Seeress

By monochrome_shana404

2K 436 270

16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari puluhan abad lamanya, seisi Dunyia damai sebagaimana semesti... More

(Sepertinya sih) Kata Pengantar
Dongeng Pengantar: Sang Pencipta, Kerajaan Langit, dan Buah Merah-Nya
Dunyia dan Seisinya
Prolog: Alkisah Sekeping Benih Harapan
I. Teka-Teki Dari Doa yang Merdu
II. Runtuhnya Alam Damai [1/3]
II. Runtuhnya Alam Damai [2/3]
II. Runtuhnya Alam Damai [3/3]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [1/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [2/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [3/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [4/4]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [1/3]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [2/3]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [3/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [1/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [2/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [3/3]
VI. Awal Baru Di Negeri Perdamaian
VI. Awal Baru Di Negeri Perdamaian [EX]
VII. Langkah Pertama
VIII. Ribu-ribu Tangga Penguji [1/2]
VIII. Ribu-ribu Tangga Penguji [2/2]
IX. Pemanasan
IX. Pemanasan [EX]
X. Pelatihan Intensif [1/2]
X. Pelatihan Intensif [2/2]
Lapak pengetahuan #1: Aora
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [2/2]
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [EX]
XII. Babi Bercula Pembawa Berkah
XIII. Di Kota Musim Semi
XIV. Undangan Angin [1/2]
XIV. Undangan Angin [2/2]
XIV. Undangan Angin [EX]

XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [1/2]

7 2 0
By monochrome_shana404

Terkadang ada masa di mana setiap orang paham akan firasat buruk yang hendak menimpanya.

"Apakah itu sebuah benda yang serupa?" Gentar suara Rin bertanya, lekas ia telan bulat-bulat setiap perasaan kurang menyenangkan dalam diri sebelum meneruskan dengan pasti, "Mungkin saya bisa mencarikannya kalau Anda berkenan memperlihatkan yang satunya."

Kala firasat yang menghantui itu mulai datang mengganggu, beberapa orang memilih untuk menghindarinya.

Senyum melebar di wajah Shiina. Sisi kebaikan gadis di hadapannya, memang menguntungkan. Ditambah mudah saja mengelabuinya yang sama sekali tak tahu-menahu anggota Serangkaian Api dari Enfierno.

"Entahlah. Dia tidak begitu mirip," balas Shiina kemudian.

Sukses mata keemasan yang memiliki nuansa lebih hangat di hadapannya mengerjap. Dia mengerti, kalau sesuatu ini bukanlah benda, melainkan seseorang.

"Maaf, tetapi sepertinya saya tidak dapat membantu ... saya masih awam terhadap orang-orang di sekitar sini, jadi—"

"Oh, tanpa perlu mengenali mereka pun, kau tetap bisa membantuku."

Namun, tidak menutup kemungkinan kalau ada yang memilih abai terhadap firasat buruk itu ....

"Sungguh? Bagaimana bisa, Nona?"

Tidaklah lagi ragu diri Shiina mempersempit jarak. Tatkala angin bertiup kencang menyibak dedaunan yang berserak di tanah, telinganya peka terhadap deru napas Rin yang tak beraturan.

Baginya, segala sensasi yang tengah hinggap pada Rin begitu menghiburnya. Demikian Harenian wanita tersebut mencengkeram lengan Rin terlebih dahulu, mendapati si gadis menaikkan bahu. Seolah bulu kuduk yang telanjur meremang serta peluh dingin yang meluncur dari pelipis tak cukup menggambarkan ketakutannya sekarang.

Lantas menyesalkah mereka memilih jalan yang salah?

"Umpannya ada di sini."

Sebab kini salah satu dari mereka itu terlambat untuk berlari.

Patah kata terlontar, gelap mulai menggulung sore tanpa lembayung sementara si gadis sama sekali tidak sempat berteriak.

Jadi, ini salah siapa?

Kendi-kendi air masih kosong. Tiada pertanda sedikit pun bahwa si gadis akan kembali. Tidak membutuhkan waktu bagi Ravn berlari menuruni tangga, dengan gesit membawa pedang pendek yang ia sembunyikan dalam lengan baju yang lebar itu.

Angin berdesir lebih sejuk dari biasanya, membangkitkan bulu kuduk si pria muda yang teringat akan Rin tak pernah tahan dingin. Ditambah kawasan sungai tidak berada dalam perlindungan Wei Liwei, makin kalap dirinya.

Melalui setiap jalan yang dilalui Rin, sebentar lagi ia sampai. Namun, hendak ia menjejak langkah meninggalkan tangga terakhir, Ravn berhenti. Bukan sebab angin yang mendadak berembus kencang, bukan pula ia tengah mendapati sosok hantu di depan mata.

Penyebaran Aora? Cekat mulai menghuni tenggorokan Ravn selagi batinnya menerka.

Tidak membutuhkan waktu bagi Ravn melakukan Penetralan dan mencoba berjalan mengendap-ngendap, tetapi risau lekas menghantuinya kala memikirkan siapa pemilik Aora yang begitu besar ini.

Sungguh, sepanjang hidup tidak pernah ia merasakan kekuatan yang begitu dahsyat. Bahkan jika itu Rama yang merupakan Serangkaian Api paling lemah sebelum Ravn, atau dua orang ahli Aora yang sedang menggabungkan Penyebaran tidaklah cukup menyaingi Aora ini.

Namun ... ia hanya bisa menduga, tetapi Ravn sangat yakin hanyalah satu orang yang mampu mengimbangi.

Apollya ....

Menyebutkan namanya dalam hati saja sudah cukup membuat Ravn menelan ludah. Lagi pula, apa yang salah dari setiap jejak kematian palsu yang ia ciptakan untuk mereka itu? Padahal ia sudah yakin betul telah memastikan semuanya untuk mengelabui Enfierno, kalau mereka mati dibawa muara sungai.

Tidak untuk satu orang! Lantas ia teringat akan satu orang yang persis ia temukan lewat sudut mata.

Nan jauh dari tempat ia berdiri, tampak sesosok pirang yang tak begitu asing merengkuh gadis berambut panjang. Dia megap-megap selagi Harenian wanita tersebut mencengkeram dadanya; seolah berusaha berteriak, tetapi sesumbang suara pun enggan kunjung melaung.

"Shiina ...," desis Ravn, sedikit pun tak luput pandang terhadap Rin yang mulai menitikkan air mata.

Sulit untuk menonton lebih jauh, tetapi di sisi lain ia harus berhati-hati dalam mengambil langkah. Betapa ia hafal setiap lantunan dari bibir Shiina yang sedang berbisik kepada Rin; sebuah lagu yang tak dapat daun pendengarannya menjamah, tetapi ia yakin betul isi dari setiap bisikan.

"Datanglah, datanglah ke perjamuan yang tersedia. Wadah yang dihadiahkan kepadamu telah menanti." Sedemikian halus bisikannya, jelas tidak menenangkan gadis dalam rengkuhan. Dia tak kunjung berhenti meronta, terus mencakari tangan Shiina sebagai bentuk perlawanan, tidak peduli tenaganya terkuras akibat Aora yang kian menyebar.

Dadanya makin panas, remang pula menghias penglihatan hingga tampak sepasang matanya menghitam dalam pandangan Shiina. Tiada henti ia mengulangi lantunan pemanggil, membuat Rin kian berangsur memucat bersama urat dan nadi yang menjalar.

Tak tahan Ravn memandang pendar yang mulai muncul dari dada Rin, kian jelas tepat Shiina merebak bajunya. Harenian wanita tersebut kemudian peka terhadap sebersit gerak angin yang melesat cepat. Sembari membopong Rin, begitu lincah kakinya melompat menghindari serangan belati.

Namun, tampaknya ia lengah terhadap serangan selanjutnya.

Bilah pedang pendek mengacung ke arahnya itu hampir saja melukai lengan Shiina jika ia tidak menangkis dengan satu tendangan. Seribu sayang, Rin harus terlepas dari genggaman. Akan tetapi sosok yang tiba-tiba hadir ini cukup menyenangkan hatinya.

"Umpannya berhasil menarik mangsa," ungkapnya sembari mendorong serangan Ravn dengan tiupan angin kencang.

Beruntung sekali sepasang kaki Ravn masih sanggup bertahan menumpu tubuhnya, meski Shiina mengeluarkan kekuatan yang cukup besar hingga ia terseret begitu jauh. Matanya mengerling kepada Rin tergeletak, sama sekali tak bergerak meski Penyebaran masih aktif menyeruak.

Keadaan itu tiada ragu membangkitkan adrenalin dalam dada.

"Apa yang kau lakukan padanya?!" jerit empunya mata karamel kepada Shiina pada akhirnya.

"Ah, kupikir lima tahun lamanya bersarang di naungan kami bagai parasit lekas membuatmu mengerti dalam sekali lihat." Lantas lawan bicara menanggapi demikian enteng dengan seringai lebarnya. "Kau terlalu lamban bersembunyi alih-alih mengambil tindakan dari balik semak-semak itu."

Ravn tersentak.

Dia tetap merasakan keberadaanku meski aku telah melakukan Penetralan?

"Setidaknya kau harus tahu satu hal." Satu patah kata persis di depan telinganya terucap begitu jelas, tanpa sedikit pun Ravn sempat menoleh maupun menangkis satu tendangan keras di pinggangnya, hingga ia sekali lagi terbanting ke batang pohon. "Tidak hanya si tua bangka itu, aku pun bisa merasakan keberadaanmu melalui kabar angin."

Hasrat ingin merintih melawan sakit yang ia terima lekas hilang mendengarnya. Setahu Ravn, tidak semua pemilik elemen angin dapat melakukan itu, konon lagi jika ia merupakan Harenian.

Ah, apa pun itu tidaklah lagi penting! Dia menggeleng keras sebelum berakhir pandangannya tertuju kepada Rin yang masih belum tersadar. Sekuat tenaga ia bangkit, hendak menghampiri si gadis.

Alangkah disayangkan Shiina kembali menghalangi.

"Kau tidak boleh mengganggu proses pemanggilan."

Begitu Harenian wanita itu menyambar, Ravn baru menyadari kalau pedang pendeknya telah terempas dari pegangan. Dia hanya bisa menghindar, hingga Shiina mencemooh selagi kerap melambungkan serangan, "Terlalu takut dibakar elemen sendiri?"

Dia hanya bisa mendecih sembari membawa Shiina menuju pedang pendeknya. Akan tetapi, sekali lagi matanya teralih kepada Rin yang sekilas memperlihatkan pergerakan menggunakan jemari.

Pun, siapa sangka ia bisa melihat bibir gadis yang memucat itu bergerak? Tanpa ia tahu, Rin pula menggumamkan namanya.

"Jangan meleng!" Shiina lagi-lagi mengembalikan fokusnya kepada pertarungan.

Sementara sepasang insan mulai sibuk saling serang dan melindungi diri, gadis empunya rambut panjang lekas membuka mata. Sepatutnya warna keemasan yang dikellilingi putih berada di sana, tetapi kini lubang mata itu sekadar berhias nada legam.

Sulit si gadis menerawang lewat pandangannya, pula segala-gala yang tengah terjadi di sekitar terdengar begitu samar, tergantikan oleh bisik-bisik yang mengganggu pikiran.

Lantas seluruhnya berangsur menggelap, seolah kini ia berada di relung dalam yang siapa pun tidak dapat menemukannya.

"R-Ra ... avn ...." Ditambah sesumbang suara sulit ia keluarkan, sukses membangkitkan buncah dalam diri yang tak berdaya.

Sementara sejumlah bisikan kian betah menghuni. Sulit Rin menggerakkan barang satu jari, mulai dirinya merasakan berat menimpa tubuhnya. Sesak tak terkira mengeluarkan air mata, gemetar mengundang pandang kepada tangan yang telah menerima sentuhan empunya kuku-kuku panjang.

"'Ravn ....'" Sosok yang tengah telungkup di atas tubuhnya berbisik, meneruskan tiruan rintih si gadis tak berdaya, "'Tolong aku ....' Begitu, Anak Manis?"

Satu kecupan lembut mendarat di pelipis Rin membuat ia tersentak. Tangannya mulai digenggam selagi kekeh makhluk itu melantun, menambah gentar tubuh si gadis yang telah dihinggap dingin.

"Mana mungkin ia mau melakukannya," ujarnya. "Pantaskah kau menerima uluran tangan dari seseorang yang telah kau buat menderita?"

Celos menyerang jantung si gadis. Bersama dengan kata-kata itu, gerak pandangnya meliar entah ke mana; entah apa yang tengah dilihatnya saat ini sampai menyenangkan hati si Benih Kehancuran.

Terus makhluk kegelapan itu membiarkan Rin terengah; membiarkan si gadis menahan setiap jeritan yang hampir meledak lewat kerongkongan. Lantas ia mencecap setiap rasa yang menghuni tubuh di bawahnya, melahapnya sebelum meleleh, seolah menjelma selimut senada malam yang hendak menghangatkan tubuh ringkih yang telanjur kaku.

Namun, sesungguhnya yang gadis itu terima tak lebih dari dingin dan pemandangan kelam yang menguasainya.

Dia tengah menyelesaikan penaklukannya.

"Hanya ada aku yang ada untukmu ...." Maka suaranya kian jelas seiring sosoknya yang kini tak lebih dari rupa bayangan itu utuh menutupi Rin. "Lantas mengapa tidak kau ulurkan saja tanganmu kepadaku?"

Gelap.

Usai pertanyaan yang tak mampu ia jawab itu dituturkan, seluruh pandangan gelap. Bayang-bayang merengkuhnya, memaksa Rin lekas terlelap bersama setetes air mata meninggalkan dirinya dalam ruang kosong.

Pada akhirnya semua kembali seperti sediakala.

Namun, apa-apa yang tengah terjadi di alam kesadaran justru berbanding terbalik dengan ketenangan palsu itu.

Penyebaran dari raga si gadis menghadirkan dentum yang menyita pertarungan Shiina dan Ravn. Saat itu Shiina yang menjambak rambut pria muda yang penuh luka dengan kasar, menghadapkannya kepada sumber suara penuh bangga.

Bagai baru terjadi ledakan, sekitar tanah di sekelilingnya tercipta retakan melingkar, pula beberapa pepohonan nyaris tumbang kalau saja akar mereka tak cukup kuat. Dalam sekejap, sosok itu menyerap utuh Aora miliknya sebelum hendak bangkit dari posisinya.

Gerak patah-patah yang ia langsungkan mengantarkan ngeri pada diri Ravn. Kernyitan di kening bahkan makin mendalam tepat pria muda tersebut mendengar kekeh yang merebak sunyi. Dia tidak berada dalam wujud utuh, tetapi Ravn kenal betul sesumbang nada yang bercampur dengan suara Rin itu.

Peluh dingin telanjur bercampur, menetes melalui dagu Ravn. Gemetar menguasai sekujur tubuh, tanpa sadar giginya bergemeletuk kala sosok yang meminjam tubuh Rin akhirnya memutar kepalanya ke belakang bersama seringai.

Belum sempat ia mengendalikan diri, si pria muda tumbang oleh satu tendangan di kaki yang membuatnya bersimpuh selagi Rin menghampiri. Dia mendengar sebuah ujaran, "Berikanlah penghormatan yang pantas, Budak Kegelapan. Sebagaimana kau menciumi sepatu Ayah seperti yang sudah-sudah."

Ketimbang menghiraukan perkataan Shiina, Ravn terus terpaku terhadap sepasang delima yang menggantikan warna emas. Bahkan barang sedikit ia tidak berkedip, pula menyurutkan seringai.

Sungguh, Ravn tak tahan memandangnya lebih lama, tetapi ia juga tak sudi untuk kembali tunduk kepada Apollya.

"Aku mengira akan ada perjamuan besar sungguhan menanti." Dua suara yang bercampur itu berujar saat netra karamel Ravn tertuju pada batu delima yang mencuat dari dada Rin. "Namun, hanya sekadar kutemukan budak yang tersuguh di sini."

Nanar utuh ia abai, membuat air mata bersatu dengan jalur keringat yang sekali lagi menetes melewati dagu. Ketahuilah bahwa bukanlah kesedihan yang memerahkan sepasang mata tersebut, melainkan amarah yang terukir jelas dalam rona wajah serta urat nadi menghias dahi.

"Kupikir tak apa," lanjut Apollya sembari menelengkan kepala saat ia sampai di hadapan Ravn. "Pun, wujud yang sama sekali tak sempurna ini tidak dapat banyak melakukan apa-apa."

"Maafkan atas pemanggilan yang tergesa-gesa, Yang Mulia." Shiina yang kini sedikit tertunduk dengan sepasang mata yang berani menujukan tatapan kepada Apollya, kembali bersuara. "Namun, ini untuk kebaikan Anda."

"Ya, aku tahu." Apollya mengangkat tangan Rin guna memperhatikan kuku-kukunya yang dipotong rapi nan bersih. "Lelaki itu mengirimkanmu bukan sekadar alasan, bukan? Jadi ...."

Netra delima yang berpendar dalam temaram malam melirik Ravn sebelum meneruskan, "Bagaimana kalau kita mulai dengan ritual pencicipan terlebih dahulu?"

Perkataan yang baru disebutkan merupakan suatu keadaan mendesak di mana tiada mangsa yang bisa dilahap anak iblis ini, mengharuskan Apollya menyesap darah milik budaknya.

Ah, sekali lagi perihal hal yang tidak pernah lagi Ravn ingat maupun ia alami kembali.

Dia tak sadar mencibir persis di kala Apollya nyaris menyentuh lehernya. Konon ia berhasil menggantung tangan Rin di udara, lekas ia menyalang bersama kekeh penuh cemooh.

"Parasit tidak tahu diri," geramnya tanpa segan. "Tak cukup menyeringai menggunakan wajahnya, bahkan kau berani menggunakan tubuhnya untuk melakukan hal kotor? Aku tidak akan pernah mengampunimu!"

Mata merah itu terbelalak sempurna. Lama ia tertegun sebelum tertunduk bersama ekspresi yang melunak muram, sampai Shiina menjambak Ravn lebih keras sebagai bayaran atas perbuatannya. Pun, tampak gemetar kedua bahu si gadis mengundang si pria muda mengernyit tak paham.

Namun, tanpa disangka ia menggaungkan tawa terbahak-bahak sampai ia menengadah. Walau demikian matanya tetap terpatri kepada Ravn yang kian kalap dimakan amarah.

Sebuah tatapan merendahkan.

"Oh, budakku yang manis ... baru terbebas beberapa waktu, sudah berani menunjukkan taringnya yang tak seberapa." Apollya berujar usai menyudahi tawa. Tidaklah lagi ia ragu menggerakkan tangan, menangkup wajah Ravn yang basah. "Kalau begini, mari kita persingkat."

Begitu sepasang tangan mulai turun ke leher mengelilinginya bagai kalung. Sama sekali tak Ravn mendapat cekikan, tetapi ia merasakan tekanan yang sangat kuat. Saluran pernapasannya seolah terkunci, sedikit pun tak mengizinkan udara masuk sehingga si pria muda terpaksa meronta tanpa suara.

"Mari kita kembalikan semuanya seperti sediakala ...." Apollya melanjutkan tepat wajahnya mulai memerah serta ia dapati panas mengelilingi leher. "Dimulai dengan menempatkan boneka di posisi seharusnya supaya dia sedikit sadar diri."

Panas dari gurat-gurat yang menghuni leher mengukir simbol akar yang mengitari, menghias di sekeliling leher. Sosok yang menggunakan tubuh Rin tersebut telah menurunkan tangan, tetap saja Ravn masih merasakan sesak hingga ia megap-megap.

Seolah kejadian lima tahun silam kembali terulang. Dalam upayanya mencari udara meski nihil, ia bahkan bergidik membayangkan semua itu sementara pandangan mulai memburam.

Namun, Ravn beruntung.

Semuanya tidak berlangsung lama.

>>>>

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 106K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
6.4K 1.5K 34
Tara Wistham berusaha menjadi calon wali kota yang baik. Namun, tak ada yang menghendakinya. Ia bahkan berubah menjadi Host untuk memperjuangkan hak...
1.8K 346 12
Para pemuda bersumpah untuk berbangsa dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Namun, bagaimana kalau para hantu juga turut bekerja sama? Kerja sama apa...
19.5K 5.1K 81
Ketika seluruh negeri menyembunyikan kebenarannya, sejarah akan ditulis oleh mereka yang merasa menang. "Bisa-bisanya ratusan tahun orang-orang terbo...