Halo. Maaf beberapa bulan tidak up ya guys. Bahkan udah ganti tahun baru up 😭 Insyaallah ke depannya bakal up terus kalau komen dari kalian juga bagus, alias rame 🥰
Coba mau ngetes apakah ada yang nunggu cerita ini up? Kalau ada coba TEMBUSIN 100 komen biar aku semangat up part selanjutnya hehehe💜
Follow me:
Instagram/Wattpad/YouTube/
Username: Shtysetyongrm
••••••••••••••••••••••••••••••••••
Ada yang bilang hidup bahagia itu adalah impian dari semua orang, tapi yang tidak diketahui orang adalah setiap hidup mempunyai ujian, lalu ujian tersebut akan menguji seberapa besar niat dan teguh kita dalam menerima atau menyelesaikan cobaan yang datang.
|Yuda Pratama|
HAPPY READING
*****************************************
Duduk terdiam di bawah pohon rindang merupakan hal yang dilakukan oleh Mentari sekarang. Ada banyak luka, kenyataan, dan harapan yang sirna saat kabar itu datang menembus semua harapan. Kata-kata dan kalimat yang keluar entah kenapa tak bisa meneguhkan hati yang bimbang. Berulangkali pertanyaan itu datang, tak ada satu pun jawaban yang ia dapatkan. Namun sekarang semuanya berubah. Setiap pertanyaan yang ia ingin temukan jawabannya, sekarang terbit jawaban yang membuat hatinya terpaut oleh luka yang begitu dalam, hingga sulit untuk di kembalikan.
Kata pepatah menerima keadaan yang sesuai adalah hal yang paling menyakitkan, tapi baginya itu semua lebih sakit dari hal yang ia kira. Ternyata semesta memberikan ia bahagia terlebih dahulu sebelum luka datang menghantam nya. Air mata seolah tak bisa di cegah, ia terus memegang dadanya seolah rasa sakit tak kunjung pergi dan berhenti juga. Entah lah, kedepannya bagaimana ia tak sanggup hidup dalam rasa bersalah, karena ia harus hidup di dunia.
"Lo kenapa nangis?" Pertanyaan dari seseorang membuat Mentari segera menghapus air matanya. Ia menolehkan kepalanya melihat jelas seorang Yuda berdiri di sampingnya dengan mata yang tertuju padanya.
"Lo kenapa nangis?" Yuda kembali bertanya ketika Mentari enggan menjawab pertanyaannya. "Boleh gue duduk di samping Lo?"
Mentari terlihat menganggukkan kepalanya.
Yuda pun duduk. Ia melihat jelas Mentari menatap ke arah depan seolah-olah enggan dan ingin menghindari pertanyaannya.
"Siapa yang buat Lo nangis? Bilang ke gue. Bully emang melanggar aturan, jadi Lo -----"
"Kalau kakak mendapatkan kenyataan yang gak sesuai kakak kecewa gak?" tanya Mentari mampu menghentikan kata-kata yang diucapkan oleh Yuda.
Yuda sempat terdiam. Ia tak akan menyangka Mentari memberikan pertanyaan seperti itu pada dirinya. Ia kira Mentari mendapatkan bully-an dari teman-teman yang lainnya. Namun ternyata ia salah. Ia pun menolehkan kepalanya juga, menatap retina hitam legam milik Mentari yang mampu menyihir nya.
"Jujur Mentari bingung. Mentari harus gimana? Ke depannya gimana? Pasti jauh lebih sulit menjalankan sekolah dengan orang yang bahkan kita benci sekarang," jelas Mentari lagi membuat Yuda semakin bingung saja.
"Siapa yang Lo benci di sekolah?" tanya Yuda membuat Mentari menggelengkan kepalanya.
Melihat Mentari menggelengkan kepalanya, ia rasa terlalu jauh untuk mengetahui itu siapa. Yuda pun tak akan memaksa. Bagaimana pun Mentari punya hak untuk bercerita dan tidak bercerita pada dirinya. Mungkin hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah mendengarkannya.
"Mentari baru aja mendapatkan kabar kurang menyenangkan tentang siapa Mentari. Disatu sisi Mentari senang karena akhirnya mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang hanya bisa Mentari pendam. Tapi di sisi lain kenapa kenyataan dan jawaban itu amat menyakitkan? Mentari bahkan gak sanggup dan terus merasa bersalah karena hal itu. Mentari bingung harus gimana."
Mentari menundukkan kepalanya saat air mata itu ingin kembali jatuh dari kedua mata indahnya. Ia tak sanggup berkata-kata lagi. Semakin banyak kata dan kalimat yang keluar, semakin rasa sakit dan bersalah itu menghantuinya.
"Setiap kenyataan itu memang menyakitkan, tapi tidak semua kenyataan harus kita salahkan. Adakalanya Lo terima, proses, lalu berdamai. Sejatinya kalau kita berdamai, semuanya akan jauh lebih tenang," jawab Yuda membuat Mentari justru menangis tersedu-sedu disampingnya. Bahkan isakannya membuat hatinya ikut sakit juga.
Yuda memberikan ruang. Ia tak mau Mentari berhenti karena kata-katanya. Biarlah tangisan itu menjadi penenang dalam hatinya. Bahkan tangannya pun sudah terangkat seolah-olah ingin mengelus kepalanya, namun hal terus ia urungkan karena tak ada hak untuk melakukannya.
"Lo boleh nangis. Gue akan temenin Lo -----"
"Mentari!" panggil seorang perempuan yang tiba-tiba berlari dan memeluk Mentari dari samping. Bahkan wajahnya pun sudah begitu khawatir.
"Bagus Lo datang," ucap Yuda kala adik perempuannya menghampiri mereka.
"Kenapa kak?" tanya Sinta yang juga terkejut saat mendapati Mentari dengan kakaknya dan menangis tersedu-sedu di bawah pohon rindang belakang sekolah.
Yuda memberikan isyarat untuk diam. Sinta yang tak paham hanya bisa menganggukan kepalanya saja. Ia bahkan terus memeluk Mentari seraya menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Entah kenapa melihat Mentari yang tiba-tiba pergi dengan wajah yang tidak bersahabat menganggu pikirannya. Benar saja apa yang ia duga. Mentari bahkan menangis di bawah pohon, alih-alih pergi ke UKS sekolah.
"Aku gak sanggup," lirih Mentari di pelukan Sinta.
"Lo gak harus cerita sekarang kok. Kalau mau nangis gak apa-apa nangis aja. Kita bicara setelah tenang, ya," ucap Sinta membuat Mentari melanjutkan tangisan dirinya yang menyedihkan.
Kurang lebih beberapa menit kemudian, Mentari pun menyudahi semuanya. Ia menghapus air matanya dan menatap dua orang yang bahkan ada disampingnya.
"Maaf udah -----"
"Gak apa-apa. Memastikan Lo baik-baik aja udah buat gue nyaman dan tenang," sambung Yuda tersenyum membuat Mentari merasa tak enak hati.
"Bener. Lihat Lo nangis kaya tadi gue gak tega," balas Sinta membuat Mentari tersenyum.
"Lo mau cerita?" tanya Sinta pada Mentari.
Mentari pun menggelengkan kepalanya. Ia rasa tak ada yang harus diketahui oleh Sinta. Ia tipe orang yang tidak mudah percaya dengan orang lain. Anggap saja ia merasa senang dan lega ketika Sinta memberikan tepukan di punggungnya. Itu saja sudah sangat cukup bagi dirinya untuk menenangkan segala rasa sakit yang ada.
"Oke gak apa-apa. Apa pun masalahnya, kalau Lo butuh teman cerita gue siap kok," ucap Sinta membuat Mentari menganggukkan kepalanya.
"Oh, iya, Tar," ucap Sinta lagi membuat Mentari menatapnya saat ini.
"Kenapa?" tanya Mentari yang penasaran.
"Hari ini olahraga terakhir kita sama pak Dion," timpal Sinta membuat Mentari menatapnya.
"Pak Dion mengundurkan diri sebagai guru olahraga. Katanya mau pindah ke sekolah lain. Besok, kan, libur, dia mau ajak kita makan-makan di rumahnya sebagai salam perpisahan. Pak Dion bilang semuanya wajib ikut," jelas Sinta membuat Mentari tampak terkejut di tempatnya.
Mentari bahkan hanya terdiam mengingat bagaimana ia mengucapkan kata-kata yang pasti menjadi bagian alasan dari Pak Dion mengundurkan diri.
"Kalau bapak masih di sini, saya akan terus merasa bersalah dan gak nyaman."
Ya, kata-kata seperti itu lah yang ia sampaikan pada pak Dion. Apakah benar karena dirinya? Tapi bukankah bagus jika pak Dion pergi dari kehidupannya? Ia bahkan tak mengharapkan dirinya Hadie dalam kehidupannya.
"Perasaan baru beberapa Minggu udah mundur aja," sahut Yuda dengan pikirannya.
"Ya, mana gue tahu. Lo tanya aja sendiri."
"Tapi Lo ikut, kan? Malam ini gue jemput," tanya Sinta pada Mentari.
"Aku gak bisa datang. Aku mau ke toilet dulu, ya."
Mentari tiba-tiba beranjak dari tempatnya. Ia meninggalkan Yuda dan Sinta begitu saja dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
# TBC.
MENURUT KALIAN MENTARI DATANG GAK GUYS?
GIVE ME 100 KOMEN UNTUK UP PART SELANJUTNYA 💜
FOLLOW ME
SAMPAI BERTEMU DI PART SELANJUTNYA 💜