Hellooo~
Mohon baca pesan singkat dibawah ini yaa sayang-sayangku.
Pesanku cuma satu, jangan bawa-bawa dan sangkut pautkan cerita ini dengan real life para visual yaa. Ayo sama-sama kita jadi pembaca yang pintar dan bijak <3
Oh, iya! Jangan lupa untuk vote dan comment yang banyak di cerita ini. Okeey?? Kalau ada typo yang bertebaran, mohon dimaafkan.
Happy reading!
°
°
°
°
Hari demi hari terlewati, dan waktu terus berjalan. Menyisakan Maisa dengan seluruh kegiatannya sehari-hari.
Hari ini, sudah memasuki bulan suci Ramadhan. Menjadi puasa pertama untuk Maisa dengan segala rasa yang baru.
Sedih, bahagia, dan kesepian.
Sedih karena ini menjadi puasa pertama yang harus ia jalani tanpa kehadiran Heru. Bahagia, karena ia bisa bertemu kembali dengan bulan suci yang sangat indah.
Dan, kesepian.
Karena harus menjalankan hari-hari selama ramadhan hanya berdua dengan Veve di rumah.
Namun, Maisa menyadari. Setidaknya, ia sedikit lebih beruntung karena masih banyak orang-orang terdekatnya yang menemani hari-hari kelabu nya.
Seperti halnya hari ini.
Maisa dan Veve sama-sama berkunjung ke Kertanegara. Untuk buka bersama, sekaligus pengumuman hasil perhitungan pemilu. Atas undangan Pak Pradana tentunya.
"Alamak, rancak bana Uni Maisa iko...." Puji salah satu pekerja di kediaman Pak Pradana ketika melihat kedatangan Maisa.
Maisa hanya bisa mengulas senyum manisnya, berterima kasih atas pujian yang ia terima. Lalu, kembali melangkahkan kakinya masuk kedalam pekarangan rumah Kertanegara itu.
"Maisaaa~"
Seru salah seorang yang sangat Maisa kenali suaranya. Maisa menolehkan kepalanya, melambaikan tangannya menyapa orang itu.
"Hai, Mas Agam..."
"Widiiii, cantik banget, neng?"
"Hahahaha, terima kasih, lho. Eh, kok lo sendirian, sih? Belahan jiwa lo kemana?" Tanya Maisa penasaran.
Agam mengerutkan keningnya bingung, "Hah? Siapa?"
"Mas Raja."
"Idih, gue masih normal, ya, Mai! Sekate-kate lo kalau ngomong." Sahut Agam berdecak sebal.
"Habisnya kan kalian kayak perangko, nempel terus."
Agam menggerutu pelan, lantas menarik tangan Maisa paksa, mengajak dara cantik itu menuju salah satu ruangan kerja dikediaman Kertanegara.
"Eh, mau kemana?" Tanya Maisa.
"Ikut gue hayuk, kita lihat para bujang lapuk yang lagi pada adu nasib....." Sahut Agam.
Maisa hanya bisa pasrah ketika tangannya ditarik paksa oleh Agam. Dan, didalam ruangan itu, Maisa bisa melihat para 'bujang lapuk' yang tadi Agam maksud sedang duduk melingkar.
Ada obrolan yang sedikit serius disana.
"Guys, assalamualaikum, kalian kangen aku enggak?" Seru Agam sedikit kencang.
"Wa'alaikumussalam, wih, ada ndoro ayu." Sahut Raja.
Resky, Theo dan dua orang lain yang tidak Maisa kenali itu pun tersenyum hangat menyapa Maisa.
"Lagi apa kalian? Kata Mas Agam, ada para bujang lapuk yang lagi adu nasib....." Ujar Maisa bercanda.
Resky yang mendengar sontak menepuk kencang punggung Agam, "Kurang ajar, lo! Kalau kita bujang lapuk, lo apaan!?" Tanya Resky galak.
"Maaf, Bang...."
Manisa tersenyum manis melihat perdebatan dihadapannya, memilih untuk mengambil tempat duduk tepat disebelah kanan Theo.
"Hai~" Sapa Maisa hangat.
"Hai, Mai."
Theo tersenyum tipis, sedikit salah fokus dengan penampilan Maisa hari ini.
"Mai, kesini sama siapa?" Tanya Raja penasaran.
"Sama Mamah, dong. Sama siapa lagi?"
"Ooo, ada Bu Veve? Dimana?" Tanya Rada semangat.
"Diluar, kenapa sih?"
Raja tersenyum jumawa, "Mau ketemu sama sugar mommy, dulu yaaa~"
Setelah mengatakan itu, Raja pun berlari meninggalkan ruangan sambil tertawa terbahak-bahak. Menyisakan Maisa yang membulatkan matanya terkejut mendengar penuturan Raja.
"Mas Raja! Istighfar enggak, lo! Ya Allah, amit-amit banget nyokap gue punya brondong!" Seru Maisa.
Mereka —Theo, Resky, Agam, dan yang lain—, sontak tertawa mendengar seruan Maisa.
"Sabar, Mai. Puasa..." Sahut Theo mengelus pelan pundak Maisa.
"Mas Theo! Mas Raja tuh, omongannya ngawur. Ih, kalau malaikat dengar dicatat nanti, lho!" Adu Maisa.
Theo tertawa kecil, Maisa dengan wajah merajuknya adalah hal yang paling ia suka.
"Raja bercanda doang, Mai. Kamu kayak enggak tau dia saja."
"Tapi bercandanya enggak lucu, ih!" Sungut Maisa.
Resky, dengan sisa tawanya itu berusaha menenangkan Maisa juga, "Sabar, Mai. Jangan marah-marah, masih puasa. Nanti pas buka saja, baru kita smack down dia."
"Setuju, Mai! Nanti gue bantuin deh!" Celetuk Agam.
Setelah suasana sedikit kondusif, Theo pun mengajak mereka semua untuk segera keluar.
"Mas Theo...." Panggil Maisa pelan.
"Kenapa, Mai?"
"Itu, didepan banyak banget penggemar kamu, ya? Tadi, pas aku mau masuk, ada yang kenalin aku."
Theo sedikit mengerutkan keningnya, "Iya? Bilang apa dia?"
"Tanya ke aku, aku yang waktu itu makan malam di warung pecel sama kamu atau bukan." Sahut Maisa.
Melihat wajah Maisa yang seolah biasa-biasa saja, Theo kembali bertanya untuk memastikan, "Kamu risih enggak?"
"Enggak, kok. Mereka masih dalam batas wajar juga."
"Terima kasih, ya. Kalau ada yang mengganggu kamu, langsung kasih tau saya."
"Aman, Mas."
Setelah perbincangan singkat itu, Theo izin pamit pada Maisa untuk bergabung dengan asisten pribadi Pak Pradana yang lain, sedangkan Maisa memilih untuk menghampiri keluarga besarnya itu.
"Aduh, cah ayu ini, bukannya sowan dulu, ya, ke Bude dan Pakde nya...." Ujar Bu Bianti, anak sulung di keluarga Djojohadiningrat.
"Hehehehe, maaf ya, Bude...."
Bu Bianti tersenyum manis, mengecup pelan kedua pipi Maisa dengan penuh sayang, "Anak Bude yang cantik ini, sudah besar ya, ternyata. Sudah punya tambatan hati...."
"Semoga Maisa bahagia selalu, ya. Bude dan Pakde yang lain selalu berdoa untuk kebahagiaan Maisa." Lanjutnya.
Maisa tersenyum tipis, hatinya menghangat mendengar penuturan Bu Bianti.
"Terima kasih, Bude. Sudah selalu sayang dengan Maisa...."
Veve yang menyaksikan itu turut tersenyum haru, batinnya berterima kasih karena keluarga mendiang Heru begitu hangat.
"Aku beruntung bertemu kamu, Mas...." Bisik Veve dalam hatinya.
Setelah acara ber-haru-ria itu, Bu Bianti mengajak yang lainnya untuk segera ke meja makan, waktu berbuka sebentar lagi tiba.
"Bude mau Maisa ambilkan makan?" Tawar Maida sopan.
"Ndak usah, nduk." Sahut Bu Bianti tersenyum manis.
Maisa mengangguk paham, lantas menawarkan bantuan juga kepada Veve dan keluarganya yang lain.
Maisa juga sempat bertemu dengan Mas Bio serta sepupunya yang lain, saling menyapa dengan penuh sayang.
"Adik kecilku, puasa kamu?" Tanya Mas Bio jahil.
"Puasa, dong. Kalau bolong, nanti uang thr aku dipotong." Sahut Maisa bercanda.
Setelah berbuka puasa bersama itu, beberapa yang ada berpencar. Ada yang memilih untuk melaksanakan shalat Maghrib, ada juga yang bergabung bersama para koalisi Indonesia Maju.
Salah satunya Maisa yang asik berbincang dengan Mbak Ranisa, istri dari Mas Agis. Ketua Umum Partai Demokrasi.
"Maisa, nanti ikut buka bersama bareng Partai Demokrasi, yuk..." Ajak Mbak Ranisa.
"Ah, enggak enak aku, Mbak. Aku kan bukan siapa-siapa...." Tolak Maisa tak enak hati.
Mbak Ranisa menggeleng cepat, "Ih, kamu kan keluarganya Bapak. Ikut saja, ya? Anggap saja undangan resmi dari aku."
"Enggak janji ya, Mbak..."
"Harus janji, dong. Ah, nanti aku suruh Mas Agis deh, biar ajak kamu." Sahut Mbak Ranisa tertawa kecil.
"Waduh, kalau Mas Agis yang suruh aku enggak bisa nolak, takut aku...."
Mereka berdua pun tertawa, dengan pada akhirnya, Maisa mengiyakan ajakan Mbak Ranisa itu.
Hai, semua.
Apa kabar? Semoga sehat-sehat semua, ya.
Semoga chapter ini masih berasa ya feel nya. Sengaja tidak aku masukan bagian Bapak pidato, karena sedikit sensitif dengan masalah yang kemarin, semoga di maklumi yaaa...
Oh iya, untuk si 'penulis' ini, sampai sekarang belum ada respon apa-apa. Aku masih menunggu itikad baik beliau.
Jujur, setelah kejadian plagiarisme ini, ketika nulis draft baru rasanya jadi beda. Enggak semangat? Mungkin gitu.
Tapi tenang, aku berusaha untuk tetap mengesampingkan masalah itu supaya kalian yang menunggu cerita ini terbayar rasa penasarannya dengan kisah Theo dan Maisa di chapter selanjutnya.
Jangan lupa vote dan comment yang banyaaaaak, ya. Kangen banget sama notifikasi dari kalian semua.
See you 🌷