ANXI EXTENDED 2

Galing kay wins1983

14K 3.5K 848

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... Higit pa

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai

54 - Letusan

193 50 22
Galing kay wins1983

.

.

Aku menepati janjiku, Yoga.

.

.

***

Seorang pria berusia enam puluh tahun, duduk sendirian di sebuah teras rumah kecil di sebuah perkampungan padat penduduk di pinggir Jakarta yang umumnya berasal dari keluarga menengah ke bawah.

Teras yang hanya selebar satu setengah meter itu, cuma muat diletakkan dua buah kursi dan sebuah meja kecil. Rumah berdempet-dempetan, saling berhadapan dengan gang selebar semeteran.

Pria yang sebagian rambutnya beruban itu, mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan api. Tak lama, ia tak ubahnya seperti kereta api. Mengembuskan asap-asap ke udara.

"Kakek lagi ngerokok ya?" tanya seorang bocah yang muncul kepalanya dari atas dinding pembatas teras yang tingginya setinggi mata manusia dewasa.

Pria itu tersenyum. Ia sebenarnya tidak merasa tua. Tapi tiap dipanggil 'kakek' oleh anak tetangganya, barulah tersadar kalau dirinya sudah berusia kepala enam. Pertanda dia harus siap-siap karena sebentar lagi nyawanya mungkin akan END.

"Cahyo, kamu naik tangga lagi? Nanti diomelin emakmu, lho," seloroh pria itu.

"Rokok enak gak, Kek?" tanya Cahyo, bocah yang baru masuk di tahun pertamanya di Sekolah Dasar.

"Gak tau. Belom pernah makan rokok," sahut pria itu ngasal.

"Cahyoo!! Turun! Jangan ganggu Kakek Tyo!" omelan sang emak mulai terdengar.

"Aku cuman mau ngobrol aja sama Kakek!" rengek bocah itu. Pria yang dipanggil Tyo terkikik geli.

"Maaf ya, Kek!" seru seorang ibu-ibu berumur kepala tiga itu, yang rambutnya dicepol. Wanita itu hanya terlihat matanya saja, yang menyipit khas orang sedang nyengir.

"Gak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak," sahut pria itu tersenyum, sebelum melanjutkan kegiatan favoritnya. Merokok. Ritual pagi.

"Ayo cepat masuk! Mandi!" titah sang emak pada anaknya, terdengar oleh pria itu.

Ibunya Cahyo memberi wejangan pada anaknya, setengah berbisik.

"Kamu jangan sering-sering bergaul sama Kakek Tyo!"

"Kenapa, Mak?"

"Nanti kamu ikutan jadi perokok kayak dia! Jangan jadi kayak Babemu! Duit habis buat rokok! Pemborosan!"

Pria itu nyengir sendirian. Orang-orang kampung ini seringkali kurang sensitif dengan ukuran rumah tinggal mereka yang extra small. Kalau bicara, suara mereka tetap lantang walau berbisik sekalipun.

Asap rokok kembali keluar dari bibirnya. Kali ini, asap itu dibentuknya seperti lingkaran.

"Keeek!! Asapnya bentuk kotak, dong!" jerit Cahyo yang ternyata kembali ke teras saat melihat asap berbentuk cincin itu.

"Cahyoooo!!!" jeritan sang emak, kali ini disertai jeweran yang membuat Cahyo mengaduh.

Pria itu kembali terkikik. Asap berbentuk lingkaran kembali diembusnya. Sudah lima tahun ini, dia tinggal di sini. Pindah dari apartemen kelas menengah yang pernah disewanya saat masih aktif bekerja sebagai detektif swasta. Pernah menjadi polisi sebelumnya, sebelum dipecat. Pada usia lima puluh lima tahun, dia memutuskan pensiun. Sudah cukup uang yang disimpannya. Dan tubuhnya mulai kepayahan untuk menjalani pekerjaan berbahaya yang dulu ditekuninya. Maka ia memutuskan pindah ke sebuah perkampungan pinggiran ibukota, mengontrak sebuah rumah petak yang lebih pantas disebut kos-kosan.

Berlagak gembel, padahal di rekeningnya banyak uang. Hanya demi bisa tinggal di antara masyarakat, meski sebenarnya dia tidak hobi bergaul. Tapi dia harus realistis. Dia sekarang hidup sendirian. Tak ada istri, tak ada keluarga, tak ada anak. Siapa yang akan menguburnya nanti kalau dia mati? Kalau dia tinggal di tengah masyarakat, setidaknya pasti akan ada yang menemukan mayatnya.

Dan lagi, kalau dia mengasingkan diri ke hutan, di hutan tidak ada toilet dan banyak nyamuk. Belum lagi binatang buas. Sedangkan dirinya akan semakin renta, tak akan sanggup berkelahi dengan beruang, macan dan teman-temannya.

Para tetangga sempat curiga kalau dirinya mendapat uang dari kegiatan babi ngepet. Sebab dia tak pernah kelihatan kesulitan keuangan, meski tak bekerja dan tak dikirimi uang oleh anak lantaran tak memiliki anak. Akhirnya supaya tetangga tidak berpikir macam-macam, dia berjualan lukisan digital secara online. Dia pun memamerkan hasil lukisannya. Kebanyakan adalah lukisan manusia. Memang keahliannya di situ. Dulu saat menjadi polisi, dia adalah yang membuatkan ilustrasi wajah buronan kriminal. Orang-orang akhirnya tidak menuduhnya babi ngepet lagi.

Secara garis besar, dia jujur pada orang-orang di sekitarnya. Kecuali mengenai profesi terdahulunya sebagai detektif swasta. Sebab salah satu alasannya mengubah nama, adalah karena demi keamanannya dari musuh-musuhnya di masa lalu. Beberapa kali lolos dari maut akibat luka tembak, sudah cukup untuknya.

Maka dia mengaku bernama Tyo. Padahal nama aslinya adalah Johan.

Siangnya saat Johan sedang membuat lukisan di depan komputernya, ponselnya berbunyi, setelah lama ponselnya tidak pernah dihubungi siapapun. Siapa pula? pikirnya. Orang bank? Asuransi?

"Halo?" sahut Johan ragu.

"Selamat siang. Dengan Pak Johan?" sebuah suara lelaki yang terdengar berat di ujung sana, mengejutkan Johan, sebab pria itu menyebut nama aslinya.

Brengs*k! Apakah persembunyianku sudah ketahuan?? batin Johan mulai panik.

Johan menelan ludah sebelum menjawab, "salah sambung. Nama saya Tyo."

"Saya tahu anda Johan. Jangan khawatir. Saya bukan musuhmu. Saya punya penawaran menarik untukmu. Bisa kita bertemu?"

Alis Johan berkerut. Siapa orang ini? Kalau sampai bisa menemukan jejaknya, berarti dia bukan orang biasa!

Didorong oleh rasa penasaran, Johan akhirnya setuju untuk bertemu dengan pria misterius itu di sebuah kafe di pusat bisnis di tengah ibukota. Dia mengabaikan intuisinya untuk tidak datang dan kembali pindah ke tempat baru serta mengganti lagi namanya dengan nama lain. Berharap orang itu kehilangan jejaknya. Tapi tidak. Intuisinya dia kesampingkan dan nekat menemui orang misterius itu, yang ditebaknya adalah bagian dari sindikat berbahaya. Hanya sindikat semacam itu yang bisa mengendus jejaknya.

Johan pergi dengan motornya. Tanpa tahu bahwa ia akan menemui ajalnya.

.

.

Johan memasuki sebuah kafe yang dari depan hanya terlihat plank nama kafenya saja. Fasad depan bangunannya tertutupi oleh tanaman semak setinggi mata. Tempat yang tepat untuk melakukan pertemuan rahasia.

Interior kedai kopi itu didominasi oleh kayu gelap. Johan mengamati sekeliling. Bahkan sebelum seorang pria mengangkat tangannya, memberi isyarat, Johan sudah tahu bahwa pria itu pasti yang mencarinya. Pria gagah usia empat puluhan awal, yang duduk di sofa pojok ruangan. Nampak rapi dengan setelan kerja, jas abu tua dan dasi bergaris abu muda-putih. Khas orang kantoran. Di meja ada secangkir kopi. Rupanya pria ini sudah memesan kopi lebih dulu.

Pria itu berdiri. Johan menatap matanya. Johan sudah menemui beragam jenis karakter manusia. Bisa mengenali sorot mata orang yang sanggup membunuh orang lain. Dan pria di hadapannya ini, adalah salah satunya.

"Kenalkan. Theo Hayden," kata pria itu, sedikit tersenyum. Bukan senyum yang hangat.

"Johan," sahut Johan sebelum menjabat tangan Theo.

"Silakan duduk, Pak Johan," ucap Theo berbasa-basi, seolah dia menghormati Johan sebagai pria yang pantas menjadi bapaknya.

"Mau pesan kopi apa? Saya yang traktir," kata Theo sambil menunjuk ke buku menu di meja.

"Langsung saja. Saya tidak perlu --," kalimat Johan terputus. "Sepertinya saya pernah melihatmu," imbuh Johan dengan kernyitan di dahi.

Theo tertawa pelan. "Kalau anda menonton televisi, anda mungkin pernah melihat saya. Kecuali kalau anda tinggal di dalam goa."

Mata Johan menyipit. Memang, dia sudah jarang menonton televisi lantaran siarannya banyak yang tidak bermutu.

"Kamu ... pengacara itu? Yang kasusnya disiarkan live di TV?" tanya Johan dengan pupil mata mengecil, saat akhirnya tersadar siapa pria di hadapannya.

"Benar sekali, Pak Johan," jawab Theo kembali tersenyum.

"Mau apa kamu? Saya sudah tidak punya urusan lagi dengan penyelidikan! Saya sudah berhenti lama! Jangan ganggu saya! Percuma berapa pun uang yang kamu tawarkan!" seru Johan dengan suara tertahan, tak ingin percakapan mereka terdengar oleh pelayan di belakang bar sana.

"Tenang, Pak Johan. Saya tidak berniat menyewa anda untuk menyelidiki apapun. Bukankah anda sudah terlalu tua untuk itu?" ucap Theo dengan nada meledek.

"Lalu apa maumu?" tanya Johan. Terlihat jelas Johan tak ingin berlama-lama ngopi bareng pria ini.

Theo tersenyum miring. Ia hanya menjawab dengan menyodorkan selembar foto.

"Anda dulu pernah diminta seseorang untuk menyelidiki anak ini. Masih ingat?"

Ekspresi wajah Johan berubah. Tanpa menjawab pun, Theo tahu jawabannya. Johan masih mengingat anak dalam foto itu dengan jelas.

Theo menarik kembali foto itu, lalu mengeluarkan foto kedua. "Yang ini adalah foto anak itu saat dewasa. Anda juga diminta untuk membuntuti dia, saat itu. Pastinya anda masih ingat."

Manik mata Johan kini menatap tajam ke mata lawan bicaranya.

"Ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang kamu tangani, 'kan?" tuding Johan.

Theo hanya merespon dengan tarikan alis mata kanannya. "Aku mau semua data hasil penyelidikanmu tentang dia. Semuanya! Aku akan membayar dengan harga berapa pun yang kamu mau. Sebutkan hargamu."

Air muka Johan berubah tegang. Ia tidak menyangka, yang dikatakan Yoga Pratama waktu itu benar akan terjadi. Dan terjadinya setelah meninggalnya Yoga.

Johan terdiam berpikir. Dia menyadarinya sekarang. Brengs*k! Dia sudah masuk jebakan mereka. Pastinya tempat ini sudah dikepung. Ada berapa orang di luar? Adakah mereka menyiapkan preman atau pembunuh bayaran profesional di luar sana? Apakah dia masih punya kesempatan untuk lolos?

Di bawah meja, satu tangan Johan terkepal. Yoga Pratama adalah klien yang paling dekat dengannya. Johan tidak menganggapnya semata sebagai klien, tapi lebih seperti adik atau teman. Johan hadir saat Yoga disholatkan dan dimakamkan. Penghormatan terakhirnya untuk orang baik itu.

Johan menelan ludah. Meski Johan merasa dirinya brengs*k, dia tidak pernah sekalipun mengkhianati teman. Baik teman yang masih hidup, maupun yang sudah mati.

Theo heran melihat senyum Johan yang sulit diartikannya.

"Percuma. Kamu tidak akan mendapatkannya. Penyelidikan itu sudah lama berlalu. Aku sudah kehilangan semua datanya," kata Johan.

"Bohong. Kamu pasti punya back up," sahut Theo dengan ekspresi tak percaya.

"Aku tidak bohong. Komputerku rusak dan datanya tidak bisa diselamatkan."

"Kalau begitu, serahkan saja komputer rusak itu padaku. Aku punya ahli IT yang handal. Langsung saja. Sebutkan hargamu." Theo mengatakannya dengan wajah angkuh. Yakin sekali kalau semua orang bisa dibeli.

"Komputer itu sudah kuhancurkan. Aku tidak pernah meninggalkan jejak."

Theo mulai nampak kesal. "Kamu mempersulit keadaanmu sendiri. Tidak mungkin kamu menghapus semuanya tanpa back up. Kamu yakin tidak meninggalkan jejak? Buktinya, kami bisa melacak keberadaanmu."

Johan diam.

"Kusarankan sebaiknya anda bekerja sama. Kalau tidak, ... anda tahu, di luar sana terkadang ada mayat yang tidak dikenal. Tidak punya saudara, tidak punya keluarga. Jadi tak ada yang mencarinya. Anda tahu apa yang terjadi dengan mayat-mayat tak dikenal itu? Mereka menjadi bahan percobaan mahasiswa kedokteran untuk dibedah."

Ekspresi Johan berubah. Theo seperti tahu persis di mana letak ketakutan terbesarnya.

"Kamu mengancamku? Kamu pikir aku takut?" tantang Johan. Walau sebenarnya dia merasa takut. Puluhan tahun dia sudah bertemu dengan macam-macam musuh. Tak ada yang membuatnya takut. Mungkinkah karena dulu dia masih muda dan kuat. Sementara sekarang, tubuhnya mulai lelah. Kematian seolah membayangi dirinya.

"Semua orang punya kelemahan, Pak Johan. Anda sudah tua, Pak. Sudahlah. Serahkan saja data itu. Untuk apa melindungi orang yang bahkan tidak mengenal anda?"

Dalam hening, Johan terbayang sosok seseorang. Yoga Pratama. Dia memang tidak mengenal anak itu, dan sebaliknya, anak itu tidak mengenalnya. Tapi Johan mengenal ayah angkatnya.

"Kalau kamu menginginkan data itu, langkahi dulu mayat saya. Dan setelah melangkahi mayat saya, kamu tetap tak akan menemukan data itu. Sebab semuanya sudah saya musnahkan tanpa sisa," kata Johan mantap. Pria itu berdiri.

"Percakapan kita selesai sampai di sini." Johan melangkah keluar dari kafe, tanpa basa-basi.

Urat di kening Theo nampak. Ia menekan tombol di ponsel dan menelepon seseorang.

"Rencana A gagal. Habisi dia."

Johan membuka pintu keluar kafe. Berjalan keluar gerbang dan terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia meraih sesuatu dari kantung jaketnya. Pistol yang memang sudah disiapkannya untuk berjaga-jaga.

Pria yang mengikutinya berpakaian serba hitam. Sudah siap dengan pistol di tangan.

Suara tembakan demi tembakan terdengar. Terdengar jeritan dari beberapa pejalan kaki yang melintas. Orang-orang menghindar.

Johan berlari menundukkan kepala. Pria itu mengejarnya. Mereka menjadi tontonan orang-orang dan para pedagang di jalanan.

Saat melihat gang kecil, Johan memasukinya. Namun di ujung gang, seseorang mencegatnya. Dari sorot matanya, Johan tahu bahwa orang itu adalah komplotan mereka.

Dengan napas terengah, Johan mundur. Di belakang, orang yang mengejarnya mendekat. Terlambat. Ia tak bisa kembali.

Ini adalah akhir dari kisah hidupnya, dia tahu. Disangkanya dia akan mati karena nikotin atau kanker karena kebanyakan makan camilan MSG. Tapi ternyata ending yang seperti ini terjadinya saat dia sudah pensiun dari dunia penyelidikan. Sungguh di luar dugaan. Hidup memang seringkali tak bisa ditebak.

Suara letusan tembakan terdengar menggema di gang sempit yang sepi itu, nyaris bersamaan dengan suara teriakan Johan. Cukup satu peluru di dada kirinya. Johan merasa tubuhnya menjadi dingin. Darah terus keluar dari dadanya, membasahi kaus putih yang dikenakannya. Ia tersengal kesakitan. Di saat sekaratnya, kedua pembunuh bayaran itu menjadi samar wajahnya.

Johan memang tidak merasa sebagai orang baik. Dia banyak melakukan keburukan semasa hidup. Dan meski dia bukan penganut agama yang taat, dia meyakini Tuhan ada. Hanya saja dia terlalu malas mencari tahu. Sekarang, waktunya habis. Tak ada waktu lagi untuk mencari tahu. Setelah ini, dia akan mengetahuinya sendiri.

Dia yakin pasti akan masuk neraka. Pasti. Tapi setidaknya, dia tidak mati sebagai pengkhianat temannya sendiri.

Aku menepati janjiku, Yoga.

Johan tak lagi bergerak. Matanya terbuka sedikit, namun tubuhnya kaku.

Seorang pembunuh bayaran menghubungi seseorang melalui ponsel.

"Dia sudah mati," katanya pada bosnya.

"Bersihkan TKP. Kita buang mayatnya, lalu kita ke kontrakannya. Kita cari data itu sampai ketemu!" sahut pria di ujung sambungan.

.

.

***

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

72K 2.5K 11
Diandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi m...
723K 61.4K 69
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasakan penyesalan. Perasaan dimana aku berada diantara kasihan pada diri sendiri dan membenci diriku sendiri...
380K 32.5K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...