ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

45 - Gila?

179 49 9
By wins1983

.

.

Kita hanya bisa menanam dan berusaha menyirami tanaman kita.

Yang memutuskan mana tanaman yang tumbuh, dan mana tanaman yang mati, adalah Allah.

.

.

***

Adli bengong saat membaca pesan dari Elena di ponselnya. Ia bergegas ke arah kamar Yunan. Tadi siang dia melewatkan panggilan telepon dari Elena. Karena sibuk sekali di kantor, Adli berpikir untuk nantinya akan menghubungi Elena. Ternyata Elena meninggalkan pesan chat dan baru sempat dibacanya malam ini setelah tiba di rumah. Disangka Adli, Elena mau bicara apa, ternyata ...

"Kak, Rizal masuk Rumah Sakit Jiwa?" seru Adli setelah mengetuk pintu kamar Yunan dan Yunan membuka pintu.

"Iya. Elena tadi siang telepon ke Raesha. Kakak juga sempat bicara langsung dengan Elena," jawab Yunan.

"Ya Allah. Kok bisa?" gumam Adli sebelum menutup mulut dan menyugar rambutnya. Adli bahkan belum mengganti baju kantornya.

Yunan merasa iba. Sepeninggal Yoga, Adli bekerja banting tulang. Berangkat pagi, pulang malam. Nyaris tiap hari. Pasti berat. Tapi Adli menjalaninya tanpa mengeluh.

"Semua orang punya bagiannya masing-masing dalam syi'ar agama. Dan ini adalah bagian kita, Adli. Bagian Ayah, dan bagianmu. Jalani dengan sepenuh jiwa raga. Jadi orang jangan setengah-setengah," kata Yoga pada Adli dulu.

Yoga dan Adli, menghasillkan banyak, dan menyumbang untuk dakwah Yunan tanpa perhitungan. Jika kebanyakan orang kaya berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uangnya untuk bersenang-senang berlebihan, Adli dan Yoga tidak melakukannya. Mereka adalah orang-orang yang sedikit, tapi orang-orang seperti mereka, selalu ada di setiap zaman.

"Kamu mau kita ngobrol di kamarmu? Apa kamu gak capek?" tanya Yunan sembari memijit pundak Adli.

"Dipijitin Kakak jadi gak capek, deh," canda Adli tersenyum.

Yunan mampir ke kamar Adli akhirnya. Membahas permasalahan Rizal.

"Jadi Kakak masih menunggu kabar dari Elena, sebelum menjenguk Rizal?" tanya Adli sambil menyesap kopi hitam bersama Yunan.

"Iya. Kakak gak enak kalau tiba-tiba datang. Kadang pihak keluarga merasa kurang nyaman kalau ada anggota keluarganya di RSJ yang dijenguk orang luar," jawab Yunan sebelum meletakkan kembali cangkirnya di tatakan keramik.

"Ya ya. Aku paham. Aneh juga, ya. Padahal, sepengelihatanku, Rizal adalah tipe orang yang cekatan, profesional dengan pekerjaannya. Bukan tipe yang mentalnya lemah dan mudah depresi" kata Adli dengan kernyitan di dahi.

"Karena, dia memang tidak gila," jawab Yunan. Jawaban yang membuat Adli berhenti menikmati kopinya.

"Gimana, Kak? Tapi, kata Elena, Rizal masuk RSJ."

"Elena belum cerita detail? Malam sebelum Rizal jadi berubah, ada saksi mata yang melihat seseorang membuntuti Rizal. Bukan. Bukan seseorang, tapi sesuatu," jelas Yunan. Tahu bahwa penjelasannya akan membuat Adli ngeri, tapi harus tetap dijelaskan agar Adli paham kondisinya.

"Sesuatu?" gumam Adli yang tetiba merasa tegang. Uh oh. Apakah ini cerita horor? tebaknya.

"Sesuatu itu, masuk ke mobil Rizal. Tembus ke pintu belakang."

Adli mengucap istigfar. Nah kan benar. Ini kisah horor. Bukan kisah favoritnya. Kelak kalau dia nonton bioskop bareng Elaine, fix dia akan menghindari film horor. Eh. Memangnya kapan dia bisa nonton bioskop berdua Elaine? Bisa-bisanya Adli menghalu di saat genting begini.

"J-Jadi, Rizal sebenarnya --," Adli ingin menebak, tapi bahkan menyebut istilah itu, dia ngeri.

"Iya. Ada yang kirim santet ke Rizal," kata Yunan dengan muka lempeng.

Sementara Adli komat-kamit mengucap istigfar berkali-kali. Ya Allah. Kenapa sih manusia? Katanya zaman sudah modern, kenapa masih main santet segala? batin Adli.

"Dengan kata lain, Rizal sekarang kesurupan. Ada tipe santet yang seperti itu. Mereka mengirim jin ke dalam otak orang yang ingin diserangnya. Jin itu mengambil alih otak korbannya, sehingga korban tidak mampu berpikir. Pada beberapa kasus, korban bisa sampai mati. Biasanya, serangan seperti ini berniat untuk mengacaukan pekerjaan si korban yang memerlukan kemampuan berpikir yang baik," jelas Yunan.

"T-Tapi, siapa yang - apakah ini ada kaitannya dengan kasus yang melibatkan kita?" tanya Adli dengan ekspresi cemas.

Yunan mengangkat bahu. "Kita tidak bisa menuduh, tentu saja. Kita tidak tahu, kasus apa saja yang sedang ditangani Rizal. Bisa jadi juga, ada pihak lain yang ingin mencelakai Rizal. Untuk saat ini, kita sebaiknya tidak berasumsi." Yunan merasa, itu adalah jawaban yang aman. Dia tidak ingin menceritakan tentang Theo yang pernah dilihatnya menyimpan helai rambut Rizal. Jika ternyata bukan Theo pengirim santet itu, maka cerita Yunan akan menjadi fitnah. Tentu Yunan tidak menginginkan itu.

"T-Terus, gimana pengadilan besok? Besok ada jadwal pengadilan, 'kan?" tanya Adli terdengar panik.

"Kita terpaksa jalan terus tanpa Rizal. Sementara ini begitu."

Adli ternganga sebelum menutup muka. Kenapa, ya? Segala sesuatu yang melibatkan Kak Yunan dan Kak Raesha, akan diwarnai bumbu-bumbu mistis semacam ini. Tetiba Adli merasa kasihan dengan Rizal yang menjadi korban.

"Gimana progress pengadilan, Kak? Aku minta maaf sekali. Bukannya tidak mau mendampingi, tapi urusan di kantor akan terbengkalai kalau aku terlalu sering izin keluar," kata Adli dengan tampang merasa bersalah.

"Jangan khawatir. Semuanya berjalan baik-baik saja," kata Yunan tersenyum sambil menepuk lembut pundak Adli. Pundak yang sudah menanggung beban berat meski usianya masih muda. Tentunya Yunan tak ingin menambah beban pikiran Adli.

.

.

Sidang berikutnya dimulai. Para wartawan heran melihat penasehat hukum keluarga korban, kini hanya satu orang saja. Elena. Orang-orang yang menonton sidang secara langsung, dan yang menonton melalui siaran langsung, semuanya berkomentar.

"Kok hari ini Bu Elena sendiri?"

"Pak Rizalnya mana?"

"Mungkin sakit."

Sekiranya mereka tahu, kalau Rizal sakit pikirannya, pasti heboh.

Para wartawan saling berbisik.
"Coba cek. Cari info. Pengacara bernama Rizal itu ke mana? Dia masih menangani kasus ini atau gimana?"

Elena menarik napas panjang dan menghelanya. Tak lama lagi, berita Rizal masuk RSJ akan muncul di televisi. Elena sudah dipesankan bosnya untuk diam seribu bahasa. Jangan komentar apapun mengenai kondisi Rizal.

"Jangan khawatir, Elena," kata Raesha yang duduk di samping Elena sembari menggenggam tangan Elena yang sedingin es lantaran wanita itu tegang maksimal. Bagaimana tidak tegang? Rekan seperjuangannya mendadak disantet sampai masuk RSJ.

"Makasih, Ustadzah," sahut Elena tersenyum. Dia harus tetap tegar. Tenang. Tenang. Bismillah. Semua akan baik-baik saja, insya Allah, batinnya, berusaha menyemangati diri, meski semenjak Rizal masuk RSJ, Elena sudah menangis berkali-kali. Kasihan pada Rizal dan juga pada ibunya Rizal.

"Belum ada kabar dari keluarga Rizal?" tanya Yunan yang duduk di samping Raesha.

"Belum, Syeikh. Terakhir, ibunya Rizal bilang, dia perlu minta izin pada kedua kakaknya Rizal," jawab Elena, merasa tidak enak pada Yunan. Padahal orang majelis berebut ingin rumahnya dikunjungi Yunan. Sementara Yunan seolah harus memohon untuk bisa menjenguk Rizal di rumah sakit.

Sebenarnya, Elena mendengar dari ibunya Rizal, bahwa kedua kakaknya Rizal berselisih paham. Semenjak Rizal jadi seperti orang gila, keduanya acap kali ribut. Ada saja pemicu keributan itu.

"Apa? Ada ulama mau jenguk Rizal?" tanya Ramdan kakak tertua Rizal, setelah mendengar kabar dari ibunya.

"Iya, Nak. Kamu tahu Syeikh Yunan? Dia 'kan terlibat dalam kasus yang sedang ditangani Rizal," jawab Nilam lembut, seperti membujuk.

"Gak usah lah! Waktu itu 'kan Rizal sudah pernah coba didatangi ustaz, tapi ternyata ustaznya gak bisa ngapa-ngapain, tuh! Paling sama aja!" komentar Romi si anak tengah.

"Gak kita coba dulu? Beliau 'kan ulama besar," kata Nilam masih mencoba membujuk.

"Umurnya paling sama kayak aku. Ulama besar dari mananya? Ulama tuh yang sudah tua, Bu. Yang jenggotnya putih panjang. Kalau masih muda begitu sih, kemungkinan sama aja kayak ustaz yang waktu itu ibu bawa buat nyembuhin Rizal," sangkal Ramdan.

"Sebenarnya aku juga gak setuju Rizal masuk RSJ. Lihat! Dokter juga gak bisa ngapa-ngapain, 'kan? Mereka beralasan, skizofrenia gak ada obatnya. Rizal cuma dikasih obat penenang! Itu sih, aku juga bisa beli di apotek!" mulailah Romi memancing keributan.

"Oh ya? Kalau kamu yakin bisa ngerawat Rizal sendirian, kenapa Rizal gak dibawa ke rumahmu aja?" tantang Ramdan.

"Ya gak mungkin, lah! Istriku di rumah bareng sama Rizal yang kondisinya lagi kayak orang gila begitu? Aku 'kan seharian di kantor! Nanti kalau istriku diapa-apain Rizal, gimana?"

"Aku juga sama! Memangnya kamu pikir aku pengangguran??" bentak Ramdan.

"S-Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Adik kalian sedang kena musibah. Kita sebaiknya jangan ribut," kata Nilam menengahi kedua putranya.

"Coba kalo dari awal ngikutin saranku. Bawa Rizal ke dukun. Mungkin sekarang Rizal sudah kembali normal!" cetus Romi sambil melipat tangan.

"Dasar klenik!" misuh Ramdan sambil memicingkan mata.

"Apa Kakak bilang?? Klenik? Aku cuma berpikir praktis! Bawa ke dukun paling biayanya gak banyak! Lihat apa yang terjadi sekarang! Kita harus bayar biaya rumah sakit yang mahal! Gimana kalau Rizal tidak sembuh-sembuh? Berapa lama kita harus terus membayar biaya rumah sakit? Rumah tanggaku banyak pengeluaran, Kak! Tabunganku buat jalan-jalan ke luar negeri, bisa-bisa nanti terpaksa kubobol demi pengobatan Rizal!"

"Memangnya kamu pikir rumah tangga Kakak gak banyak pengeluaran? Aku harus bayar uang pangkal kuliah anakku, puluhan juta!"

"Sudah tahu banyak pengeluaran, malah masukin Rizal ke Rumah Sakit!"

"Astaghfirullaahal'azhiim! Sudah! Jangan berkelahi!" jerit Nilam sebelum menangis. Tangis yang akhirnya membuat kakak beradik itu menghentikan pertengkaran mereka.

Nilam menceritakan kejadian itu pada Elena tadi pagi melalui telepon. Kedua wanita itu bertukar nomor telepon saat Elena mengunjungi Rizal di RSJ. Semenjak itu, Elena jadi tempat curhat Nilam. Di masa yang berat ini, Nilam perlu teman bicara, dan kedua kakak Rizal, jelas bukan teman bicara yang menyenangkan.

Keluarga Nilam memang bukan keluarga yang agamis. Bahkan Nilam sendiri, tidak mengenakan hijab hingga di masa tuanya. Ketiga putranya, mendapat pendidikan agama dari seorang ustaz yang dipanggil ke rumah, yang hanya mengajarkan mereka ilmu membaca iqro dan tajwid, serta rukun-rukun iman dan Islam dasar. Yang penting bisa baca Qur'an, ngerti cara wudu' dan salat. Tidak pernah mengenal majelis, dan tidak terlalu respek dengan ulama.

Rizal menjadi satu-satunya putra Nilam yang paling rajin salat lima waktu. Kedua kakaknya, salatnya masih suka bolong-bolong. Salat yang pasti dihadiri mereka, adalah salat Jum'at, sebab jika tidak salat Jum'at, akan ketahuan oleh teman-teman kantor mereka, dan bisa jadi bahan gunjingan sekantor.

Begitulah. Kita hanya bisa menanam dan berusaha menyirami tanaman kita. Yang memutuskan mana tanaman yang tumbuh, dan mana tanaman yang mati, adalah Allah.

Elena tentunya tidak akan menceritakan pertikaian keluarga itu pada Yunan. Bisa-bisa Yunan tersinggung dibuatnya.

Elena terkejut saat melihat seseorang berdiri di depannya. Menjulang tinggi dengan tubuh jangkungnya, memakai toga hitam seperti yang dipakai Elena.

"Mana temanmu? Kok kamu sendirian?" tanya Theo dengan cengiran tipis.

"R-Rizal lagi sakit," jawab Elena sekenanya.

Raesha memalingkan muka. Malas melihat orang yang pernah memfitnahnya membunuh Ilyasa.

Sementara Yunan malah terdiam menatap Theo. Yunan bisa melihatnya lagi. Hawa kegelapan di sekeliling Theo.

"Rizal sakit apa? Kasihan sekali. Boleh dijenguk?" tanya Theo dengan nada prihatin yang terkesan dibuat-buat.

"Gak perlu dijenguk. Dia cuma perlu istirahat," jawab Elena membuang muka. Aduh cepetan pergi, kek! batin Elena yang tidak tahan berkomunikasi dengan Theo terlalu lama.

Theo akhirnya sadar kalau Yunan sedang menatapnya.

"Ada apa, Tuan Lham?" tanya Theo, terdengar seperti meledek Yunan dengan sebutan 'Tuan'.

"Tidak apa-apa, Tuan Theo Hayden," balas Yunan tersenyum.

Raesha cemberut melihat pemandangan itu. Ngapain sih Kakak, pakai senyum segala sama dia?? batin Raesha.

Arisa dan Erika yang duduk di belakang Raesha, juga terlihat tak suka dengan pengacara songong itu.

"Majelis hakim memasuki ruang sidang. Hadirin diharap berdiri." Pengumuman dari panitera.

"Ciao, Bu Elena," kata Theo mengedipkan mata. Tahu persis kalau Elena jadi takut melihatnya bertingkah seolah menggoda.

Elena pucat mukanya. Theo sebenarnya lumayan ganteng, tapi kok dikedipin mata oleh Theo, bulu kuduknya malah jadi berdiri, ya?

Orang-orang berdiri di tempatnya masing-masing. Tiga orang hakim memasuki ruangan.

Tak lama, persidangan dibuka, dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dari terdakwa.

Elena yang terbiasa sidang ditemani Rizal, tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Rizal lagi ngapain ya, sekarang?

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 169K 34
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
216K 12K 30
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
5.8K 963 37
Tentang aku di masa kecilmu. Taya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan bertemu seseorang yang bisa menorehkan luka dan suka di waktu yang sama hin...