ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

55 - Terobos

238 57 36
By wins1983

.

.

"Harus ketemu. Aku tidak perduli. Cari sampai ketemu."

.

.

***

Jasad Johan tenggelam di dasar sungai. Sebuah batu besar diikatkan di atas perut Johan dengan sengaja, agar mayat Johan tidak mengambang di permukaan sungai dan ditemukan penduduk.

Mata Johan masih terbuka sayu. Tak ada kehidupan pada tatapannya. Di atas sungai, langit berkelip taburan bintang, namun Johan tak bisa melihatnya. Seandainya pun ia masih hidup, yang bisa terlihat olehnya adalah air sungai yang agak keruh, dan sesekali sampah plastik melintas. Kebiasaan buruk warga yang mungkin menganggap seluruh alam semesta yang berada di luar propertinya, adalah tempat sampah raksasa.

Menguap sudah semua memori-memori semasa hidup Johan. Beterbangan ke langit seperti gelembung sabun. Salah satu dari gelembung itu, adalah sepenggalan percakapannya dulu sekali dengan Yoga Pratama.

.

.

"Tuan, Pak Johan sudah datang," kata Bastian setelah mengetuk pintu kerja Yoga.

"Ya. Suruh dia masuk, Bastian," sahut Yoga sebelum menutup jendela file dokumen di layar komputernya.

Pintu terbuka. Bastian mempersilakan tamu tuannya untuk masuk, lalu ia menutup pintu itu kembali.

"Apa kabar, Johan?" sapa Yoga berdiri dari kursinya dan membentangkan tangan.

Disangka hanya akan berjabatan tangan, tapi Johan terkejut saat klien istimewanya itu memeluknya. Hanya sekian detik, tapi rasanya menyenangkan. Seperti rangkulan sahabat yang lama tak bertemu.

"Baik, Bos. Kamu kelihatannya sehat," komentar Johan setelah mengamati kliennya dari atas ke bawah.

"Alhamdulillah. Yah, sebenarnya baru-baru ini aku mengalami serangan hipertensi yang lumayan -- tapi alhamdulillah sekarang sudah enakan. Duduklah, Johan," Yoga mempersilakan tamunya duduk, selagi ia kembali ke kursinya.

Mereka duduk berhadapan. Yoga mengembuskan napas sebelum memulai inti dari pertemuan mereka. Johan menandai sikap itu sebagai pertanda bahwa yang akan disampaikan Yoga adalah sesuatu yang amat penting, sehingga dia harus bertemu Yoga empat mata, dan percakapan ini jelas bukan sesuatu yang bisa diucapkan melalui ponsel. Ada tugas penyelidikan yang baru kah? tebak Johan.

"Sebelumnya, Johan. Apa hapemu tidak sedang disadap sekarang?" tanya Yoga dengan raut penasaran.

Johan mendelik. Sampai sebegitu rahasianya kah isi pertemuan ini? Sampai-sampai Yoga harus bertanya begitu? batin Johan terheran-heran.

"Tidak. Hapeku tidak sedang disadap atau semacamnya," jawab Johan. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya, mematikan ponsel itu dan meletakkannya di meja.

"Sudah kumatikan," kata Johan.

"Terima kasih. Ini tidak akan lama. Aku janji," kata Yoga tersenyum.

"Lama juga tidak apa-apa."

Yoga tersenyum lagi mendengar celetukan Johan.

"Aku akan membayarmu per jamnya selama di sini," kata Yoga lagi.

"Tidak dibayar juga tidak apa-apa."

Yoga mengerlingkan bola mata. Johan nyengir. Paham kalau Yoga sudah bilang dia akan bayar, maka dia akan bayar tak perduli walau ditolak sekalipun.

"Baiklah. Aku akan langsung saja. Ini mengenai ... foto-foto kedua anakku yang kamu ambil waktu mereka -- jalan bersama," kata Yoga hati-hati. Dia memilih kata 'jalan bersama' alih-alih kencan atau pacaran. Padahal, artinya kurang lebih sama.

Ekspresi wajah Johan berubah. Ternyata mengenai itu. "Ada apa, Bos? Apa foto-foto yang saya kirim ada yang kurang jelas?" tanya Johan.

"Bukan. Bukan itu. Yang kamu kirim sangat jelas malah," kata Yoga sebelum menghela napas sekali lagi. "Jadi, ... aku mau minta tolong padamu. Bisakah kamu hapus file itu dari komputermu?"

Johan terdiam sesaat. "Oh. Tentu saja. Akan saya hapus," jawab Johan enteng.

"Tapi ...  aku khawatir. Kudengar, orang IT bisa memunculkan kembali file yang sudah dihapus. Benarkah itu? Lalu bagaimana caranya untuk menghapus file secara permanen?"

"Akan saya hapus permanen. Saya biasa pakai software," jawab Johan terdengar yakin.

Yoga masih nampak ragu. "Hh ... bagaimana cara menjelaskan ini padamu?" gumam Yoga sambil mengurut kening.

Alis Johan berkerut. Soal apa ini sebenarnya? Kenapa Yoga sebegitu takutnya kalau-kalau ada yang melihat foto-foto itu?

Akhirnya Yoga menceritakan secara garis besar pada Johan. Bahwa Yunan sangat berharga baginya, karena Yunan adalah anak yang dititipkan langsung oleh guru spiritual Yoga. Dan guru itu, Syeikh Abdullah, mengatakan bahwa Yunan akan menjadi ulama besar nantinya. Maka sedikit saja bukti cela pada diri Yunan, dikhawatirkan dapat disalahgunakan jika ada orang jahat yang ingin menghalangi usaha dakwah Yunan.

Johan menelan ludah. Kisah itu tentu saja sulit dicerna oleh orang sepertinya yang tidak menjalankan ibadah agama apapun.

"Aku tidak memintamu untuk percaya. Aku paham kalau kamu berpikir aku aneh atau apa. Begini saja. Apakah file itu akan bisa benar-benar musnah kalau kuhancurkan semua benda yang berkaitan dengan pengambilan foto itu? Kamera, ponsel, komputer. Apa lagi?"

Mata Johan melotot. "Kamu mau menghancurkan kamera, ponsel dan komputerku??" seru Johan syok.

"Akan aku ganti, tentu saja. Akan kuganti dobel, aku janji," kilah Yoga beralasan segera, sebelum dia dituduh barbar karena hendak menghancurkan seperangkat benda elektronik mahal milik Johan.

Johan geleng-geleng kepala. Yoga dari dulu selalu hobi membuat kejutan. Johan masih ingat kelakuan Yoga dulu saat malam-malam minta dipinjamkan janggut berewok palsu.

"Lalu bagaimana dengan e-mail-mu?" tanya Yoga masih terlihat cemas.

"Aman. Aku selalu buat e-mail berbeda untuk tiap klienku, dan rutin mengganti password. Tinggal kuhapus akun itu."

Yoga nampak gamang.

"Oke kuhapus sekarang juga," putus Johan yang menyadari bahwa Yoga ingin kepastian bahwa apapun yang berkaitan dengan penyelidikan tentang anak angkatnya, harus benar-benar terhapus sempurna tanpa jejak.

Johan menyalakan kembali ponselnya dan masuk ke akun surel yang digunakannya khusus untuk mengirim data ke Yoga.

"Tuh lihat. Sudah kuhapus, ya," kata Johan sambil menunjukkan layar ponselnya.

"Oke thanks, Johan," ucap Yoga nyengir senang.

"Hapemu boleh kuhancurin juga? Just in case. Nanti kuganti. Terserah kamu mau hape merek apa," pinta Yoga terdengar absurd di telinga Johan.

Johan menghela napas. "Oke oke. Tapi kasih aku waktu. Aku perlu back up data-data yang penting."

"Oke fine. No problem. Kalau komputermu, bisa kuhancurin hari ini?" tanya Yoga lagi. Menguji kesabaran Johan.

"Hh ... kalau bukan kamu yang tanya, mungkin sudah ku -- sudahlah," kata Johan terdengar lelah.

Johan kemudian datang keesokan harinya, membawa komputer dan ponselnya. Yoga benar-benar menghancurkan sendiri semua benda-benda itu. Ia melakukannya saat tak ada orang di rumah. Erika sedang kunjungan rutin ke panti asuhan, Raesha dan Adli sedang sekolah, Dana sedang shopping dan Yunan sudah pindah ke kosan barunya.

Johan menyaksikannya sendiri. Yoga kemudian mengumpulkan semua pelayan. Ada Bastian juga di sana.

"Kalian saya kumpulkan di sini, karena saya ingin meminta sesuatu yang sangat penting bagi saya.

Kalian bekerja tiap hari di sini. Pastinya sedikit banyak tahu tentang apa yang terjadi di antara anak angkat saya.

Saya berharap kalian tidak menceritakan kejadian itu pada siapa pun di luar rumah ini. Tidak juga pada keluarga dan teman kalian.

Sebagai kompensasinya, kalian akan diberikan sejumlah uang. Tapi selain itu, saya ingin mendengar kalian bersumpah atas nama Tuhan."

Semua pelayan saling lirik. Johan nampak tenang di luar, meski sebenarnya terkejut. Sampai sejauh itu Yoga ingin mencegah isu kedekatan kedua anak angkatnya bocor keluar.

Semua orang benar-benar disumpah dengan kitab agamanya masing-masing.  Yoga sendiri yang menyumpah satu demi satu pelayannya.

"Dengan apa sebaiknya aku mengambil sumpah darimu?" tanya Yoga tersenyum pada Johan, saat semua pelayan telah bubar termasuk Bastian yang langsung kembali ke kos Yunan. Bastian saat itu tinggal sementara di sana melayani Yunan. Dia hanya datang ke kediaman keluarga Danadyaksa jika dipanggil oleh Yoga.

Johan mengendikkan bahu. "Aku tidak tahu harus jawab apa kalau ditanya apa agamaku," kata pria itu.

"Kamu percaya Tuhan?" tanya Yoga sambil menepuk lembut pundak Johan.

Sempat diam sesaat, namun kemudian Johan menjawab, "percaya."

Yoga nampak senang mendengarnya, spontan mengucap hamdallah.

"Kalau begitu, bersumpahlah atas nama Tuhan. Kamu tidak akan membocorkan tentang hubungan kedua anakku."

Johan diambil sumpahnya.

"Sekarang kamu mungkin meragukannya. Tapi nanti kamu akan melihat bahwa yang dikatakan guruku adalah benar. Nanti. Insya Allah," kata Yoga dengan sorot mata lembut di matanya. Sorot mata yang membuat Johan merasa betah berlama-lama berurusan dengannya.

Dan ucapan Yoga terbukti benar, lima tahun setelahnya. Johan melihat anak angkat Yoga di televisi, sebagai seorang ulama yang digelari 'Syeikh' di depan namanya. Syeikh termuda, kata mereka. Saat itu Yunan diundang ke istana negara, memberi tausiyah dalam rangka  peringatan Isra Mi'raj, di depan para menteri. Hanya karena Presiden terkesan dengan takbiratul ihram yang diucapkan Yunan dengan lantang saat menghadiri salat jenazah Almarhum Syeikh Abdullah, guru spiritual Yoga.

Beberapa tahun kemudian saat Yoga wafat, terlintas di pikiran Johan untuk mulai mencari kebenaran. Mengenal agama dengan sungguh-sungguh. Mumpung dia masih hidup. Tapi dia merasa malu. Dosanya sudah terlalu banyak, dan juga ada rasa malas untuk mengubah pola hidup a la Johan yang semaunya. Akhirnya dia melewati hari demi hari tanpa berusaha mendekat pada Tuhan yang katanya dia percaya keberadaannya.

Hingga suatu hari malaikat maut mencabut nyawanya selepas peluru menembus jantungnya.

.

.

Bocah bernama Cahyo, melirik ke arah teras sebelah.

"Ngapain, Yo?" tanya emaknya dari dalam rumah. Emaknya sedang menonton televisi. Menunggu suaminya pulang. Suaminya bekerja sebagai satpam dan hari ini tiba-tiba diminta lembur.

"Kakek Tyo kok pergi gak pulang-pulang, Mak? Lampu terasnya mati!" seru Cahyo.

"Biarin aja. Kakek ada urusan kali," kata sang emak sambil makan kuaci.

Cahyo masuk ke dalam rumah. Ikut menonton berita dengan emaknya. Seorang pria dengan pakaian formal sedang membacakan berita malam.

"Saksi mata mengatakan, kejadian tembak-tembakan itu, terjadi siang ini di depan kedai kopi 'Root'. Dua pria yang terlibat adu pistol itu, sempat terekam kamera CCTV."

"Orang zaman sekarang udah pada gila kali ye. Waktu kecilnya mainannya pistol. Kebawa sampe gede," komentar emak sambil mengunyah kuaci.

Mata Cahyo perlahan membulat. "Mak!! Itu bukannya Kakek Tyo??" jerit bocah itu sambil menunjuk ke layar televisi.

Emak berhenti mengunyah. Dia mengamati layar televisi lebih dekat. "Apa iya, ya? Mirip, sih," gumamnya tidak yakin. Apa iya kakek-kakek itu main tembak-tembakan di jalanan?

Suara orang-orang bersepatu, berderap dari arah gang. Emak dan Cahyo keluar ke teras lantaran kepo. Mereka terkejut saat melihat pintu rumah Tyo didobrak.

"E-Eh Pak!! Itu rumah tetangga saya mau diapain??" jerit emaknya Cahyo.

"Jangan ikut campur," komentar seorang pria bersetelan serba hitam, sembari menyibak sedikit jasnya, memperlihatkan pistol di sana.

Emak langsung menyeret Cahyo masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dari dalam.

Seorang pria mengenakan masker, dipersilakan masuk lebih dulu ke kontrakan Johan. Menerobos masuk, tepatnya.

Masker itu dilepas, wajah Theo ada di baliknya.

Seorang pemuda berkaca mata tebal, masuk ke dalam ruangan, mengekor Theo.

"Periksa semuanya. Mulai dari komputernya," titah Theo pada pemuda itu.

Yang disuruh manut dan langsung duduk di depan komputer milik Johan.

Theo diambilkan kursi dan ia duduk mengawasi ahli komputer di depannya.

"Harus ketemu. Aku tidak perduli. Cari sampai ketemu."

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

162K 15.7K 22
[COMPLETED] Muhammad Raiz seorang anak muda yang mengaku dirinya sebagai anak munafik di keluarganya. Zahra Nurazizah seorang perempuan shalihah yan...
4.7M 284K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
72K 2.5K 11
Diandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi m...
2.1M 168K 33
Mona tiba-tiba ditugaskan untuk menjadi ajudan seorang komandan muda beranak satu yang sebentar lagi datang untuk memimpin kesatuannya, Skadron Udara...