ANXI EXTENDED 2

Bởi wins1983

14.2K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... Xem Thêm

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

53 - Gemuruh

177 49 11
Bởi wins1983

.

.

"Aku tidak mau jauh darimu."

.

.

***

Malam kelam. Awan hitam berkelindan di atas langit sebuah lahan di tepi sungai Ciliwung. Sebuah bangunan gudang tua bergaya arsitektur Belanda-Indo, berdiri di tengah lahan,  dikelilingi tanaman sayuran dan pohon-pohon buah.

Dari terasnya, terdengar suara seseorang muntah-muntah.

"Keluarkan semua, Theo," kata suara seorang wanita yang menguruti tengkuk Theo.

"Hoeeekk!!" Theo muntah lagi. Ia membungkuk dan mengeluarkan muntahannya di plastik besar yang telah disiapkan kedua rekannya. Wajah Theo merah padam. Baru kali ini dia merasakan kesurupan terparahnya. Sebelumnya, dia pernah merelakan dirinya dimasuki jin jahat, tapi tidak seperti ini rasanya. Setengah mati susahnya mengeluarkan jin berambut panjang itu, yang semestinya masih merasuki Rizal.

"Belum keluar semua. Pengaruhnya masih ada," kata sang wanita pada seorang pria blasteran Belanda yang sedang berdiri melipat tangan dan bersandar di lemari usang setinggi pinggang.

"Nanti keluar sendiri. Tenang saja. Dia akan baik-baik saja. Mengeluarkan jin s*alan itu susah, karena Theo bukan kerasukan biasa, tapi jin itu dilempar kembali ke pengirimnya. Dia seperti lengket menempel pada Theo," jelas pria itu.

Theo muntah lagi dan lagi, hingga sepuluh menit kemudian, barulah dia bisa duduk bersandar di bahu sang wanita. Wanita itu memberinya minum air putih.

Napas Theo tersengal. Rasanya energinya diserap habis keluar.

"Bangs*t ... bangs*t!" maki Theo merutuk, meski suaranya masih lemas.

"Kami langsung tahu, ada yang tidak beres. Padahal santet itu sudah tepat sasaran. Pria bernama Rizal itu juga sudah diberitakan masuk rumah sakit jiwa. Tapi tiba-riba sore ini jin itu tidak menyelesaikan tugasnya, dan malah menyerangmu balik. Kami berdua langsung mengecek keadaanmu di kantor," kata pria yang berdiri itu, sebelum berjalan menghampiri Theo.

"Ini ulah dia, 'kan?" tanya Theo dengan mata melirik pria itu yang berkemeja putih. Jas hitam sudah disampirkannya di dalam mobil.

"Ya. Ini ulah orang itu. Yunan Lham," jawab pria itu yang adalah seorang paranormal, sama seperti rekan wanitanya.

Tangan Theo mengepal kuat. Urat nampak di keningnya. Kebencian tersirat di bola matanya.

"B-Brengsek kamu, Yunan Lham!" ucap Theo geram. Seandainya Yunan ada di hadapannya, mungkin sudah diterjang dan dihajar oleh Theo, tak perduli meski kondisi tubuh Theo masih lemah sekalipun.

"Theo, kamu harus mulai menjalankan rencana Tuan kita. Bukankah ini sudah saatnya?" kata pria bermata hitam kecokelatan yang berlutut dan mensejajarkan matanya dengan mata Theo.

Theo mengangguk. "Tentu saja. Aku memang sudah menyiapkannya. Sejak awal, tujuanku dengan kasus itu, bukan untuk membela kriminal kelas teri, tapi karena mengincar dia. Yunan Lham."

Pundak Theo diremas oleh pria di hadapannya, yang sorot matanya tak kalah dingin dibanding Theo.

"Jatuhkan dia. Hancurkan Yunan Lham!"

.

.

Malam sudah sangat larut, saat mobil yang mengantar Yunan tiba di rumah. Di ruang tamu, Yunan bertemu Adli yang baru saja berganti baju dengan kaus santai.

"Gimana, Kak? Rizal gimana kondisinya?" tanya Adli langsung tanpa berbasa-basi.

"Alhamdulillah. Ruqyahnya berhasil. Rizal sudah pulang ke rumahnya," jawab Yunan tersenyum.

Adli antusias mendengarnya. "Alhamdulillah! Aku perlu detail, Kak. Kakak capek atau masih bisa ngobrol sebentar sama aku?"

"Ayo kalau mau ngobrol. Ke kamarmu?" sahut Yunan, meski sebenarnya Yunan pegal-pegal badannya. Dan saat diterjang oleh jin itu saat jin itu masih menggunakan jasad Rizal, punggung Yunan agak sakit sebenarnya. Masih berdenyut-denyut hingga sekarang. Tapi dia tidak tega menolak ajakan Adli mengobrol. Adli pasti merasa bersalah karena tetap harus di kantor sampai malam tanpa tahu cerita jelas tentang apa yang terjadi di pengadilan dan apapun yang berkaitan dengan kasus yang menimpa Raesha.

"Kak Yunan?"

Yunan dan Adli menoleh berbarengan. Raesha keluar kamar karena merasa mendengar suara Yunan di koridor. Wanita itu mengenakan jubah tidur merah muda dan jilbab instan putih.

"Kakak baru pulang?" tanya Raesha.

"Iya. Kamu belum tidur? Ini sudah malam," sahut Yunan tersenyum lembut ke arah adik angkatnya.

"Belum, Kak. Aku gak bisa tidur. Kepikiran Kakak terus." Rona di pipi Raesha berubah setelah mengatakannya, menyadari kalau kalimatnya bisa disalahartikan.

Yunan tertunduk malu. Adli berdehem sambil membuang muka. Entah kenapa, kalau kedua orang ini bertemu, otomatis seperti ada bunga-bunga bermekaran di sekeliling mereka.

"M-Maksudku, aku khawatir. Takutnya Kakak diserang sama Rizal yang kondisinya sedang tidak normal. Em ... Rizal gimana Kak?" tanya Raesha berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah Rizal sudah dinyatakan sembuh dari rumah sakit dan dia sudah  pulang ke rumahnya," jawab Yunan.

"Alhamdulillah. Apa dia sempat menyerang Kakak?" tanya Raesha antusias.

"Iya. Cuma sedikit. Dia sempat mendorong Kakak ke lantai. Tapi --"

Raesha menutup bibirnya. Sudah dia duga. Yunan pasti diserang secara fisik. Jin itu ternyata ganas juga. "K-Kakak gak apa-apa? Ada yang sakit? Punggung atau kaki?" tanya Raesha dengan ekspresi cemas maksimal.

"Makanya itu, aku mau sesi ngobrol dulu sama Kak Yunan di kamarku. Biar tahu semua ceritanya lengkap," potong Adli jumawa.

"Jangan sekarang, Adli! Kak Yunan pasti masih capek habis ruqyah Rizal!" omel Raesha.

Yah ... batin Adli dengan tampang kecewa.

"Gak apa-apa. Kakak cuma sakit dikit aja di punggung. Gak ada luka serius. Ngobrol sebentar sama Adli gak masalah," kata Yunan.

"Enggak, Kak! Kakak sebenarnya capek pasti, tapi cuman gak tega sama Adli. Biarin aja Adli, nanti juga dia tahu ceritanya. Kakak istirahat aja dulu!" tukas Raesha terdengar seperti emak-emak cerewet. Yunan terkejut saat Raesha mendorong punggung Yunan agar pergi ke koridor yang menuju ke kamar tempat Yunan dan Arisa menginap.

Suara Yunan mengaduh pelan, saat spot di punggungnya yang sakit, terkena dorongan tangan Raesha, membuat Raesha terkejut.

"M-Maaf, Kak! Aku lupa kalau punggung Kakak --," ucap Raesha dengan ekspresi merasa bersalah.

"Gimana sih, Kak Raesha? Kak Yunan sakit punggung, malah didorong punggungnya," ceplos Adli dengan nada meledek dan senyum usil. Membuat Raesha makin merasa bersalah.

"Gak apa-apa. Cuman sakit dikit aja," kata Yunan tersenyum menutupi rasa nyerinya.

"Mungkin ada memar kali, Kak. Harus diobatin. Kakak mau --" ucapan Raesha terhenti.

Mau apa, hayo? Mau dipijitin?? lanjut Adli dalam hati. Raesha bisa melihat adiknya itu nyengir-nyengir nakal.

"M-Maksudku, nanti Kakak minta diperiksain aja punggungnya sama Kak Arisa. Bisa jadi ada memar atau mungkin salah urat, biar bisa dipijat," ralat Raesha segera.

"Iya, Rae. Makasih. Kamu tidur sana. Sudah malam. Adli, nanti ngobrolnya kita lanjutkan lain kali insya Allah. Lusa 'kan akhir pekan." Yunan akhirnya mengikuti ide Raesha yang lebih setuju kalau dirinya istirahat saja dan menunda mengobrol dengan Adli.

Raesha dan Adli mengiyakan bersamaan.

"Di laci kamar Kakak, ada kotak obat-obatan, dan ada minyak urut juga," kata Adli mengingatkan Yunan.

"Oh iya. Oke. Makasih, Adli," sahut Yunan.

"Sama-sama, Kak," balas Adli. Kalau Arisa tidak ada di rumah ini, Adli pun rela memijat punggung Yunan, kalau Yunan mau. Yang jelas, gak mungkin Raesha yang memijat Yunan.

"Selamat tidur, Kak," ucap Raesha.

Yunan menoleh. Ia tersenyum, berharap ekspresi senangnya tidak terlalu kentara, karena ia merasakan kelembutan pada ucapan selamat tidur itu.

"Selamat tidur juga, Rae."

Raesha menundukkan pandangan. Takut kalau-kalau Yunan bisa mendengar debaran jantungnya. Suara lembut Yunan yang membuatnya jadi begini. Kapan sih perasaan yang salah ini bisa berhenti akhirnya? Sebaaal rasanya pada dirinya sendiri!

Yunan sudah pergi berlalu. Raesha melirik Adli yang mengulum senyum.

"Kenapa?" tanya Raesha ketus.

"Gak apa-apa. Aku jadi deg-degan. Apakah ini yang dinamakan cinta?" goda Adli.

Raesha sempat menjewer telinga Adli, sebelum masuk ke kamarnya.

.

.

"Sayang, malem banget kamu baru pulang!" kata Arisa saat menyambut suaminya pulang. Wanita itu sudah memakai baju tidur dress selutut.

"Iya. Ruqyahnya agak lama. Dan setelahnya aku makan malam dulu, lalu menunggu hasil cek dokter. Rizal sudah diizinkan pulang. Aku mampir ke rumahnya dan sempat bicara dengannya dan Elena."

"Masya Allah. Alhamdulillah ruqyahnya berjalan lancar. Kamu pasti capek," kata Arisa sembari melepas jaket suaminya.

"Iya. Tolong cek punggungku. Agak sakit."

Yunan menceritakan bahwa dalam proses ruqyah tadi, Rizal sempat mendorongnya hingga ia jatuh ke lantai.

"Ya Allah. Punggungmu memar!" seru Arisa setelah membuka baju Yunan. Arisa mengompres punggung Yunan dengan es.

"Jadi, siapa yang mengirim santet itu?" tanya Arisa.

Ketika Yunan menjawab bahwa pelaku pengiriman santet ke Rizal adalah Theo, Arisa terkejut. Wanita itu mengucap istigfar.

"Ya Allah. Aku gak nyangka. Maksudku, aku memang gak kenal sama dia, dan sebenarnya, aku agak takut sama orang itu. Tapi untuk tega mengirimi santet, aku pikir dia gak akan --," Arisa geleng-geleng kepala.

Yunan diam. Merasakan sensasi dingin di punggungnya, dari kompres yang disentuhkan oleh Arisa.

"Sayang," panggil Yunan.

"Ya?" sahut Arisa.

" ... kamu gak mau kembali ke tempat suluk?"

Tangan Arisa berhenti mengompres. Keduanya bertatapan.

"K-Kenapa? Kamu gak senang aku di sini??" tanya Arisa dengan suara meninggi.

"B-Bukan gitu, sayang. Aku cuman khawatir. Kamu lihat, 'kan, belum ada dua bulan kita di sini, sudah ada korban yang kena santet. Walaupun bukan aku korbannya, tapi kasus itu melibatkan aku di dalamnya. Aku jadi teringat percobaan-percobaan pembunuhan yang selama ini --"

Mata Arisa berkaca-kaca. Menatap lurus ke netra suaminya, seolah sedang menelisik, memeriksa sesuatu di dalam sana.

"Aku cuma khawatir. Takut kamu kena imbasnya. Gimana kalau kamu di tempat suluk? Di sana lebih aman, insya Allah. Dan lagi, di sana ada Zhafran. Aku merasa tenang kalau --," bujuk Yunan sambil mengelus pundak istrinya.

"Suamiku kamu! Bukan Zhafran!" bentak Arisa.

Yunan terkejut. Tak biasanya istrinya bersikap begini. Dalam masa pernikahan mereka yang cukup panjang hingga punya dua anak yang salah satunya sedang berkuliah di Yaman, baru kali ini Arisa membentaknya. Seandainya Zhafran mendengar ini, dia akan merasa heran karena namanya dibawa-bawa dalam pertengkaran suami istri, seolah-olah Zhafran orang ketiga.

"A-Apa benar hanya itu alasannya?" tanya Arisa dengan suara gemetar. Air matanya mulai berjatuhan.

Yunan mengusap air mata istrinya dengan jemari. "Apa maksudmu, sayang? Aku benar-benar mengkhawatirkan keselamatanmu. Memangnya kamu pikir aku bohong?" tanya Yunan lembut.

Arisa merapatkan bibirnya dan bulir air matanya lolos lebih banyak lagi. "B-Bukan karena kamu mau leluasa berduaan saja dengan Raesha?" tanya Arisa susah payah. Namun ia lega setelah menanyakannya. Ganjalan yang selama ini selalu berusaha ditutupinya.

Yunan tak ayal terperanjat mendengar pertanyaan itu. "Astaghfirullah, sayang. Kenapa kamu mikir gitu? Aku gak -- hh ... memang dulu aku pernah -- dengan Raesha, tapi itu sudah lama sekali berlalu! Semuanya sudah berubah sekarang!"

Arisa masih bergeming, seolah masih belum yakin dengan pernyataan suaminya barusan.

Yunan memeluk Arisa erat. "Aku mengenalmu lebih dulu dari wanita manapun. Kamu wanita pertama yang membuatku jatuh cinta. Kita akhirnya menikah setelah lama sempat putus. Lalu kita punya Raihan dan Elaine, anak-anak yang saleh dan salehah. Bukankah itu berarti kita jodoh? Jangan bilang seperti itu lagi!"

Air mata Arisa kini membasahi kaus yang dikenakan Yunan. Wanita itu membalas pelukan suaminya. Mereka saling berangkulan lama.

Yunan seolah ingin menenangkan hati istrinya yang gundah. Tapi Arisa bisa mendengar gemuruh di dada suaminya.

"Kalau berada di sini membuatmu merasa lebih tenang, baiklah. Kamu bisa menemaniku di sini sampai kapan pun kamu mau," kata Yunan setelahnya.

Arisa mengangguk pelan. "Aku tidak mau jauh darimu."

Kalimat penutup percakapan mereka malam itu.

.

.

***

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

27.2K 1.9K 15
Tentang sebuah Dendam yang berakhir dengan Penyesalan Tentang sebuah Cinta yang datang saat Perjalan sudah harus terhenti Tentang Cinta sejati yang t...
216K 12K 30
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
2.1M 168K 33
Mona tiba-tiba ditugaskan untuk menjadi ajudan seorang komandan muda beranak satu yang sebentar lagi datang untuk memimpin kesatuannya, Skadron Udara...
4.7M 284K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...