[END] The Boy I Met in Dream

By izaddina

2.4K 488 190

[ Romance - Magical Realism ] Sebagai orang yang lahir di Kota Ilusi, Azlin Nadia percaya bahwa mimpinya sela... More

- prakata
01: Dia yang Kujumpai dalam Mimpi
02: Dia yang Membenciku Sepenuh Hati
03: Dia yang Membuatku Panik
04: Dia yang Ingin Kudekati Tanpa Tahu Caranya
05: Dia yang Bertanya Tentang Kabarku
06: Dia yang Semakin Memikatku
08: Dia yang Tak Tahu Terima Kasih
09: Dia yang Sulit Kupahami
10: Dia yang Akhirnya Menerimaku
11: Dia yang Berbagi Denganku
12: Dia yang Membuatku Cemburu
13: Dia yang Mengejarku dalam Mimpi Buruk
14: Dia yang Menyakiti Hatiku
15: Dia yang Hanya Ada dalam Mimpiku
16: Dia yang Membawa Kabar Buruk
17: Dia yang Tertidur Pulas
18: Dia yang Berada di Ambang Kematian
19: Dia yang Menyadarkanku
20: Aku yang Terbangun dari Mimpiku

07: Dia yang Paling Kusayangi

78 20 3
By izaddina


"Kak Azlin tuh ... beneran percaya banget sama mimpinya, ya?"

Dari awal, aku tidak pernah menyembunyikan kepercayaanku yang satu ini. Warga Kota Ilusi memang rata-rata punya kemampuan menerawang mimpi dan kakekku peramal andal pada masanya. Sama sekali tidak mengherankan kalau kekuatan semi-semi cenayang itu menurun padaku juga. Toh, aku bangga dengan asal-usulku yang satu ini.

Aku juga sudah biasa dengan teman-temanku yang asli Kota Nirkhayal dan meremehkan kemampuanku. Mereka tumbuh di kota yang gersang akan hal-hal magis, jelas sulit untuk percaya. Hal-hal yang nyata di kota lain, bagi mereka cuma mitos. Akan tetapi, cara Nara mengatakan keheranannya dengan wajah sangsi yang kentara membuatku kesal.

"Mimpiku sudah berkali-kali teruji, Nara. Aku bukannya percaya tanpa landasan dan pengalaman." Kugenggam gelas kopi susuku yang masih separuh isi. "Buktinya, aku mimpi kamu dan aku beneran ketemu kamu, kan?"

"Itu mah di kantor juga pasti ketemu, Kak. Ngadi-ngadi lo."

"Bukan gitu maksudnya!" Aku mengerang. Ah, sudahlah. Mau dijelaskan bagaimana pun, sekali skeptis pun tidak akan percaya sampai kena ke mereka sendiri. Runa contohnya. "Mending balik ke tujuan awal. Aku tadi kepikiran, gimana kalau kita kolaborasi buat bagi-bagi pagi? Kebetulan, aku emang udah lama pingin bikin gerakan sosial kayak gitu, tapi belum nemu timing yang pas aja."

Sebenarnya, ide kolaborasi itu tercetus dari insting ngeles, sih. Untung tadi aku tidak keceplosan cerita tentang mimpi pernikahan juga. Sekalian saja kubelokkan topiknya ke arah lain.

Nara bertopang dagu. "Lo dadakan banget, sih, Kak. Emangnya udah solid idenya?"

"Ya makanya aku ajak ngobrol di sini," tanggapku gemas. "Enggak mungkin di kantor, kan? Kita berdua lagi sama-sama dapat order desain menggunung."

Mata sayu Nara mendelik—lagi. Lama-lama aku khawatir matanya terbawa juling. Lelaki yang lebih muda tiga tahun dariku itu menghela napas. "Bisa via chat, Kak. Enggak usah ngopi berdua segala."

"Pasti kamu slow response," tukasku. "Enak ngobrol langsung gini."

Aku bukan pendebat yang baik, tapi Tuhan mengaruniai kemampuan berkelit yang sudah diakui kemahirannya. Bisa dilihat dari Nara yang menghela napas keras-keras, kehabisan argumen. Akhirnya, kami membahas tentang awal mula Nara menginisiasi gerakan bagi-bagi personalnya.

Ternyata, Nara sudah biasa melakukan kegiatan sosial semacam itu sejak sekolah. Selain bagus dalam pekerjaan, hatinya pun luar biasa. Sepertinya aku sudah memuja aspek ini sebelumnya, tapi akan kupuji lagi. Semua orang harus tahu bahwa aku tidak salah memilih gebetan dan hampir bisa dipastikan aku akan menikah dengannya.

Percakapan kami terputus saat matahari resmi tergelincir seutuhnya. Hasilnya adalah diskusi lanjutan akan dilakukan melalui pesan teks. Itu artinya, lebih banyak interaksi dengan Nara. Aku tersenyum lebar karenanya.

"Mimpi indah, Nara." Aku tersenyum seraya melambai. "Kalau aku bisa pulang kampung agak lama, akan kupelajari ilmu agar aku bisa meninggalkan mimpi indah dalam kepalamu."

Tentu saja Nara tidak membalas. Sudah kuduga. Tidak apa-apa, karena mengobrol berdua di luar jam kerja seperti ini sudah kemajuan luar biasa. Seharusnya kita sudah bisa dibilang lebih kenal satu sama lain, kan?

💭

Entahlah Nara mimpi indah atau tidak. Sialnya, aku lupa mendoakan diriku sendiri. Atau mungkin semesta ingin bercanda. Yang jelas, mimpi yang kuingat malam ini sama sekali jauh dari kata indah.

Mimpinya bukan tentangku. Ini soal Runa. Orang bilang sebaiknya mimpi buruk jangan diceritakan, tapi aku tidak bisa. Fragmen dalam mimpi terus-terusan berputar di kepalaku macam kaset rusak, bagaimana aku bisa lupa?

Di dalam mimpi, Runa sedang berangkat kerja, memacu motornya di jalan besar yang biasa ia lewati menuju kantor. Tiba-tiba ada busway yang keluar dari jalurnya. Kakiku rasanya bagai dipaku, hanya bisa melihat detik-detik busway menabrak kendaraan-kendaraan ... termasuk motor Runa. Dia terlempar dari kemudi dan menghantam mobil yang setengah remuk.

Aku tidak bisa mengenyahkannya dari pikiran setelah sekian menit. Itu artinya ....

Buru-buru aku menelepon sohibku yang satu itu, tak peduli matahari belum sempurna terbit. Suara sengau Runa menyambut di ujung telepon, jelas terdengar bete. Anak itu paling tidak suka diusik di luar jam kerja. "Apa sih, Lin?"

"Kamu jangan pergi ke mana-mana, ya, hari ini!"

"Hah?"

Berusaha tidak terbawa kepanikan, aku mengatur napas. "Aku mimpi kamu kecelakaan pas berangkat kerja dan masih kebayang sampai sekarang. Tolong ambil cuti sehari, ya?"

Terdengar dengkusan keras dari ujung sambungan. "Konyol. Gue aja enggak pernah percaya sama takhayul kayak gitu. Kenapa gue harus nurut?"

Kenapa sih, Runa sulit sekali percaya denganku? Aku mengerang. "Please, Runa. Sekali ini saja."

"Jatah cuti gue udah abis kepake mudik sama ranap kemarin." Jutek sekali nada bicara Runa. Aku bisa membayangkan anak itu mendelik juga. "Lo mau gaji gue kepotong apa gimana, sih, Lin?"

"Runa, biaya pengobatan jauh lebih besar dari gaji kita sebulan. Itu juga kalau kamu selamat." Aku menghela napas. "Mimpiku selalu kejadian, Runa. Kamu tahu itu, kan?"

Sambungan telepon terputus setelah Runa mengumpat. Aku sadar, aku baru saja memantik peperangan. Runa dan pekerjaan nyaris tak terpisahkan, apalagi dengan kebutuhan keluarganya yang makin hari makin jadi. Kemarin saja, gadis itu keceplosan, curhat masalah sakit ibunya yang semakin parah. Saraswati Aruna adalah tipe manusia yang akan bekerja sampai titik darah penghabisan demi keluarga.

Namun, apa arti kerja kerasnya kalau ia sungguhan celaka nantinya?

Perasaanku masih kalut. Dengan hati sekacau ini, perjalanan jalan kaki bukan opsi untuk manusia ceroboh sepertiku. Bisa-bisa aku yang menyeberang ke tengah jalan tanpa sadar. Jadi, aku mengontak ojek daring terdekat dan berangkat.

Lalu lintas terasa begitu normal. Terlalu normal hingga aku bertanya-tanya, apakah mimpiku salah lagi? Nyaris mustahil, sih. Beberapa waktu terakhir saja, kecuali mimpi pernikahan, semua kejadian dalam waktu berdekatan. Atau mungkin timing kecelakannya bukan pagi hari?

Baru saja aku berpikir begitu, pengemudi ojek yang kutumpangi langsung banting setir. Butuh beberapa detik untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, karena kilasan kejadian demi kejadian rasanya seperti kilat. Hanya berjarak sepelemparan batu dari mataku, ada busway yang keluar jalur. Bagian depannya remuk, dan tak jauh dari situ, ada motor terpental serta mobil yang tak kalah mengenaskan kondisinya. Orang-orang mengerubungi lokasi dan menimbulkan kemacetan, tapi sekilas aku melihat darah tercecer.

Kejadiannya sama dengan alur di mimpiku, dan ini jalur yang biasa Runa pakai ketika berangkat kerja ....

Benar, kan. Kecelakaannya kejadian. Syukurlah, aku melarang Runa masuk hari ini.

💭

"Runa beneran sakit?" Mbak Sella menaikkan sebelah alis saat aku menyampaikan surat dokter. "Bukannya kamu tidak bisa menyetir? Terus ini dapat dari mana?"

"Konsultasi daring." Aku tidak berbohong. Karena mimpi tidak masuk dalam bukti yang bisa dipakai untuk memvalidasi cuti, aku langsung mengontak dokter melalui aplikasi daring demi surat sakit Runa.

Dahi Mbak Sella mengerut. "Runa enggak bilang apa-apa, kok ...."

"Ya kan sakit, Mbak Sella. Gimana sih?" Sejujurnya, aku berharap Runa betulan sakit—tapi yang ringan saja. Batuk atau pusing sedikit, agar dia sungguhan istirahat alih-alih mencari cara untuk bekerja dari rumah. Juga, agar alasanku tidak sepenuhnya bohong. "Dia tuh suka sok kuat, Mbak, masalahnya. Nanti kalau tiba-tiba Runa bilang mau masuk, jangan dikasih, ya."

Mbak Sella manggut-manggut seraya membaca surat sakit Runa. Dahinya mengernyit. "Alasannya cuma flu doang?"

Aku mengangguk, karena memang tidak kepikiran ide sakit yang lain.

Ekspresi wanita berusia kepala tiga itu berubah. Dahinya mengernyit.  "Aduh, kayaknya bakal enggak kehitung cuti, deh, Lin ...."

Waduh, kenapa begitu? "Bukannya kalau sudah ada surat dokter harusnya aman ya, Mbak?"

"Susah kalau cuma sakit biasa gini di suratnya. Bos suka enggak ACC. Mana dari dokter online lagi suratnya."

Bos yang dimaksud di sini lebih ke arah human capital, alias bukan direktur yang sebenarnya. Kebetulan HRD kami memang lagaknya kadang mengalahkan direksi sungguhan dalam urusan mengurus karyawan, makanya dijuluki Bos. Dan aku tidak paham dengan peraturan cuti sakit yang dibuat orang-orang yang katanya spesialisasinya mengelola sumber daya manusia ini. Yang namanya orang sakit betulan, kan, kadang berdiri saja sudah. Kenapa syaratnya malah surat sakit yang ditandatangani langsung?

"Ini tapi Runa serius enggak bisa masuk aja gitu?" Lagi-lagi Mbak Sella bertanya. "Setor muka sama absen aja minimal. Nanti kalau nggak kuat izin istirahat di ruang P3K aja. Soalnya, based on experience nih, Bos enggak bakal ACC kalau cuma sakit ringan begini. Kamu udah dua tahun di sini, ngerti kan karakter doi gimana?"

Justru perjalanan berangkatnya yang harus dihindari! Aku harus mencari alasan yang benar-benar meyakinkan. Tadi, aku sudah mengontak adik Runa—yang untungnya lumayan tertarik dengan kekuatan mimpiku sejak lama dan percaya akan hal itu. Entah alasan apa yang dia pakai, tapi aku yakin dia berhasil mencegah kakaknya berangkat kerja. Sekarang, aku yang harus memutar otak.

Akhirnya, kubilang saja kondisi Runa saat ini betul-betul perlu istirahat. Akan menyulitkan kalau ia tetap masuk kerja.

"Nanti kalau Bos butuh saksi, aku deh yang maju," tambahku. "Mbak Sella langsung colek aku aja. Toh, memang aku yang bertanggung jawab atas izin dia hari ini."

Mbak Sella menghela napas. Setelah sekali lagi mengingatkan masalah cuti yang belum tentu disetujui, akhirnya beliau luluh. Sepertinya Mbak Sella tidak sadar kalau jatah cuti Runa tahun ini sebenarnya juga sudah habis. Semoga bisa tembus, deh, dengan kebaikan hati Bos yang langkanya minta ampun.

Keamanan Runa adalah yang utama, dan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai terjadi apa-apa dengan sahabatku yang satu itu.

💭

11/04/24. 1457 words.

Dina cuap-cuap

Selamat hari lebaran, mohon maaf lahir dan batin!

Akhir-akhir ini, rasanya Dina menulis seperti siput, alias lambat sekalii :') Padahal niatnya memanfaatkan momentum libur agak panjang, berhubung diri ini belum bisa cuti (baru juga dapat kerja Maret kemarin!) dan tamatnya naskah ini harus dikejar. Kata beberapa teman di sekitar, aku kelihatan capek banget, tapi aku enggak merasa begitu sih wkwk. Semoga naskah ini bisa tamat tepat waktu dan kalian masih bersedia mengikuti sampai akhir, ya :')

Continue Reading

You'll Also Like

15.8K 2.4K 9
Utas kisah seorang konservator lukisan yang meminjam nama warna dan mahasiswa pascasarjana fisika yang tergila-gila pada cahaya.
25.8K 2.3K 6
Katanya, kadang untuk beranjak dan melanjutkan kehidupan perlu dibantu oleh orang lain... "Aku ngerti, dia berarti banget buat kamu dan kamu nggak bi...
204K 20.3K 12
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
453 97 9
Pada penghujung bulan Margasiramasa tahun 1380, salah satu wilayah ujung utara Kerajaan Agnipura, berhasil direbut oleh Kerajaan Danapati. Tanah Lor...