Antidotum (Cinta Manusia Bias...

By ReaSheren

36.6K 5.5K 735

Hamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena per... More

0. Prolog
1. Melepas Beban
2. Sahabat Sejati
3. Jalan Buntu
4. Penawar Racun
5. Hidup Baru
6. Penerimaan
7. Hari Bersejarah
8. Malam Pengantin
9. Perubahan Sikap
10. Semak Berduri
11. Saranghaeyo
12. Manja
13. Pasar Malam
14. Cemburu Buta
15. Sharing
16. Tegas
17. Overthinking
18. Belajar
19. Gosip
20. Efek Jera
21. Kebohongan
22. Kelimpungan
23. Permintaan Maaf
24. Timpang
25. Saling Peduli
26. Kepercayaan
27. Saranghae?
28. Perfeksionis
29. Ketakutan
30. Terlalu Cinta
31. Deadline
32. Malu
33. Pantang Menyerah
34. Ancaman
35. Sosialisasi
36. Rabun
37. Bukan Pilihan
38. Wajib Lapor
39. Lanjutan Kemarin
40. Lagi
41. Ketulusan
42. Rasa Sayang
43. Aib
44. Keluar Tanduk
45. Kerja Bakti
46. Kesetiaan
47. Sesal
48. Beban
49. Pekerjaan
50. Kemujuran
51. Puyeng
52. Gentleman
53. Cari Penyakit
54. Bara
55. Meyakinkan
56. Diktator
57. Fasilitas
58. Sang Mantan
59. Interogasi
60. Kewajiban
61. Kewajiban 2
62. Pusat Kehidupan
63. Tak Terduga
64. Adaptasi
65. Ultimatum
66. Pencerahan
67. Nomor Satu
68. Penat
69. Kekuatan Cinta
70. Firasat
71. Tak Terduga
73. Kerelaan
74. Serasa Mimpi
75. Duka Bertubi
76. Menata Kembali
77. Obrolan Pria
78. Gelap Mata
79. Kacau
80. Penyerahan

72. Tak Berdaya

286 54 7
By ReaSheren

Hari masih gelap. Suasana tenang, hanya terdengar sayup-sayup suara adzan subuh di kejauhan. Yura sudah bergelut di dapur karena ia tak bisa kembali tidur setelah berhasil menidurkan Biyu yang malam tadi terbangun dan minta bermain. Ia memutuskan untuk membuat minuman coklat hangat lebih dulu karena semalam udara sedikit menusuk kulit.

Robi tidak ada di sana. Suaminya itu sedang menemani Mas Aris di teras. Kekasih sahabatnya itu sedang terpukul. Sejak pulang dari hotel semalam dia hanya duduk diam di teras dengan tatapan kosong hingga Robi tak sampai hati meninggalkan dia sendiri. Mas Aris seperti kehilangan semangat hidup, bahkan sebagian jiwanya. Dia tidak merespon ketika Robi mengajak bicara. Dia juga seolah tidak merasa ketika Robi menyelimuti tubuhnya dengan selimut cadangan yang Yura berikan.

Yura bekerja dalam diam. Ia membuat coklat panas di dalam teko kaca, lalu menuang segelas untuknya sendiri, sementara sisanya ia letakkan di atas nampan dengan dia gelas. Ia mengantar minuman panas itu ke teras.

Mas Aris masih sama seperti semalam. Dia duduk bersandar dengan bahu dan kepala terkulai. Bedanya, kali ini matanya terpejam. Robi berada di sisi lain teras, berhadapan dengan Mas Aris. Dia juga tidur dengan kepala disandarkan pada pagar beton setinggi pinggang di depan rumah mungil mereka.

Yura mendesah tertahan lihat posisi kepala suaminya yang terlihat tak nyaman. Ia meletakkan nampan berisi coklat itu di meja teras, lalu bergegas ke dalam untuk mengambil bantal. Dengan gerakan lembut, ia mengangkat kepala suaminya dan meletakkan bantal kecil milik Biyu ke bawahnya, tetapi gerakan itu ternyata malah membangunkan Robi.

"Beb?" Robi mengerjap bingung.

"Sstt, tidur lagi aja." Yura mengusap pipi suaminya dengan penuh kasih.

"Jam rapa?" Robi mengucek matanya yang terasa sepat. "Ahh, kau bawa minuman?"

"Hmm, coklat hangat. Mau?"

"Yup." Robi menegakkan badan, lalu meregangkan lengan dan badannya yang kaku. "Dingin banget di sini."

"Memang. Harusnya kamu bawa Mas Aris masuk."

"Yah, kau lihat dia kayak mayat hidup begitu. Boro-boro kuajak masuk. Kutanya di mana kunci motornya aja, dia kayak orang budheg."

"Syukurlah dia bisa tidur juga akhirnya."

Yura menyerahkan segelas coklat hangat untuk suaminya. "Aku khawatir Mas Aris sakit. Dia perantauan dan tidak punya sanak keluarga di sini."

"Dia punya kita, Beb,"  Robi menyeruput sedikit coklat, "Kita nggak bakal biarin dia sendiri."

"Aku tahu." Yura setuju. "Aku juga berharap Karen baik-baik saja."

Robi mendengus sembari menatap istrinya tak percaya. "Kau bilang apa? Tentu saja dia akan baik-baik saja. Bukankah di sini Aris korbannya? Dia permainin Aris!"

Yura menyandarkan kepalanya ke pundak Robi. "Jangan gitu, Bi. Aku kenal Karen cukup baik. Dia bukan orang yang bisa dipaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dan kalau dia sudah memutuskan untuk bersama Mas Aris, itu artinya dia tidak ada niat bermain-main dengan Mas Aris."

"Jadi, menurutmu Karen bakal membatalkan pertunangan itu?"

"Aku tidak tahu, tapi aku yakin akan memprotes hal itu pada orang tuanya. Dia cukup memegang teguh prinsip dan pendirian. Di antara kami bertiga, Karen adalah yang paling bisa berpikir realistis dan dewasa."

"Nah, kenapa semalam dia tidak menahan Aris? Kenapa dia diam saja?"

Yura mendesah lirih. "Karena di sana banyak tamu undangan. Sebagian adalah kawan dan kolega orang tuanya. Dia tidak bisa mempermalukan mereka di sana dan membuat saham perusahaan keluarganya anjlok."

"Saham? Apa hubungannya ini dengan saham, Bebi?"

"Kamu boleh nggak percaya, tapi bagi kalangan atas, menjadikan pernikahan dan pertunangan sebagai perangkat bisnis itu sudah biasa. Bahkan, terkadang menjadi suatu keharusan ketika perusahaan mengalami kondisi genting dan butuh diselamatkan. Penggabungan keduanya tentu membawa dampak besar, menguatkan posisi dan bisa meningkatkan harga saham. Karen sudah paham akan hal itu karena kedua orang tuanya pun menikah juga bukan karena cinta, tapi demi keberlangsungan bisnis yang lebih menguntungkan."

Robi mendenguas. "Kau setuju dengan aturan konyol itu?"

"Hmm, ini bukan perkara setuju atau tidak, Bi. Hanya skala prioritas saja. Dan jangan menatapku dengan pandangan menuduh begitu!" Yura mendelik garang ketika sang suami mencibir ke arahnya. "Faktanya sekarang aku istrimu!"

Robi tersenyum. "Yup," ujarnya sambil meraup wajah sang istri dan mencium keningnya cukup lama. "Aku lelaki paling beruntung memang."

"Ya sudah, aku mau kembali memasak." Yura menarik diri menjauh dari suaminya karena bila tidak, ia tak bisa membayangkan ke mana itu akan berakhir. Robi bisa saja tak memedulikan keberadaan Mas Aris dan menyerangnya di situ juga. Jadi, sebelum itu terjadi, ia harus lekas menghindar.

***

Sekitar pukul enam pagi sarapan sudah siap dan Robi berhasil menyeret Aris untuk duduk di meja makan. Namun, sama seperti semalam dia hanya duduk diam menatap kosong ke arah meja makan.

"Makanlah meski dikit." Robi mengambil sendok dan memaksa Aris memegangnya. "Sumpah, ya, jangan minta suapin."

Aris menoleh sekilas ke arah Robi berusaha tersenyum mendengar ucapan kawannya itu, tetapi karena hatinya masih terasa nyeri senyum yang ia paksakan justru tampak seperti seringai menyedihkan. Ia tak tahu bagaimana cara menghadapi itu semua. Rasa sakit dan terpukul yang begi dahsyat. Andai saja sejak awal ia tahu Karen bukanlah malaikat yang mudah ia jangkau untuk dimiliki, ia tak akan pernah menaruh harapan sebesar itu. Akan tetapi, Karen tak pernah menunjukkan itu. Dia selalu bersikap seolah mereka adala dua sejoli yang sangat serasi.

Karen menunggunya dengan sabar dan tenang ketika ia masih harus mengunci semua gelas dan gedung-gedung di kampus supaya mereka bisa pulang bersama. Gadis itu tak pernah menunjukkan sikap bahwa di antara mereka ada jurang terlalu dalam yang membentang. Dia juga tak pernah merasa risih ketika ia hanya mampu membelikan Ayam Geprek paket hemat dengan harga sepuluh ribu sudah include es teh atau semangkuk bakso murahan di pinggir jalan.

Aris memejamkan mata menahan perih di hati ketika mengingat bagaimana Karen mengusap peluh di dahinya saat menunggu dirinya membersihkan beberapa bilik toilet di gedung kampus. Tidak pernah nampak ekspresi jijik atau keberatan di wajah malaikatnya itu hingga ia yakin bahwa cintanya dan Karen sangat tulus. Bahkan, ia percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segala hambatan yang ada.

Karen, batinnya dengan hati berdenyut nyeri. Apakah semua sikap dan cintamu selama ini palsu?

"Brengsek!" Aris mendengar Robi mengumpat keras. "Buka mulutmu, sialan! Kalau kubiarkan kau terus begini, lama-lama kau bisa berakhir di rumah sakit dan mati!"

"Bi!" Yura menegur sang suami.

"Tunggu saja sampai Furi datang. Kusuruh dia buka paksa mulutnya. Mau mati dia?" Robi terus mengomel sendiri. "Mana pula si Furi, lama banget."

"Bi, sabar, dong."

"Kagak bisa. Bentar lagi aku harus kerja. Dia harus makan sebelum diantar Furi berangkat kerja atau bisa kena pecat dia."

"Ya sudah, biar aku saja yang oencetin hidungnya biar dia buka mulut, nanti kamu suapin makannya."

"Apa? Enak aja mau mau sentuh-sentuh cowok lain!"

"Yaudah, aku yang suapin kamu yang bikin dia buka mulut."

"Kau mau suapin cowok lain pula?" Robi berteriak sambil mendelik.

"Ya terus gimana?" Yura mengkerut juga melihat suaminya melotot garang ke arahnya. Lalu, sebelum Robi sempat menjawab, terdengar teriakan nyaring dari arah pintu yang memang setiap pagi selalu dibiarkan terbuka.

"Biar aku saja!"

Yura dan Robi menoleh. Keduanya sama-sama terkejut melihat Karen. Gadis itu terlihat berantakan. Dia hanya mengenakan piyama tidur, rambut tergerai tanpa disisir, dan tidak mengenakan alas kaki. Dia melangkah cepat masuk ke dalam, lalu mengambil alih sendok di tangan Robi. "Biar aku saja," ujarnya dengan suara bergetar.

"Beb?" Yura mendekat. "Kamu—"

"Aku kabur dari hotel dan naik ojek online kemari." Karena menjelaskan cepat tanpa menoleh. Ia duduk di samping Aris, lalu mengamati pria itu dengan seksama. "Aku di sini," bisiknya sembari merapikan rambut yang menjuntai di dahi Aris, tapi sepertinya Aris yang masih kosong tidak ke yadari kehadiran Karen.

Karen meletakkan sendok di meja, kemudian dengan gerakan perlahan menarik kepala Aris yang lunglai ke depan dekapannya. "Jangan seperti ini, kumohon. Aku di sini. Lihat aku!"

"Kamu ...." Aris membuka mata dan mencoba menegakkan badan. "Sayangku?"

"Ya. Aku di sini."

"Yah, kalau kau sudah di sini, bagus. Aku ajak Biyu ke luar dulu." Robi berkata kikuk melihat betapa intimnya interaksi antara Karen dan Aris.

"Aku ambilkan makanan Biyu, lalu kita suapin sambil main di luar." Yura ikut menyahut cepat. Kemudian, bergegas meninggalkan Aris berdua saja bersama Karen. Meski begitu, karena ruangan itu tidaklah luas, mereka masih bisa mendengar percakapan apa saja yang ada di dalam.

Karen berusaha menjelaskan kesalahpahaman semalam pada Aris. "Itu semua di luar perkiraan juga keinginanku. Kamu percaya aku, kan?"

"Tapi kamu menyukai lelaki itu?" Aris bertanya. Suaranya goyah dan pasrah.

"Dulu. Aku mengagumi Prince. Saat aku masih kanak-kanak. Itu masa lalu." Karen berkata tegas. "Saat ini, tak ada satu rasa pun tersisa untuk Prince."

"Tetap saja, kamu sudah dituangkan dengan dia."

"Aku tahu." Karen menjawab lugas. "Tapi, aku akan mencari cara untuk bicara pada Prince. Sejak dulu, dia tak pernah tertarik padaku. Jadi, rasanya aneh bila sekarang dia tiba-tiab muncul dan menawarkan pertunangan. Yah, sepertinya ini kesepakatan antara orang tua kami saja."

"Apa itu mungkin?" Aris bertanya tak yakin.

"Layak dicoba. Kamu tidak akan membiarkan aku berjuang sendirian, bukan?" Karen yang terbiasa bersikap efisien dan dewasa pun langsung menanyakan keyakinan Aris. "Atau kamu mau menyerah sampai di sini saja?"

"Apa kamu pikir aku terlihat baik-baik saja saat ini? Aku hancur, Sayang."

"Kalau begitu jangan terpuruk seperti ini. Jadilah tegar. Jangan mudah menyerah dan putus asa. Aku juga syok, tapi apa lantas harus menyerah dengan keadaan ini? Tidak. Kita masih harus berjuang merubah keadaan yang ada." Karen menyemangati Aris. "Makan ini, mandi, lalu berangkat kerja. Nanti kita bertemu di kampus. Oke?"

Setelah itu, Karen berhasil membujuk Aris untuk menghabiskan makanan dan minuman yang telah disediakan oleh Yura.

"Bagus sekali, Sayang." Karen memuji Aris. "Nah, setelah ini mandi supaya kamu terlihat lebih segar dan semangat. Kamu bisa pinjam baju Bang Robi dulu kalau nggak bawa—"

"Aku ada baju di jok motor." Suara Aris terdengar lebih ringan dan bersemangat.  Itu karena kehadiran Karen membawa efek yang luar biasa baginya. Dunia yang sebelumnya begitu gelap, mendadak berwarna-warni hanya karena Karen ada di sana.

"Aku ambilin. Kamu mandi." Seperti biasa, Karen yang terbiasa bersikap praktis dan tidak suka bertele-tele pun langsung memutuskan. Namun, ketika mencoba berdiri, tubuh Aris oleng dan dia jatuh terduduk.kembali di kursinya.

"Hanya berkunang-kunang sedikit, Sayang. Nggak papa, kok."

"Tunggulah di sini. Aku ambil baju gantimu dulu, lalu aku bantu kamu mandi."

Mendengar ucapan Karen, Robi yang semula duduk di samping baby stroller Biyu seketika berdiri dan menyerbu masuk ke dalam. Yura menggendong Biyu dan ikut menyusul ke dalam. Ia harus mencegah apa pun yang akan Robi lakukan pada Aris dan Karen.

"Kalian mo di sini? Kagak!"

"Mesum?" Karen tak terima dengan tuduhan itu. "Aku hanya mau bantuin dia mandi!"

Alamak, batin Yura. "Karen, Beb, itu bukan hal bisa kamu lakukan."

"Kenapa tidak? Dia berdiri sendiri saja tidak sanggup."

Yura mengulum senyum melihat kepolosan sahabatnya itu. Meski dikenal sebagai sosok realistis dan berpikiran praktis, Karen tetaplah seorang gadis yang belum terlalu paham mengenai gairah laki-laki.

"Karena kalau seperti itu, kamu malah bisa membuat Mas Arismu itu ...." Yura tak melanjutkan ucapannya. Ia menoleh ke arah sang suami, meminta tolong. "Bi."

"Nggak ada alasan." Robi yang juga tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Karen mendelik ke arah Aris. "Kau! Jangan belaga polos. Harusnya kau jaga Karen, jangan kek gini. Kalau butuh bantuan mandi, ayok! Ku gosok sekalian pantat kau pakai kawat cuci piring."

"Bi!"

"Bang Robi!" Karen dan Yura berteriak secara bersamaan.

"Kau," Robi menunjuk Karen, "ambilin baju gantinya, taruh depan pintu kamar mandi, sementara kucuci pacar kau ini. Jangan berani-berani kau undang bencana, Karen."

Wajah Robi yang biasanya selalu cemberut dan masam, terlihat kian memberikan saat dia marah hingga Karen tak berani membantah. Namun, dalam hatinya merasa hangat karena ia tahu suami sahabatnya itu hanya berusaha menjaga agar dirinya dan Aris tetap terjaga. Ternyata benar kata Lana, Robi adalah sosok kakak idaman bagi setiap perempuan yang memimpikan seorang kakak laki-laki. Meski cara dan ucapannya terlalu bar-bar, tetapi dia peduli. Yura beruntung mendapatkan Robi. Ia pun menyesali sikapnya dulu yang sempat meragukan Robi. Ternyata, dia jauh lebih baik dari yang ia perkirakan selama ini.

Tiba-tiba.saja ia teringat para Prince dan pertunangan dadakannya semalam. Banyak wanita menginginkan Prince, bahkan bersedia menyerahkan diri secara sukarela. Jadi, mengapa Prince memilihnya? Apalagi, setelah acara berakhir semalam, pria itu langsung pergi tanpa mengatakan atau menjelaskan apa pun padanya. Tidak ada pesan atau panggilan juga dari pria itu hingga detik ini. Ia bingung. Mengapa pria itu mau menjamin hubungan dengannya? Di depan banyak orang, pria itu bersikap seolah sedang tergila-gila padanya, tetapi kemudian menghilang tanpa penjelasan. Ada apa?

***

  

Continue Reading

You'll Also Like

16.3K 668 33
Naya senang sekali karena dapat mewujudkan mimpinya untuk berkuliah diluar negeri. Namun belum genap setahun dia pergi dari tanah air tercinta untuk...
57.9K 6.7K 56
Tiada yang rela mengurus Pasha setelah bapak meninggal. Gadis itu terpaksa ikut dengan Winda ke ibu kota. Putus sekolah, mencari pekerjaan dan harus...
16.7M 710K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1.4M 19.9K 24
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...