[END] The Boy I Met in Dream

By izaddina

2.4K 489 190

[ Romance - Magical Realism ] Sebagai orang yang lahir di Kota Ilusi, Azlin Nadia percaya bahwa mimpinya sela... More

- prakata
01: Dia yang Kujumpai dalam Mimpi
02: Dia yang Membenciku Sepenuh Hati
03: Dia yang Membuatku Panik
04: Dia yang Ingin Kudekati Tanpa Tahu Caranya
05: Dia yang Bertanya Tentang Kabarku
06: Dia yang Semakin Memikatku
07: Dia yang Paling Kusayangi
08: Dia yang Tak Tahu Terima Kasih
09: Dia yang Sulit Kupahami
11: Dia yang Berbagi Denganku
12: Dia yang Membuatku Cemburu
13: Dia yang Mengejarku dalam Mimpi Buruk
14: Dia yang Menyakiti Hatiku
15: Dia yang Hanya Ada dalam Mimpiku
16: Dia yang Membawa Kabar Buruk
17: Dia yang Tertidur Pulas
18: Dia yang Berada di Ambang Kematian
19: Dia yang Menyadarkanku
20: Aku yang Terbangun dari Mimpiku

10: Dia yang Akhirnya Menerimaku

80 17 21
By izaddina

Ada yang bilang, batas maksimal seseorang mendiamkan saudaranya itu tiga hari tiga malam. Ini sudah hari ketika sejak Runa mendiamkanku, dan belum ada tanda-tanda ia mau membuka percakapan lebih dulu.

Tidak masalah. Aku punya mental badak, maka aku akan maju duluan.

Senjataku kali ini adalah proposal pengajuan handling akun media sosial dan seporsi nasi uduk lauk komplit—kali ini semi-semi instan, karena aku agak kesiangan setelah begadang semalaman. Untuk aku yang masuk dalam tipe manusia tanpa perencanaan, membuat proposal rinci dalam semalam sama sekali bukan keahilanku. Namun, ini usahaku menunjukkan keseriusan pada Runa.

Kalau dengan cara ini tidak luluh juga, mungkin aku memang harus say goodbye untuk pertemanan ini.

Gara-gara kesiangan pula, jam masuk kantorku di presensi nyaris tidak selamat. Untungnya masih ada jarak kurang dari semenit.

Semalam, sebelum berkutat dengan proposal, aku curhat ke Mama. Kalau boleh jujur, aku takut ditolak. Patah hati dimusuhi teman dekat itu lebih perih daripada cinta tertolak. Untung Mama ajaib. Dengan suara halusnya yang cocok dipadukan bersama angin lembut dan tetesan embun di pagi hari, hatiku terasa sedikit lebih lega.

Aku turut menyelipkan parfum kesukaan Runa yang sudah dibubuhi bubuk perasaan. Sebungkus kecil rasa kepercayaan saja harganya sudah lima ratus koin (setara Rp500.000,-) sendiri, padahal takarannya persis isi kemasan micin mi instan. Selain karena kehilangan sahabat, aku akan menangisi mahalnya bubuk perasaan kalau usaha perdamaian ini gagal.

Runa takkan tersinggung, kan, kalau aku membelikan sesuatu untuknya? Harusnya tidak. Dia masih menerima kado dan pemberian selama harganya tak lebih dari seratus koin (anak itu yang menentukan nominalnya, aku pernah bertanya padanya). Perkara bubuk perasaan, dia kan tidak tahu, jadi anggap saja tidak masuk hitungan.

Tuhan, tolong bantu aku meluluhkan hatinya.

Wajah Runa begitu datar ketika aku menghampiri mejanya. Kuletakkan sesajen, eh, perbekalan dan proposal. Aku sudah bisa menduga kalau Runa akan membalas dengan tatapan sinis, jadi ketika gadis itu benar-benar melayangkan pandangan tajam, aku hanya memasang tampang inosen.

“Apa?” ketusnya.

Ayo, Azlin. Jangan goyah dengan kegalakan Runa. Aku tetap tersenyum. “Lagi buka freelance buat handle Instantok, enggak?”

“Mau ngapain lo?”

“Aku mau minta tolong Runa untuk handle akun portofolioku sebulan, sekalian naikin engagement-nya.” Walau tak semagis senyum Mama, aku berharap Runa bisa luluh hatinya. “Bisa, enggak?”

“Sejak kapan lo peduli sama akun medsos?” Gadis itu mendelik. “Akal-akalan lo, ya? Lo masih ngasihanin gue, kan?”

Keras kepala sekali. Aku memang bersimpati pada kondisi Runa, tapi jelas bukan dalam konotasi negatif seperti apa yang ada di dalam kepalanya. Kenapa prasangka dia sampai segitunya, sih? “Aku ingin mencoba berdikari kayak Runa. Apalagi Runa jago banget masalah permedsosan.”

Perempuan yang kali ini mengenakan bando alih-alih bandana itu mengernyit. “Hidup lo udah enak ditopang orangtua. Ngapain sok-sokan mandiri?”

Aduh, salah ngomong. Sepertinya Runa malah makin tersinggung. Bagaimana ini? Akan tetapi, kalau boleh jujur, aku juga tersentil perkara celetukan Runa barusan. Memangnya merantau bukan salah satu upaya untuk mandiri?

Aku teringat kilasan momen yang sudah kukubur dalam-dalam, bahkan di alam bawah sadarku. Tolong, ini bukan momen yang tepat. Kutarik napas panjang, lantas kubuang lamat-lamat, dengan harapan fragmen memori di kepala yang mulai timbul ikut hanyut bersama udara.

“Nih, biar kamu kebayang target pertumbuhan akunku pinginnya gimana.” Kusodorkan proposal yang sejak tadi dianggurkan. Senyum masih bertengger di muka, dan kuharap sentilan tadi tidak menimbulkan perubahan ekspresiku yang kentara di mata Runa. “Baca dulu. Aku sih percaya sama Runa, tapi kalau Runa memang lagi enggak bisa, ya enggak apa-apa.”

Jeda beberapa saat. Runa membolak-balik halaman proposal dengan tampang serius, sedangkan aku menanti penuh pengharapan.

Mata Runa yang seperti kucing memancarkan sorot menyelidik. “Lo beneran serius mau bangun akun, kan?”

“Iya, Runa. Kalau enggak serius mana mungkin aku sampai bikin proposal segala?”

“Ini bukan dalam rangka lo ngasihanin gue, kan?”

Ya ampun. Runa memang sulit ditaklukkan, dan rasanya aku ingin menjerit saja. Kuhela napas panjang. “Runa, aku minta maaf karena kemarin aku melukai perasaan dan harga dirimu.” Kalimat pembelaan sudah hendak meluncur, tapi kutahan. Bisa-bisa masalahnya makin runyam. “Aku harus gimana lagi biar kamu mau maafin aku?”

Tanpa menjawab pertanyaanku, Runa mengembalikan proposal. “Nanti kita obrolin lagi pas makan siang, Lin.”

Senyumku merekah. Ini artinya lampu hijau, kan?

💭

Kalau ada yang bertanya-tanya tentang progres proyek konten antara aku, Nara, dan Runa … tidak ada yang bisa diceritakan, sih, sebenarnya. Di luar konflik antara aku dan Runa, semua berjalan lancar. Sampai-sampai aku membatin, tidak adalah sesuatu yang berbeda dari biasanya?

Benarlah, ucapan adalah doa, dan doaku terkabul hari ini.

“Kak, kok file-nya ilang, dah?” Nara bertanya seraya melongok ke mejaku. Masih belum jam istirahat dan aku tengah berkutat dengan desain kilat yang diminta Mas Yogi hari ini, jadi aku tidak terlalu memperhatikan pertanyaan Nara. Aku baru sadar setelah Nara menghampiri dan bertanya untuk kedua kalinya.

Mataku membulat. “File apa?”

“Semuanya.”

Kali ini, mulutku yang membulat. “Hah?”

“Semalam kak Azlin mimpi file hilang, enggak?”

Sempat-sempatnya anak ini berkelakar. Eh, entahlah Nara bercanda atau tidak, tapi sudut bibirnya sedikit naik saat ia bicara barusan. Momen jarang-jarang yang akan kuabadikan di situasi berbeda. Yang penting, sekarang bukan itu masalahnya!

“Kamu kira semua kesialan di dunia ini mampir dulu ke mimpiku, apa?” gerutuku. “Yang jelas kalau ngomong. Apa yang hilang?”

Nara hanya tertawa kecil sebelum kembali memasang tampang datar. “Proyek yang politisi-politisi itu, Kak. Hilang.”

Tunggu. Aku tidak salah dengar, kan? “Jangan bercanda, ah.”

“Ngapain juga gue nge-prank lo, Kak?” Nara memutar mata. “Back up-nya enggak ketemu nih. Serius, dah. Kayaknya mau enggak mau desain dan ilustrasinya harus bikin lagi dari awal.”

Apakah aku sudah pernah cerita? Keluaran dari proyek edukasi tokoh politik ini nantinya tak hanya hadir dalam bentuk rubrik di situs dan media sosial, tapi juga booklet dan aneka cindera mata yang rencananya dibagikan gratis di area publik. Rencananya, akhir pekan ini, semua yang bersifat cetak harus sudah masuk ke percetakan, karena waktu pemilihan umum juga semakin dekat.

Bagian merchandise sudah kami kerjakan dari awal karena memang butuh waktu lebih untuk ideasi dan desain. Apalagi ilustrasinya. Karena ternyata Nara tak begitu mahir menggambar, ujung-ujungnya aku yang lebih banyak mengerjakan bagian ilustrasi, sedangkan Nara kutugaskan di bagian tata letak. Tanpa jadi ahli pun, kalian tahu kan betapa sulitnya menggambar kilat yang bagus dan terkonsep?

Lalu, ketika tenggat waktu tak lama lagi, berkasnya hilang?

“Kak Azlin, mau gimana?” Kibasan tangan Nara di depan muka mengembalikanku pada kenyataan. “Langsung kebut ulang apa konfirmasi ke Mas Yogi atau Mbak Sella dulu?”

Azlin.exe is not working. Sumpah, aku bingung banget. Otakku masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi, dan jelas tidak bisa diajak bekerja sama untuk mengambil keputusan. Tangan kanan terangkat ke arah Nara, isyarat bahwa aku butuh jeda beberapa menit.

Tenang, Azlin. Tenang.

Mbak Sella, kalau tidak salah, sedang dinas hari ini. Mas Yogi mungkin bisa ditanyai, tapi wewenang terkait tenggat waktu dan detail proyek ini bukan berada di tangan pria yang satu itu. Pilihannya mengirim pesan teks dan menunggu balasan, atau langsung melakukan penyesuaian agar desainnya terkejar.

Opsi pertama, kalau jawabannya tidak bisa diundur, artinya buang-buang waktu untuk menunggu. Opsi kedua, kalau tiba-tiba berkasnya ketemu atau Mbak Sella memberi kelonggaran, artinya buang-buang tenaga. Mana opsi yang lebih baik?

Ayo, Azlin, berpikir. Otakmu bukan pajangan.

Kuperiksa berkas yang Nara maksud di komputerku sendiri. Siapa tahu masih selamat, kan? Sayangnya, sudah dicari sedalam-dalamnya sampai ke trash bin pun, semua berkas ilustrasi dan desain yang sudah kami buat memang lenyap.

“Bagi tugas lagi aja, deh.” Aku mengambil keputusan seraya menyandarkan diri pada punggung kursi kantor. Inginnya, sih, beban pikiran ini ikut rontok dari punggung saat bersandar. Sayangnya, tidak begitu cara kepala bekerja. “Ketimbang gacha nungguin Mbak Sella, ya kan?”

Sebagai respon, Nara hanya manggut-manggut. Tumben tidak ada yang didebat. Biasanya Nara akan bertanya kenapa begini, kenapa begitu. Baiklah, waktunya kerja rodi. Seharusnya lebih mudah karena sudah pernah digambar sebelumnya, tidak perlu berpikir dari awal. Meski begitu, tetap saja bikin frustasi!

Sesekali, kulirik Nara di mejanya. Berkebalikan denganku, tampangnya setenang permukaan samudra. Akhir-akhir ini, aku memang melihat spektrum ekspresi yang lebih luas dari lelaki itu, tapi tetap saja, Nara masih orang yang dingin di mataku. Aku penasaran. Aku ingin melihat ekspresinya yang lebih beragam. Aku ingin melihatnya tersenyum lebih banyak lagi.

Alih-alih membuat sketsa tokoh politik maupun merchandise, tanganku menggores garis wajah Nara tanpa sadar. Tahu-tahu saja, gambarnya sudah jadi. Kubandingkan hasil sketsa barusan dengan potret Nara versi mimpi yang kubuat pertama kali. Nyaris sama, kalau tidak bisa dibilang benar-benar persis.

Kalau bukan jodoh, lantas apa arti kemunculan Nara dalam mimpiku?

“Gambar siapa, tuh?”

Kemunculan Mas Yogi di belakang punggungku yang kelewat mendadak membuatku nyaris terjungkal. Buru-buru aku menutup buku sketsaku, tapi sepertinya terlambat. Sebab, pria tambun itu sudah tersenyum penuh makna. “Yang digambar tau enggak, tuh?”

Panas merambati sekujur wajah. Mati aku kalau Nara sampai tahu gambar ini. Bisa-bisa aku dikira sasaeng—alias terobsesi! Kalau Naranya mengapresiasi sih, aku bakal melambung sampai ke langit ketujuh. Masalahnya, yang lebih mungkin kejadian, anak itu ilfeel. Jika itu yang terjadi, bisa-bisa aku menangis tujuh hari tujuh malam.

“Ampun, Mas Yogi. Ini aku balik kerja, kok.” Buru-buru aku menyimpan buku sketsa di laci, sok-sokan meraih tetikus.

“Bukannya lo mau bikin gambar buat ganti file proyek yang hilang?”

Perasaan aku belum cerita ke Mas Yogi, deh. Mataku melotot. “Hah? Kok tahu?”

“Tadi gue nyamperin Nara dulu, soalnya dia kelihatan hectic bener. Lo malah senyum-senyum sendiri.” Mas Yogi geleng-geleng kepala. “Naksir lo sama Nara?”

Bukan naksir lagi, sih. Kalau berdasar pertanda mimpi yang sudah mampir beberapa kali, seharusnya kami ini jodoh!

“Lah, buset. Lo naksir Nara gegara mimpiin dia?”

Tunggu. Kok Mas Yogi bisa membaca pikiranku? Apa aku tanpa sadar menyuarakan isi kepala barusan? Ditilik dari ekspresi sang supervisor yang jelas-jelas menahan tawa, sepertinya iya. Astaga, Azlin Bodoh Nadia! Buru-buru kulirik objek pembahasan kami berdua. Untungnya, Nara sedang fokus dengan komputernya.

Mas Yogi malah lanjut, pula. “Jadi, selera lo brondong, Lin? Enggak nyangka gue.”

Aku mencebik. “Apa salahnya naksir sama orang yang lebih muda, sih?”

“Enggak ada yang salah, sih. Lo berdua udah legal ini.” Lelaki dalam balutan kemeja merah muda itu mengangkat bahu. “Concern gue lebih ke alasannya. Serius lo naksir orang cuma gara-gara mimpiin dia?”

Mas Yogi, Runa, Nara … rasanya, semua warga Kota Nirkhayal ini satu spesies kalau sudah terkait kesangsian mereka terhadap apa yang mereka anggap takhayul. Akan tetapi, tentu saja aku tidak akan menyerah untuk menjelaskan kekuatan khas Kota Ilusi yang satu ini dan meyakinkan semua orang. “Kalau aku masih ingat mimpinya, kemungkinan besar bakal kejadian, Mas. Mau aku ceritain bukti yang mana?”

“Enggak bakal percaya sampai lo mimpiin gue nikah dan gue nikah beneran minggu depannya.” Mas Yogi terkekeh. “Alias, lo kayak bocah banget, Lin, percaya mitos-mitos kayak gitu. Emangnya, di Kota Ilusi semuanya percaya sama mimpi kek elu?”

“Ya udah sih. Bocah-bocah gini juga kerjanya beres, kok.” Pipiku menggembung. Aku sedang berada di mode malas menanggapi. Hasil pekerjaan yang harus direka ulang lebih membutuhkan perhatianku. “Mas Yogi kalau cuma mau ngajak ribut mending minggir, deh. Aku mau lanjut gambar.”

Lelaki berperawakan lebar itu terkekeh. “Gambar Nara atau gambar buat kerjaan, Lin?”

“Lama-lama kutimpuk juga, nih, Mas. Pergi sana!”

Mas Yogi masih tertawa saat akhirnya cabut dari meja. Aku melirik Nara yang masih fokus dengan layar di hadapannya. Astaga, semoga percakapan barusan tidak masuk radar perhatian Nara, deh. Kalau sampai dia sadar mimpi baik-baik yang kumaksud dalam obrolan dengannya kemarin, matilah aku!

💭

Membuat ilustrasi dalam kondisi dongkol sungguh bikin lelah. Bahkan, aku hanya sempat berdiskusi sekilas dengan Runa gara-gara diriku sibuk berjibaku dengan kerjaan. Padahal, inginku kami bisa segera mencapai kesepakatan, agar aku bisa langsung transfer ke Runa. Semoga besok bisa deal, deh.

Untungnya, tidak ada lembur-lemburan. Begitu jarum jam menunjuk angka lima, seisi kantor langsung bubar. Aku turut berjalan membuntuti Runa … yang sedang membicarakan buku sejarah dengan Nara.

Pembicaraan mereka seru sekali. Runa sampai berbinar-binar, ekspresi yang baru muncul kalau dia benar-benar semangat tentang suatu hal atau menyukainya. Aku saja butuh waktu belasan pekan untuk memahami kesukaan gadis itu. Bagaimana bisa Nara, yang baru kenal kurang dari dua bulan, bisa membuat Runa menampakkan wajah girangnya?

Aku ingin menimbrung, sayangnya bacaan kesukaanku adalah komik romansa. Sungguh jauh kalau dibandingkan buku yang tengah dibahas dua manusia itu. Ingin sekali rasanya menyela agar aku bisa ikut terlibat, tapi aku takut Runa marah lagi padaku. Sedih.

Kami tiba di area parkir. Runa dan Nara berbelok ke parkiran. Selama ini aku selalu bertemu Nara dalam kondisi tanpa kendaraan, jadi kukira dia jalan kaki atau menggunakan transportasi umum untuk berangkat kerja. Ternyata dia bawa motor?

Nara tidak mengeluarkan kunci motor. Alih-alih, anak itu menerima kunci dari Runa dan mengambil alih kemudi.

“Lho, kalian searah?” Aku mengernyitkan dahi. Runa jarang sekali membolehkan orang lain menyetir motornya dengan alasan biaya servis mahal kalau sampai kenapa-kenapa.

“Iya. Gue baru ngeh kemarin.” Runa memasang helm. “Ini mau ambil buku yang pingin gue pinjem, jadi sekalian aja biar searah.”

Apakah Runa lupa kalau aku juga hitungannya masih lumayan searah? Masih harus menyebrang, memang, karena kosku ada di gang pinggir jalan raya besar dan arah rumah Runa berkebalikan dengan arus kendaraan di sisi tempatku tinggal. Aku pernah menawarkan diri untuk membonceng Runa, tapi ia berkelit dengan alasan takut rusak.

Mentang-mentang Nara cowok, jadi dianggap lebih lihai menyetir, gitu?

Tentu saja aku protes! “Ih, kamu enggak pernah mau aku setirin, kok sama Nara mau?”

“Nara nyetirnya enggak ugal-ugalan kayak lo.” Gadis berambut pendek itu geleng-geleng. “Dulu gue pernah lo boncengin pas outing kantor, hampir nyusruk kebon. Siapa yang enggak kapok?”

Yah, aku tidak bisa menyangkal, sih. Sebagai pembelaan, kejadian yang dimaksud Runa berlangsung di bulan-bulan pertamaku bekerja, yang artinya bulan-bulan pertama aku mulai pede dengan kemampuan membawa motorku juga. Wajar kalau oleng sedikit, toh tidak ada korban sejauh ini. Papa tidak mengizinkanku membawa motor ke sini demi keselamatan, tapi aku berani sumpah aku sudah lancar menyetir. “Itu dulu. Sekarang aku sudah jago.”

“Enggak. Gue trust issue sama lo.” Runa naik ke jok penumpang. “Yuk, Nara. Duluan ya, Lin!”

Nara hanya mengangguk dan menoleh sekilas tanpa berkata apa-apa. Mereka meluncur, meninggalkanku sendiri. Yah, biasanya juga aku pulang sendiri, sih. Akan tetapi, wajar, kan, kalau ada sedikit nyeri di hati? Sahabatku bisa dekat dengan orang yang sedang kusukai ketika aku sedang kesulitan mendekati mereka berdua. Entah apa yang membuatku cemburu: Runa yang begitu nyaman berbincang tentang kesukaannya pada Nara, atau Nara yang bisa bersikap jauh lebih ramah pada Runa.

Begitu tiba di kos, aku langsung melempar badan ke atas kasur. Lelahnya tiada tara. Mata yang sejak tadi sudah meronta untuk dipejamkan langsung menuntut haknya. Tak lama kemudian, aku sudah pindah dunia.

Dan di sana, aku menghadiri pemakaman seseorang ….

Siapa? Siapa yang meninggal? Kakiku rasanya bagai dipaku. Padahal aku ingin bergerak maju, melihat nama siapa yang ada di batu nisan, tapi sekujur tubuh langsung kaku. Hanya tangisan dari orang-orang tak dikenal yang memenuhi udara. Begitu terbangun, air mata mengalir deras dari pelupuk mataku tanpa kuketahui penyebab utamanya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

💭
18/04/2024. 2429 words.

Dina cuap-cuap:

Jujur, aku udah mulai ngesot banget nulis ini. Aku ngerasa suara Azlin yang ada di kepala dan kutuangkan di sini tuh ga sinkron. Dan aku mulai berpikir, apakah cerita ini masih bisa kulanjutkan? (Ini yang bikin updatenya lama pisan 🤣)

Don't get me wrong. Aku suka banget sama kisah Azlin, tapi justru karena itulah aku ngerasa frustasi di hari-hari kemarin. Ekspektasiku buat eksekusi nggak nyampe.

And for that, aku makasih banget sama anak2 NPC2301 yang kurecokin perkara pernaskahan ini, juga para pembaca yang meninggalkan feedback di komentar or else. It means a lot! 😭🙏

Doakan cerita ini bisa tamat sebelum tenggat, karena aku beneran sayang sama Azlin and I think you should, too 🫵

Continue Reading

You'll Also Like

16.8K 2.1K 9
CERITA INI HANYA DIUNGGAH 7 BAB PERTAMA SEBAGAI TEASER "Lo pengen nggak Cit, kalau cowok yang lo taksir balas naksir sama lo? Gue punya sesuatu yang...
471K 30.7K 11
Kata siapa hubungan yang berjalan lurus tanpa masalah dan pertikaian akan berjalan lancar hingga jenjang yang bernama pernikahan? Hubungan tanpa masa...
49.4K 7.8K 14
Menurut kamu hidup itu apa? Sebagai orang yang pernah menyerah dengan hidup saya enggak tahu. Masa? Tapi satu hal yang pasti hidup itu.... *** Namany...
3.8K 563 21
Joshua Spencer hanya punya harapan. Dan... sepertinya harapan itu secara tak langsung membawanya pada masa lalu. Menuntunya bertemu dengan Monica Fra...