Woman's Need

By WriteontheWall77

2.7M 25.2K 487

Kumpulan cerita pendek Only for 21+++ Disclaimer: adult romance, mature, sex scene More

Birthday Girl 1
Birthday Girl 2
Heartbreak Sex
Heartbreak Sex 2
You Belong in My Bed 1
You Belong in My Bed 2
You Belong in My Bed 3
Papaku, Kekasihku 1
Papaku, Kekasihku 2
Papaku, Kekasihku 3
My Lovely Girl
My Lovely Girl
My Lovely Girl
My Professor 1
My Professor 2
Acting, Go!
Acting, Go! 2
Acting, Go! 3
Acting, Go! 4
Swipe Right 1
Swipe Right 2
Woman's Need Vol 1
Bad Holiday 1

Dear Teacher 1

58.4K 836 46
By WriteontheWall77

"Pak Aiman?"

Aku hampir tidak mempercayai penglihatanku. Aku berada di dalam café ketika mataku tertumbuk pada sosok yang familiar, tapi sudah lama tidak bertemu. Buru-buru aku membereskan buku dan semua bawaanku, menyambar gelas kopi yang masih penuh, lalu bergegas keluar café.

Jalanan Brooklyn cukup ramai sore ini. Sedang musim liburan, jadi terasa begitu padat.

Aku menjulurkan leher dan mencari sosok Pak Aiman. Rasanya mustahil bertemu dengan mantan guruku itu di Brooklyn.

Saat melihatnya lagi, aku sengaja berlari untuk menyusulnya.

"Pak Aiman?" panggilku.

Sosok tersebut berhenti dan berbalik. Senyumku refleks terkembang saat berada di hadapannya. Aku tidak salah orang. Yang berdiri di hadapanku benar Pak Aiman, mantan guruku saat SMA dulu.

"Kok bisa di sini, Pak?"

Lama tak bertemu, Pak Aiman tidak banyak berubah. Hanya wajahnya yang tampak lebih tua, dengan kerutan di ujung mata yang semakin terlihat. Bahkan saat muda pun, kerutan itu sudah ada di sana tapi hanya terlihat saat dia tersenyum.

"Aku Cindy, murid Bapak dulu di SMA Mentari." Aku mengingatkannya.

Wajah bingung Pak Aiman berubah setelah aku memperkenalkan diri. Aku tidak yakin dia mengingatku. Sudah lebih dari enam tahun sejak aku lulus SMA. Setiap tahun, ada puluhan murid yang diajarnya. Apalagi aku tidak punya prestasi mencolok yang membuatku menonjol saat sekolah dulu, jadi mustahil jika beliau mengingatku.

"Cindy, hai. Kamu kuliah di sini?"

Aku mengangguk. "Lagi lanjutin S2. Pak Aiman sama siapa?"

"Anak saya, Radit. Dia mulai masuk kuliah summer ini."

Mataku terbelalak. "Radit? Ya ampun, yang aku ingat dia masih SD. Dia yang dulu suka Bapak bawa ke sekolah, kan?"

Pak Aiman tertawa, membuat kerutan di keningnya semakin jelas.

"Dia kuliah di mana?"

"NYU," sahutnya.

"Aku juga," sambarku. Setelahnya aku menyesal, karena terlalu bersemangat untuk sesuatu yang tidak seharusnya.

"Baguslah. Saya bisa minta tolong kamu buat bantu Radit beradaptasi di sini."

Aku mengacungkan ibu jari di hadapannya. "Aman, Pak Aiman tenang aja. Terus, Radit mana?"

"Di dorm. Dia tinggal di lingkungan kampus, pindah hari ini."

Aku mengangguk tanda mengerti. "Masih lama di sini, Pak?"

"Sampai lusa. Saya enggak bisa cuti lama-lama."

Artinya masih ada dua hari lagi. Entah apa yang kurasakan, aku sendiri juga tidak mengerti mengapa aku bersemangat saat bertemu beliau.

"Radit pasti sibuk sama teman barunya. Aku bisa nemenin Pak Aiman jalan-jalan di New York," tawarku.

Pak Aiman sontak tertawa sambil mengusap lehernya. Tawanya terdengar renyah, persis seperti yang ada di ingatanku.

"Kamu enggak sibuk?"

Aku menatap buku yang kubawa. Ada banyak tugas yang harus diselesaikan, tapi aku keberatan jika tidak menghabiskan waktu bersama Pak Aiman.

"Enggak juga. Aku tahu banyak gedung bersejarah, jadi bisa temenin Bapak jalan-jalan. Pak Aiman pasti suka, secara guru sejarah, kan?"

Tawanya makin keras, membuatku tersipu-sipu. "Jadi, kamu mau membawa saya ke mana, Cindy?"

Ditanya seperti itu malah membuatku kaget. Aku tidak punya jawaban, sehingga hanya bisa melihat sekitar. Saat menatap stasiun subway yang tidak begitu jauh dari tempatku berdiri, aku kepikiran ide cemerlang.

"Grand Central station," sahutku.

Pak Aiman mempersilakanku jalan duluan. "Lead the way."

***

Setelah membawa Pak Aiman jalan-jalan ke Grand Central dan gedung bersejarah lainnya, aku membawanya ke area kampus.

"Nah ini bar tempat mahasiswa suka nongkrong." Aku menunjuk bar di hadapanku. Karena musim liburan, jadi tidak banyak mahasiswa di sana. "Area ini famous di kalangan anak kampus sini. Semua ada di sini. Radit tinggal enggak jauh dari sini, kan?"

Pak Aiman menggeleng.

"Kita makan malam di sini aja. Kenapa enggak ajak Radit sekalian?" ujarku sambil mendahului Pak Aiman menuju café yang terletak di sebelah The Bar, bar tempat aku dan teman-temanku suka nongkrong.

"Ada acara di dorm, jadi dia enggak bisa gabung." Pak Aiman mengikutiku memasuki café. Café itu cukup hits sehingga susah mencari meja. Hanya ada meja bar panjang sehingga aku mengajaknya ke sana.

Pak Aiman menarik kursi di sampingku. Sepanjang sore ini aku bersamanya, tapi baru saat dia duduk di sampingku, aku merasakan jantungku berdebar hebat. Selama jalan-jalan, Pak Aiman seolah sengaja mengambil jarak dariku, bahkan saat berada di subway sekalipun, ada jarak yang tersisa. Namun itu tidak berlaku karena café dalam keadaan padat sehingga mau tidak mau dia duduk di sebelahku.

Mengapa aku jadi deg-degan?

"Omong-omong, memangnya Pak Aiman ingat aku?" tanyaku, setelah memesan makanan. Aku memesan bir, yang mendapat tatapan tidak percaya dari Pak Aiman. Namun, dia pun akhirnya memesan bir yang sama.

"Kamu Angkatan 73," sahutnya.

Aku refleks tergelak. "Kirain lupa."

"Bagaimana bisa lupa. Saya pernah menghukummu berdiri di luar kelas karena ngobrol terus di kelas saya."

Aku refleks mengantukkan kepala ke meja. Pipiku pasti memerah. Aku memang bukan murid teladan, tapi aku juga bukan murid nakal yang tidak bisa diatur. Aku selalu mempertahankan peringkat lima besar selama SMA.

Waktu itu kelas Pak Aiman. Aku mendengarkan curhat temanku, Nami, yang baru putus dari pacarnya. Aku sudah memperingatkan Nami untuk menunda curhat, tapi temanku itu enggak mau tahu. Dia terus saja bercerita. Pak Aiman memergoki, dia paling tidak suka jika ada yang mengobrol di kelas. Akibatnya, dia menghukum kami berdiri di luar kelas. Itu pertama dan terakhir kalinya aku dihukum.

"Ingatnya kenapa yang jelek, sih, Pak?" erangku.

Pak Aiman menoleh ke arahku. Jaraknya begitu dekat dan aku tidak menyangka dia akan berada sedekat itu. tanpa sadar, aku terkesiap.

He's so damn good looking.

Aku memutar otak, memperkirakan usianya saat ini. Dia salah satu guru muda saat aku SMA. Kalau tidak salah saat itu dia berada di usia tiga puluhan. Sudah enam tahun sejak aku lulus SMA. Jika tebakanku benar, Pak Aiman berusia di akhir tiga puluhan atau di awal empat puluhan.

Dia salah satu guru idola di sekolah. pak Aiman juga Pembina OSIS yang membuatnya dekat dengan siswa. Selain dia menyenangkan saat di kelas, di luar kelas juga Pak Aiman memiliki hubungan dekat dengan murid.

Khusus murid cewek, juga mengagumi ketampanan Pak Aiman. Namanya sudah melegenda, bahkan sejak aku SMP. Aku pindah ke sekolah yang berada di yayasan tersebut di kelas dua SMP, dan sudah mendengar kabar seorang guru tampan di SMA Mentari. Pak Aiman tidak hanya mengajar, dia juga anak dari pemilik yayasan. Jika kakaknya meneruskan yayasan, Pak Aiman menjadi guru karena suka mengajar.

Waktu masuk SMA, aku senang karena diajar oleh Pak Aiman. Desas desus itu benar. Di mataku, Pak Aiman jauh lebih tampan dibanding teman-teman sekolahku. Dia punya tubuh tinggi tegap, kulitnya cokelat, dan wajahnya yang memiliki darah Timur Tengah membuatnya begitu menonjol di antara guru-guru lain.

Hampir semua murid cewek di yayasan tersebut pernah menggebet Pak Aiman, atau sekadar mengagumi. Semuanya, termasuk aku, patah hati ketika tahu Pak Aiman sudah menikah. Dia pernah membawa anaknya ke sekolah saat Family Day. Meski begitu, masih saja banyak yang mengaguminya.

Sekarang pun sama. Usia membuat Pak Aiman semakin matang dan tampan. Jika tidak berada di sekolah, dia tidak terkesan dingin. Kesan itu sama sekali salah, karena semua orang setuju bahwa Pak Aiman begitu ramah.

Mataku melirik jari tangannya. Tidak ada cincin di sana. Dulu, jika ada yang membicarakan Pak Aiman, maka cukup melihat jarinya untuk tahu kalau dia sudah menikah.

Ke mana perginya cincin itu?

"Bapak sendirian aja?" tanyaku.

Pak Aiman mengangguk sekilas. "Tadinya Radit mau pergi sendiri, tapi saya enggak tenang melepas dia sendiri."

"Kirain istrinya ikut," celetukku pelan, tapi didengar dengan jelas olehnya.

Pak Aiman hanya tertawa pelan. "Kamu kuliah jurusan apa?"

"Bisnis," sahutku. "Tapi aku juga mengambil peminatan seni."

"Bukannya kamu suka seni?"

Aku mengerucutkan hidung. "Maunya gitu, tapi enggak diizinin Papa. Makanya ambil bisnis, soalnya Papa enggak mau bayarin kuliah seni."

"Sudah lama di sini?"

Aku menggeleng. "Aku ambil bachelor degree di UCLA. Baru lanjut master di NYU."

"Terus nanti kerja di sini?"

"Kalau bisa, tapi mau pulang juga. Capek tahu, Pak, di sini. Orang-orangnya ambisius semua. Terus apa-apa mahal. Enakan di rumah," jawabku.

Pak Aiman bertanya soal kuliahku, juga New York. Kalau ada yang berkata bahwa aku akan menghabiskan sore bersama Pak Aiman, aku tidak akan percaya. Namun ini nyata, meski kejadian sore ini terasa begitu absurd.

"Nah, ini dia." Aku membuka notebook dan merobek salah satu halaman. "Aku catat alamat PPI New York, Radit pasti butuh."

"Thanks, Cindy." Pak Aiman mengambil kertas berisi alamat yang kutulis lalu menyimpannya ke dalam kantong.

"Sebentar ya, Pak. Aku ke toilet dulu."

Aku meninggalkan Pak Aiman serta menitipkan tas kepadanya sebelum bergegas menuju toilet. Aku tidak bisa henti tersenyum saat mengingat kejadian sepanjang sore ini. Saat di toilet, aku mengirim pesan kepada Nami soal pertemuanku dengan Pak Aiman. Dia pasti tidak percaya kepadaku.

Saat kembali ke meja, aku melihat Pak Aiman membaca buku catatanku. Mataku terbeliak saat melihat apa yang dibacanya.

"Sorry. Tadi ada yang menyenggol bukumu dan jatuh." Pak Aiman menyodorkan buku itu kepadaku. "Saya enggak sengaja baca."

Wajahku langsung memerah. Aku bergegas menyimpannya ke dalam tas, berharap Pak Aiman belum sempat membaca seluruhnya.

It was my bucketlist.

Daftar berisi keinginan yang akan kupenuhi di tahun terakhirku di New York. Isinya tidak ada yang penting, hanya daftar keinginan biasa. Kecuali poin terakhir.

Having a mindblowing sex.

Jangan bilang Pak Aiman membaca poin terakhir tersebut.

"So, bucketlist?" tanyanya.

Aku sengaja memasang wajah datar. "Temanku yang ngusulin, mumpung ini tahun terakhirku."

"Semuanya sudah dicoret."

"Hampir," ralatku. Tinggal beberapa poin, kecuali poin terakhir.

"Kamu bermaksud mewujudkan semuanya?"

Aku mengangguk. Mataku menatap ke sembarang arah, tidak berani menghadap ke arahnya.

"Dulu saya juga punya bucketlist. Waktu seumur kamu." Dia terkekeh.

Pengakuannya membuatku terperanjat. "Hasilnya?"

"Semuanya sudah dipenuhi."

"Isi keinginannya apa saja?" Aku bertanya ingin tahu.

"Ya kurang lebih sama seperti punyamu."

"Termasuk soal mindblowing sex?"

Pak Aiman menyemburkan bir yang diteguknya, sementara aku menyesal sudah kelepasan bicara. Nami pernah memperingatkan bahwa suatu hari nanti, aku akan dibuat susah oleh kebiasanku yang tidak bisa mengontrol mulut. Sekarang ucapan Nami terbukti.

"Termasuk itu."

Sekarang aku malah berpikir liar, karena membayangkan berhubungan seks dengan Pak Aiman.

Ugh, ini pasti karena sudah lama aku tidak berhubungan seks. Bisa-bisanya aku membayangkan sedang bersenggama dengan mantan guruku yang jauh lebih tua.

Lo sudah gila, Cindy.

Namun, saat menatap Pak Aiman, aku tidak bisa mengenyahkan pikiran tersebut. Aku memberanikan diri untuk menelitinya. Bagaimana rasanya jika bibirnya yang tebal itu menciumku? Seperti apa Pak Aiman saat mencium seseorang? Selama ini dia terkenal kalem, Apakah seperti itu juga caranya mencium? Atau justru sebaliknya, Pak Aiman bisa mencium dengan liar?

Aku mengusir pikiran itu jauh-jauh, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Sulit untuk mengalihkan tatapan darinya. Sekarang aku malah membayangkan apa yang tersembunyi di balik kemeja yang dipakainya. Pak Aiman memiliki tubuh tinggi tegap. Dari balik lengan kemeja yang dilipat hingga siku, aku bisa melihat bayangan otot yang mengintip. Tubuhnya tinggi dan liat. Pasti menggairahkan jika dia berada di atasku dan memacu...

Stop it.

Mengapa aku membayangkan tengah bercinta dengan Pak Aiman?

Aku menepuk kedua sisi pipi, berusaha menyadarkan diriku sendiri.

"Kenapa kamu ingin minum sampai mabuk?" Pak Aiman mengutarakan salah satu keinginanku.

"Pengin aja, enggak ada alasan apa-apa."

"Kenapa belum dilakuin?" tanyanya.

"Aku masih bertanggung jawab, jadi aku mau kalau mabuk, ada yang jagain. Masalahnya enggak ada yang aku percaya bakal enggak ngapa-ngapain kalau aku mabuk."

"Pacarmu?"

Aku refleks mendengkus. "Mantan pacar, tapi justru dia yang paling enggak bisa dipercaya."

Saat tanpa sengaja menatap Pak Aiman, sebuah ide liar merasuki benakku. "Pak Aiman mau bantuin aku wujudin bucketlist?"

Pak Aiman menatapku dengan kening berkerut. "Yang mana?"

Mindblowing sex. Hampir saja aku melontarkan keinginan tersebut, tapi langsung tersadar di detik terakhir.

"Mabuk."

"Ngaco kamu."

Aku menggeleng. "Aku percaya Bapak bakal jagain."

Pak Aiman hanya tertawa, sementara keinginan itu semakin bercokol di benakku.

***

Aku berhasil membawa Pak Aiman ke The Bar. Dia masih berusaha membujukku mengurungkan niat, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku semakin yakin ini saat yang tepat untuk mewujudkan isi bucketlist.

The Bar sangat padat. Beruntung aku mengenal John, teman kuliahku yang bekerja sebagai bartender. Dia memastikan semua alkohol yang kubutuhkana da di depanku.

I'm a light drinker. Itu yang membuatku tidak berani minum alkohol tanpa ada yang menjaga. Selama ini ada Nami, yang jauh lebih bertanggung jawab dinbanding aku, dan Nami selalu menjadi satu-satunya yang serastus persen sadar kalau kami sedang nongkrong.

Baru beberapa gelas, aku merasakan kepalaku berputar. Pandanganku tidak fokus. Bahkan di mataku Pak Aiman ada dua.

Mabuk membuatku cepat gerah. Aku sudah melepaskan hoodie sehingga hanya memakai tank top. Begini saja masih membuatku gerah.

"Sebaiknya kamu berhenti." Pak Aiman menahan tanganku yang teracung untuk memanggil John. Sejak tadi, dia tidak minum apa-apa.

Aku menatap tanganku yang berada di dalam genggaman Pak Aiman. Tangannya begitu besar dan menenggelamkanku. Bagaimana rasanya jika tangan itu menyentuhku?

"What?" tanyanya.

Aku tersentak. Pertanyaan itu kuucapkan dengan keras.

"Omongan orang mabuk, Pak," elakku.

Pak Aiman tertawa. "Sudah cukup, ya."

"Ini belum seratus persen mabuk, Pak," elakku.

"Cindy, kamu sudah mabuk."

Aku sengaja menegakkan tubuh untuk membuktikan kepada Pak Aiman bahwa aku masih sadar.

"Aku tahu tandanya kalau sudah mabuk. Pertama, aku bakal kegerahan jadi suka buka baju. Kedua, aku ngomongnya ngaco."

Tawa Pak Aiman terdengar di sela bar yang riuh. "Kalau tidak saya larang, kamu sudah buka baju dari tadi."

Aku refleks tertawa. Hanya tersisa tank top dan celana jins di tubuhku.

"Tapi, omonganku belum ngaco," elakku lagi.

"Kamu bertanya gimana rasanya kalau saya sentuh. Itu sudah ngaco, Cindy."

Mataku terbelalak.

"Sebelumnya, kamu bertanya gimana rasanya ciuman sama saya."

Rasanya ingin menggali kuburku sendiri. Masa iya aku bertanya seperti itu? Aku sempat memikirkannya, tapi itu hanya ada dalam benakku.

"Barusan kamu ngomong sendiri." Pak Aiman terkekeh.

Aku menutup mulut. "Bapak bisa baca pikiran?"

"Kamu ngomong keras-keras, seolah saya enggak ada di sini." Pak Aiman bangkit berdiri. Dia membantuku berdiri. Saat berada di atas kedua kaki, aku merasa kepalaku begitu berat. Langkahku goyah sehingga tubuhku terhuyung. Hampir saja aku menabrak orang lain kalau saja Pak Aiman tidak menahan tubuhku.

"Kamu tinggal di mana?" tanyanya.

Aku menggumamkan alamatku. Dengan terpaksa, aku mengikuti Pak Aiman yang membawakau keluar dari bar.

Sepertinya dia benar. Aku sudah mabuk.

Pak Aiman membawaku masuk ke dalam taksi. "Alamatmu, Cindy."

Aku kembali menggumamkan alamatku. Saat berada di taksi yang hangat, kantuk menguasai. Aku merapat mendekati Pak Aiman dan merebahkan kepala di pundaknya.

"Cindy, alamatmu," ulangnya.

Aku memejamkan mata dan menggumamkan alamatku. Setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Tubuhku terasa panas. Namun bukan karena ruangan yang panas. Aku bisa merasakan embusan AC di kulitku. Lalu, di mana sumber panas ini?

Di saat aku berusaha mencari tahu, aku merasakan ada yang menindihku. Detik itu aku sadar, apa yang membuatku panas.

Semua karena gairah. Tepatnya, gairahku.

Pak Aiman berada di atas tubuhku. Kulitnya terasa hangat saat bersentuhan denganku.

And... he's naked.

Aku ingin melihatnya lebih saksama, menikmati tubuh telanjangnya, tapi Pak Aiman tidak memberiku kesempatan. Bibirnya menciumku, dan itu yang membuatku tidak bisa bicara. Karena Pak Aiman melumatku ke dalam ciumannya.

Dia mencium dengan liar. Aku menemukan jawaban dari pertanyaanku.

Tubuhnya yang menindihku membuatku semakin bergairah. Terlebih ketika aku merasakan sesuatu yang keras menusuk perutku.

Aku terbeliak.

Big cock.

Shit.

Aku mengerang ketika bibir Pak Aiman bergerak turun ke leher hingga berakhir di payudaraku. Rasanya begitu menggoda. Pak Aiman menjilati putingku sebelum meraupnya ke dalam cumbuan yang liar.

Bukan hanya ciumannya saja yang liar. Aku yakin, seks dengan Pak Aiman juga akan terasa liar.

"Pak, please..."

"Yes, Cindy..."

Suaranya yang berat begitu menggoda. Gairah sudah menguasaiku, membuatku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Aku bergerak untuk menyentuh penisnya, tapi pak Aiman malah mengangkat tubuhnya. Dia tersenyum simpul sebelum tiba-tiba menghilang dari hadapanku.

Mataku terbuka.

Mimpi sialan.

Bisa-bisanya aku bermimpi erotis. Namun, mimpi itu terasa begitu nyata. Aku merasa panas, karena gairah itu masih ada.

Aku memejamkan mata, tapi mimpi itu tidak bisa hilang. Gairah membuatku menyentuh tubuhku sendiri. Kedua tanganku meremas payudaraku sementara aku membayangkan Pak Aiman yang melakukannya. Aku meremasnya dengan keras, karena di dalam mimpiku, seperti itulah Pak Aiman memperlakukanku. Tidak ada kelembutan di balik sentuhannya. Hanya ada gerakan liar yang menuntut.

Aku menyelipkan tangan ke antara paha. Kewanitaanku dalam keadaan basah akibat gairah. Aku mengusap kewanitaanku, membayangkan Pak Aiman yang melakukannya.

Apa yang akan dilakukan Pak Aiman?

Aku mengerang saat melesakkan jariku ke dalam liang senggama. Aku menggunakan dua jari untuk menjemput kenikmatan. Tanganku yang bebas sibuk meremas payudara dan memelintir putingku sendiri.

Meksi di dalam mimpi, aku bergairah saat membayangkan Pak Aiman tengah menyusu di payudaraku.

Bayangan itu membuatku semakin liar menggauli tubuhku sendiri.

"Pak Aiman..." desahku. Jariku menusuk dengan keras, membuatku terpacu menjemput kenikmatan.

Ini bukan kali pertama aku memuaskan tubuhku, tapi baru kali ini aku membayangkan Pak Aiman saat melakukannya.

"Lebih cepat, Pak..." desahku, dan aku mempercepat gerakanku.

Tubuhku mulai tidak terkendali. Gairah sudah sepenuhnya mengambil alih. Aku semakin keras menusukkan jari, juga meremas payudaraku tanpa terkendali.

Kali ini berbeda. Belum pernah aku mencapai orgasme dalam waktu secepat ini. Aku berpacu dengan waktu dan mengerangkan nama Pak Aiman saat menjemput puncak kenikmatan.

Tubuhku bergetar hebat saat orgasme menyapa. Aku tidak melawannya, membiarkan orgasme menguasai seluruh tubuh. Aku menyerah sepenuhnya pada kenikmatan.

Aku berakhir dengan napas terengah-engah. Senyum terkembang di wajahku akibat rasa puas. Ketika melepaskan jariku, aku merasa kosong.

Aku membuka mata. Menyambut hari dengan orgasme hebat terasa menyenangkan.

Namun, saat membuka mata, aku tidak mengenali kamar ini.

Aku refleks terduduk. Mataku menatap sekeliling. Ini bukan apartemenku. Ini bukan kamarku. Kamar ini begitu besar dan dingin. Seperti kamar hotel.

Mataku terbelalak saat kesadaran menyapa. Ini kamar hotel siapa?

Aku memaksa diri mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatan terkhirku adalah Pak Aiman mengantarku pulang. Aku berada di dalam taksi sebelum tertidur.

Apa ini kamar hotel Pak Aiman? Mengapa aku bisa berada di sini?

Aku menyibak selimut dan kesadaran lain menyentakku. Aku menunduk dan mendapati tubuh telanjangku.

Aku telanjang di kamar hotel Pak Aiman.

Namun, bukan itu yang membuatku panik. Aku baru saja masturbasi di tempat tidurnya, sambil membayangkan Pak Aiman. Aku mengalami orgasme sambil membayangkan mantan guruku itu.

Mengapa aku bisa telanjang?

Mataku nyaris meloncat keluar dari rongganya saat melihat pakaian pria di lantai. Aku mengenali kemeja itu sebagai milik Pak Aiman yang dipakainya kemarin.

Jangan-jangan yang kualami bukan mimpi?

Aku menggeleng. Itu tidak mungkin. Pak Aiman tidak akan mungkin menyetubuhiku ketika aku tidak sadar.

Namun aku tidak punya jawaban, mengapa aku bisa telanjang di tempat tidurnya?

Aku tidak melihat Pak Aiman. Mungkin dia sedang keluar. Buru-buru aku bangkit dari tempat tidur dan berpakaian. Aku harus secepatnya keluar dari kamar ini sebelum Pak Aiman kembali.

Dengan menanggung malu, aku keluar dari kamar hotel, berharap tidak perlu bertemu dengan Pak Aiman lagi.


PS: Coming soon, Woman 's Need Vol 1 PDF

Akan segera hadir versi PDF dari cerita singkat yang ada di Woman's Need. Apa bedanya?

Jadi, di volume 1 ini akan ada total 10 cerita one shot yang pastinya super hot dan super romantis. Lima di antaranya sudah pernah dibaca di Wattpad, dan akan ada lima cerita baru (salah satunya soal Pak Aiman ini).

Kapan: Jika tidak ada halangan, bisa dibaca di akhir Mei 2024.

Setelahnya, kita akan masuk ke Woman's Need volume 2 yang berisi cerita baru. (Cerita yang ada di versi PDF, tidak termasuk ke dalam volume 2 ini), jadi benar-benar fresh. Woman's Need sendiri akan terus berlanjut, entah sampai berapa volume, karena ada banyak cerita seru yang bisa diikuti.

Sudah siap untuk punya versi PDF-nya?

Continue Reading

You'll Also Like

631K 5.9K 10
"Because man and desire can't be separated." πŸ”žMature content, harap bijak. Buku ini berisi banyak cerita. Setiap ceritanya terdiri dari 2-4 bab. Hap...
4.5M 134K 88
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž π‘©π’†π’“π’„π’†π’“π’Šπ’•π’‚ π’•π’†π’π’•π’‚π’π’ˆ π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’˜π’‚π’π’Šπ’•π’‚ π’šπ’ˆ π’ƒπ’†π’“π’‘π’Šπ’π’…π’‚π’‰ π’Œπ’† 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π’π’‚π’Šπ’ 𝒅𝒂𝒏 οΏ½...
4.1M 30.7K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
764K 3.3K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. πŸ”›πŸ” my storys by m...