Major Let Me Love You

By hellothere_89

163K 14.2K 2K

Tentang Arshaka Maisadipta yang dibuat jatuh hati dengan seorang laki-laki berpangkat Mayor. Perwira menengah... More

Maisadipta
Hari Minggu Maisa
Nanti Kamu Sakit
Liputan Memusingkan
Perkara Nasi Box
Bertemu Di Setiap Kesempatan
Hambalang dan Curahan Hati Mas Resky
Cerita Masa Kecil dan Keteledoran Maisa
Debat Cawapres
Yang Kayak Kamu Cuma Satu
Narendra dan pelukan hangat
Sushi Date
Restu Tak Langsung
Lembah Tidar
Magelang dan Sedikit Kejujuran
Upin Ipin dan Keributan
Mayor Theo vs Narendra
Peresmian Titik Air Bersih
Manado I'm In Love
Pesan Heru
Baca deh nih
Kertanegara
Terang Bulan
Planetarium dan Nasi Goreng Obama
Supermarket dan Tentang Yang Lalu
Harapan Theo
Mas Bio Wedding Day
Debat Capres
Bali dan Keingintahuan Theo
Aku Butuh
Hari Kasih Suara dan Suasana Istora
Cookies dan Pedang Pora
Hati-hati Jenderal!
Sebuah Kabar Dari Penantian
Selamat Jalan Kekasih
Setelah Dia Pergi
Back To Routinity
Theo dan Tugas Baru
Plagiarisme
Bukti Plagiarisme
Buka Bersama Di Kertanegara
Pujian Theo
Pertemuan Singkat
ATTENTION
Bertemu Keluarga Theo
Suasana Lebaran Maisa
Berkunjung dan Ulang Tahun
Gilang Pesiar
Lebih Dekat
Narendra dan Kejujuran
Ulang Tahun Maisa
Ngobrol Sebentar

Kampanye Akbar GBK

2.6K 287 27
By hellothere_89

Hellooo~

PART INI SUPER PANJANG! BACA PELAN-PELAN YAAA.

Mohon baca pesan singkat dibawah ini yaa sayang-sayangku.

Pesanku cuma satu, jangan bawa-bawa dan sangkut pautkan cerita ini dengan real life para visual yaa. Ayo sama-sama kita jadi pembaca yang pintar dan bijak <3

Oh, iya! Jangan lupa untuk vote dan comment yang banyak di cerita ini. Okeey?? Kalau ada typo yang bertebaran, mohon dimaafkan.

Happy reading!

°
°
°
°

Hari terakhir masa Kampanye pada pemilu tahun ini. Tepat hari ini, tanggal sepuluh februari, pasangan Capres dan Cawapres nomor urut kosong dua akan melakukan Kampanye Akbar terakhir mereka di Stadion Gelora Bung Karno, di Senayan, Jakarta.

Tentu Maisa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan hari ini, ketika ditawari untuk ikut bergabung liputan, Maisa langsung mengiyakan ajakan dari rekan-rekannya.

Maisa sudah siap dengan kemeja putih satin yang ia padukan dengan celana panjang hitam serta flatshoes berwarna hitam.

"Yang turun liputan hari ini, siapa saja?"

Narendra, laki-laki bertubuh jangkung itu menghampiri team yang ia tugaskan untuk turun meliput kegiatan Kampanye Akbar.

Sean, laki-laki yang ditugaskan sebagai produser lapangan hari ini membuka suara, "Untuk di team saya ada Gelia, Marco dan Maisa, Pak."

"Oke, jaga diri kalian masing-masing. Jangan sampai terpencar, jaga barang bawaan kalian dengan baik." Titah Narendra.

Setelah selesai breafing sebentar, Maisa beserta team nya lantas pamit mengundurkan diri agar bisa segera berangkat menuju Gelora Bung Karno.

Pasalnya, dari informasi yang beredar, open gate akan di mulai tepat pada pukul setengah satu siang, dan saat ini jam menunjukkan pukul sepuluh.

"Semoga enggak macet..." Ucap Gelia pelan.

"Kata gue, sih, kita pasti kejebak macet. Ini, di maps merah semua jalan sekitar stadion." Sahut Marco yang duduk dikursi samping kemudi.

Maisa melihat jalanan kota Jakarta yang mulai padat. Betul apa yang Marco katakan, belum sampai dekat stadion saja, macetnya sudah lumayan parah.

"Ini sih, kalah kita stuck nunggu jalanan lancar enggak akan mungkin. Mau enggak mau harus jalan kaki." Ujar Maisa.

Mendengar penuturan Maisa, ketiga rekannya itu mengangguk setuju, "Tapi, mobil mau di parkir dimana, Mai? Enggak mungkin kita tinggal disini, kan?"

"Iya juga, sih. Terus mau gimana? Waktunya enggak akan ke kejar, Co. Atau gini, deh. Lo sama Sean tetap naik mobil, gue dan Gelia jalan kaki sampai gbk. Gimana?" Tawar Maisa yang disetujui oleh Gelia.

Tapi tidak dengan kedua laki-laki itu, mereka menolak mentah-mentah. Takut terjadi apa-apa dengan Maisa dan Gelia.

"Jangan, lah, anjir."

"Tapi kalau kita diam-diam disini nungguin jalanan lancar juga bukan ide yang bagus, lho. Waktu kita mepet banget."

Sean yang bertugas sebagai ketua team pun akhirnya mau tidak mau mengalah, dengan memberikan perintah agar kedua perempuan itu tetap harus saling menjaga.

"Kalau ada apa-apa langsung hubungin kita, ya. Handphone tolong terus dalam keadaan aktif." Ucap Sean.

"Gampang. Yaudah, ayo, Gel. Langsung jalan."

Maisa dan Gelia langsung turun dari mobil, berlari kecil menuju sepanjang jalan Senayan yang ternyata memang sangat padat merayap.

Jalanan Senayan dipenuhi dengan lalu-lalang kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Banyak pula Maisa temui orang-orang yang memakai pakaian berwarna bluesky.

Gelia yang jalan disisi kanan Maisa, menepuk pelan pundak Maisa. Menunjuk kearah depan, memperlihatkan seorang yang sangat di kenali juga turut jalan kaki.

"Mai, ada Pak Yudhayana."

Maisa memusatkan pandangannya kearah orang yang Gelia tunjuk, terlihat mantan Presiden ke enam itu turut berjalan kaki dengan pengawasan ketat dari Paspampres.

"Kita ikutin enggak sih, Mai?" Tanya Gelia.

"Kita ikut dari belakang, deh."

Maisa dan Gelia mengambil langkah tepat dibelakang para Paspampres, sempat ditanya oleh salah satu dari mereka. Dan dengan cepat Maisa jawab kalau mereka juga akan ke gbk.

"Gila, Mai. Ini kalau kita tetap milih naik mobil, sih, enggak akan nyampe, deh. Panjang banget macetnya."

Maisa menyeka keringatnya, terik matahari yang menembus, serta ramainya bunyi klakson kendaraan berhasil membuat kepala Maisa pening.

"Capek, gue...." Keluh Maisa.

"Sabar, Mai. Sekitar dua kilo lagi kita sampai." Ucap Gelia menyemangati Maisa.

Betul apa yang Gelia ucapkan, setelah menempuh jarak hampir sepuluh kilo, akhirnya Maisa dan Gelia pun tiba di area stadion. Ramai orang-orang yang hadir, mampu membuat Maisa dan Gelia berdecak kagum.

"Ini sih, the real lautan manusia, Mai~"

"Iya, lagi. Lo jangan jauh-jauh, Gel. Kalau hilang susah nyarinya, nih."

Maisa dan Gelia menunggu kedatangan Sean dan Marco dekat pintu masuk. Beberapa kali tubuh mereka harus saling bersenggolan dengan yang lain.

"Mai, ini Marco whatsapp gue. Katanya kita masuk duluan. Mereka sebentar lagi sampai."

"Kok cepat?" Tanya Maisa bingung.

"Iya, mobilnya diparkir di dekat Sency, banyak juga yang ikut parkir disana dan jalan kaki."

Akhirnya, Maisa menggandeng lengan Gelia. Memasuki area dalam gbk yang ternyata jauh lebih ramai. Setiap sisinya padat. Tak ada ruang lebih.

"Anjir, anjir, anjir. Di dalam lebih ramai, woi!" Celetuk Gelia.

"Gel, kita langsung ke panggung, ya. Posisi kita ada di kursi-kursi belakang." Ajak Maisa.

Sempat berdesakan dengan orang-orang yang ada, beberapa kali kening Maisa juga terantuk punggung massa yang hadir.

"Disini, Mai?" Tanya Gelia ketika tiba di tempat yang Maisa maksud.

"Iya, disini. Gila, panas banget. Untung tadi pakai sunscreen~" Ucap Maisa.

Gelia memberikan topi yang sempat ia bawa, "Pakai, nih. Gue bawa dua."

"Pengertian banget deh, lo!" Puji Maisa.

Menunggu kehadiran Mas Gian sang cawapres. Maisa sempat melirik sekitar. Mencari-cari seseorang.

"Mai! Mas Gian datang itu naik motor!"

Suara Gelia menginstrupsi kegiatan Maisa, Maisa dengan cepat mengambil kamera yang tergantung di lehernya. Memotret kedatangan Mas Gian yang membawa motor, membonceng sang isteri tercinta. Mbak Silvi.

Sean dan Marco pun juga sudah tiba, kedua laki-laki itu langsung menghampiri Maisa dan Gelia.

"Capek banget..." Keluh Marco dengan nafas hang tersengal-sengal.

"Kasihannya~ Habis ini kita jajan es, ya."

"Mampir ke Sency, sekalian. Gue butuh re-charge energi yang terbuang sia-sia karena jalan kaki." Ketus Marco.

Belum sempat menimpali ucapan Marco, suara pembawa acara mulai terdengar. Meminta massa yang hadir untuk sama-sama menyerukan nama Pak Pradana.

Terlihat, Theo dengan baju kemeja hitam serta topi berwarna hitam berdiri menutupi Pak Pradana. Netra laki-laki itu mendongak keatas, seperti melihat sebuah kode.

Ketika melihat itu, Gelia sontak berceletuk, "Itu, si Pak Mayor lagi ngapain?"

"Lagi lihat screen kali." Sahut Marco.

Sean berdecak kecil, "Bukan. Itu lagi mastikan kalau suasana sudah kondusif untuk Pak Pradana ke panggung. Lihat! Diatas sana, ada sniper."

"Tau darimana, lo?" Tanya Marco tak percaya.

"Ck, memang sudah peraturannya begitu. Makanya, itu, Mayor Theo pakai kemeja hitam, supaya gampang dilihat sniper."

"Ini pasti konspirasi..."

Maisa terkekeh geli mendengar ucapan Marco yang tak sepenuhnya percaya dengan Sean.

Setelahnya, mereka melihat Theo yang mulai membuka jalan untuk Pak Pradana. Mengawal atasannya itu ke depan panggung.

Tak lama, karena acara yang di percepat. Situasi yang mulai tidak kondusif. Pak Pradana langsung memulai orasinya. Sean dan Maisa yang bertugas mengambil gambar langsung bersiap, pun, dengan Gelia dan Marco yang mulai merekam seluruh kegiatan.

Pak Pradana mulai menyapa satu persatu tokoh-tokoh yang hadir, menyapa semua para petinggi partai koalisinya. Menyapa para tamu undangan beserta anaknya, Mas Dito.

"Saya turut bahagia atas kehadiran saudara-saudara semua. Yang berada didalam, bahkan di area luar. Kita sama-sama berbahagia hari ini...."

Pidato Pak Pradana mulai sedikit terganggu karena satu persatu banyak massa yang jatuh pingsan.

"Saudara-saudara semua, yang sudah tidak kuat, bisa langsung beristirahat diluar. Gantian dengan yang lain, yang ingin masuk kesini juga."

Pak Pradana juga sempat meminta untuk massa diberikan semprotan air agar tak terlalu panas dan kurang oksigen.

Sampai ketika, Maisa melihat Theo yang dengan cekatan menggendong seorang perempuan yang jatuh pingsan. Digendongnya perempuan itu oleh Theo. Membuat massa semakin tidak kondusif.

Cemburu? Kalau boleh jujur, iya, sedikit. Ada perasaan tak rela ketika melihat Theo bersentuhan dengan perempuan lain.

Dengan sangat terpaksa, orasi Pak Pradana harus dihentikan. Pak Pradana akhirnya meminta untuk sama-sama menyanyikan lagu Maju Tak Gentar.

Maisa sempat mengabadikan moment dimana Raja dan Derry yang saling berebut mic.

Ketika melihat Pak Pradana mulai kembali kebelakang panggung, Maisa langsung mengajak rekan-rekannya untuk menyusul.

"Ikut ke belakang, yuk." Ajak Maisa.

Marco sempat menolak, "Ah, emang bisa, Mai?"

Gelia yang mendengar memutar bola matanya malas, "Lah? Co? Lo lupa ini teman kita keponakan Pak Pradana?"

"Kalian berdua saja, gue disini, ya?"

"Ngapain?" Tanya Maida penasaran.

"Mau nonton Dewa19. Kapan lagi nonton konser jarak dekat gini."

"Ah, bener juga, lo. Gue disini, deh. Kali nanti Mas Ahmad Dhani lihat gue terus kepikiran mau rekrut gue jadi vokalis baru Dewa19."

"Stress." Sahut Gelia sebal.

Akhirnya, Maisa mengajak Gelia untuk kebelakang panggung. Ternyata, situasi disana pun tak kalah ramai.

Banyak orang yang saling berebut untuk berfoto dengan para public figure ataupun para politikus, dan tokoh-tokoh besar.

"Mai, nanti gue boleh foto sama Pak Pradana enggak, sih?" Tanya Gelia.

"Buat apa?"

"Buat pamer, dong. Terus mau gue cetak fotonya yang besar. Nyokap gue kan penggemar nomor satu Pak gemoy."

Maisa tertawa kecil, "Iya, nanti kalau ketemu coba gue tanyain, ya..."

Maisa sempat bertemu Resky, meminta laki-laki itu untuk menemaninya bertemu Pak Pradana.

"Mas, antar ke Pakde, dong."

"Ayo, sini."

Maisa sempat melihat Mas Bio beserta Mika, dua pasutri baru itu yang sedang berfoto dengan para rekan-rekannya.

"Masuk kedalam sana, ya, Mai. Saya mau nemuin Ibu saya dulu." Ucap Resky.

"Oke, salam buat Ibu ya, Mas."

Maisa langsung menggandeng lengan Gelia menuju ruangan yang Resky maksud. Didalam sana, Maisa melihat Pak Pradana dan yang lainnya sedang berfoto bersama.

"Ayang aku~"

Maisa tersentak kecil ketika seseorang merangkulnya dengan paksa, ketika melihat siapa orang itu Maisa menggelengkan kepalanya pelan.

"Mas Lio! Kaget aku."

Suara Maisa ternyata didengar oleh Theo yang sedari tadi sibuk memainkan ponselnya. Laki-laki itu tersenyum tipis ketika melihat kehadiran Maisa.

"Mai, foto, Mai." Bisikan Gelia yang membuat Maisa meliriknya singkat.

"Oh, iya. Lo mau foto sama Bapak, ya. Sini, ikut gue."

Maisa pamit pada Lio, yang tentunya laki-laki itu iyakan.

Maisa sempat menyapa Pak Pradana, Mas Dito juga Bu Tita. Memeluk kakak sepupunya dan Budenya itu dengan hangat.

"Cah ayuku, si cantik."

"Bude, ini Gelia. Teman Maisa."

Gelia menyalami tangan Bu Tita. Memperkenalkan dirinya dengan sopan.

"Halo, salam kenal ya, Gelia.." Sahut Bu Tita tersenyum manis.

"Salam kenal, Ibu. Ibu, saya boleh minta foto sama Ibu enggak?" Tanya Gelia tersenyum malu.

"Boleh, dong. Sini, sini, kita foto."

Maisa dengan baik hati menawarkan untuk memfotokan.

"Yang bagus, Mai."

"Iya, bawel."

Beberapa foto sudah diambil, kini Maisa dan Gelia pun turut menghampiri Pak Pradana. Menyapa Jenderal kenangan Maisa setelah Heru tentunya.

"Pakde, gagahnya saat orasi tadi...."

Pujian Maisa membuat Pak Pradana tersenyum manis, "Ah, Maisa ini paling bisa."

"Lho, betul dong. Nih, buktinya temanku sampai mau minta foto bareng Pakde."

Pak Pradana melirik kearah Gelia, Gelia sempat meringis pelan melihat tatapan tajam Pak Pradana, sebelum akhirnya tersenyum menyapa Pak Pradana.

"Salam kenal, Bapak. Saya, Gelia. Jurnalis yang hari ini ikut meliput. Saya rekan kerjanya, Maisa."

"Salam kenal, Mbak Gelia."

Gelia akhirnya mengobrol singkat dengan Pak Pradana. Yang awalnya sedikit gugup, Gelia pun akhirnya lebih dapat rileks karena nyatanya, Pak Pradana tak se-galak yang sering ia dengar.

Maisa memilih melipir untuk menghampiri Theo yang sedang duduk di sudut ruangan sendirian.

"Hai." Sapa Maisa melihat Theo.

Theo tersenyum manis, "Hai."

"Mau buat pengakuan dosa, enggak?"

Pertanyaan tiba-tiba Maisa mampu membuat Theo mengerutkan keningnya bingung.

"Tentang?"

"Tentang aksi Mas Theo tadi, gendong perempuan." Sahut Maisa ketus.

"Oh, astaga. Itu? Tadi saya langsung gendong karena enggak mau ganggu Bapak pidato, Mai."

"Masa? Jangan bohong.."

"Untuk apa saya bohong?"

"Hisshhh, ucapan laki-laki itu enggak bisa dipegang! Bisanya cuma di screenshot!"

Theo terkekeh geli melihat Maisa yang berdecak sebal, "Mau saya gendong perempuan tadi juga tetap yang saya suka itu kamu, Mai."

"Enggak percaya." Sahut Maisa singkat.

"Kan tadi kamu lihat, bukan cuma saya yang gendong perempuan. Raja juga."

"Aku sih enggak peduli Mas Raja gendong perempuan atau enggak.."

"Cemburu, ya?"

"Pakai tanya, lagi. Iya lah!" Desis Maisa.

"Saya minta maaf, ya?"

Maisa mendengus sebal, "Pasti habis ini banyak cegil-cegil kamu yang patah hati. Ih, sebel, banget."

"Saya harus apa kalau gitu?"

"Menurut Mas Theo harus apa?"

Theo menghela nafasnya, "Saya minta maaf, ya. Jangan marah. Mau ada sepuluh perempuan yang nanti saya gendong, juga yang akan tetap jadi Nyonya Wijaya itu kamu."

"Mas Theo, ih! Aku jadi enggak bisa marah kalau kamu kayak gini...."

Maisa menghentakkan kakinya sebal.

"Lho, ini betulan."

"Ah, enggak tau, deh. Aku enggak dengar."

Tawa Theo pun pecah, Maisa dengan tingkah anak-anaknya mampu membuat hatinya berbunga-bunga.























HELOOOOO.

Siapa yang sudah tunggu aku bawa chapter baru? Ini chapter terpanjang lhooo, hampir 2000 kata. Pegel juga gue ngetiknya anjayy.

Jangan lupa vote dan comment yang banyaaaaak! Kasih feedback yang bagus. Kalau sepi, ya aku bakalan ngaret buat update.

Dah lah, intinya see you shayyy.







Continue Reading

You'll Also Like

65.1K 4.3K 63
Jika memang aku boleh mengulang kisah, aku ingin memperbaiki apa yang pernah aku perbuat padamu. Aku menyesal, pernah meragukanmu -M Rian Ardianto- J...
284K 13K 76
[Athlete Series] [COMPLETED] 'Just one more chapter' •Doni Haryono Highest rank #1 in volleyball Highest rank #1 in timnas Highest rank #1 in prol...
212K 17.5K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
30K 1.8K 51
Maureyna Renita Aulula gadis yang kerap di panggil Lula. Gadis yang menyimpan banyak kerinduan kepada cinta pertama nya lebih tepatnya kepada sang ma...