padaku?" tantang Sania.

         "Aku bilang, aku yang salah. Aku sudah minta maaf....!"

         "Tidak bisa, putusan pengadilan sudah menjadi Ardhy bebanku, tanggung jawabku. Sebentar lagi kau pastilah punya anak. Kau tak akan ingat Ardhy. Mari kita pulang Ar...!"

          Sania membawa putranya yang hampir tiga tahun itu masuk ke dalam mobilnya, diiringi pandang mata sesal suaminya, dan mata berkaca-kaca dari mertuanya. Tak adea kata-kata. Sania menghialng di tikungan jalan.

          Mata mertuanya menghujam tajam wajah Yoga. Ia kemudian memeluk suaminya. Lalu mereka berpamitan pulang. Sementara tinggal Yoga termangu-mangu sendirian. Seseorang menyentuh bahunya.

         "Tak perlu disesali, Mas. Sebentar lagi kita punya...!"

         "Masalahnya Mama, ia tadi kangen Ardhy. Mau ngambil sendiri segan dengan sania. Orangnya keras sih, tapi memang dalam persoalan ini, aku yang salah. Sayangnya harus berakhir di pengadilan...."

          "Apakah itu semua karena aku?"

         "Tidak, jangan begitu. Kita sudah sepakat untuk saling memahami persoalan masing-masing. Ku harap kau mengerti dan memaklumi bahwa aku memang mempunyai sebongkah persoalan, dan ini belum selesai, meski kami telah bercerai," kata Yoga.

        "Ibumu kurang suka padaku...."

        "Nanti kau kita sudah punya keturunann, kurasa ia bisa menerima kita. Sudahlah, lagipula aku yang menikah denganmu. Bukan Mama...!"

        "Aku kadang merasa bersalah telah merusak rumah tanggamu...."

        "Ah, sudahlah. Sudah terlanjur. Lagipula sania juga mau menikah lagi. Sudah selesai. Hanya masalah Ardhy, aku kurang enak dengan Mama...!"

       "Bukan kah kau punya hak?" tanya istrinya.

         "Pengadilan mengalahkan aku. Memenangkan sania yang menjadi wali atas Ardhy. Sudahlah, kalau besar nanti ia akan mencariku. Sekarang sebaiknya kita mencari ketenangan hidup dulu. Sudah lama kita tidak memikiran diri kita. Lupakanlah, aku sendiri juga kan melupakannya. Pada saatnya nanti Ardhy pasti akan mencari ayah yang sebenarnya. Biarlah aku jelaskan sama Mama dan Papa di rumah...!"

          Yoga masuk ke dalam rumahya dengan dengan lesu. Namun wajahnya ia buat gembira dengan merangkul istrinya yang telah hamil enaam bulan sekarang. Sementara kenangan manis bersama Sania, mau tidak mau harus ia pendam dalam-dalam. Ia buang jauh-jauh. Kalau dirinya kelak akan bahagia. Sebetunya ia masih sangat mencintai Sania, tetapi karena ia dulu bermain api, hingga membuatnya hamil, terpaksa ia harus menikahinya dengan jalan beakang, maksudnya agar Sania tak tersinggung. Eh, malah tahu. Jadilah semua yang mereka bina dengan susah payah, hancur begitu saja . mereka harus bercerai. Jika waktu bisa diputar aku ingin bisa bersama Sania dan Ardhy selamanya. Tapi takdir berkata lain. Ini akibat dari ke khilafanku. Sungguh sangat menyesal.

                                                                                                       ***

          Sania melangah ke dalam rumahnya kembali. Ia menasehati pembantunya untuk lain kali tidak melepaskan Ardhy kepada siapapun, kecuali dengan seijinnya. Kalau ada masalah Ardhy, ia minta pembantunya untuk segera menelponnya.

          Tentu saja sang pembantu ketakutan. Belum pernah ia melihat wajah Sania semarah itu. Ia hanya mengangguk dan menunnduk.

         "Ya sudah, bawa Ardhy ke belakang. Tampaknya ia belum mandi , Bik!"

         "Dimandikan ya, Nya?"

         "Ya...."

         Pembantu membawa Ardhy ke belakang. Sementara sebuah mobil memasuki halaman rumah. Sebuah Civic yang masih baru. Sania mengernyitkan kening karena merasa tidak mengenal mobil yang masih baru itu.

         Tapi ketika Nik keluar dari dalam mobil, hati Sania berbunga-bunga. Segala kemelut di hatinya langsung pudar. Mereka memang akan segera menikah, setelah kedua orang tua Sania menetukan harinya. Untuk urusan oernikaha, Sania masih menyerahkan kepada orang tuanya untuk mengaturnya, meski ia sudah tak tergantung kepada orang tuanya.

         Nik membawa mobil-mobilan yang ia bawa tadi di sebuah supermarket.

        "Ardhy mana?" tanya Nik.

        "Tuh lagi dimandiin...."

        Nik langsung melangkah ke belakang. Kebetuan bibik sudah selesai memandikan. Nik langsung menunjukkan permainan remote control itu. Ardhy kelihatan senang. Namun Sania berdiri di belakang Nik.

          "Lain kali kalau membelikan maian anak sekecil itu jangan yang mahal. Ardhy belum menangkap...."

          "Tapi ia suka...!"

           Sania mengajak Nik ke ruang depan. Ia tak bercerita sedikit ketegangan yang tadi dialaminya. Nyaris saja ia bertengkar dengan mantan mertuanya. Tapi sekarang, demi Ardhy, semua akan dilakukan Sania.

         "Jadi kita jalan-jalan?"

        "Ah, capek, di rumah saja ya?"

        "Terserah kau...."

        "Aku buatkan kopi sebentar....!"

        "Tak usah, aku baru minum" Nik menarik tangan Sania, ia memeuk wanita itu. Dan mengajaknya ke ruang tamu yang menyudut, sehingga tak kelihataan dari belakang.

          Nik mencium lembut bibir seksi sania. Memeluk wanita cantik itu, seperti beberapa tahun tak bertemu.

        "Nik..."

        "Aku kangen padamu...!"

        "Tapi jangan disini?"

        "Dimana?"

        "Sekarang tak perlu ke hotel. Kau punya hak memasuki kamar pribadiku, ayolah" kata Sania sambil menggandeng tangan Nik masuk ke kamarnya. Tentu saja lelaki itu menyambutnya dengan gembira.

          Ia mengkitui langkah kaki Sania dan memasuki kamar pribadi sania yang sebentar lagi akan menjadi kamar pribadi mereka berdua. sebuah kamar mewah yang lengkap dengan segala perabot yang mahal. Tapi bukan itu yang penting. Mencumbu Sania adalah keinginan yang ditahannya sejak datang dari rumah tadi.

          Ia memeluk Sania. Mencium bibir, kening, leher, dan seterusnya. Merebahkan Sania di ranjang yang empuk itu. Menindih calon istrinya yang pasrah itu dengan segala rasa rindu.

          Sania hanya pasrah saja. Ia tahu, ini kewajibannya, meskipun mereka belum resmi. Tapi menjaga kemesraan adalah tugasnya. Ia tak ingin kehilangan lagi. Ia tak ingin berantakan lagi rumah tangganya. Ia akan bentuk menjadi sebuah rumah tangga yang bahagia. Sehingga suaminya tak akan lari kepada perempuan lain.

                                                                                                      ***

          Sementara pada saat yang sama, dimana sania menemani Nik sampai malam, Irene bertemu dengan Andre hanya sebentar, karena Andre harus kembali ke Bandung.

            Irene turun dari mobilnya. Dan ia melihat ssebuah mobil yang lain teah terparkir di halaman rumahnya. Irene hapal dengan mobil itu. Tapi mau apa Pras datang? Bukankah ini buan hari Sabtu dan Minggu?

            "Baru datang, Irene?" sapa suara itu datar.

            "Ya..."

            "Dari mana?"

            "Perlukah aku melapor dari mana aku datang?"

            "Tak usah, tak perlu. Tadi Papa sudah berbicara panjang lebar denganku. Apa benar kau tak merasa bahagia selama ini?"

            "Begitulah, aku sudah tak betah lagi. Tapi aku terlanjur menganggap orang tuamu seperti orang tuaku sendiri, sehingga aku ceritakan pada ,ereka semua problemku sebenarnya..."

             "Aku mengerti, aku minta maaf. Adel sering menghalangiku kesini. Menemuimu dan anak kita. Aku juga menyadari kalau selama ini terlalu menyiksamu. Mama juga menegurku. Yah, aku kadang sedih juga memikirkan engkau. Tapi jika memang jalan terbaik untuk kebahagiaanmu adalah cerai daariku, aku rela melepaskanmu demi engkau sendiri....!"

           "Terima kasih atas pengertianmu. Aku benar-benar butuh pengertianmu. Sebetulnya aku mencintaimu. Selama tujuh tahun, ku coba memberikan cinta kasihku padamu, mencoba memberikan pengertian, dan mencoba memahamidirimu, tetapi makin lama aku merasa makin tersingkir. Mungkin memang nasibku yang buruk....!"

        "Jangan seperti itu. Disini aku yang salah dan aku memohon maaf padamu. Sudah membuatmu tak bahagia selama ini. Apakah sudah ada calon?"

         "Belum, aku tak mau gegabah mencari calon suami. Karena aku tak mau rumah tangga kedua nanti gagal. Aku juga tak mau jadi bulan-bulanan leaki terus-menerus...!"

         "Aku tak bermaksud begini sungguh Irene..."

         "Nyatanya begitu, mau apa...?"

         "Maafkan aku...."

         "Sudahlah, yang penting kau relakan aku. Ini juga demi kepentingan anak kita jika dewasa kelak. Kasihani mereka, kalau dewasa sadar ayahnya punya banyak istri. Nanti perasaanya tertekan...!"

         "Tapi kalau kita pisah, mereka akan kehilangan ayah mereka...!"

         "Tak apa-apa, nanti kalau besar ia akan paham sendiri. Kita berpisah, jauh lebih baik daripada kita tetap jadi suami istri, tapi nyaris tak ada fungsiku. Lagipula, nanti tak baik bagi perkembangan aku dan Adel. Kita akan berebut harta warisan...."

          "Ah, yang kaya itu ayahku. Tapi aku sendiri sebetunya tak punya apapun. Kau lihat sendiri, sebuah perusahaan yang aku pimpin nyaris tak berkembang, hanya jalan itempat. Yang penting untuk sekarang tidak rugi dululah. Itu pun papa sudah menegurku. Berbeda dengan bank yang kau pimpin, sudah maju pesat. Aku salut padamu...."

          "Kalau kita tekun dan tak mementingkan diri sendiri, kuras kita akan mampu memimpinnya. Kau pastilah banyak korupnya....!"

         "Enggak juga, kau lihat. Rumah juga masih pemberian Papa, mobilku juga masih yang dulu. Aku hanya mengambil gaji saja. Memang aku kurang bakat memimpin usaha. Besok aku akan serahkan kepada orang yang pintar dan profesional saja. Biar berkembang. Aku akan bekerja saja sebagai direktur, daripada begini, pusing....!"

         "Lalu bagaimana engan kita...?"

        "Masalah apa?"

        "Perceraian kita...?"

        "Ajukanlah ke pengadilan gugatan cerai. Aku pasti akan datang. Papa dan Mama telah banyak enasehati aku. Dan aku mengerti, adalah dosa besar membiarkan engkau terus menderita. Sebetulnya aku sedih dengan kenyataan seperti ini. Tapi Adel gampang tersinggung. Apaagi kalau aku habis dari sini. Jadi daripada aku harus sering bertengkar, kupikir aku kurangi jatah kesini..."

         "Aku ingin cerai..."

         "Yah, aku setuju. Tapi ada satu permintaan...."

        "Apa?"

        "Aku mencintai Papa dan Mama. Dan mereka terlanjur menganggapmu sebagai anka sendiri. Tampaknya Mama dan Papa lebih cocok denganmu ketimbang Adel. Maka, jika aku kabulkan perceraian , bukan berarti hubungan dekat antara kau dan Mama Papa akan berhenti begitu saja....!"

           "Aku mengerti. Mereka juga kuanggap orang tuaku sendiri..."

           "Sering-seringah engunjungi mereka. Mereka amat saying padamu. Bawa Rafa dan Yuna. Mungkin mereka akan dengan senang hati menyambutmu. Aku telh bicara banyak dengan mereka....!"

           "Akan aku lakukan..."

           "Baiklah aku pulung dulu. Aku telah bicara banyak dengan Papa. Dan Papa setuju untuk memberimu modak, atau simpanan, sebagai bentuk kasih saying bagi hasi atas perkawinan kita. Karena ku tak memberimu apa-apa....!"

          "Tidak apa-apa. Aku sudah merasa tenang disni..."

          "Sebetulnya aku amat saying padamu, Irene. Kamu sungguh berbeda dengan Adel. Tapi aku juga tak bisa menyakiti Adel yang teah rela menjadi istri keduaku...."

          "Sebentar lagi Adel akan menjadi istri pertamamu. Kau jangan buat masalah lagi di kemudian hari. Ingat tentang kita, betapa sulitnya merajut kebahagiaan itu. Nah, kalau kita cerai, cobalah bahagiakan adel. Mungkin kau akan menemukan kebahagiaan itu sendiri..."

          "Akan kucoba...."

         "Selamat jalan, Mas..."

         "Maafkan aku Irene!"

        "Sudahlah, semua sudah terjadi...!"

        "Boleh aku mencium keningmu?"

        Irene termangu. Tapi ia tak bisa menolak. Dengan sendu dan penuh perasaan Pras mencium kening istrinya. Mereka akan bercerai. Sungguh ia menyesal tak bisa membahagiakan Irene yang setia. Padahal ia telah rela ketika terpaksa ia harus menihai Adel.

        Pras meninggalkan Irene dengan hati yang berat. Namun seperti nasehat Mama dan Papanya. Pras emang harus melepaskan Irene demi kebahagiaan Irene dan kedua anaknya. Dengan berat hati ia setuju, karena sebetulnya ia masih sangat mencintai istri pertamanya itu.

          Sementara dari balik jendela mata Irene berkaca-kaca. Tujuh tahun mengkuti Pras. Penuh kenangan pahit. Dan ia jadikan kenangan itu suatu lembaran yang tak mungkin pernah ia upakan. Tanpa sadar dua tetes air bening jatuh. Irene mengigit bibirnya, menahan nyeri. Tapi bersama Andre, Irene percaya akan menemukan kebahagiaan. Ya, Andre yag mencintainya tulus.

                                                                                                      The End

         Sebelumnya thanks so much buat yang udah baca cerita ini. Sorry updatenya lama. Authornya kebanyakan di kampus bnyak tugas maklum tingkat akhir (Klise!) wkwkwk. Cuma segini karena bingung mau di kemanain lagi. Daripada buat, hapus, buat, hapus, lagikan percuma jadi diputuskan untuk mempercepat ending cerita ini. Jangan lupa komentar dan votenya. Keep reading and be a good reader! Danke schon alles. Aufwiedersehen... tchus!.




Continue Reading

You'll Also Like

60.4K 4.4K 19
Irene tak tau, entah dosa apa yang pernah ia perbuat hingga tuhan menghukum nya. Ia, gadis biasa-biasa saja tiba-tiba menjadi umpan Mariam yang akan...
951K 14.3K 82
21++ Cerita dewasa. Anak kecil jangan baca!!
4M 30.2K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
364K 6K 18
Menjadi seorang wartawan adalah cita -cita Lala dari dulu. Namun panggilan pekerjaan itu datang di saat dia akan segera menikah dengan Raffa. Hubunga...