My Lovely Girl

85K 669 0
                                    

"Kenapa, sih, Papa harus cerai dari Mama?" Nisha menatapku dengan mata bulatnya yang berkaca-kaca. Lalu, dia menunduk dan memainkan jari-jarinya. Pundaknya bergetar. Sebentar lagi, tangis itu akan tumpah.

Aku menarik Nisha ke pelukanku. Remaja 17 tahun itu membalas pelukanku dengan erat.

"Kalau Aku mau cerita sama Papa, gimana?" Tanyanya di balik isak tangis.

"Pintu rumah Papa selalu terbuka untukmu."

Nisha mempererat pelukannya. Perceraian ini tidak mudah baginya. Sekalipun pernikahanku dan Lia, ibunya, hanya bertahan dua tahun, Nisha sangat dekat denganku.

Aku menikahi Lia dua tahun lalu. Pernikahan yang tidak dipikirkan matang-matang. Aku dan Lia baru saling mengenal selama tiga bulan sebelum aku melamarnya. Keputusan yang kuambil tanpa pertimbangan. Aku belum begitu mengenal Lia. Hubunganku dengannya tak lebih dari nafsu semata.

Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menjalankan pernikahan yang sejak awal sudah goyah. Nafsu tidak mampu membuat pernikahan itu jadi lebih kuat. Lia mulai menjadikan kesibukanku sebagai alasan untuk berselingkuh dengan laki-laki lain. Dia berjiwa bebas, dan pernikahan tidak bisa mengekang jiwanya.

Lia memiliki Nisha di usia 18 tahun. Dia menjalin hubungan dengan pria beristri sampai hamil. Lia menjadi ibu tunggal karena pria yang menghamilinya tidak bisa menikahinya.

Belakangan aku juga tahu alasan Lia menikahiku. Dia butuh uang untuk hidupnya.  Uang dari ayah Nisha tidak pernah cukup untuknya. Apalagi, uang itu akan berhenti di saat Nisha berusia 18 tahun sehingga Lia butuh sumber uang baru.

Diriku.

Aku tidak pernah mencintai Lia. Namun, aku tidak sudi diperlakukan semena-mena oleh Lia sehingga memilih untuk menceraikannya.

Nisha tidak perlu tahu soal hal itu.

"Aku boleh tinggal sama Papa?" Tanya Nisha.

Dia sangat manis. Nisha tumbuh menjadi remaja berprestasi yang sederhana. Tidak seperti Lia.

Meski aku tidak mencintai Lia, aku menyayangi Nisha. Dia juga menyayangiku, karena Nisha sangat merindukan sosok seorang ayah. Terlebih, Lia tidak begitu peduli pada Nisha. Sebelum aku hadir, Nisha lebih banyak mengurus hidupnya sendiri.

"Kalau kamu mau dan Mama ngizinin, Papa dengan senang hati menerimamu di rumah."

Nisha tidak menjawab. Hanya pelukannya yang tambah erat.

Ada perasaan berkecamuk di hatiku. Satu-satunya yang kusesali dari perceraian ini adalah harus berjauhan dari Nisha.

Karena rasa sayangku pada Nisha, lebih dari seorang ayah.

***

Aku tahu Nisha adalah terlarang untukku. Namun aku tidak bisa memungkiri perasaanku padanya.

Entah kapan perasaan itu muncul. Mungkin saat Lia memperkenalkan Nisha padaku. Atau karena aku selalu melihatnya setiap hari.

Atau sejak Nisha tertidur di pelukanku.

Malam itu, Nisha sedang cemas menghadapi lomba debat. Dia enggak bisa tidur. Sebagai pengacara, aku bisa menemaninya berlatih debat. Kami berlatih sampai malam. Saat sudah mengantuk, Nisha malah menuju kamarku.

Lia sedang tidak ada. Katanya dia pergi bersama temannya. Kebohongan yang sering dilakukannya.

Nisha tidur di tempat tidurku. Tidak ada yang terjadi malam itu. Hanya saja, aku tidak bisa mengalihkan tatapan dari tubuhnya yang terbaring di sampingku.

Nisha punya tubuh yang seksi. Di balik kaus kebesaran yang dipakainya, payudaranya yang bulat dan besar mengintip. Malam itu, di balik tidurnya yang gelisah, piyamanya tersingkap menampakkan payudara indah dan perutnya yang rata. Aku harus menahan diri untuk tidak menyentuhnya, meski satu-satunya yang ingin kulakukan adalah menenggelamkan wajahku di dadanya.

Woman's NeedWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu