Karena Tidak Semua Cinta Bisa...

By JuwitaPurnamasari

77.2K 3.2K 168

Saat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergeli... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24

Bagian 16

2.4K 121 1
By JuwitaPurnamasari

From : Rama
Maaf aku tidak bisa ikut menghadiri acara pemakamanya kemarin. Aku masih di rumah sakit.

To : Rama
Nggak apa-apa. Raelan selalu bersamaku. Bagaimana operasinya? Aku harap berjalan lancar.

From : Rama
Ya, aku sudah bisa melihat lagi, dengan mata dari bundamu. :)

To : Rama
Aku akan menjengukmu nanti. ^_^

Sebelum meninggal bunda sempat bicara pada Rama dan dokter untuk memdonorkan kornea matanya pada Rama. Setidaknya ada satu kenang-kenangan yang bunda sisakan. Setiap melihat mata Rama aku akan selalu mengingatnya. Baru sehari setelah hari pemakamannya tapi aku sudah sangat merindukan bunda. Apakah aku bisa bertahan dan baik-baik saja tanpa bunda setelah ini?

"Aku akan pulang. Kalau kamu masih mau di sini, tinggallah. Aku akan menjemputmu kalau kamu sudah siap pulang." Raelan tampak merapikan koper. Kami menginap di rumah ayah sejak bunda sakit. Meski begitu sekali pun ayah tak pernah mengajakku dan Raelan bicara. Entah seberapa besar kebenciannya pada kami.

"Aku akan ikut pulang ke apartemen. Di sini aku cuma semakin sedih."

"Oke, kita pulang sama-sama."

"Tapi aku mau mampir dulu ke rumah sakit, aku pengin bertemu Rama?"

"Okay."

Aku membantu Raelan merapikan isi kopernya. Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu dan Tante Belinda datang dengan membawa sarapan.

"Tante, kami akan sarapan di luar saja. Nggak perlu repot-repot dibawakan segala."

"Tidak repot sama sekali. Loh, kalian mau ke mana? Kok sudah rapi-rapi koper?"

"Kami mau kembali ke apartemen." Aku coba menjelaskan, "Terima kasih untuk semuanya. Kapan-kapan aku akan mengunjungi Tante Belinda. "

"Tidak bisakah tinggal sedikit lebih lama lagi? Aku akan sangat kesepian, tidak ada Nada, dan ayahmu juga jarang di rumah. Kalau ada kamu aku sedikit terhibur."

"Aku janji akan menemuimu nanti."

"Hhh... baiklah, aku tak bisa memaksa. Tapi percayalah Falia, untukku kamu sudah seperti anak perempuanku sendiri."

"Aku percaya, Bunda...." Aku tersenyum menatap wanita cantik bermata biru itu. Matanya membulat mendengar sapaanku untuknya barusan. "Setelah bunda pergi, aku ingin memanggilmu "Bunda", boleh kan?"

"Tentu saja boleh!" Dia memelukku, "Berjanjilah kamu akan menemuiku lagi."

"Ya."

"Dan Raelan, tolong jaga Falia dengan baik."

"Pasti." Raelan menjawab dengan mantap.

"Berpamitanlah dulu dengan ayahmu, dia ada di halaman belakang. Tadi dia tampak murung. Pasti dia juga sedih karena kepergian Nada. Bagaimanapun juga Nada adalah bagian dari hidupnya."

Aku mengangguk seraya tersenyum.

Aku dan Raelan menemui ayah di halaman belakang rumah, kami mencium tangannya, dan ayah tetap tidak mengatakan apa pun. Rasanya ada sesak yang tertinggal dan sedikit rasa putus asa menggelayut dalam hatiku. Aku merasa sudah tak mungkin mendapat restu dari ayah, tapi di sisi lain aku sangat mencintai dan membutuhkan Raelan.

**

"Melamun terus?" Raelan menghentikan mobil di depan lampu merah.

"Hm... kangen bunda. Rasanya masih kayak mimpi. Ayah juga masih saja seperti itu. Aku sekarang benar-benar merasa sebatang kara."

Raelan mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Sebatang kara bagaimana? Kamu melupakan aku di sini ya?" Dia mencubit pipiku.

"Tapi tetap saja kan, kalau ayah nggak memberi izinnya kamu nggak akan menikahiku. Huh! Padahal waktu itu kamu langsung bilang ingin menikahiku. Ingat nggak, waktu kita makan malam pertama kali setelah enam tahun nggak ketemu?"

"Ingat kok. Tapi sekarang keadaannya berbeda Falia."

Aku tiba-tiba merasa bimbang dan takut. Apa Raelan sebenarnya benar-benar menginginkanku? Seharusnya jika benar mencintaiku dia akan tetap menikahiku apa pun yang terjadi. Aku menatap laki-laki yang paling kucintai itu dari samping. Dia kembali serius menyetir saat lampu lalu lintas kembali hijau. Aku takut kalau tiba-tiba Raelan pergi meninggalkanku suatu hari karena dia menyerah untuk mendapatkanku seutuhnya. Aku takut dia menyerah karena sampai sekarang ayah masih bersikeras tidak mau memberikan restunya. Apa aku harus memaksanya untuk kawin lari lagi? Tapi aku tahu, pasti jawabannya tetap tidak seperti dua tahun lalu. Bahkan meski aku menangis semalaman dia tetap tidak mau menikahiku tanpa restu ayah.

"Sudah sampai rumah sakit, Nona Falia." Dia berbisik lembut di telingaku sambil membukakan sabuk pengamanku.

"Ah, sudah sampai ya?"

"Melamun terus sih." Kami memasuki gerbang rumah sakit bersama. Setelah menanyakan ruang tempat Rama dirawat ke bagian informasi kami naik lift menuju lantai 8. Saat aku hendak membuka pintu kamar rawat Rama tiba-tiba pintunya sudah terbuka duluan. Kak Mawar keluar dari sana.

"Hai Falia."

"Hai Kak, bagaimana keadaan Rama?"

"Ya, besok dia sudah bisa pulang, hanya ada beberapa pemeriksaan rutin setelahnya."

"Aku boleh masuk?"

"Boleh, boleh, silakan. Tapi aku mau pulang dulu mengambil beberapa barang. Nggak apa-apa kan aku tinggal?"

"Ya, nggak apa-apa kok. Kami cuma mampir sebentar sebelum kembali ke apartemen."

"Ah, selama nggak ada kamu dua tahun lalu, Rama jadi makin murung dan tertutup. Bersyukur sekarang dia sudah dapat donor mata, semoga dia bisa kembali penuh semangat seperti dulu. Makasih banyak ya Falia." Kak Mawar memelukku dengan hangat sebelum benar-benar meninggalkan rumah sakit.

Kami masuk ke kamar rumah sakit. Rama menatapku sebentar lalu langsung memalingkan pandangannya pada Raelan. Dia menatap Raelan agak lama, hingga akhirnya Raelan mendekat dan mengulurkan tangannya mengajak Rama berjabat tangan.

"Nggak perlu banyak mengenalkan diri kan? Pasti Falia sudah banyak cerita tentang diriku."

"Ahaha... ya begitulah. Dia banyak cerita tentangmu padaku."

"Dia juga banyak cerita tentangmu padaku. Apalagi saat tiba-tiba kamu menghilang, dia seperti orang gila yang setiap hari mengirim E-mail padahal nggak pernah dibalas. Pst... kamu tahu dia sudah naksir padamu sejak masih di sekolah menengah? Kalau kamu mau tahu lebih banyak rahasia Falia kapan-kapan mari kita minum kopi berdua."

"Ahaha... ide bagus."

"Tiba-tiba aku merasa terkucilkan di sini." Aku cemberut menatap dua laki-laki tampan di dekatku ini bergantian.

"Apa kabar kamu setelah dua tahun menghilang? Kalian bedua punya hobi yang sama ya, sama-sama suka menghilang tanpa jejak." Rama menjitak kepalaku dengan gulungan majalah saat aku duduk di tepi tempat tidurnya.

"Maaf."

"Tega banget ninggalin cowok buta sendirian, aku kesepian tahu!"

"Iya, iya, maaf."

"Sepertinya aku perlu ke minimarket membeli beberapa camilan supaya kita bisa ngobrol lebih enak?" Raelan pamit, aku tahu dia hanya ingin memberi waktu untukku dan Rama mengobrol lebih leluasa. Dia pernah bilang dia sedikit merasa bersalah karena dia aku meninggalkan Rama yang saat itu hanya punya aku sebagai sahabatnya, apalagi keadaannya saat itu juga masih belum bisa melihat. Raelan juga tidak pernah keberatan jika aku sedang membicarakan soal Rama. Mungkin ini salah satu keuntungannya punya pasangan yang usianya terpaut lebih dewasa, dia lebih pengertian.

"Bagaimana rasanya melihat dunia lagi setelah kurang lebih sembilan tahun?"

"Rasanya... hm... aku hampir lupa wajahmu seperti apa? Sepertinya sekarang tambah jelek ya?"

"Menyebalkan!"

"Ahaha..."

"Syukurlah, aku bahagia banget. Seenggaknya, aku masih bisa mengenang bunda setiap melihat kamu."

"Aku juga bahagia banget. Terima kasih ya Falia, kalau tanpa kamu mungkin aku nggak akan mengenal bundamu, dan nggak akan dapat donor mata sekarang. Hm... bagaimana perasaanmu sekarang sudah membaik? Kemarin malam Tante Belinda menjengukku, dia bilang kamu nggak mau berhenti menangis."

"Ya, tentu saja masih sedih. Tapi aku coba menerima semuanya sebagai keputusan takdir, aku nggak bisa menolaknya. Ah, ayolah, jangan bicara hal-hal yang bikin aku tambah sedih."

"Oke, oke, jadi gimana perkembangan kisah cintamu dan pak guru itu?"

"Hm... semuanya lancar kecuali restu ayah."

"Oh ya? Jadi belum menikah? Aku pikir kalian sudah kawin lari. Bundamu bilang kalian tinggal satu apartemen?"

"Heh! Kami tinggal satu gedung bukan satu kamar apartemen!"

"Huahaha...."

"Dia memang kelihatannya laki-laki baik-baik. Syukurlah, aku bisa tenang."

"Tenang?"

"Hm... sebelum bundamu meninggal, dia memintaku berjanji untuk menjagamu dan memastikan kamu selalu bahagia. Eh, sepertinya dia nggak percaya dengan Raelan ya, sampai harus menitipkanmu padaku." Rama tertawa jahil.

"Enak saja! Bunda justru yang paling merestui hubungan kami."

"Haha... ya aku tahu. Sejak kamu tinggal di apartemen bundamu sering datang ke rumah menemuiku dan kami banyak ngobrol tentang kamu. Sejujurnya dia selalu mengkhawatirkanmu Falia."

"Aku tahu."

"Jadi tolong jangan tambah bebanku dengan membuat hal-hal yang merepotkan, karena bundamu memintaku memastikanmu selalu bahagia."

Aku melempar bantal ke arah Rama, "Bicaramu seperti kakek-kakek saja!"

"Aduh... aku serius!"

"Tenang saja, Raelan akan menjagaku dengan baik."

"Hm... baguslah. Falia, aku akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat, mungkin setelah semua proses pemeriksaan dan pengobatanku selesai. Aku ingin menemui Shinta."

"Ah, benarkah?"

"Ya."

"Kamu sudah melihat wajahnya? Di internet pasti banyak fotonya."

"Belum. Aku sengaja ingin membuat kejutan untuk diriku sendiri. Aku akan melihatnya langsung sesampainya di Indonesia saja."

"Kenapa? Kamu khawatir wajahnya jelek ya? Ya, siap-siap saja karena aku seratus kali lebih cantik darinya!"

"Ahaha... kamu nggak berubah ya!"

Tak lama kemudian Raelan datang dan ikut bergabung membicarakan banyak hal, kami bertiga saling bertukar tawa. Sejenak aku sempat melupakan kesedihanku tentang kepergian bunda. Tapi di satu sisi aku agak sedih juga Rama akan kembali ke Indonesia. Aku tahu aku tak punya hak menahannya. Aku akan kehilangan sosok sahabatku selama ini, bahkan setelah dua tahun aku meninggalkannya sekarang dia yang akan meninggalkanku.

Setelah menghabiskan hampir dua jam berbicara macam-macam kami berpamitan untuk kembali ke apartemen. Kami berjanji akan menemui Rama lagi sebelum dia ke Indonesia. Aku juga memintanya tetap menghubungiku meski sudah ada di Indonesia nantinya. Aku ikut berdoa untuk kebahagian kisah cintanya dan Shinta. Rama juga sudah banyak mengalami kesulitan terutama sejak kehilangan penglihatannya. Dia sempat mengubur cintanya dan keinginannya untuk menemui Shinta lagi. Aku tahu pasti dia sekarang sangat bahagia akan bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Jadi aku tak tega untuk bilang, sebenarnya aku masih ingin dia di sini, menemaniku, menjadi sahabat terbaik di dekatku. Ah, iya, aku memang egois!

- bersambung -

Continue Reading

You'll Also Like

6.7M 336K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
435K 17.7K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
882K 94.8K 46
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
1.4M 68K 51
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...