Rasakanlah!

By Peri_Anggrekkk

5.8K 617 1.4K

"Kamu nggak pernah bisa menempatkan diri kamu jadi orang lain. Itulah kekurangan kamu." "Aku memang nggak per... More

Bab 01
Bab 02
Bab 03
Bab 04
Bab 05
Bab 06
Bab 07
Bab 08
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28

Bab 09

280 38 107
By Peri_Anggrekkk

Sasya menatap papan tulis dengan pandangan nelangsa. Ternyata, Agam memang tidak mau bekerja sama dengan Sasya untuk mengembalikan jiwa mereka ke raga yang benar.

Apa sebaiknya, Sasya menyerah saja? Bagaimana pun Sasya berusaha, hasilnya percuma. Agam tetap kokoh dengan pendiriannya.

"Aku mana bisa nyelesaiin misi ini sendirian," keluh Sasya dalam hati.

Bukan Sasya sengaja menguping pembicaraan siswi-siswi yang duduk di depan meja Sasya. Telinga Sasya tidak salah. Salahkan saja mereka yang lokasi duduknya dekat dengan Sasya.

Ada empat siswi yang Sasya tidak kenali, wajah mereka asing bagi Sasya. Beberapa hari berada di kelasnya Agam, Sasya fokus pada dirinya sendiri hingga tidak memperhatikan sekitarnya.

Obrolan dimulai dari gadis berambut keriting sedang memegangi dadanya yang berdebar. "Tadi, Niko lihatinnn akuuuu... Meleleh dong akunyaaaa."

"Baru juga dilihatin, wajarlah, kan Niko punya mata!! Gitu aja baper," jengkel Sasya.

Lalu, disambung gadis berambut pendek dengan potongan sebahu. "Eehhh, Ben kemarin follow instagram akuuuu."

"Apaan sihh? Aku sama Ben udah dari lama saling follow-followan. Dasar pamer," sebal Sasya.

Gadis berkulit putih pucat berucap bangga, "Katanya Gibran jombloo, boleh aku pepet nggak sih?"

"Silahkan, kalau Gibran mau. Cihhh, kepedean," kesal Sasya.

Yang terakhir ada gadis yang ukuran tubuhnya paling mungil dibanding ketiga temannya. "Berhubung Ansel udah ada pawangnya. Aku tungguin Ansel sama Maura putus deh."

"Idihhh, halu!!" cibir Sasya.

"Eehh ngapain juga aku yang sewot? Suka-suka merekalah... bodo ahhh, Intinya Agam ngeselin parahhh!!" Sasya memanyunkan bibirnya.

Niko, Ansel, Gibran, dan Ben banyak diidolakan oleh siswi-siswi kelas lain. Terlebih mereka adalah anak basket dan Niko menjabat sebagai ketua OSIS. Sayangnya, ke-empat cowok keren tersebut terkenal akan keplayboy-annya.

Mereka suka menebar pesona dan bermulut manis. Siapa yang tidak kepincut? Bahkan, Sasya saja begitu menggilai Niko sejak kelas X.

"Halahhh, masih juga gantengan akuu," sahut cowok yang baru masuk dan duduk di sebelah Sasya.

Ke-empat siswi tersebut bersorak kompak, "Wuuuuuuu!!" sambil memberikan jempol terbalik pada cowok berpenampilan seperti kutu buku itu.

Sasya memicingkan matanya. "Raka?"

Cowok bernama lengkap Raka Shankara terlihat membenarkan letak kaca matanya yang merosot. Sebelumnya Raka pernah memberitahu bahwa mereka sekelas. Tapi, Sasya baru tau sekarang kalau mereka ternyata teman sebangku!

"Kamu duduk di sini?"

"Ya Iyalah, tolol. Kemana aja selama ini? Baru sadar?" ceplos Raka.

"Cuman nanya, kok malah ngegas," protes Sasya.

Sasya menarik kembali kalimatnya yang mengatakan Raka baik.

Sasya melirik teman sebangku Agam yang kini sedang membaca buku. Sasya memutar bola matanya malas. Kelas XI MIA 1 benar-benar penggila belajar. Bahkan manusia seaneh Raka saja mau belajar?

Sasya mengedarkan pandangannya dan tinggallah Sasya seorang yang tidak sedang menulis atau membaca buku.

Cewek-cewek dengan tingkat kepercayaan diri tinggi tadi saja, mereka bercerita sambil sibuk mencatat tugas.

"Aku ngerasa lagi kejebak di dunia lainn," keluh Sasya.

Suasana kelas XI MIA 1 DAN XI MIA 2 begitu berbeda.

Kemudian, Sasya menjatuhkan kepalanya di atas meja, menjadikan lengannya sebagai bantalan.

Sasya mengedip-ngedipkan matanya berulang kali. Ia tidak salah melihatkan? Pemuda yang duduk di samping jendela itu adalah Varen---teman satu tempat kerja dengan Agam yang Sasya temui kemarin.

"Raka, cowok yang duduk di barisan nomor tiga dari depan... namanya Varen Sagara?" ujar Sasya memastikan.

Raka berdehem pelan tanpa mengalihkan matanya dari buku pelajaran.

"Dunia kok sesempit ini yaa?" gumam Sasya.

Sasya meregangkan badannya yang pegal-pegal. Dan, Sasya baru teringat kalau ia belum berterima kasih pada Varen yang membantunya kemarin.

"Agam nggak simpan nomornya Varen?" Sasya terus mencari kontak Varen di ponsel Agam.

Sasya membuka grup kelas XI MIA 1, hasilnya nihil. Sasya tidak tau yang mana nomor milik Varen. Niatnya, Sasya ingin bertanya pada Raka. Namun, sepertinya Raka masih serius belajar. Sasya tidak mau mengganggunya.

"Kenapa Agam nggak punya nomor Varen? Mereka nggak temenan?" tanya Sasya di dalam hati.

***

Bel pulang sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Para siswa dan siswi SMA Bina Bangsa berhamburan meninggalkan sekolah unggul di kecamatan itu. Termasuk Agam.

Hari ini, Agam akan pulang bersama Adnan. Tapi, Abang sepupunya belum juga ada tanda-tanda kedatangannya.

Hati Agam terasa panas seolah sedang di bakar saat melihat dua remaja sedang bercanda tawa di parkiran sekolah.

Kedekatan antara Bora Bonita dan Niko Danendra lebih dari seorang teman sekelas.

"Ada hubungan apa mereka?" tanya Agam pada dirinya sendiri.

Sepengetahuan Agam, sejak ia menjadi Sasya dan masuk ke kelas XI MIA 2. Agam tidak menangkap hal yang mencurigakan dari Bora dan Niko. Lagi pula, Bora tekenal akan keramahannya.

"Mereka nggak ada apa-apanya kan?" pilu Agam.

Baru sebentar Agam melayang, kini ia seolah di tenggelamkan ke dasar laut yang paling dalam.

"Niko sama Bora pulang bareng?" kaget Agam.

Sang ketua OSIS melajukan motornya melewati Agam yang masih mematung. Di atas motor, Niko dan Bora masih asik mengobrol. Kali ini, Agam terabaikan.

"Agam!!" Sasya sedikit melompat saat tiba di hadapan Agam dengan cengiran khas Sasya.

Tidak ada respon dari Agam. Sasya pun menelaah ekspresi yang terpasang di raut wajah Agam. Lalu, Sasya menoleh ke sekelilingnya.

"Kenapa? Baru lihat hantu?"

Agam enggan menanggapi pertanyaan tidak penting Sasya.

Sasya menarik napasnya perlahan. "Aku nggak maksa kamu buat bantuin balikkin jiwa kita lagi." Sasya menjeda ucapannya, kemudian melanjutkan, "Besok... Kamu mau ya, ngajarin aku naik motor?"

Agam terkekeh sinis, "Kamu? Emangnya bisa?"

"Makanya aku mau belajar. Sumpah ya, Gam. Susah banget kalau nggak bisa naik motor. Aku udah ngerasainnya sendiri," celoteh Sasya.

"Boleh," singkat Agam menyanggupi.

"Besok aku ke rumah kamu," tambah Agam.

"Tumben baikkk," Sasya memajukan bibirnya.

Kedekatan Bora dengan Niko yang Agam saksikan tadi masih terbayang-bayang di benak Agam.

Tidak Agam pungkiri jika Agam dilanda cemburu.

"Pulang sama siapa?"

"Bang Adnan."

"Enak yaaa, ada yang antar jemputttt," sindir Sasya.

"Merasa nggak adil? Makanya, jadi Sasya," ledek Agam puas.

Sesuatu yang Sasya sesalkan, sebab dulu sering melontarkan kalimat tersebut. Hasilnya? Itu malah dijadikan bahan ejekan para sepupunya.

Tidak terpikirkan sama sekali bahwa Sasya akan bernasib sesial ini. Dimana Sasya bertukar tubuh dengan sepupu yang paling ia remehkan! Sepupu yang terabaikan dan cucu paling tidak disayangi oleh Neneknya.

"Awas ya, Agam! Tunggu pembalasan aku. Misalkan aku udah balik ke badan aku, lihat aja akibatnya," ancam Sasya.

"Sya... Sya... Sya... Niat yang nggak baik biasanya nggak terkabul. Aku sekedar ingatin ajaaa."

"Ehhh? Masa??" Sasya kalang-kabut.

"Maksudnyaaaaa, aku bakal balas kebaikan kamuuuu. Aku bakal perlakukan kamu sebaaaiiikkk mungkin." lanjut Sasya yakin.

Agam tertawa kecil, "Nahh, gitu baru betul."

Sasya celingak-celinguk. "Kok Bang Adnan belum datang ya?"

"Bang Adnan udah kelas XII. Pasti lagi sibuk-sibuknya," tutur Agam.

"Tapiii, Bang Kaivan nggak tuhhh. Merekakan sama-sama kelas XII," balas Sasya.

Sasya melambaikan tangan kanannya setinggi mungkin. "Raka!!!" jerit Sasya.

Sampai-sampai Agam yang di samping Sasya pun menutup telinganya, sangking kencangnya teriakan Sasya---melebihi speaker sekolah.

Raka memberhentikan laju motornya, kemudian melihat Sasya melalui kaca spion.

"Aku numpang ya!?!"

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Raka mengangkat jempolnya ke atas.

"Yesss!!" pekik Sasya.

"Agam, aku duluan!!" Sasya berlari tanpa menoleh ke arah Agam.

Semangat Sasya sudah kembali. Energi yang Sasya pancarkan mirip dengan Sasya yang lama. Agam pun merasa lega.

Namun, Agam menganggap Sasya lucu. Sasya bertingkah seperti itu saat jiwanya menempati raganya Agam. Yang bagi Agam, agak sedikit kurang cocok. Mengapa? Karena Sasya sekarang telah menjadi cowok.

Jika, Agam masih membawa kebiasaannya yang dulu di tubuh Sasya, orang akan menganggap itu normal-normal saja. Mereka akan memujinya, badass atau tomboy. Namun, kalau Sasya, kenapa tidak bisa? Orang bukannya memuji Agam yang lemah lembut, malah akan mengatai Agam dengan sebutan bencong atau banci! Begitulah menurut kaca mata mereka.

***

Anggap saja kemarahan Rangga kemarin sebagai pukulan bagi Sasya.

Tidak ada Sasya yang malas lagi dalam bekerja. Yang ada sekarang adalah Sasya yang berkemauan kuat dalam mempelajari pekerjaannya.

Meskipun masih amatiran, Sasya telah bisa menggunakan mesin foto kopi. Itu semua berkat Varen. Cowok bertubuh jangkung tersebut mengajari Sasya banyak hal-hal baru.

Sasya lincah kesana-kemari dalam melayani pelanggan Photocopy Star. Mungkin juga sikap Sasya yang berubah akibat dorongan tekadnya dalam mencari uang.

Vidya---mama Agam terus menekan anaknya persoalan ekonomi yang membuat Sasya lelah sejadi-jadinya.

Jangankan memberi untuk Vidya, untuk Sasyanya sendiri saja ia masih sangat kekurangan.

"Beli kertas kadonya dua lembar."

Sasya terpaku untuk beberapa saat.

Pangeran yang Sasya damba-dambakan selama ini muncul di hadapannya.

Setelah berada di raga Agam, Sasya jarang sekali melihat Niko. Wajar saja, sebab mereka tidak lagi sekelas. Hal tersebut yang membuatnya merindukan sosok yang sering Sasya pandangi bila di kelas itu.

"Yang motifnya awan," pinta Niko.

Sasya salah tingkah hingga tangannya gemetaran. Ia tidak bisa mengendalikan debaran di jantungnya. Itulah alasan yang membuat Sasya dan Niko tidak dekat meskipun mereka berada di kelas yang sama.

Sasya selalu mati gaya bila di dekat sang pangerannya, sekalipun jiwanya sedang berada di tubuh Agam.

"Sama kertas origaminya dua," lanjut Niko.

Karena Sasya masih tidak beranjak dari tempatnya. Varen pun berinisiatif mengambilkan kertas origami yang dipesan Niko.

Sasya berdecak kagum menatap Niko. Terlebih saat rambut pemuda itu berhembus ditiup angin, bertambah tampan sepuluh kali lipat di mata Sasya.

Salahkah Sasya yang mendambakan seorang Niko Danendra?

Usai membayar barang yang dibelinya pada Varen, Niko pun pergi dari foto kopi tersebut dengan gayanya yang selalu macho. Mulai dari penampilan, cara berjalan, nada bicara, hingga aroma tubuh sang ketua OSIS SMA Bina Bangsa itu sangatlah keren menurut Sasya Anamika.

"Kokk cepat bangett perginya sihhh," bola mata Sasya tak lepas dari punggung Niko yang sudah menjauh.

Varen yang memang begitu perasa, mendekatkan bibirnya di telinga Sasya, kemudian ia berbisik, "Kamu suka sama Niko?"

"Iya," jawab Sasya spontan.

Menyadari apa yang barusan Sasya katakan. Sasya pun terbelalak. Ia membekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

"Sasya, kamu tuh sekarang Agam! Dasar pelupa!" maki Sasya dalam hati.

"Kalau Varen mikirnya macam-macam gimana? Terus, misalkan nanti Varen nggak nyaman dan risih sama aku gimana? Gimana nih? Apa yang harus aku lakuin?" Sasya bergelut dengan pikirannya sendiri.

Varen memundurkan wajahnya, lalu tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku ngerti."

Sasya terkejut terhadap penuturan Varen. Sasya pun mencoba berpikir alasan yang tepat, lalu berkata, "Maksudnya, aku mau jawabnya nggak tadi. Eh, taunya di mulut ngomongnya malah iya. Nggak tau kenapa? Nggak sinkron bangetkan? Heran aku tuh."

"Mata kamu nggak bisa bohong. Waktu ngelihat Niko, sorot mata kamu... Sorot mata memuja," kekeh Varen.

"Masa sihh? Gila ya kamu, Varen! Orang aku biasa aja," bantah Sasya.

"Aku ngerti. Semua orang berhak jatuh cinta sama siapapun," ujar Varen halus.

"Aa-kuu, kagum! cuman kagum. Bukan suka-suka yang kamu pikirin," terang Sasya.

"Emangnya suka-suka yang aku pikirin apa?" goda Varen.

"Udahh ahhh, tuh ada yang datang. Kamu yang layanin!" Sasya mengerucutkan bibirnya.

***

"Akhirnyaaaa," Sasya duduk di lantai dengan menyelonjorkan kakinya. "Beres juga kerjaan kita."

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Itu tandanya, pekerjaan Sasya dan Varen telah selesai. Mereka bekerja hanya setengah hari, di mulai ketika mereka pulang sekolah, tepatnya pukul dua siang.

"Varen, makasih banyak ya?"

Varen yang juga duduk di sebelah Sasya dengan menyilangkan kakinya pun hanya menganggukkan kepalanya.

"Aku minta nomor kamu dong?" Sasya menyerahkan ponsel Agam kepada Varen.

Setelah Varen mengetik nomornya, ia pun mengembalikkan benda pipih itu ke pemiliknya.

"Udah aku chat. Jangan lupa simpan balik ya?"

"Iya, Gam."

Sasya beranggapan Varen adalah cowok baik-baik. Mengapa Agam bisa tidak dekat dengan Varen? Bahkan mereka tidak saling menyimpan kontak. Itu pertanda apa?

Sasya teringat pada bosnya, Sasya masih tidak enak, seandainya mereka bertemu, reaksi apa yang Sasya berikan?

Agam : Agam minta maaf soal kemarin. Agam janji nggak malas-malas kerja. Agam udah renungin kesalahannya Agam. Makasih Bang Rangga karena udah nggak pecat Agam :)

Sasya memperlihatkan ketikan yang masih ada di papan ketik dalam ruang percakapannya dengan Rangga.

"Kamu udah gede, saran aku, lebih baik jangan minta maaf lewat chat."

Sasya manggut-manggut. Sasya menerima masukkan yang diberikan Varen.

"Ehhh, Varen!! udah terkirim gimana nih? Apa aku tarik lagi aja chatnya?" panik Sasya.

Varen tertawa, "Kalau udah terlanjur nggak apa-apa. Makin aneh lagi kalau kamu hapus chatnya."

Tidak berselang lama, Rangga membalas pesan Sasya.

Rangga : Oke

Varen berusaha menahan tawanya. Sedangkan Sasya sudah mengerucutkan bibirnya.

"Oke? Oke aja?" jengkel Sasya.

"Kamu ketawa?"

Varen menggeleng sambil menggigit bawah bibirnya---menahan agar tidak tertawa.

"Untung bos, kalau nggak---"

"Nggak apa?" bukan Varen yang memotong ucapan Sasya, melainkan Rangga.

"Bang Rangga?" Sasya nyengir menampilkan barisan giginya.

Rangga dengan ekspresi juteknya membawa tiga kotak nasi yang baru ia beli. Kemudian, pria berusia hampir tiga puluh tahun itu duduk bergabung dengan Sasya dan Varen.

"Cuci tangan dulu di belakang," titah Rangga.

Varen dan Sasya patuh layaknya bocah kecil yang disuruh oleh orang tuanya.

Ketika sedang mencuci tangannya di wastafel, Sasya sengaja mencipratkan air ke wajah Varen berulang kali. Sasya terlihat menikmati permainan airnya.

Sasya tertawa kencang, Namun Varen sama sekali tidak membalas. Varen selalu pasrah berhadapan dengan Sasya yang kelakuannya mirip anak SD.

"Bang Rangga traktir kita ayam geprek dalam rangka apa?" bisik Sasya penasaran.

"Mungkin karena kemarin udah marahin kamu terlalu kasar." Varen melanjutkan, "Bos kita nggak sejudes kelihatannya."

"Kamu betul, Varen. Balas chat aku cuman 'oke' tapi dia beliin kita makan malam."

Sasya mendekat ke Varen. "Aku penasaran kenapa Bang Rangga belum nikah? Umur Bang Rangga dua puluh sembilankan? Udah tuaaa, udah cocoklah buat nikah. Punya pacar nggak sih Bang Rangga?"

"Masih gamon sama cinta pertamanya," beritahu Varen.

"Nyesek banget aku dengarnya. Beneran? Padahal kurang apakan Bang Rangga? Terus, terus, mantannya sekarang di mana?"

Varen mengedikkan bahunya acuh. "Aku nggak tau."

"Kalian lagi apa?" Rangga muncul dari balik pintu dapur. "Lama," desis Rangga.

Sasya dan Varen sama-sama terkejut. Lalu, Sasya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Bang Rangga kok ke sini?" tanya Sasya berpura-pura bodoh.

Sasya dan Varen berjalan canggung mendahului Rangga yang masih mencuci tangannya, tak menghiraukan mereka.

"Agam, lain kali kurangin kekepoan kamu."

Sasya tertohok mendengar apa yang di peringatkan oleh Rangga. Sasya yakin, Rangga pasti mendengar semuanya. Sasya merasa sebagai pekerja yang kurang ajar terhadap bosnya. Varen pun mengelus punggung Sasya, "Banyak-banyakin sabar, Gam." Sasya mengangguk lemas. Mulut Sasya memang harus dikunci supaya tidak kebablasan saking beo-nya.

Bersambung
Sabtu, 03 Februari 2024

Continue Reading

You'll Also Like

9K 8.8K 34
yang Selalu Dikhianati. ❗[POV 3] ‼️Hak cipta dilindungi keras oleh undang-undang, DILARANG mengcopy sebagian atau keseluruhan novel!! Menceritakan te...
1.5M 108K 46
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
14.6K 658 200
⚠️ 𝘿𝙄𝙎𝘾𝙇𝘼𝙄𝙈𝙀𝙍 ⚠️ Semua buku hanya untuk bacaan pribadi (offline) tanpa maksud lain. Edit sesuai mood 𝙅𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙇𝙪𝙥𝙖 𝙁𝙤𝙡𝙡𝙤𝙬 𝙙�...
Sniper [End] By Embergoreng09

Mystery / Thriller

1.2K 94 34
Asken, bukanlah nama yang sebenarnya. Nama ini digunakan untuk menutupi identitas asli sang sniper handal. Ditugaskan untuk mencari siapa pelaku sebe...