ANXI EXTENDED 2

By wins1983

15K 3.6K 896

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap
68 - Kesaksian Ismail

60 - Niat

194 50 19
By wins1983

.

.

Yang niat ingin membunuh, siapa?
Yang dituduh, siapa?

.

.

***

"Kedatangan Saudara Yunan secara mendadak ke rumah anda, agak mencurigakan, bukan?"

Pertanyaan Theo membuat Raesha nampak bingung. Yunan, Rizal dan Elena yang berada di ruang sidang yang sama, juga nampak bingung.

"Maksud anda?" balas Raesha dengan kernyitan di dahinya.

"Dari yang anda ceritakan tadi, saya tidak mendengar anda mengirim pesan yang isinya meminta kakak anda datang. Yang anda ceritakan adalah, anda berusaha menghubungi kakak anda, tapi nomornya tidak aktif. Lalu anda berusaha menelepon nomor keluarga anda yang lain, tapi semuanya tidak mengangkat sebab sedang sibuk di rumah duka, sebab saat itu kedua Mbah anda meninggal dunia bersamaan. Normalnya, kakak anda semestinya langsung ke rumah duka dari bandara. Tapi dia malah ke rumah anda. Padahal keluarga anda sudah tahu bahwa anda masih menunggu kedua putra anda pulang dari field trip, sebelum kalian nantinya akan menyusul ke rumah duka. Lalu, kenapa kakak anda malah ke rumah anda alih-alih ke rumah duka?"

"Anda salah. Kakak saya ke rumah duka terlebih dulu, lalu ketika tahu bahwa saya dan anak-anak saya belum ada di rumah duka, kakak saya berinisiatif untuk menjemput saya dan anak-anak," sahut Raesha.

"Apa yang mendasari kakak anda untuk menjemput anda dan anak-anak? Kenapa dia tidak menunggu di rumah duka, seperti anggota keluarga anda yang lain?" tanya Theo lagi, terdengar seperti sedang mencecar Raesha.

"Untuk jawaban pastinya, anda harus menanyakan itu pada kakak saya. Tapi dugaan saya pribadi, kakak saya mengkhawatirkan saya yang saat itu tidak bisa dihubungi. Ponsel saya mati kehabisan daya, dan saat itu saya sedang diteror klien anda," tukas Raesha dengan mimik kesal.

Theo melengos dengan bibir tersenyum meledek. "Baiklah. Kembali ke kronologis kejadian. Kedatangan kakak anda yang bagai pahlawan, bukanlah akhir dari kejadian malam itu. Apa yang terjadi saat Saudara Yunan dan klien saya berkelahi di lantai? Siapa yang lebih unggul di antara mereka?"

Raesha nampak gamang sebelum menjawab, "saya agak khawatir saat itu, karena kakak saya terlihat mulai kepayahan mengimbangi terdakwa."

Hening sesaat. Jemari Raesha saling remas, ia tahu ke mana sesi pertanyaan ini mengarah.

"Lalu, anda berpikir harus membantu kakak anda, bukan begitu? Dengan apa anda berusaha melawan klien saya?" desak Theo.

"S-Saya membuka-buka laci. Mencari benda apa yang bisa dipakai untuk membantu kakak saya melawan terdakwa. Tapi tidak menemukan apapun kecuali ... sebotol cairan racun," jawab Raesha dengan pandangan tertunduk ke pangkuannya sendiri.

"Racun apa tepatnya?" tanya Theo lagi. Senyumnya tersungging tipis seolah menikmati kegugupan Raesha.

"R-Racun ... arsenik," jawab Raesha berusaha meredam getaran pada suaranya.

Orang-orang nampak terkejut. Pastinya pemirsa siaran langsung sidang, semua juga terkejut. Kenapa racun arsenik bisa ada di laci kamar Ustadzah Raesha?

"Bisa anda jelaskan? Kenapa racun itu bisa ada di laci kamar anda, Saudari Raesha?" tanya Theo dengan senyum kemenangan.

Raesha diam. Wanita itu menelan ludah. Ekor matanya melirik Yunan. Kakak angkatnya itu menggeleng pelan. Raesha memahami isyarat itu adalah pertanda bahwa Yunan menyuruhnya bungkam. Tidak perlu menjelaskan tentang dendamnya saat itu pada Sobri. Sebab itu sama saja dengan membuka aibnya sendiri. Bagaimana seorang ustadzah pernah menyimpan dendam pada pembunuh suaminya?

Suara bisik-bisik mulai terdengar di ruang sidang.

"Kenapa Ustadzah Raesha menyimpan racun arsenik di kamarnya?"

"Racun arsenik itu, racun yang membunuh Ustaz Ilyasa, 'kan?"

"Harap tenang!!" seru hakim ketua sembari mengayunkan palunya ke meja.

"K-Karena, racun itu ... adalah racun yang merenggut nyawa suami saya. Jadi saya -- ," jawab Raesha sebelum kembali menelan saliva. Dia bermaksud ingin membelokkan jawabannya menjadi 'saya hanya ingin tahu, seperti apa bentuk racun yang telah membunuh suami saya', tapi mendadak lidahnya kelu.

"Jadi anda kenapa?" desak Theo. Raesha malas sekali melihat muka puas Theo di sana, kelihatan bahagia dengan kebingungamnya saat ini.

Raesha menggigit bibir. Ia melakukan kontak mata dengan Yunan, lalu dengan Arisa di belakang Yunan. Mereka berdua, sama-sama tahu kebusukan hatinya saat itu. Air mata tak mampu ditahan oleh Raesha. Bergulir ke pipi, bersamaan dengan jawaban Raesha yang telah dipikirkannya masak-masak. Ia siap menerima akibat dari jawabannya ini.

"Karena saat itu saya dalam keadaan masih menyimpan dendam pada terdakwa. Polisi bilang, ada kemungkinan saya juga diincar oleh terdakwa. Saat itu rumah saya sempat dijaga oleh polisi. Mendengar terdakwa akan menghampiri saya, saya malah berpikir harus bersiap-siap membalaskan dendam saya. Itu sebabnya saya menyiapkan racun itu di kamar saya. Supaya saya bisa --," ucapan Raesha tersela isak tangis. Ia menutup bibirnya saat pandangannya buram dengan derasnya air mata.

Ruang sidang menjadi geger karena pengakuan Raesha. Palu hakim tak lagi mampu membungkam mereka.

"Masa' iya, Ustadzah Raesha begitu??"

"Aku gak nyangka."

Yunan memejamkan mata. Ah ... Rae, batinnya. Kenapa? Kenapa dia malah --

Dengan sorot mata seolah meminta maaf, Raesha melirik Yunan. Ia memang telah berjanji untuk menutupi alasan ini, tapi dia tidak sanggup berbohong. Dia berada di bawah sumpah atas nama Allah. Sekalipun bisa saja dia berdalih membelokkan jawaban demi dakwahnya. Tapi dia jadi curiga dengan hatinya sendiri. Benarkah kebohongan itu demi keberlangsungan dakwah, atau semata demi menyelamatkan mukanya?

"Berarti malam itu anda memang berniat mencelakai klien saya?" pancing Theo.

"Tidak! Memang benar saya menyiram racun itu ke arah terdakwa, tapi saat itu saya bermaksud ingin membantu kakak saya! Saat itu saya sudah tidak -- itu karena tak ada alat lain untuk membela diri. Hanya botol racun itu yang terjangkau oleh saya!" kilah Raesha segera. Ia terdengar gugup kah? Tentu saja. Orang-orang juga masih menatapnya tak percaya. Raesha merasa ingin terjatuh dan menangis sejadi-jadinya. Hari ini, dunianya runtuh.

"Bukankah tadi anda cerita bahwa masih ada kapak yang tergeletak di lantai?" desak Theo tak memberi jeda bagi Raesha untuk beristirahat.

"K-Kapak itu ada di ruang tengah! Saya tidak mungkin mengambilnya karena terhalang perkelahian kakak saya dengan terdakwa!" jawab Raesha dengan suara melengking.

"Keberatan, Yang Mulia! Saudara Theo menuduh klien saya dengan tuduhan yang tak berdasar!" sela Rizal setelah menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia menyela atau tidak, namun ia putuskan menyela karena melihat Raesha nampak down mentalnya.

"Omong kosong! Kalau bukan bermaksud mencelakai klien saya, kenapa racun itu ada di sana??" bentak Theo seraya menoleh ke arah Rizal.

"Sekiranya Ustadzah Raesha memang berniat membalas dendam, maka racun itu bukan hanya disiram ke tubuh terdakwa, melainkan diminumkan atau disuntik paksa! Tapi Ustadzah Raesha tidak melakukan itu!!" Rizal balas membentak Theo.

Theo menatap lawan bicaranya sembari mengepalkan tangan. Rizal selalu punya pembelaan yang membuatnya jadi emosi. Kesal sekali, kenapa pria bernama Rizal itu tidak terkurung di Rumah Sakit Jiwa saja??

"Ustadzah Raesha adalah korban dalam hal ini! Berhenti mengada-ngada!" jerit Elena yang tiba-tiba berdiri dari kursinya sambil menitikkan air mata. Rizal mengelus kening. Rekanku ini terbawa suasana lagi, batinnya.

"Maaf, Yang Mulia! Menurut saya, sebaiknya kita fokus pada inti dari kasus ini, yaitu penyusupan terdakwa ke rumah korban!" kata Edy, jaksa penuntut umum.

Penonton sidang masih belum bisa tenang.

"Iya juga, ya. Kalau memang berniat membunuh, Ustadzah Raesha bisa saja memaksa Sobri untuk meminum racun itu."

"Memangnya racun itu bisa disuntikkan?"

"Bisa kayaknya. Di laci kamar itu ada suntikan juga gak ya?"

Palu hakim kembali berbunyi beberapa kali.

"Harap tenang, hadirin!! Kalau belum tenang juga, sidang akan saya skors!!" ancam hakim ketua yang mulai emosi hingga urat muncul di keningnya.

Orang-orang akhirnya diam. Dijamin siaran langsung sidang hari ini akan membuat geger pemberitaan di berbagai media.

"Saudara Rizal, Saudari Elena dan Saudara Edy, biarkan saudara Theo menyelesaikan sesi tanya jawabnya dengan korban," kata hakim tegas. Ketiga orang yang disebut namanya, semuanya diam tertunduk.

Theo tersenyum seolah sudah menang. Merasa dibela hakim.

"Dan Saudara Theo, jangan terlalu lama membahas tentang racun yang disiram pada terdakwa. Jika anda masih ada pertanyaan selain itu, silakan ditanyakan. Tapi jika tak ada, anda bisa menyudahi sesi tanya jawab ini."

Senyum Theo hilang. Disangkanya dia sedang dibela hakim, tapi ternyata tidak juga.

"Masih, Yang Mulia. Saya masih ada pertanyaan lain," sahut Theo.

"Silakan," ujar hakim sambil menyentuh keningnya yang mulai senat-senut. Beginilah kalau menjadi hakim kasus yang viral di masyarakat. Banyak dramanya.

Raesha mengusap sisa air mata di pipinya. Haduh, si tukang kirim santet itu masih ada pertanyaan lain. Malas sekali rasanya. Ingin rasanya Raesha melahirkan saat ini juga, supaya dia bisa punya alasan untuk pergi ke Rumah Sakit Bersalin saja.

"Apa yang terjadi setelah klien saya berhasil dilumpuhkan oleh racun itu? Apa dia kesakitan?" tanya Theo pada Raesha.

"Iya. Terdakwa berteriak kesakitan. Kakak saya lalu merubuhkan lemari rak dan menimpakannya ke terdakwa, hingga terdakwa pingsan."

"Apa kakak anda berniat ingin membunuh klien saya?" tanya Theo tanpa rasa bersalah di wajahnya.

Yunan spontan nyaris berdiri hendak membela diri, namun lagi-lagi dia dicegah Rizal.

"Keberatan, Yang Mulia! Lagi-lagi Saudara Theo menuduh klien saya tanpa dasar!" protes Rizal.

"Keberatan diterima. Saudara Theo, jangan menggunakan kalimat tuduhan dalam pertanyaan anda," putus hakim.

Theo melengos tanpa mengiyakan perintah hakim.

"Saya yakin Kakak saya tidak bermaksud membunuh terdakwa! Saya juga tidak! Kakak saya datang dengan tangan kosong! Satu-satunya yang berniat membunuh, adalah klien anda! Dia yang membawa pisau dan kapak, serta menerobos masuk ke rumah saya tanpa izin!!" bentak Raesha penuh emosi. Perutnya rasanya bergejolak. Jangan-jangan bayinya ikut marah pada Theo. Pria itu memang bikin siapapun jadi sumbu pendek. Bisa-bisa Raesha melahirkan lebih cepat gara-gara Theo.

Elena nampak senang mendengar balasan Raesha. Masya Allah! Keren, Ustadzah! batinnya. Telak sekali pernyataan itu.

Yunan diam, menahan rasa haru melihat Raesha membelanya hingga marahnya bercampur tangis.

Yang niat ingin membunuh, siapa? Yang dituduh, siapa?

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

50K 5.3K 7
#3 Marriage Life > 11 Mei 2018 #17 Ficlet > 11 Mei 2018 "Ketika aku mengharapkan sebuah kebahagiaan, seharusnya aku menyadari bahwa "Inilah Kebahagia...
41.9K 165 1
[ON GOING] Tak usah khawatir, kalau kamu dan saya memang benar-benar ditakdirkan bersama, maka jarak antara langit dan bumi bukanlah apa-apa. 📍Some...
2.1K 284 16
Kyuhyun, seorang pengusaha muda yang harus menerima kenyataan jika calon pendamping hidupnya meninggalkannya untuk selama-lamanya dan terjebak kedala...
398K 7K 11
Sebesar cintaku padanya, sebesar itu pula luka yang terbentuk olehnya. -Alsyara Rasyid