My Professor 1

96.3K 1K 15
                                    

Setiap orang di kampus pasti mengenal Pak Hendra, dosen termuda yang menjadi ketua jurusan. Aku pertama mengenalnya di semester pertama kuliah, tepatnya di mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, mata kuliah dasar yang harus diambil semua mahasiswa baru. Caranya mengajar membuat mata kuliah yang membosankan, jadi fun.

Aku pun terpesona oleh kepintarannya. Di tahun pertama kuliah, aku begitu mengagumi Pak Hendra.

Aku pun menyadari perasaan itu berubah di tahun kedua. Kuakui, aku menyukai Pak Hendra. Rasa kagum itu berubah jadi suka seiring waktu.

Namun, perasaan itu terlarang. Sebagai mahasiswa, tidak seharusnya aku menaruh suka kepada dosenku sendiri. Namun, aku tidak bisa menahan perasaanku yang berkembang begitu cepat.

Selain itu, status Pak Hendra yang sudah menikah juga membuat perasaanku makin terbebani. Aku tidak seharusnya menyukai pria beristri.

Di akhir tahun kedua, istrinya meninggal. Selama beberapa saat, aku merasa kehilangan Pak Hendra. Dia yang tengah berdua memutuskan untuk istirahat sejenak. Selama satu semester, aku tidak tahu kabar Pak Hendra.

Ketika dia kembali ke kampus di tengah tahun ketiga, kupikir perasaanku sudah berubah. Nyatanya, di hari pertama bertemu dengannya lagi, kusadari aku begitu merindukannya.

Mungkin perasaan suka itu sudah berubah menjadi cinta, dan aku tidak menyadarinya.

Saat libur semester, aku magang di sekretariat kampus. Saat itulah aku semakin sering berinteraksi dengan Pak Hendra. Suasana kampus yang sepi karena mahasiswa sedang libur membuatku lebih sering bergaul dengan dosen atau karyawan sekretariat.

Mungkin aku telah jatuh cinta kepada Pak Hendra di salah satu makan siang. Di kantin kampus, obrolan dengannya awalnya hanya sebatas masalah kuliah. Lalu  aku jadi curhat masalah hidup, termasuk masa depan yang mendadak kabur karena aku enggak tahu apa yang akan kulakukan setamat kuliah. Dari obrolan itu, aku terinspirasi Pak Hendra untuk lanjut kuliah master di Belanda, dan nanti menjadi dosen.

Mungkin itulah cikal bakal perasaanku kepadanya.

Aku ingat sore itu, saat terjebak di kampus karena hujan, aku hampir mencium Pak Hendra. Entah apa yang merasukiku saat itu.

Aku mungkin tidak akan senekat itu kalau saja Pak Hendra tidak menanggapi. Aku yakin, Pak Hendra juga mau menciumku. Pertentangan di matanya terlihat jelas. Di detik-detik terakhir sebelum bibirnya menyentuhku, dia berhenti.

"Seharusnya kamu mencium laki-laki seusiamu," katanya saat itu.

Penolakan itu seperti tamparan yang menyadarkanku akan jurang perbedaan yang begitu jauh.

Di tahun keempat kuliah, aku pacaran dengan Abhi. Namun, perasaanku hanya untuk Pak Hendra.

Aku sering mendapati Pak Hendra menatapku dengan tatapan nyalang dan wajah keras setiap kali berpapasan di kampus. Apalagi kalau aku bersama Abhi. Imajinasi liarku mengatakan, Pak Hendra cemburu.

Hanya tiga bulan, aku tidak bisa membohongi Abhi lebih lama lagi karena aku tidak bisa membalas perasaannya. Terlebih, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa yang sebenarnya aku inginkan adalah Pak Hendra.

Kejadian kedua yang membuatku hampir lupa diri terjadi ketika aku menjadi tim penelitian yang dilakukan Pak Hendra di Malang. Semua teman satu tim sudah kembali ke Jakarta, tinggal aku dan Pak Hendra.

Saat itu kami tengah membahas soal hasil penelitian. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku terbuai oleh mata Pak Hendra yang begitu bagus, selalu terlihat berbinar dan dalam. Dia selalu menatap lawan bicara lekat-lekat saat berbicara, membuatku hanyut ke dalam tatapannya.

Woman's NeedOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz