Not Finished Yet [Completed]

aprilianatd द्वारा

1.6M 147K 6.1K

Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpis... अधिक

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Pengumuman
Epilog
Extra Part

Bab 35 [end]

38.2K 3K 88
aprilianatd द्वारा

Gama mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi. Suasana parkiran sekolah cukup ramai. Saat ini ia sedang berada di dalam mobil, menunggu Jenia menjemput si kembar. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ia melihat Jenia. Namun, ia keheranan saat melihat Jenia tidak bersama si kembar.

"Anak-anak lagi sama temannya." Kalimat pertama Jenia begitu masuk ke mobil.

"Ngapain?"

"Ngobrol sebentar. Kayaknya sih lagi bahas tugas atau apa gitu. Aku juga kurang tau," jawab Jenia. "Mereka nyuruh aku ke mobil duluan, nanti mereka nyusul."

"Mereka tau kalo aku ikut jemput, kan?"

Jenia mengangguk. "Dari kemarin aku udah ingatin ke mereka kalo hari ini Mas Gama ikut jemput."

Gama manggut-manggut. Ia diam sebentar, mengamati Jenia yang mulai sibuk dengan ponselnya. "Aku berencana beli rumah," cetusnya tiba-tiba.

Jenia sontak menoleh. "Ngapain?" tanyanya dengan wajah bingung. "Mas Gama kan udah punya apartemen. Ngapain beli rumah segala?"

Gama menghembuskan napas keras. "Alula sama Aruna nanyain soal rumah. Setelah dipikir-pikir, emang harusnya aku punya rumah."

Jenia berdecak. "Pemborosan banget, Mas," sahutnya. "Kan apartemen yang sekarang udah cocok banget buat Mas Gama. Jaraknya dekat pula dari kantor."

"Kamu nggak setuju aku beli rumah?"

Jenia menghela napas panjang. "Bukan nggak setuju, Mas." Diam sebentar, Jenia berusaha merangkai kata-kata sebelum keluar dari mulutnya. "Maksudku, apartemen yang ditempati sekarang udah cocok banget buat Mas Gama. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor."

"Kalo nanti kita rujuk, nggak mungkin aku ngajak kamu sama anak-anak tinggal di apartemen kecil itu."

"Kan belum rujuk," sahut Jenia sambil menampilkan cengiran.

Gama mendengus keras, tidak suka mendengar ucapan Jeni. "Cepat atau lambat, kita bakal rujuk."

"Yaudah, cari rumahnya setelah kita rujuk aja. Sekarang nggak perlu buru-buru."

Gama menggeleng-geleng, nampak tidak setuju dengan ucapan Jenia. "Cari rumah kan nggak segampang itu. Belum juga desain dalam rumahnya. Aku mau anak-anak punya kamar yang bagus, sesuai keinginan mereka."

"Mas Gama berencana nyuruh Alula sana Aruna tidur di kamar yang beda?"

Gama mengedikkan bahunya. "Itu sih terserah mereka. Kalo emang mereka nggak mau tidur terpisah, berarti kamar mereka harus luas."

Tak lama kemudian, Alula dan Aruna masuk ke dalam mobil. Kunciran rambut mereka sudah berantakan, tidak serapi saat berangkat.

"Tadi ngobrol apa sama teman-temannya?"  tanya Gama, menoleh ke kursi tengah.

"Ngobrol soal tugas," jawab Aruna.

"Itu aja?"

Aruna mengangguk.

"Oke, hari ini kalian mau makan apa?" tanya Gama sambil memakai sabuk pengaman.

Alula dan Aruna saling tatap, kemudian dengan kompak menjawab. "Pizza!"

Jenia menoleh ke kursi tengah. "Kok bisa-bisanya kalian jawabnya kompak?" Keningnya berkerut, nampak curiga dengan kedua anaknya. "Pasti di sekolah udah dipikirin mau makan apa, ya?"

Aruna nyengir lebar. "Karena tau hari ini Papi yang jemput, di sekolah aku sama Alula udah mikirin mau makan apa."

Gama terkekeh mendengar jawaban anaknya.

Sesampainya di restoran, Jenia memesankan beberapa macam pizza yang menjadi kesukaan Alula dan Aruna. Dua anaknya tampak senang bisa makan di luar bersama dirinya dan Gama. Setiap Gama ada waktu kosong, pasti laki-laki itu menyempatkan untuk menjemput anak-anak di sekolah. Kebetulan hari ini Jenia juga sedang tidak terlalu sibuk, makanya mereka bisa sama-sama menjemput si kembar di sekolah.

"Mami, kapan Om Kamil nikah?" tanya Alula sebelum menggigit pizzanya.

Jenia tersenyum tipis. "Masih dicari tanggalnya."

"Kalo Om Kamil nikah sama Tante Amel, mereka akan punya anak ya, Mi?" tanya Aruna.

"Iya."

"Aku nggak sabar Om Kamil sama Tante Amel nikah. Biar kita punya sodara baru," ucap Aruna dengan wajah berbinar.

"Kamu mau punya Adik?" tanya Gama menatap Aruna dengan senyum lebar.

Aruna mengangguk.

"Nanti kalo Mami sama Papi udah nikah lagi, Mami sama Papi kasih Adik buat kalian," jawab Gama yang sontak mendapatkan cubitan pedas di pinggangnya. Kemudian ia beralih menatap Jenia. "Emang nggak boleh aku ngomong kayak gitu?" tanyanya dengan tampang penuh cengiran.

Jenia berdecak. "Nggak usah ngomong aneh-aneh."

"Aneh-aneh gimana?" tanya Gama. "Lagian mereka juga tau kalo Mami sama Papinya mau nikah lagi," lanjutnya.

"Masih lama, Mas," desis Jenia menahan rasa kesalnya. "Lagian Kamil aja baru mau lamaran, kenapa Mas Gama ngebet banget mau nikah lagi sih?"

"Iyalah. Takut kamu berubah pikiran," jawab Gama cepat. "Kalo kamu tiba-tiba nggak mau rujuk, kan aku jadi pusing," lanjutnya.

Jenia berdecak sambil geleng-geleng kepala. Ia tidak menanggapi ucapan Gama. Ia malah meletakkan pizza di piring Alula dan Aruna, menyuruh anaknya makan yang banyak.

"Aku nggak mau punya Adik," celetuk Alula setelah menyelesaikan kunyahannya.

"Kenapa?" tanya Gama sambil mengusap saos di ujung bibir Alula.

"Kalo punya Adik, nanti aku sama Aruna dinakalin," jawab Alula santai. "Terus, kalo punya Adik, Mami sama Papi nggak sayang lagi sama kita," tambahnya sambil menundukkan kepala.

Gama mengulum senyum. "Yaudah, punya Adiknya kapan-kapan aja," ucapnya menatap Alula. "Sekarang kalian habisin makanannya dulu."

Percakapan soal keinginan memiliki Adik seketika berhenti. Alula dan Aruna menghabiskan makanannya sambil mengobrol satu sama lain.

***

Gama duduk menyilangkan kaki, menunggu Jenia keluar dari fitting room. Selagi menunggu Jenia, ia membalas beberapa email terkait pekerjaan. Meski sibuk, ia menyempatkan waktunya untuk menemani Jenia fitting baju untuk acara lamaran Kamil yang akan diadakan satu minggu lagi.

"Gimana, Mas?"

Gama buru-buru menyimpan ponselnya saat mendengar suara Jenia. Kemudian ia mengangkat pandangannya, dan melihat Jenia sudah berdiri di hadapannya. Senyumnya langsung merekah begitu tatapan matanya tertuju pada Jenia dengan lace maxi dress bewarna beige. Dress yang dikenakan Jenia memiliki panjang sedikit di bawah lutut. Model lengannya lebar dan panjangnya sebatas siku. Penampilan Jenia berhasil membuat detak jantung Gama berdetak tak karuan.

"Gimana, Mas?" tanya Jenia lagi, ketika Gama belum memberikan jawaban.

Gama meneguk ludahnya susah payah. Jenia terlihat cantik mengenakan dress itu. Ia jadi membayangkan kalau Jenia memakai dress yang lebih cantik dari ini ketika nanti mereka kembali menikah.

"Mas!" panggil Jenia dengan suara lebih keras.

"Bagus banget. Kelihatan sopan, tapi masih elegan." Gama akhirnya memberikan jawaban.

Jenia mengangguk, tampak puas dengan jawaban Gama. "Nggak terlalu pendek, kan?" tanyanya memastikan.

Gama menggeleng. "Udah pas banget di badanmu. Kamu kelihatan makin cantik."

Dipuji seperti itu berhasil membuat wajah Jenia merah padam. Ia berusaha berdeham, sambil mengalihkan pandangannya.

"Anak-anak pakai baju apa?" tanya Gama yang berhasil membuat Jenia kembali menatapnya.

Jenia kembali menatap Gama. "Mereka pakai dress juga. Warnanya sama kayak yang aku pakai, cuma beda model aja."

"Kalo aku?" Gama menunjuk dirinya sendiri.

"Mas Gama pakai batik aja," jawab Jenia santai.

Gama sontak menyunggingkan senyum. "Itu berarti aku boleh ikut, kan?"

Jenia berdecak. "Yaudah, Mas Gama nggak usah ikut. Biar aku sama anak-anak aja yang ikut ke acara lamarannya Kamil," jawabnya sebal.

Gama terkekeh. Ia bangun dari sofa yang didudukinya, kemudian tangannya menyentuh dagu Jenia. "Kalo aku nggak ikut, takut ada cowok lain yang ngelirik kamu."

Jenia mendengus sebal. Ia menepis tangan Gama yang memegang dagunya. "Nggak ada orang waras yang mau dekat-dekat sama emak anak dua."

"Aku mau," sahut Gama dengan cengiran lebar.

"Karena itu anak-anakmu, Mas!" seru Jenia dengan wajah kesal.

Gama meledakkan tawanya. "Udah, kamu cepetan ganti lagi. Aku nggak kuat lihat kamu cantik banget pakai dress ini."

Jenia mencibir pelan. "Gombal."

Gama lagi-lagi hanya bisa tertawa. Saat ia melihat Jenia berjalan ke fitting room, ia kembali duduk di sofa.

***

Jenia menitikkan air mata haru ketika melihat Kamil memakaikan cincin lamaran ke jari Amel. Tangannya hendak mencari tisu di dalam tas, tapi Gama lebih dulu menyerahkan tisu untuknya.

"Jangan nangis terus." Gama meraih tangan Jenia untuk digenggam.

"Maunya sih nggak nangis, tapi air matanya keluar terus," bisik Jenia.

Gama mengulum senyum. "Kamu harusnya senang, akhirnya Kamil nemuin perempuan yang akan jadi pendamping hidupnya."

"Selama ini Kamil yang jagain aku sama si kembar." Jenia menoleh, menatap wajah Gama dengan tatapan lekat. "Kadang aku suka ngerasa bersalah karena hidup Kamil terlalu berpusat ke aku dan si kembar. Dia sampai nggak terlalu peduli sama hidupnya sendiri."

"Sekarang, aku yang akan jagain kamu sama si kembar."

Jenia tersenyum, tangannya membalas genggaman tangan Gama. Kata-kata Gama seperti sebuah janji yang ia yakin akan ditepati oleh laki-laki itu.

Prosesi lamaran diadakan di sebuah restoran, berjalan dengan lancar. Kamil sengaja menyewa satu restoran untuk acara lamaran kali ini. Meski tamu undangan yang datang tidak terlalu banyak, tapi Kamil dan Amel sangat bahagia. Acara lamaran digelar secara sederhana dan khidmat, hanya dihadiri keluarga inti kedua belah pihak.

"Si kembar energinya luar biasa. Lari-larian terus kayak nggak ada capeknya," celetuk Amel.

Saat ini tiba waktunya untuk ramah tamah. Para tamu dipersilakan untuk menyantap hidangan yang sudah tersedia.

"Mereka emang gitu. Kayak mainan yang baru diisi baterai," ucap Kamil menimpali.

"Nggak papa. Biar nanti malam mereka bisa langsung tidur," sahut Gama.

Jenia mengangguk setuju dengan ucapan Gama. "Selamat buat kalian berdua. Lancar-lancar sampai hari pernikahan. Kalau kalian butuh bantuan, bisa kabari aku kapan aja."

"Iya, Mbak," sahut Amel dengan tersenyum.

"Aku sama Amel nyerahin semua ke WO kok, Mbak. Jujur aja kita nggak mau repot, tapi mau hasil yang baik," sahut Kamil.

"Kalian bilang aja nanti mau hadiah pernikahan apa. Biar aku kasih apa yang kalian mau," ucap Gama menepuk-nepuk pundak Kamil.

"Boleh apa aja, Mas?" tanya Kamil dengan mata berkilat senang.

Gama mengangguk.

Kamil tersenyum lebar. "Oke, nanti aku pikirin dulu," ucapnya. "Kalo udah tau mau hadiah apa, nanti aku kasih tau ke Mas Gama," lanjutnya.

Kemudian acara kembali berlanjut. MC yang memimpin acara memberitahu sudah berada di akhir acara. Setelah acara ditutup dengan doa, satu persatu tamu mulai meninggalkan restoran, begitu juga dengan Gama, Jenia dan si kembar. Sekarang mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang.

Jenia memperhatikan jalanan yang dilewati saat ini. Untuk beberapa saat ia baru menyadari kalau jalanan yang dilewati, bukan jalanan menuju ke rumahnya. Sontak ia menoleh menatap Gama yang ada di balik kemudi.

"Kita ke rumah orang tuaku dulu," ucap Gama, seakan tahu apa yang akan ditanyakan Jenia.

"Ngapain?"

"Mama sama Papa kangen sama anak-anak."

Jenia melirik ke kursi tengah. Di sana ia melihat Alula dan Aruna sedang tertidur. Tubuh mereka saling bersandar satu sama lain.

Mobil yang dikemudikan Gama sudah berhenti di depan rumah orang tuanya. Ia berniat menggendong anak-anaknya, tapi si kembar sudah lebih dulu bangun.

"Ma, nitip Alula sama Aruna dulu ya," ucap Gama menyerahkan si kembar pada Mamanya.

"Lho, kita nggak ikut masuk?" tanya Jenia dengan wajah bingung.

Gama menggeleng. "Alula sama Aruna malam ini nginap di sini nggak papa, kan?" tanyanya menatap si kembar secara bergantian.

Meski dengan wajah setengah mengantuk, Alula dan Aruna menganggukkan kepalanya.

"Mami sama Papi mau kemana?" tanya Alula.

"Papi mau pergi sebentar sama Mami. Kalian tidur aja di sini," jawab Gama.

"Kok perginya nggak ngajak aku sama Alula?" tanya Aruna sebelum menguap lebar.

Gama menggaruk belakang kepalanya, berusaha mencari alasan yang tepat untuk diberikan ke anak-anaknya. "Kalian di rumah aja. Papi sama Mami janji perginya nggak akan lama."

"Yaudah." Alula yang memang sudah mengantuk, memilih lebih dulu melangkah masuk ke dalam rumah.

"Tapi, Mami sama Papi janji ya nanti malam pulang," ucap Aruna yang segera diangguki oleh Papinya. Baru setelah itu ia menyusul Alula untuk masuk.

"Sebenarnya kalian mau kemana?" tanya Mama menatap Gama dan Jenia secara bergantian.

Jenia mengedikkan bahu. "Aku nggak tau, Ma," jawabnya. "Aku aja nggak tau kalo Mas Gama mau nitip anak-anak di rumah Mama," lanjutnya.

"Sebenarnya kamu mau ngajak Jenia kemana?" tanya Mama, memusatkan pandangannya pada anak laki-lakinya.

"Mau ngajak Jenia nge-date," jawab Gama santai.

"Kemana?" tanya Mama dan Jenia nyaris bersamaan.

Gama berdecak. "Pokoknya ke suatu tempat," jawabnya.

"Kalian nanti beneran pulang, kan?" tanya Mama memastikan. "Mama nggak mau kamu bawa Jenia nginap. Kalian belum sah. Nggak usah macam-macam," lanjutnya mengingatkan.

Gama mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mama tenang aja. Aku akan bawa Jenia pulang. Meskipun agak malam, tapi aku janji akan pulang."

Mama menghela napas panjang. "Yaudah, biar si kembar tidur di sini aja. Nikmatin waktu kencan kalian. Pokoknya jangan lupa pulang."

Setelah berpamitan dengan Mama, Gama membawa Jenia masuk ke dalam mobil. Perempuan itu menatapnya penuh dengan tanya, tapi ia memilih diam saja.

"Sebenarnya Mas Gama mau bawa aku kemana?"

Gama menoleh sekilas menatap Jenia, lalu ia tersenyum penuh arti. "Kamu nanti bakal tau."

Jenia malas bertanya lagi pada Gama. Percuma juga ia bertanya kalau laki-laki itu tidak memberi jawaban yang jelas.

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil yang dikemudikan Gama akhirnya berhenti di parkiran sebuah apartemen. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Jenia.

"Ini apartemennya Mas Gama?" tanya Jenia begitu turun dari mobil.

Gama mengangguk.

"Kita ngapain di sini?" tanya Jenia menatap Gama dengan tatapan curiga.

Gama terkekeh. Ia merasa lucu melihat wajah waspada Jenia. "Tenang aja, kamu nggak bakal aku apa-apain kok."

Akhirnya Jenia mengikuti langkah kaki Gama. Tangannya sudah berada dalam genggaman laki-laki itu.

Ketika sudah berada di dalam apartemen, Gama menyalakan lampu dan menyuruh Jenia untuk duduk.

"Sebenarnya Mas Gama ngapain bawa aku ke sini?"

"Mau ngajak kamu makan malam."

Kening Jenia berkerut dalam. "Makan malam?"

Gama berjalan ke arah dapur. Ia memakai apron dan mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas.

Awalnya Jenia kira Gama bercanda. Ketika melihat Gama mulai mencuci tangan dan menyiapkan bahan-bahan, ia jadi percaya dengan perkataan Gama. Akhirnya ia berpindah duduk di bar stools, memperhatikan Gama yang sibuk sendiri dengan kegiatannya.

"Aku mau masak steak," beritahu Gama.

"Hmmm...." Tanpa sadar Jenia tersenyum melihat penampilan Gama. Dengan menggunakan baju batik yang dilapisi apron, membuat ketampanan Gama meningkat drastis.

"Kamu tau kan aku paling jago masak steak?" Gama menepuk dadanya dengan percaya diri.

Jenia mengangguk. Harus diakui, laki-laki di hadapannya memang pandai memasak steak. Steak merupakan salah satu masakan Gama yang sangat lezat. "Kapan Mas Gama belanja?"

"Aku sengaja belanja dari kemarin karena emang hari ini mau masak buat kamu."

"Mau aku bantu?"

Gama mengangkat pandangannya, kemudian ia menggeleng. "Udah, kamu duduk aja. Biar aku yang siapin semuanya."

Memasak steak beserta kentang goreng, sayuran dan saos pelengkap tidak membutuhkan waktu yang lama. Kali ini Gama memustuskan memasak creamy mushroom sauce. Setelah semua makanan matang, Gama segera menatanya di piring dan meletakkannya di atas meja.

"Sini, cobain masakanku."

Jenia turun dari bar stools, lalu berjalan menghampiri Gama. Tatapannya otomatis tertuju pada makanan yang sudah terhidang di atas meja. Satu piring lengkap berisi daging, kentang, sayur dan tidak lupa dengan saosnya. Di sebelah piring, terdapat gelas yang bisa ia tebak isinya adalah soda.

Gama sudah melepas apronnya dan duduk di hadapan Jenia. "Gimana rasanya?" tanyanya saat melihat Jenia memulai suapan pertamanya.

Raut wajah Jenia sontak berubah. Rasa steak dipadu dengan creamy mushroom sauce buatan Gama benar-benar enak. "Enak banget," pujinya jujur.

Gama tampak lega. Meskipun steak adalah salah satu masakan andalannya, tetap saja ia merasa khawatir rasanya mengecewakan Jenia.

"Mas Gama jauh-jauh ngajak aku ke sini karena mau masakin aku steak?"

Gama mengangguk. "Biar kita bisa makan malam romantis tanpa gangguan," jawabnya dengan cengiran lebar. "Sayang banget aku nggak punya lilin. Masih tetap dibilang makan romantis walaupun nggak ada lilin, kan?"

Jenia tertawa pelan. "Gini aja udah cukup kok," sahutnya. "Kalo Mas Gama pasang lilin, berasa kita mau ngelakuin sebuah ritual pemujaan," lanjutnya yang berhasil membuat Gama tertawa.

Gama menyuapkan potongan daging ke mulut Jenia. "Aku bukannya nggak mau ngajak si kembar, tapi aku lihat mereka udah ngantuk banget."

"Energi mereka udah habis di acara lamaran Kamil tadi sore," sahut Jenia setelah menyelesaikan kunyahan di dalam mulutnya.

Ditengah-tengah makan, Gama mengeluarkan sebuah kotak dan meletakkannya di sebelah piring Jenia. Mulanya Jenia belum menyadari kotak yang baru saja ia letakkan. Sampai akhirnya ia berdeham dan memberi kode sambil ke arah kotak itu.

Jenia mengikuti arah tatapan Gama dan sontak matanya berbinar. Sebuah kotak berukuran kecil yang sudah terbuka. Di dalamnya ada sebuah cincin dengan desain yang simple.

"Jen, ayo kita nikah lagi. Kita bangun rumah tangga kita dari nol. Aku janji akan selalu ada buat kamu dan si kembar. Kita perbaiki kesalahan kita di masa lalu, biar kita bisa jadi pasangan yang lebih baik lagi di masa depan. Ayo kita besarkan kembar dengan penuh cinta dan dampingi mereka sampai meraih apa yang mereka cita-citakan."

Jenia terharu mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut Gama.

"Aku nggak menjamin hubungan kita akan selalu mulus di kemudian hari. Sebesar apapun masalah yang akan kita hadapi, kamu harus yakin kalo cintaku ke kamu nggak akan hilang. Sebesar apapun masalah kita, aku mohon nggak ada kata cerai seperti sepuluh tahun yang lalu."

Tanpa sadar Jenia menitikkan air mata. Air mata yang keluar bukanlah air mata kesedihan, tapi air mata karena rasa bahagia. "Makasih karena udah buktiin ke aku kalo Mas Gama benar-benar mau berubah. Makasih karena udah ngelakuin semua yang terbaik untuk aku dan anak-anak. Apapun kesalahan kita di masa lalu, aku yakin nggak akan terulang lagi di masa mendatang."

Gama meraih tangan Jenia di atas meja, lalu menggenggamnya dengan lembut.

"Ayo kita mulai semua lagi dari awal," ucap Jenia penuh keyakinan.

Senyum Gama langsung terkembang sempurna. Ia segera memakaikan cincin di jari Jenia. "Setelah Kamil nikah, aku janji akan urus pernikahan kita lagi."

Jenia mengangguk.

Walaupun sepuluh tahun yang lalu hubungan Jenia dan Gama berakhir dengan perceraian, tapi tidak dengan perasaan cinta mereka. Perpisahan yang terjadi sepuluh tahun lalu tidak menghilangkan rasa cinta mereka satu sama lain. Keegoisan di masa muda, membuat hubungan mereka harus berakhir. Perasaan mereka belum selesai, dan tidak akan pernah selesai. Selamanya rasa cinta mereka akan berkembang dan menjadikan mereka pasangan yang lebih baik. Mereka akan selalu bersama membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang.

End

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Finally.... selesai sudah cerita Not Finished Yet.

Maaf kalo konflik cerita ini sangat amat ringan, bahkan nyaris nggak ada konflik kayaknya. Maaf juga kalo ending-nya nggak sama sesuai ekspektasi kalian. Semoga kalian cukup puas dengan keseluruhan cerita ini.

Seperti biasa, akan ada epilog dan satu extra part. Untuk extra part selanjutnya, bisa kalian baca di Karyakarsa. Buat yang belum follow aku di Karyakarsa, langsung follow biar gak ketinggalan notifnya. Kalian juga bisa baca cerita lain di Karyakarsa lho... ada beberapa extra part dari ceritaku yang ada di wattpad, short story, dan beberapa cerita lengkap. Yuk buruan langsung di cek!!!
https://karyakarsa.com/Aprilianatd

Untuk yang penasaran sama kelanjutan hubungan Gama, Jenia dan si kembar, nanti bisa baca di KaryaKarsa.

Makasih banyak buat kalian yang udah baca, vote dan komen di setiap bab. Makasih udah suka sama cerita ini sampai akhir. Semoga kedepannya aku bisa bikin cerita lain yang lebih menarik.

Jangan lupa buat baca Swipe Right, cerita pengganti Not Finished Yet. Semoga kalian suka sama cerita baru yang aku buat.

April, 2024
Aprilianatd

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

452K 31.1K 41
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
733K 57.5K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...
952K 74.5K 64
》Love Makes Series 4《 • • • Hari itu merupakan hari tersial bagi sosok Auristela Darakutni. Ia mengalami kecelakaan hingga mengalami patah tulang di...
984K 2.6K 6
Kisah Perselingkuhan penuh gairah, dari berbagai latar belakang Publish ulang di wattpad!