My Destiny

Por AuliaKamila23_

59 17 0

No descripsion! Penasaran? Langsung baca aja yaaa! Más

Cast
1. Awal Pertemuan
2. Berakhir diantar
3. Insiden ketika hujan
4. Kakak, apa itu sakit?
5. Memikirkannya
7. Guru Kesukaan
8. Tersyanum-syanum
9. Sedang jatuh cinta
10. dalam pandangan Arjuna
11. Patah sebelum memulai

6. Kedatangan tamu

4 1 0
Por AuliaKamila23_

Happy reading guys:)

***

Tok tok tok.

Pintu ruangan perawatan Syanum diketuk. Orang tua beserta dokter yang masih memeriksa kondisi tangan Syanum pasca operasi menoleh pada pintu yang dibuka dari luar.

Orang pertama yang muncul adalah Syifa, lalu diiringi Lilis beserta rekan kerja Syanum yang lain. Ada Ibu Farah dan suaminya juga, dan ada pak Budi selaku kepala sekolah yang ternyata meluangkan waktunya untuk menjenguk Syanum.

"Syanum!" Suara Syifa menggema di ruangan persegi yang tidak terlalu luas itu.

"Syanum! Kamu kok bisa kayak gini sih? Itu tangan kamu sakit gak? Pasti sakit ya." Syanum terkekeh mendengar Syifa bertanya, tapi dia sendiri yang menjawabnya. Syanum merasa lucu saja dengan sahabatnya itu.

"Aku gak papa, Fa. Besok juga boleh pulang? Iya kan, dok?" Arjuna yang ditanyai gelagapan.

"Benaran gitu bang?" Tanya Syifa memastikan kepada dokter ortopedi yang juga menjabat sebagai kakak kandungnya itu.

"Iya. Dia sudah bisa pulang besok. Tapi tangannya tetap harus di kontrol setiap 3 hari." Sahut Arjuna yang memang ada di antara para tamu yang hadir.

"Tuh kan, jadi aku baik-baik aja." Kata Syanum, lalu pandangannya beralih pada tamu lainnya, "Bunda, ibu, bapak, terima kasih ya sudah jengukin saya. Alhamdulillah, besok saya juga sudah boleh pulang."

"Alhamdulillah, kami senang mendengarnya. Kamu istirahat dulu saja di rumah. Tidak perlu mengajar untuk sementara waktu. Pulihkan dulu kondisi tangan kamu." Pak Budi yang berbicara.

"Terima kasih, pak. Tapi kayaknya saya tetap ngajar deh. Yang sakit tangan saya, kok. Insya Allah, saya masih bisa ngajar dengan kaki dan suara saya."

"Num! Mendingan kamu istirahat deh. Gak usah mikir buat ngajar dulu. Pak Budi aja gak papa tuh. Udah di izinin juga." Syifa tidak terima mendengar ucapan Syanum yang katanya ingin tetap mengajar, padahal kondisi tangannya saja baru selesai operasi hari ini. Tapi malah sudah memikirkan untuk masuk mengajar.

"Gitulah, Syanum memang keras kepala. Susah dibilangin." Dewi berkata membuat Syanum membuang muka mendengar penuturan ibunya.

"Iya, Num. Mendingan kamu istirahat saja dulu di rumah." Lilis ikut angkat suara.

Syanum tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dalam hati sangat bersyukur karena banyak yang peduli dengannya. Tapi dia merasa tidak apa-apa. Hanya tangannya yang terluka, sedangkan anggota tubuhnya yang lain dalam kondisi yang baik.

"Kakak!" Terdengar lagi suara perusuh lainnya bersamaan pintu ruangannya dibuka.

Sudah ada Husna yang datang bersama sepupunya. Dari seragam yang masih di pakai, Syanum bisa menebak bahwa adiknya dari sekolah langsung pergi ke rumah sakit.

"Husna, jangan teriak-teriak nak!" Tegur Dewi kepada putrinya itu.

"Kakak, tangannya apa udah gak bengkok lagi? Masih sakit gak? Kalo masih sakit nanti aku pijitin ya." Orang dewasa yang mendengar ucapan Husna yang polos tertawa dibuatnya.

Syanum juga tidak bisa menahan tawanya. Adiknya memang menggemaskan, Syanum sebagai kakak dari Husna harus mengakui itu.

"Tangan kakak udah gak papa dek." Sahut Syanum seadanya.

"Eh Husna, tangan kakak kamu bukannya sembuh kalo dipijitin, tapi makin bengkok." Seru Syifa yang tidak habis pikir.

"Tapi biasanya kalo tangan mama lagi pegal atau sakit minta di pijitin sama aku kok." Sahut Husna membela diri.

"Itu kan pegal dan sakit biasa. Kalo orang patah tulang di pijitin iya salah." Sahut Syifa masih meladeni ucapan Husna.

"Ibu, bapak. Terima kasih ya sudah mau menyempatkan datang menjenguk putri saya. Maaf ini loh tidak di persilahkan duduk, soalnya sofanya tidak muat." Daripada perdebatan keduanya semakin panjang. Farhan mengalihkan atensi orang di sana kepadanya. Kecuali Arjuna yang tadi memeriksa kondisi tangan Syanum yang sudah keluar dari beberapa menit yang lalu.

"Oh tidak apa-apa, pak. Kami cuma sebentar kok. Kayaknya ini kami kayaknya mau langsung pulang saja. Takut menganggu Syanum yang mau istirahat." Sahut pak Budi.

"Iya pak. Sepertinya kami langsung pulang saja ya." Tambah Budi sambil mendekat dan memberikan bingkisan kepada Farhan, "Ini pak, ada sedikit bingkisan sama sedikit uang hasil patungan dari dewan guru untuk tambahan biaya pengobatan Syanum."

"Terima kasih banyak ya, pak. Saya terima bingkisannya."

"Syanum, kalo begitu ibu dan yang lainnya pulang ya. Semoga lekas sembuh." Ibu Farah mendekat sambil membelai pucuk kepala Syanum yang dilapisi kerudung rasuk.

"Iya, bu. Terima kasih ya karena bapak dan ibu sudah menyempatkan diri mampir."

Setelah kepala sekolah dan beberapa guru berpamitan. Tersisa orang tuanya, adik, sepupu, serta Syifa dan ibunya.

"Cerita dong, Num. Kok kamu bisa sampai kecelakaan kayak gini." Syifa bertanya sambil mengambil duduk di sisi ranjang perawatan Syanum.

Sedangkan yang lain sudah melebur duduk lesehan di lantai beralaskan karpet. Padahal ada sofa di ruangan itu. Namun karena tidak muat semuanya memilih duduk di bawah.

"Iya gak gimana-gimana, Fa. Aku kecelakaan karena ngerem motor mendadak berakhir jatuh. Sudah selesai." Sahut Syanum cuek sambil membenarkan posisi tubuhnya yang bersandar di ranjang.

"Aish, bukan kayak gitu ceritanya. Cerita secara detailnya dong, aku mau dengar." Rajuk Syifa. Wajahnya merajuknya tidak pernah gagal membuat Syanum tertawa.

"Nanti ya. Aku lagi malas cerita dan mengingat kejadiannya. Masih trauma aku tuh." Syifa hanya mendengus merespon ucapannya.

"Btw, kamu sama guru-guru yang lain tahu dari mana aku kecelakaan? Padahal aku belum sempat bilang loh. Aku izin gak masuk ngajar aja cuma bilang lagi sakit." Tanya Syanum penasaran.

Sekali lagi Syifa mendengus, "Kamu benaran gak tahu atau pura-pura gak tahu sih. Jangan lupakan abang Juna yang menangani kamu. Dia abang aku, mustahil dia gak cerita apalagi yang di tangani sahabat aku. Kalo dewan guru tentu tahunya dari aku." Syanum meringis mengingat fakta yang benar adanya. Dia sampai lupa kalau Arjuna adalah kakak dari sahabatnya.

Kemudian setelahnya terjadi keheningan di antara dua perempuan bersahabat itu. Namun bukan berarti benar-benar hening, karena masih ada suara lain di ruangan itu. Lilis dan Dewi sedang mengobrol tentang keseharian mereka sampai bercerita tentang anak-anak mereka. Sedangkan ketiga orang lainnya entah sejak kapan sudah tidak ada di ruangan itu.

"Oh, berarti selama ini abangnya Syifa kuliah di Jogja ya, bu. Lama juga dia merantau sampai 8 tahunan lebih di kota orang. Syanum juga sempat merantau ke Banjarmasin sekitar 4 tahunan. Dia kuliah di sana tinggal sama neneknya."

"Begitulah, bu. Kita jadi orang tua sebenarnya berat untuk melepas anak-anak merantau. Tapi mau bagaimana lagi, mereka ada cita-cita yang dikejar. Kebetulan abangnya Syifa dapat beasiswanya di sana. Sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mendoakan saja. Walau ya berat berpisah."

"Iya. Saya berpisah dengan Syanum saat itu rasanya berat sekali. Tapi saya juga tidak bisa melarang keinginannya. Sekalian menemani kakek dan neneknya juga di sana." Percakapan dua orang tua itu terus berlanjut.

Percakapan kedua orang tua itu tentu saja di dengar oleh Syanum dan Syifa. Mereka tidak bermaksud menguping. Hanya saja pembicaraan mereka memang terdengar. Lagipula mereka berada di ruangan yang sama.

Syanum yang mendengar pembahasan kedua orang tua itu tentu saja terdiam. Dia tidak pernah mendengar ibunya berkata keberatan akan keputusan yang pergi merantau untuk kuliah. Walau Palangkaraya dan Banjarmasin tidak terlalu begitu jauh sebenarnya. Tapi dia selama 4 tahunan itu juga tidak pernah mendengar ibunya mengatakan rindu kepadanya.

Sepertinya ibu menahan rindunya. Menahan mulutnya untuk berkata keberatan melepas kepergian sang putri. Sebagai anak pun dia juga berat. Namun melihat ibunya dulu seperti ikhlas membiarkannya pergi merantau, dia dengan lapang pergi ke kota Banjarmasin untuk merantau.

Beberapa tahun berlalu. Dia hanya tahu faktanya. Fakta bagaimana hati seorang ibu yang berlapang dada melepas anaknya pergi jauh darinya. Pantas saja, setiap 3 kali sehari dia mendapatkan pesan untuk di ingatkan makan. Ibunya itu tidak pernah lupa menghubungi entah pagi, siang atau pun malam.

Dengan pesan-pesan yang dikirim ibunya itu tentu dia merasa dekat dan di perhatikan. Dia seperti bisa membayangkan bagaimana wajah marah ibunya ketika dia telat makan. Apalagi dirinya memiliki riwayat asam lambung.

Benar kata orang, sebesar apa pun seorang anak. Mereka akan tetap menjadi anak kecil di mata orang tuanya.

###

Binuang, 24 Maret 2024

Seguir leyendo

También te gustarán

108K 19K 33
COMING SOON...
605K 41.2K 48
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
624K 87.5K 37
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
213K 10.8K 37
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia