ANXI EXTENDED 2

wins1983 által

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... Több

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

58 - Sidang Kasus Penyusupan

216 53 22
wins1983 által

.

.

Tiap detail rangkaian kejadian dalam hidup, sudah ditetapkan oleh Allah ta'ala.

Dan tak ada satupun yang sia-sia tanpa makna.

.

.

***

Rizal berdiri gagah dengan toganya. Bersitatap dengan Theo yang juga mengenakan toga.

"Anda terlihat baik-baik saja, Pak Theo. Syukurlah," kata Rizal tersenyum.

Theo melengos. Menyebalkan. Mereka semua pasti sengaja menyindirnya.

Theo melewati Rizal begitu saja dan duduk di kursinya. Rizal tersenyum maklum. Padahal wajar jika Rizal sakit hati pada orang aneh itu. Tapi kesalnya hilang saat tahu bahwa jin jahat itu dilempar ke Theo. Sempat kasihan pada Theo. Tapi ternyata yang bersangkutan hari ini bisa hadir di persidangan, berarti entah siapanya Theo, berhasil mengatasi kesurupannya Theo.

"Pak Rizal, anda hari ini hadir di persidangan. Benarkah kalau beberapa hari terakhir ini, anda menjadi pasien di salah satu Rumah Sakit Jiwa di Jakarta?" tanya seorang wartawan yang nekat menghampiri Rizal meski semestinya tidak boleh ada sesi wawancara dengan wartawan.

"Maaf, nanti saja, ya. Setelah sidang insya Allah saya jawab," sahut Rizal sopan.

Ekor mata Rizal menangkap sosok seseorang memasuki ruang sidang. Ia bergegas menghampiri Yunan dan mencium tangannya. Baru kali ini dia memperlakukan Yunan sebagaimana memperlakukan ulama. Selama ini, dia melihat Yunan sebagai klien.

Elena berdiri dan bersedekap ke arah Yunan. Gegara insiden Rizal kesurupan dan diruqyah oleh Yunan, Elena dan Rizal menjadi 'jama'ah'nya Yunan.

Yunan membalas salam Elena dengan mengatupkan tangan dan tersenyum.

Theo menatap mereka dengan sorot mata malas. Penghormatan yang berlebihan sekali, batinnya.
Cuma karena laki-laki bernama Yunan itu berhasil membalikkan santet yang dikirimnya.

Orang-orang duduk di kursi, menantikan sidang yang akan dimulai sesaat lagi.

"Majelis Hakim memasuki ruang sidang."

Pengumuman itu membuat semua orang berdiri, lalu duduk kembali setelah para hakim duduk di kursi mereka.

"Sidang hari ini dilanjutkan, dengan agenda pembahasan kasus penyusupan terdakwa ke rumah Saudari Raesha Akhtar."

Palu diketuk oleh hakim.

"Saudara jaksa penuntut umum, apakah ada saksi yang akan anda ajukan pada sidang kali ini?" tanya sang hakim.

"Ada, Yang Mulia. Tapi sebelumnya, Saudari Raesha sebagai korban, akan bersaksi lebih dulu," jawab Edy sang jaksa, menoleh sedetik ke arah Raesha.

"Baik. Silakan Saudari Raesha untuk duduk di kursi pemeriksaan," pinta hakim.

Raesha hendak berdiri setelah dipanggil namanya. Terlihat kepayahan karena perutnya yang sangat besar, Yunan refleks berdiri lebih dulu dan menarik mundur kursi yang diduduki Raesha.

"Pelan-pelan," kata Yunan lembut, saat membantu Raesha berdiri.

Di belakang mereka, Erika melirik Arisa yang duduk di sampingnya. Ekspresi wajah Arisa tertutupi cadar, tapi Erika merasakan hawa cemburu melihat perlakuan lembut Yunan pada Raesha.

Di balik cadarnya, Arisa memang menampakkan kegetiran. Tapi apa mau dikata. Raesha memang adik angkat Yunan. Sewajarnya kakak angkat, tak aneh jika Yunan membantu Raesha yang sedang kepayahan lantaran hamil tua. Dirinya tidak boleh terlalu mudah cemburu.

Raesha sudah duduk di kursi pemeriksaan. Karena sudah pernah disumpah sebelumnya, Raesha langsung diberikan pertanyaan oleh hakim.

"Saudari Raesha, bisa anda ceritakan kronologis saat saudara terdakwa masuk ke rumah anda tanpa izin?"

"Baik. Waktu itu, kejadiannya malam. Saya mendengar suara mencurigakan dari arah pagar rumah," kata Raesha memulai ceritanya.

"Jam berapa tepatnya? Apakah saudari masih ingat?" Hakim ketua bertanya lagi.

"Setelah salat Isya. Saya baru selesai salat Isya. Berarti sekitar jam tujuh lewat. Tapi sepertinya tidak langsung setelah salat. Karena saya sedang makan malam saat kejadian. Mungkin jam delapan."

"Saudari di rumah sendirian atau ada orang lain?" Kali ini salah satu hakim anggota yang bertanya.

"Saya sendirian. Kedua anak saya masih dalam perjalanan bus dari tempat field trip di Puncak. Semestinya mereka sudah pulang, tapi saya mendapat kabar dari guru mereka, bahwa jadwal bergeser di luar rencana, sehingga bus baru bisa tiba di madrasah sekitar jam sembilan atau setengah sepuluh malam," jawab Raesha.

"Lalu, anda bilang tadi, anda mendengar suara yang mencurigakan di luar pagar. Bisa anda jelaskan, seperti apa suara yang anda dengar saat itu?" Hakim anggota lainnya bertanya.

"Seperti ... ada yang meloncati pagar. Karena khawatir, saya mengintip ke arah pagar, dari jendela ruang tamu. Tak ada siapa-siapa di sana. Tapi pagarnya bergoyang. Pagar itu agak berat, jadi kemungkinan tidak akan bergoyang sekencang itu hanya karena angin," jawab Raesha yakin.

"Lalu anda mengecek keluar untuk memastikan?" tanya hakim ketua.

"Tidak. Saya pikir, jangan-jangan memang karena angin. Karena waktu itu hujan gerimis disertai angin. Jadi saya biarkan. Saya kembali ke ruang makan."

"Lalu bagaimana anda pertama kali menyadari bahwa ada penyusup di rumah anda?"

"Saya mendengar lagi suara yang mencurigakan, yang asalnya dari dinding luar kamar tidur saya."

"Seperti apa suara itu?"

"Saya tidak yakin awalnya. Untuk memastikan, saya menempelkan telinga di tembok kamar. Ternyata itu adalah suara langkah kaki. Seperti suara sepatu bot."

Para hakim saling lirik, sebelum hakim ketua mengangguk. "Silakan saudara jaksa penuntut umum, jika ada pertanyaan."

Pria bernama Edy, bersiap menyalakan mikrofon sebelum bertanya. "Saudari Raesha, apakah anda mengenali sepasang sepatu ini?" tanya pria itu sambil menunjuk ke salah satu barang bukti di meja.

"Iya. Itu adalah sepatu yang dikenakan terdakwa saat memasuki rumah saya," jawab Raesha tanpa ragu. Tubuhnya bergidik, teringat malam yang mencekam itu. Dia sempat berpikir hidupnya akan berakhir malam itu di tangan Sobri.

"Setelah anda mendengar suara langkah di luar kamar anda, lalu apa yang terjadi?" tanya jaksa lagi.

"Saya mendengar suara besi yang dimasukkan ke celah jendela kamar saya. Suaranya jelas sekali. Saya segera berlari keluar kamar dan mengunci pintu kamar dari ruang tengah."

"Dia berusaha membuka paksa jendela kamar anda?"

"Iya."

"Anda tidak berusaha minta tolong ke tetangga atau berlari keluar melalui pintu depan?"

"Saya menelepon tetangga sebelah, tapi tidak diangkat. Perkiraan saya, karena saat itu sudah mulai hujan deras, sehingga mungkin suara telepon tidak terdengar. Saya juga telepon rumah Pak RT tapi tidak diangkat juga. Saya tidak berani lari keluar. Dalam kondisi kehamilan saya, kemungkinan saya akan terkejar dengan mudah."

"Tetangga adalah yang pertama kali anda hubungi?"

Pertanyaan itu membuat Raesha terdiam. Rona malu di wajahnya muncul. "Tidak. Yang pertama kali saya hubungi, adalah Kakak saya, Kak Yunan."

Lagi, Erika melirik ke samping, merasakan aura cemburu dari Arisa. Ya mau bagaimana lagi. Raesha dan Yunan telanjur dibiarkan tumbuh bersama terlalu dekat. Meski sempat terpisah lama, tentunya masih ada rasa saling tergantung itu.

Yunan sok bertampang serius, meski sebenarnya dia salah tingkah, tak menyangka kalau dirinya adalah yang dihubungi Raesha pertama kali. Waktu itu Yunan sedang berada di pesawat, saat Raesha menghubunginya berkali-kali. Pesawatnya sempat berputar-putar di udara, tidak bisa mendarat lantaran cuaca buruk. Begitu melihat banyaknya missed call dari Raesha, Yunan segera merasa ada yang tidak beres.

"S-Saya juga menelepon Adli, adik saya. Lalu Ibu saya, lalu Haya adik saya dan Elaine keponakan saya. Tapi juga tidak diangkat. Saya maklum karena waktu itu bertepatan dengan wafatnya Mbah Kakung dan Mbah Putri saya bersamaan. Mereka pasti sibuk mengatur banyak hal di rumah duka," lanjut Raesha, seolah ingin menjelaskan bahwa dia bukan hanya menelepon Yunan di lingkup keluarganya, tapi juga Adli dan keluarganya yang lain.

"Anda tidak langsung ke rumah duka, karena menunggu kedua putra anda tiba di rumah?" tanya Edy sang jaksa.

"Iya. Rumah saya persis di samping madrasah. Bus itu mengantar anak-anak ke madrasah. Saya khawatir anak-anak akan bingung kalau tiba di rumah dan tidak menemukan saya di sana. Lagi pula, saya merasa lebih nyaman kalau berangkat ke rumah duka bersama anak-anak saya. Saya ingin memastikan mereka tiba di rumah dari field trip dengan selamat."

"Baiklah. Lalu bagaimana? Tersangka berhasil membuka jendela kamar anda?"

"Iya. Dari luar pintu kamar, saya mendengar suara jendela terbuka, lalu kaca pecah. D-Dia ... maksud saya, terdakwa, memanggil nama saya, seolah dia mengenal saya. Saya juga merasa familiar dengan suaranya. Saya bilang padanya, saya rela memberikannya uang, asalkan dia pergi. Tapi katanya, yang dia inginkan bukan uang," suara Raesha bergetar saat menjelaskan rincian kejadian malam itu.

"Saat itu, anda belum melihat wajah tersangka?"

"Belum. Karena pintu kamar masih saya tutup dari ruang tengah. Tapi tiba-tiba saya mendengar suara kapak yang diayun ke pintu kamar. Saya terkejut dan menjauh dari pintu."

"Apakah ini kapak yang anda maksud?" tanya Edy sembari menunjuk ke meja tempat barang bukti.

"Iya benar. Itu kapaknya. Hantaman kapak berulang-ulang itu, menghancurkan pintu kamar saya," jawab Raesha mengangguk.

Jaksa memberi isyarat anggukan ke arah hakim. Pertanda pertanyaannya sudah cukup.

"Silakan kepada saudara atau saudari pengacara korban, jika ada pertanyaan," kata hakim ketua.

"Ada, Yang Mulia," sahut Rizal setelah menyalakan mikrofon di mejanya.

"Setelah terdakwa berhasil masuk ke dalam kamar, anda sembunyi ke mana, Ustadzah Raesha?" tanya Rizal.

"Saat itu, saya hanya terpikir untuk sembunyi di bawah meja dapur. Tadinya terpikir untuk lari lewat pintu samping ke arah madrasah, tapi lagi-lagi saya ragu, takut akan tertangkap, karena kondisi saya sedang hamil besar."

"Lalu terdakwa menemukan tempat persembunyian anda?" tanya Rizal lagi.

"Iya. Sebelumnya, semua lampu mati. Ternyata terdakwa sengaja mematikan listrik seluruh rumah saya. Dia bilang, mau main petak umpet, katanya."

Orang-orang yang mendengar penuturan Raesha, meringis wajahnya. Sungguh kurang waras itu yang namanya Sobri. Mereka membayangkan jadi Raesha. Wanita sendirian malam-malam, sedang hamil tua pula, disantroni laki-laki gila macam Sobri. 

"Saat itu terdakwa belum memperlihatkan wajahnya?" tanya Rizal.

"Belum. Setelah menemukan tempat persembunyian saya, dia menarik saya keluar, lalu menyudutkan saya ke dinding. Saat itulah, dia membuka topeng hitamnya."

"Topeng ini yang anda maksud?" Rizal menunjuk sebuah topeng hitam di meja barang bukti.

"Iya betul." Perut Raesha terasa mual melihat topeng itu lagi. Ternyata di bawah sadarnya, dia trauma dengan kejadian malam itu.

"Lalu, anda langsung mengenali terdakwa dari wajahnya?"

"Iya. Walaupun terdakwa terlihat lebih kurus sekarang, tapi saya masih mengenali kalau dirinya adalah Sobri, mantan guru di madrasah saya dan almarhum suami saya."

"Apa benar terdakwa memukul wajah anda?"

"Benar. Saya menamparnya lebih dulu, karena saat itu polisi sudah menetapkan dia sebagai pelaku yang meracuni Ilyasa. Jadi saya --" Kalimat Raesha terputus oleh tangisan yang tak mampu ditahannya.

Rizal memberi jeda agar Raesha sempat menenangkan diri.

"Lalu terdakwa balas memukul pipi anda?" tanya Rizal.

"Iya. Sekarang memang bekasnya sudah hilang, tapi ada visum yang menguatkan bukti pemukulan itu," jawab Raesha sembari mengusap air mata.

Orang-orang di ruang sidang, menatap berang ke arah Sobri. Laki-laki macam apa yang tega memukul wanita yang sedang hamil tua?

Yunan termasuk yang melirik tajam ke arah Sobri. Pukulan itu sudah dibalaskan oleh Yunan. Tapi membayangkan Raesha dipukul wajahnya, membuat relung hatinya terasa pedih. Itu karena saat kejadian, tak ada Ilyasa di sana. Tak ada suami. Raesha sedang sendirian di rumah. Juga tak ada wali laki-laki.

Andai saja Yunan sudah tiba di sana, sebelum pemukulan itu. Andai --

Yunan membuang pandangannya dari Sobri. Mengatur napas. Dia harus tenang. Tiap ada masalah yang terkait Raesha, dia selalu begini. Hatinya berantakan dan mudah naik-turun.

Semua sudah ditetapkan. Tiap detail rangkaian kejadian dalam hidup, sudah ditetapkan oleh Allah ta'ala. Dan tak ada satupun yang sia-sia tanpa makna.

.

.

***

Olvasás folytatása

You'll Also Like

ALIF Ismaawtn által

Spirituális

6.2M 437K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
216K 12K 30
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
470K 37.6K 23
[COMPLETED] Keterkaitan cerita #6 Humaira gadis lugu yang terperangkap cinta dalam diam yang tak terelakan. Arkan sosok lelaki yang memiliki segudang...
386K 33.1K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...