Major Let Me Love You

بواسطة hellothere_89

163K 14.2K 2K

Tentang Arshaka Maisadipta yang dibuat jatuh hati dengan seorang laki-laki berpangkat Mayor. Perwira menengah... المزيد

Maisadipta
Hari Minggu Maisa
Nanti Kamu Sakit
Liputan Memusingkan
Perkara Nasi Box
Bertemu Di Setiap Kesempatan
Hambalang dan Curahan Hati Mas Resky
Cerita Masa Kecil dan Keteledoran Maisa
Debat Cawapres
Yang Kayak Kamu Cuma Satu
Narendra dan pelukan hangat
Sushi Date
Restu Tak Langsung
Lembah Tidar
Magelang dan Sedikit Kejujuran
Upin Ipin dan Keributan
Peresmian Titik Air Bersih
Manado I'm In Love
Pesan Heru
Baca deh nih
Kertanegara
Terang Bulan
Planetarium dan Nasi Goreng Obama
Supermarket dan Tentang Yang Lalu
Harapan Theo
Mas Bio Wedding Day
Debat Capres
Bali dan Keingintahuan Theo
Aku Butuh
Kampanye Akbar GBK
Hari Kasih Suara dan Suasana Istora
Cookies dan Pedang Pora
Hati-hati Jenderal!
Sebuah Kabar Dari Penantian
Selamat Jalan Kekasih
Setelah Dia Pergi
Back To Routinity
Theo dan Tugas Baru
Plagiarisme
Bukti Plagiarisme
Buka Bersama Di Kertanegara
Pujian Theo
Pertemuan Singkat
ATTENTION
Bertemu Keluarga Theo
Suasana Lebaran Maisa
Berkunjung dan Ulang Tahun
Gilang Pesiar
Lebih Dekat
Narendra dan Kejujuran
Ulang Tahun Maisa
Ngobrol Sebentar

Mayor Theo vs Narendra

3.6K 337 64
بواسطة hellothere_89

Hellooo~

Mohon baca pesan singkat dibawah ini yaa sayang-sayangku.

Pesanku cuma satu, jangan bawa-bawa dan sangkut pautkan cerita ini dengan real life para visual yaa. Ayo sama-sama kita jadi pembaca yang pintar dan bijak <3

Oh, iya! Jangan lupa untuk vote dan comment yang banyak di cerita ini. Okeey?? Kalau ada typo yang bertebaran, mohon dimaafkan.

Happy reading!

°
°
°
°

Entah ini sudah kali keberapa untuk Maisa ikut meliput kegiatan Pak Pradana. Tapi, kali ini Maisa bukan meliput kegiatan kampanye.

Melainkan kegiatan Pak Pradana sebagai Menhan. Esok, Pak Pradana akan meresmikan sumber titik air bersih di Bantul, Yogyakarta.

Sejak Kalula mengetahui dirinya adalah keponakan Pak Pradana, sejak saat itu juga beritanya menyebar. Salah siapa? Ya, salah mulut ember Kalula yang tak sengaja keceplosan berbicara dengan keras di tempat ramai.

Dan seperti yang sudah Maisa takutkan sejak lama, dengan seenaknya, atasannya itu menyuruh Maisa untuk turun liputan. Maisa sudah menolak dengan alasan kalau ini bukan bagian tugasnya. Tapi atasannya bilang, kalau ada kenalan dengan Pak Pradana seperti dirinya, akan lebih mudah untuk mengikuti kegiatan Capres itu.

"Mbak Maisa, kan, kita naik mobil operasional kantor, Mbak Maisa duduk didepan sama Pak Narendra, ya?"

Ini dia, bagian yang Maisa tak suka. Kembali bertugas dengan Narendra.

"Harus saya banget, Fi? Kamu lah yang di depan, saya di belakang dengan Farah dan Nayla."

"Tapi ini permintaan Pak Narendra, Mbak. Katanya, biar junior-junior duduk di belakang." Kilah Alfi.

Maisa berdecak sebal, ia memperlihatkan tatapan tajamnya yang mampu membuat Alfi sedikit takut.

"Kamu. Duduk. Didepan." Tekan Maisa.

Alfi buru-buru menganggukkan kepalanya, teringat background orang dihadapannya ini. Dirinya tidak mau buat masalah.

"Bagus." Sahut Maisa singkat.

Maisa langsung masuk kedalam mobil. Menghiraukan Alfi yang memandang takut kearahnya.

Farah dan Nayla ikut menyusul masuk setelannya. Menyapa Maisa yang hanya dibalas anggukan singkat.

Tak lama, Alfi dan Narendra juga masuk kedalam. Narendra sempat melirik Maisa yang mengalihkan pandangannya kearah jendela.

"Sudah siap semua?" Tanya Narendra.

"Sudah, Pak. Kita langsung jalan sekarang, saja. Supaya sampai Jogja enggak terlalu malam." Sahut Nayla.

Narendra mulai mengendarai mobilnya itu, meninggalkan pekarangan kantor. Diperjalanan Maisa lebih memilih untuk diam tak membuka suara. Hanya ada obrolan antara Nayla, Farah, Alfi dan juga Narendra.

"Oh, iya. Mbak Maisa, kamar hotel yang di siapkan kantor itu ada tiga. Nanti, Pak Narendra dengan Alfi, saya dengan Farah. Mbak Maisa enggak apa-apa kan, sendiri?" Tanya Nayla.

Maisa yang sedari tadi memilih diam pun membuka suara, "Iya, enggak apa-apa."

"Nanti, kita minta tolong juga ya, Mbak. Mbak Maisa kan pasti kenal dengan sekretaris dan asisten pribadi Pak Pradana, tolong hubungi mereka, Mbak. Minta supaya sesi wawancara kita bisa sedikit lebih lama."

Maisa melirik singkat kearah Nayla, dalam hati ia mendengus sebal. Sial, belum apa-apa juniornya ini sudah berani pakai jalur orang dalam.

"Enggak janji, ya." Sahut Maisa singkat.

Perjalanan yang cukup melelahkan itu beberapa kali harus berhenti untuk beristirahat.

Mobil operasional kantor itu sudah masuk daerah Yogyakarta. Mereka masih harus menempuh sekitar satu sampai dua jam lagi dari pusat kota.

"Kita makan dulu, ya. Istirahat sebentar, perjalanan kita masih lumayan jauh." Ujar Narendra.

Maisa, Nayla dan Farah hanya bisa terdiam lemas. Dari pagi sampai menjelang malam mereka harus menempuh perjalanan yang jauh.

"Ayo, kita makan dulu~" Sahut Alfi berusaha semangat walaupun wajahnya tak bisa bohong.

Maisa turun dari mobil dalam keadaan mengantuk, sesekali ia berjalan oleng karena rasa kantuk yang menyerang.

"Mbak Mai, cuci muka dulu, yuk." Ajak Farah.

Farah mengandeng tangan Maisa untuk ke toilet. Setelah merasa wajah lebih fresh, Maisa dan Farah menyusul yang lain ke dalam rumah makan.

"Mbak Maisa, saya enggak tau Mbak mau makan apa. Jadi saya pesankan nasi gudeg sama teh manis hangat."

"Iya, enggak apa-apa. Makasih, ya, Nayla."

Maisa duduk disamping Farah, berhadapan langsung dengan Narendra. Makanan pesanan mereka pun tiba, Maisa menikmati nasi gudeg nya dalam diam.

Diam karena rasa kantuk yang kembali menyerang atau kurang nyaman karena Narendra yang terus curi-curi pandang kearahnya.

"Mbak Maisa kenapa? Kok diam terus?" Tanya Alfi.

"Enggak apa-apa."

Setelah selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan kembali. Kini, Alfi mengantikan Narendra membawa mobil. Alfi membiarkan laki-laki itu untuk beristirahat sebentar.

Perjalanan terasa sangat lama, mungkin karena malam sudah menyapa. Maisa memilih untuk kembali memejamkan matanya. Kepalanya terasa pening karena lelah menempuh perjalanan jauh.

Mobil itu mulai memasuki daerah Bantul, Alfi melirik kursi belakang dari kaca mobil, terlihat para wanita yang sudah menyatu dengan mimpinya masing-masing.

"Pak, sudah sampai." Ucap Alfi membangunkan Narendra ketika mobil berhenti tepat didepan hotel.

Narendra tersentak kecil dari tidurnya, ia lihat jendela mobil yang sudah menampilkan lobby hotel.

"Ah, iya. Kita cari parkiran dulu, Fi."

Setelah mencari dan mendapatkan parkiran, Narendra membangunkan para perempuan supaya bisa segera check-in.

"Farah, Nayla, Maisa, ayo bangun."

Maisa lebih dulu bangun dibandingkan Nayla dan Farah, Maisa merenggangkan otot-ototnya yang terasa kram.

"Kamu keluar lebih dulu, Mai. Biar saya bangunkan Farah dan Nayla." Ucap Narendra.

Maisa keluar mobil dalam diam, tanpa menjawab satu kata pada Narendra. Narendra yang diperlakukan seperti patung oleh Maisa hanya bisa tersenyum masam.

"Farah, Nayla. Bangun, cepat!" Seru Narendra sedikit lebih kencang.

Nayla dan Farah yang mendengar suara Narendra langsung terbangun.

"Cepat keluar, kita mau langsung check-in. Lanjut tidur di kamar nanti." Perintah Narendra yang langsung diikuti oleh keduanya.

Diluar mobil, Maisa sudah berdiri sambil memegang koper kecil beserta sling bag miliknya.

Mereka berjalan bersama masuk kedalam hotel, Narendra yang mereka tugaskan untuk menghampiri receptionist.

"Booking atas nama Narendra." Ucap Narendra.

Receptionist memberikan tiga kunci kamar hotel setelahnya Narendra membagikan kepada Nayla dan Maisa.

Maisa yang sudah menerima kunci langsung mengajak Nayla dan Farah ke lantai mereka. Meninggalkan Narendra dan Alfi.

Di lift, Maisa menyandarkan tubuhnya lemas. Pening di kepalanya semakin jadi. Badannya juga terasa pegal-pegal.

Lift berdenting di lantai tujuan mereka. Narendra membantu Nayla membawakan barang-barang wanita itu.

"Istirahat langsung, ya."

Entah untuk siapa Narendra mengatakan itu, tapi mata Narendra sedari awal hanya terarah pada Maisa.

Maisa langsung masuk ke dalam kamarnya, tak berniat menjawab ucapan Narendra juga.

Di kamar, tanpa mengganti pakaiannya, Maisa langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Perjalanan yang memakan waktu ini betul-betul melelahkan.

Lelah fisik dan lelah hati untuk Maisa.

Maisa yang memang sudah sangat lelah pun terlelap. Tak menanggapi ponselnya yang berdering panggilan masuk dari Theo.

Entah berapa lama Maisa terlelap, yang ia tau, ia terbangun pukul setengah enam pagi.

Maisa buru-buru masuk ke toilet untuk mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibannya sebagai muslim.

Setelah selesai, Maisa memilih langsung mandi. Badannya terasa begitu lengket. Terakhir mandi adalah kemarin pagi ketika akan berangkat ke Jogja.

Hari ini Maisa mengenakan kemeja berwarna baby blue yang ia padukan dengan rok berwarna putih.

Setelah selesai bersiap, Maisa mengambil ponselnya. Sedikit terkejut karena ada lima panggilan tak terjawab dari Theo.

"Lho, ini Mas Theo semalam telfon ya." Gumam Maisa.

Maisa sempat menelpon kembali Theo, namun ponsel itu hanya berdering tak mengangkat panggilan Maisa. Maisa berpikir, mungkin Theo sedang dijalan menuju Bantul.

Setelah siap semua, Maisa pun menuju ke cafetaria yang berada dilantai atas untuk mengambil sarapan. Maisa hanya membawa sling bag yang berisikan ponsel, power bank, serta liptint, sunscreen dan juga bedak tabur.

"Pagi, Mbak." Sapa Farah yang sama-sama keluar dari kamarnya.

"Pagi. Kok, sendiri? Nayla mana?"

"Sudah duluan, Mbak."

Maisa langsung mengajak Farah untuk sarapan lebih dulu. Mereka sudah janji akan kumpul di lobby pukul tujuh lewat lima belas.

Karena sesuai jadwal yang ada, Pak Pradana akan meresmikan sumber air bersih pada pukul sembilan pagi.

"Mbak, kok itu ada ramai-ramai, ya?" Tanya Farah melihat cafetaria yang penuh dengan orang-orang. Bahkan, ada beberapa security yang ikut berjaga.

"Entah, coba kita lihat dulu."

Maisa dan Farah sempat diberhentikan oleh Security, tapi lolos dan diperbolehkan masuk karena Maisa sempat menunjuk kearah Narendra dan dua rekannya.

"Pagi~" Sapa Farah ceria.

Maisa hanya mengangguk sekilas menyapa mereka semua. Saat itu, Maisa memilih langsung mengambil sarapannya.

Hanya mengambil dua potong roti tawar beserta susu hangat untuk ia nikmati.

"Mbak, enggak mau makan nasi goreng? Supaya enggak lapar."

Maisa menolak, "Enggak, ini juga cukup, kok."

Maisa sempat melirik beberapa orang disebelahnya, matanya membulat ketika melihat seorang laki-laki berpakaian tentara yang amat sangat ia kenali.

"Mbak Mai! Ada Mayor Theo!" Seru Farah tertahan.

For your information, Farah adalah salah satu dari sekian banyaknya perempuan yang tergila-gila pada perwira menengah itu.

"Kok bisa disini, ya, dia?" Sahut Maisa pelan.

"Samperin, yuk, Mbak. Farah mau minta foto sama beliau."

"Jangan, pasti lagi ada Pak Pradana juga, itu. Enggak enak." Tolak Maisa mentah-mentah.

"Yah, Mbak. Kapan lagi? Nanti disana pasti ramai banget."

Sebelum Maisa kembali ke mejanya, Theo lebih dulu menyadari kehadiran Maisa dan Farah.

Laki-laki itu berjalan menghampiri Maisa dengan senyum manisnya. Farah yang melihat langsung memekik tertahan disebelah Maisa.

"Hai, mungil." Sapa Theo hangat.

"H-hai." Maisa mendadak gugup.

Ayolah, ini terlalu tiba-tiba. Farah yang melihat itu menyikut pelan tangan Maisa.

"Mbak, minta foto, Mbak." Bisik Farah pelan.

Theo mendengar, suara Farah tak sepelan itu, "Mau foto?" Tanya Theo.

"Mau, boleh Pak?" Tanya Farah tersenyum lebar.

"Boleh."

Farah buru-buru memberikan ponselnya pada Maisa, yang diterima Maisa dengan pasrah.

Farah berdiri tepat disebelah Theo, tersenyum manis kearah kamera, dan Theo hanya tersenyum tipis.

"Sudah?" Tanya Maisa.

"Sekali lagi, Mbak." Pinta Farah.

Maisa kembali mengambil gambar dua orang itu, setelahnya Maisa mengembalikan ponsel itu.

"Terima kasih, Pak Mayor."

"Sama-sama."

Setelah itu, Theo melirik kearah Maisa. Melihat piring yang perempuan itu bawa.

"Kok, cuma sarapan roti? Kegiatannya sampai siang, lho."

"Enggak lapar, Mas." Sahut Maisa.

"Sarapan itu bukan masalah sudah atau belum lapar. Sarapan itu wajib sebelum beraktivitas, Mai." Ucap Theo menasihati.

"Aku ada soyjoy di tas. Bisa buat ganjal perut kalau nanti lapar lagi."

"Susah nih, di nasihati nya." Keluh Theo.

Sebelum Theo kembali membuka suara, dari arah belakang Narendra datang menghampiri.

"Farah, Maisa, kita harus buru-buru. Kalian kenapa malah asik ngobrol disini?" Tanyanya sinis.

"Maaf, Pak." Sahut Farah pelan.

Maisa hanya melirik malas kearah Narendra, ditatapnya Theo meminta pertolongan.

"Saya yang mengajak mereka berbincang, bukan salah mereka." Bela Theo.

"Ya, untuk anda pun sama. Anda membuang-buang waktu karyawan saya." Sahut Narendra tajam.

"Apanya yang buang-buang waktu? Ini masih terlalu pagi untuk menyuruh karyawan anda kerja, kan?"

Narendra memandang remeh kearah Theo, "Anda tau apa? Jangan karena berseragam anda mudah mendekati karyawan saya. Lagipula, sedang apa anda disini?"

Entah Narendra mengenal Theo atau tidak. Yang jelas ucapan Narendra mengundang tawa sinis dari Theo.

"Harus saya jawab pertanyaan ini? Saya disini sedang bertugas mengawal atasan saya yang akan anda liput nanti kegiatannya. Lalu saya menghampiri keponakan atasan saya dan menyapanya sebentar. Apa itu salah?" Balas Theo pedas.

Narendra terdiam. Malu. Kenapa bisa dia tidak mengenal laki-laki berseragam dihadapannya ini? Dan, kenapa bisa ia melupakan satu fakta tentang Maisa.

Maisa yang melihat akan adanya perdebatan kembali langsung mengambil alih.

"Mas, kembali ke Pakde saja, ya? Aku juga mau sarapan habis ini." Ucap Maisa.

"Iya, setelah ini saya akan ke Bapak. Kamu sarapan yang banyak, ya."

Sebelum pergi, Theo kembali mengatakan sesuatu yang membuat Narendra menggeram menahan marah.

"Ah, saya cuma mau bilang. Jangan dekati Maisa. Dia milik saya. Jangan sampai kejadian tempo lalu terulang. Karena saya, tidak suka milik saya disentuh oleh orang lain." Ucap Theo lalu berlalu pergi.

Narendra memandang tajam Theo. Ditatapnya laki-laki itu dengan murka.

"Kamu enggak bisa lebih profesional ya, Mai? Harusnya kamu bisa kasih contoh ke junior kamu. Kamu disini datang untuk meliput kegiatan Pak Pradana sebagai seorang jurnalis, bukan sebagai Maisa keponakannya. Sudah dua kali saya lihat kamu seperti ini. Seenaknya ketika bekerja."

"Salah saya apalagi sih, Pak?" Tanya Maisa datar.

"Saya minta kamu untuk bersikap profesional. Nanti, saat di lokasi peresmian, saya tidak ingin lihat kamu berinteraksi dengan laki-laki tadi. Ini perintah." Ucap Narendra lalu meninggalkan Maisa dan Farah.

"Mbak Mai, maaf ya. Harusnya tadi Farah dengar apa kata Mbak Maisa. Jangan foto dengan Mayor Theo sekarang." Sesal Farah ketika melihat seniornya di ceramahi oleh Narendra.

"Enggak apa-apa. Saya sudah kebal sama mulut pedas Narendra."













Tadinya mau ku buat adegan baku hantam, tapi jangan deh. Nanti wajah tampan Mas Mayor jadi jelek gara-gara Narendra.

Menurut kalian, Narendra nih kenapa?? Pms? Cemburu? Atau emang orangnya aja emosian. Apa-apa harus profesional.

Ngetik part Narendra ini betul-betul mengingatkan aku dengan Katingku yang super rese.

Kemarin pas acara ulang tahun jurusan, dia ngomel-ngomel terus, semua orang diomelin. Curiga, uang bulanannya belum di transfer 😶😶😶

Jangan lupa vote dan comment yang banyaaaaak! Chapter berikutnya adalah keseruan Bapak dan team liputan main airrr ~~~ ((tapi besok ya shayy di update nyaaa....))

See you!

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

211K 17.5K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
81.3K 6.9K 54
Dia, yang bahkan aku belum tahu namanya. Tapi hanya dengan senyumnya membuat dunia ku yang sedang gelap seketika terang. Seperti cahaya bulan ditenga...
284K 13K 76
[Athlete Series] [COMPLETED] 'Just one more chapter' •Doni Haryono Highest rank #1 in volleyball Highest rank #1 in timnas Highest rank #1 in prol...
149K 20.5K 22
[END] Mungkin ia hanya sedikit kurang waras sejak gadis berpipi kemerahan itu menatapnya dengan mata ceria Sambil berujar 'apa kabar om Jefrey!"