[END] The Boy I Met in Dream

By izaddina

2.4K 489 190

[ Romance - Magical Realism ] Sebagai orang yang lahir di Kota Ilusi, Azlin Nadia percaya bahwa mimpinya sela... More

- prakata
02: Dia yang Membenciku Sepenuh Hati
03: Dia yang Membuatku Panik
04: Dia yang Ingin Kudekati Tanpa Tahu Caranya
05: Dia yang Bertanya Tentang Kabarku
06: Dia yang Semakin Memikatku
07: Dia yang Paling Kusayangi
08: Dia yang Tak Tahu Terima Kasih
09: Dia yang Sulit Kupahami
10: Dia yang Akhirnya Menerimaku
11: Dia yang Berbagi Denganku
12: Dia yang Membuatku Cemburu
13: Dia yang Mengejarku dalam Mimpi Buruk
14: Dia yang Menyakiti Hatiku
15: Dia yang Hanya Ada dalam Mimpiku
16: Dia yang Membawa Kabar Buruk
17: Dia yang Tertidur Pulas
18: Dia yang Berada di Ambang Kematian
19: Dia yang Menyadarkanku
20: Aku yang Terbangun dari Mimpiku

01: Dia yang Kujumpai dalam Mimpi

349 52 22
By izaddina

Sebagai wanita yang sudah memasuki umur wajar untuk duduk di pelaminan, tentu saja aku ingin menikah. Apalagi kalau melihat Mama dan Papa yang begitu harmonis.

Hanya saja, memimpikannya-secara harfiah-itu beda cerita. Kalau sudah aku yang bermimpi, itu sebuah pertanda. Apalagi kalau setelah bangun tidur isi mimpinya masih terasa sejelas itu.

Konon, di Antaranusa, memang ada beberapa keajaiban yang tidak masuk di nalar, tapi ada buktinya. Terpampang nyata, pula. Sebutlah Kota Harapan yang terkenal dengan bubuk perasaan dan kuliner ajaibnya-baik secara kiasan maupun harfiah. Kota Para Pemimpi, tempat orang-orang memasak dengan mimpi yang dibubuhkan dalam makanan buatan mereka. Atau kota asalku, Kota Ilusi, yang terkenal dengan kuatnya gen peramal mimpi dalam tubuh mereka.

Nah, tapi tempatku merantau ini bisa dibilang kota tanpa keajaiban. Kota tanpa mimpi. Namanya memang Kota Nirkhayal, sih ....

Aku jadi sejarang itu bermimpi sejak merantau, tapi sekalinya muncul, akurasinya nyaris sempurna. Yang samar-samar saja bisa mewujud selama aku ingat. Jadi, kalau aku sampai sejelas ini dalam mengingat apa yang kalian sebut bunga tidur itu, pasti isinya akan kejadian. Pasti.

Pertanyaannya, siapa lelaki yang menikah denganku dalam mimpi?

Aku tidak mengenali wajah itu di dunia nyata, tapi semuanya terekam jelas. Rambut lurus sebahu yang ditata rapi. Mata sayu dengan sorot tajam di waktu bersamaan. Hidung mancung. Kulit keemasan. Senyum tipis nan dingin yang anehnya tampak begitu memukau. Saking nyatanya, begitu bangun tidur, hal yang pertama kali kulakukan adalah menggambar wajahnya dan aku masih bisa mengingat seluruh detailnya.

Gara-gara itu, aku nyaris telat masuk kantor sekarang.

Azlin Nadia, kamu bodoh sekali, sih?

Untung kosku masih terhitung dekat dengan kantor. Jalan cepat lima belas menit masih keburu. Kalau melihat jalanan macet, menyewa jasa antar-jemput daring pun tak akan berbeda jauh waktu tempuhnya. Yah, semoga riasanku tidak hancur saja-

Astaga. Hujan deras dadakan.

Bajuku agak terselamatkan karena kebetulan aku berjalan dekat halte yang bisa dipakai berteduh, tapi tetap saja tempias membuatnya basah. Kakiku jelas alamat tidak selamat, soalnya aku tidak punya ilmu berjalan di atas udara.

Tadi cerah, lho. Dari mana datangnya hujan yang debitnya macam guyuran ember raksasa ini?

Untungnya lagi, aku tidak lupa membawa payung hari ini. Kalau aku telat, bisa-bisa gajiku dipotong! Buru-buru kukembangkan payung kodok hijau kesayanganku, lantas berlari menembus derasnya hujan.

Tinggal satu jalan yang perlu kusebrangi dan kantor sudah di depan mata, tapi sesosok lelaki yang tengah berteduh menarik perhatianku. Azlin Nadia dan penyakit gampang salah fokusnya. Ini bukan waktu yang tepat, tapi manusia dalam balutan kemeja biru dongker dan celana chino itu sungguh membuatku ingin tahu. Matanya mengarah ke gedung tempatku bekerja dan sebuah lanyard dikalungkan di lehernya. Motifnya sekilas persis milikku.

Kru baru, kah? Aku belum pernah melihatnya.

Tunggu.

Aku pernah melihatnya. Pagi ini. Dalam mimpiku. Kecuali ekspresinya yang kali ini datar, segala fitur fisiknya persis lelaki yang kugambar begitu bangun tidur.

Alih-alih mengejar jam masuk kantor yang kian dekat, aku malah berbelok menghampiri orang yang bahkan kutahu namanya pun tidak.

"Mau ke kantor Masatoki, Mas?"

Sebagai satu-satunya manusia yang ada di sana, tentu saja seharusnya lelaki itu tahu kalau pertanyaan itu kutujukan padanya. Namun, ia hanya diam. Menggeleng atau mengangguk pun tidak. Kalau ditilik dari dekat, lanyard-nya memang lanyard kantorku, sih. Berarti seharusnya jawaban pertanyaanku adalah ya. Kenapa diam saja, sih?

"Ayo, Mas. Saya juga mau nyebrang ke sana. Bentar lagi masuk kantor, nanti telat." Aku menyodorkan si payung kodok. "Lebar, kok. Bisa berdua."

Butuh beberapa detik sebelum lelaki dengan rambut terikat sebagian itu mengiyakan. Kenapa, sih? Apa dia tipe cowok yang merasa gengsi kalau ditawari bantuan oleh perempuan? Sudah mau telat begini, pilih-pilih pertolongan bukan tindakan bijak, tahu!

Payung kodokku berpindah tangan. Tinggi kami memang tidak begitu jauh bedanya, tapi dari jarak sedekat ini, aku bisa mengamati lebih baik. Sungguhan mirip dengan pengantin yang kutemui dalam mimpi. Aku jadi penasaran. Siapa namanya? Kerja di bagian apa? Sudah punya pacar belum?

Sudah gila kau, Azlin. Nasib presensi kehadiranmu sudah di ujung tanduk dan yang kau pikirkan malah cowok yang tahu namanya pun tidak?

"Terima kasih, Bu."

Yak, aku terlalu asyik mengamati dan halu ke mana-mana sampai tidak sadar kami sudah berada di depan lobi kantor. Aku mengangguk, buru-buru menaruh payung di tempat jemurnya dan menandai kehadiran di mesin sidik jari. Lelaki itu melenggang begitu saja, tidak melakukan presensi.

Betulan anak baru, ya? Mungkin nanti bisa kucari lagi dan kuajak kenalan. Kalau benar dia jodohku, sepertinya akan lebih baik kalau aku yang berinisiatif mendekatinya lebih dulu.

Sebentar. Aku baru sadar sesuatu. Tadi dia memanggilku Ibu? Kurang ajar! Memangnya mukaku setua itu?

💭

"Lo ... chaos bener, dah."

Wajar, sih, kalau Runa berkomentar begitu. Selain karena dia saksi hidup segala tingkahku selama di kantor setahun terakhir, semua yang kulakukan di matanya selalu menimbulkan kekacauan. Biarpun sudah berpayung, bagian bawah tubuhku memang tidak selamat-sesuai dugaan. Basah kuyup kena percikan air.

"Jadi gradasi, Run, kaos kakiku. Cakep." Aku ngeles.

"Ada aja alasannya, Azlin Ngeles Nadia." Gadis dengan bandana corak bunga itu berdecak. "Dan lo masih sempat-sempatnya bikinin sarapan buat gue? Gue enggak ngerti gimana pengaturan prioritas di otak lo berjalan, Lin."

Kulirik sarapan yang dimaksud Runa. Setoples mungil overnight oat yang kutahu merupakan kesukaan anak itu, meskipun yang bersangkutan tidak pernah bilang secara gamblang. "Ini bikinnya dari semalam, Run. Tinggal dimasukkan ke kulkas saja. Enggak repot."

Sebagai respon, Runa hanya mendelik. Toh pada akhirnya dia juga menerima. Senyumku terkembang saat gadis itu menghabiskan makanan dariku. Kawanku yang tubuhnya serupa lidi ini selalu punya alasan untuk tidak sarapan, jadi aku berinisiatif untuk membawakannya sesuatu tiap pagi.

"Freak lo. Ngapain senyum-senyum?"

Aku tertawa melihat ekspresi heran yang kentara di muka Runa. "Aku senang lihat kamu makan, Runa."

"Beneran freak." Wanita bermata besar itu geleng-geleng kepala. "Semalam lo enggak mimpi aneh-aneh, kan?"

Pertanyaan Runa membuatku kembali teringat pada lelaki yang menyebrang bersamaku pagi tadi, juga mimpi pernikahan semalam. Sumpah, jelas banget. Suasana akad nikah terekam baik, wajahnya apalagi. Aku mengeluarkan buku sketsaku, menunjukkan gambar muka yang menjadi penyebab nyaris telat pagi ini.

"Semalam, aku mimpi menikah-"

"Satu lagi bukti mimpi lo enggak semuanya benar." Runa langsung memotong dengan nada sinis. "Pacar aja enggak punya, mau nikah sama siapa lo?"

Aku dan Runa sudah berteman setahun lebih. Selama itu pula, Runa jadi saksi mata dari mimpi-mimpiku yang kejadian saat itu juga. Dia juga tahu kalau aku berasal dari Kota Ilusi. Meski begitu, kenapa Runa selalu skeptis dengan kemampuanku yang satu ini? Aku langsung manyun. "Memangnya kalau mau nikah harus pacaran dulu, Runa?"

"Enggak juga, sih." Runa mengangkat bahu. "But in your case, siapa juga yang tiba-tiba mau ngajak lo nikah? Cowok yang deket aja enggak ada!"

Kata anak-anak kantor, mereka suka heran melihat pertemananku dan Runa. Yang satu kelewat realistis, satunya lagi terlalu senang bermimpi. Tentu sudah jelas siapa yang mana. Rasanya aku ingin membantah, tapi fakta yang Runa ungkapkan tentang nihilnya lelaki yang dekat denganku terlalu sulit disangkal.

Kalau sudah begini, rasanya diriku gatal sekali membuktikan kebenaran mimpiku. Semoga anak yang tadi masuk kantor bersamaku tadi berkunjung ke divisi kami. Aku mengintip sketsa terbaruku yang mau kutunjukkan pada Runa. Mirip. Mirip banget sama orang yang tadi. Runa harus lihat, tapi anak itu malah memalingkan muka.

"Kerja, Lin. Udah masuk jam kerja ini." Perempuan dengan potongan rambut bob itu menyalakan komputer di mejanya. Bonus sentilan di lenganku. "Mau lo keturunan peramal mimpi paling akurat juga, lo harus belajar fokus sama dunia nyata."

Saraswati Aruna memang dikaruniai lidah yang tajam. Makin tajam kalau sedang bicara padaku. Untung aku tahan. Dengan wajah ditekuk, aku turut menekan tombol daya.

"Azlin sudah datang, belum?"

Siapa lagi yang mencariku sepagi ini di hari Senin? Aku menoleh demi bertemu pandang dengan Mbak Sella-atasanku-dan manusia yang tidak kukenali di balik bahunya. Laki-laki. Perawakan Mbak Sella yang tingginya macam galah membuat wajahnya ketutupan, tapi bajunya familiar.

Runa turut menoleh. "Anak baru, Mbak?"

"Ho'oh. Probation tiga bulan. Jadi teman desainnya Azlin entar." Wanita jangkung berkacamata itu menepi, dan aku bisa melihat si pria lebih jelas.

Lho? Ini sih orang-garis-miring-calon-jodoh yang tadi mau kuceritakan ke Runa!

"Naratama Abhiyaksa. Nara."

Singkat, padat, jelas. Tambahan: dingin. Kalian tahu gambaran cowok dingin yang suka ada di situs-situs cerita fanfiction dan semacamnya? Persis. Banget. Meski begitu, bukan Azlin Nadia namanya kalau keder duluan dengan sosok macam es. Aku menyunggingkan senyumku yang paling cerah. "Azlin Nadia. Biasa dipanggil Azlin. Salam kenal!"

Anggukan menjadi jawaban. Senyumnya tipis. Kelewat tipis dan hanya muncul sekilas. Mbak Sella mengambil alih pembicaraan, mengarahkan Nara untuk duduk di meja yang berhadapan denganku dan memberi brief singkat terkait apa yang perlu kulakukan sebagai mentor probation alias masa adaptasi Nara beberapa pekan ke depan.

Duh, andai bubuk perasaan khas Kota Harapan tidak mahal, sudah kusemprot Nara dengan racikan bubuk yang bisa membuat orang tersenyum. Atau kubajak saja mimpinya agar tahu kenapa pembawaannya sedingin itu? Namun, aku tidak tahu caranya. Jadi menyesal karena aku memilih kuliah di bidang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mimpi, padahal aku warga asli Kota Ilusi.

Jangan aneh-aneh, Azlin. Tidak lucu kalau calon jodohmu kabur. Akan tetapi, yang benar saja. Masa orang yang akan kunikahi di masa depan pembawaannya sedingin kutub begini?

💭

02/04/2024 - 1482 words.

Dina cuap-cuap:

Please, please take a note that this is marathon story that I have to finish in one month. Alias ... aku nyaris nggak ada waktu buat baca ulang. Tolong tandain yak kalau ada yang mengganjal :'D

Sebelum publish, aku sudah proofread mandiri, sih. Tapi kan manusia tempatnya salah dan luput, ya. Semoga cerita ini tetap aman di jalurnya, deh :')

Continue Reading

You'll Also Like

25.8K 2.3K 6
Katanya, kadang untuk beranjak dan melanjutkan kehidupan perlu dibantu oleh orang lain... "Aku ngerti, dia berarti banget buat kamu dan kamu nggak bi...
261K 9.4K 8
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 3 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
15.8K 2.4K 9
Utas kisah seorang konservator lukisan yang meminjam nama warna dan mahasiswa pascasarjana fisika yang tergila-gila pada cahaya.
14.3K 2.3K 6
Aku tahu ini agak menggelikan, tapi izinkan aku menceritakan sedikit kisah tentang pertemuanku dengan bidadari di sebelah rumah. ** zahrashaffa © 201...