Growing Pain: Breathless

By arvhirae

71.9K 5.5K 668

Hanya cerita sederhana tentang anak laki-laki berusia 15 tahun dan keempat kakak yang menjaganya dengan penuh... More

Adik Kecil Kami
Teman Baru
Hari Yang Panjang
Mimpi Buruk
Adek Drop
Egois
Merasa Aneh
Hari Yang Melelahkan
Atala, maaf..
Berkorban (lagi)
Atala capek, ya?
Papa dan Mama
Rencana Masa Depan
(Kembali) Terluka
Badai
Tentang Arsen
Malam Yang Panjang
Permintaan Terakhir
Pergantian Hari
Atala, maaf.. (2)
Terluka Luar Dalam

Melanjutkan Hidup

2.3K 214 26
By arvhirae

Terhitung sudah 4 hari sejak obrolan penuh emosional di antara Arion dan Atala, kini semuaㅡhampirㅡkembali seperti semula. Kondisi Atala dan Athan sudah mulai membaik, mereka juga sudah diizinkan pulang meskipun dibekali dengan berbagai catatan.

Namun, kendati sudah sama-sama kembali ke kamar yang sejak kecil mereka tempati berdua, tak bisa Atala pungkiri kecanggungan itu masih ada. Apalagi mereka baru dipertemukan sehari sebelum keluar dari Rumah Sakit, rasanya seperti asing, padahal mereka terikat.

Di dalam kamar itu, Atala baru saja datang dengan segelas susu di tangan, saat melihat adik kembarnya tengah melamun seraya bersandar pada headboard. Ia mencoba untuk tidak mengganggu, tapi ternyata Athan lebih dulu menyadari kehadirannya.

"Kakak bawa susu anget, kamu mau?"

Athan tatap lama kakaknya sebelum ia menghela napas. "Aku alergi susu," ucapnya yang berhasil membuat Atala salah tingkah sendiri. Basa-basi yang buruk, tapi ia sedikit terhibur melihat wajah kembarannya yang memerah menahan malu.

"Maaf. Maafin kakak, dek."

Setelah menyimpan segelas susu miliknya di atas nakas milik Athan, Atala kemudian menempatkan diri duduk di tepian ranjang. Ia menunggu respon dari sang adik, namun sepertinya Athan juga menunggu ia melanjutkan ucapan. Keheningan tercipta tiba-tiba.

Hingga sesuatu yang terasa hangat menyentuh punggung tangan Atalaㅡyang ia simpan di sisi tubuh. Ia sedikit terkesiap saat Athan tiba-tiba menarik tangannya, memberi kode untuk mendekat. Dan ketika jarak mereka kurang dari satu meter, Athan semakin menarik tubuh saudaranya, masuk ke dalam dekapanㅡyang sudah sangat lama rasanya tidak seperti ini.

Atala tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti kenapa Athan hanya diam saja, bahkan setelah beberapa lama mereka dalam posisi berpelukan. Walaupun rasanya menghangatkan, tapi entah kenapa Atala justru merasakan perasaan lain, hatinya sakit.

Dalam jarak sedekat itu, Atala bisa merasakan napas adiknya yang menderu tak senormal miliknya. Dada itu bergerak dengan tempo yang lambat dan sedikit suara aneh saat Athan mencoba menarik napas. Atala termangu, mencoba memahami maksud yang ingin adiknya itu sampaikan.

"Badannya lagi sakit, ya?" Suara Atala terdengar, "Pas masih kecil, kebiasaan kamu kalau lagi sakit itu suka minta dipeluk. Sama siapapun. Kadang kakak sampai harus tidur sekasur sama kamu, soalnya kamu gak mau tidur kalau gak dipeluk." Lanjutnya.

Perlahan Athan mulai melepaskan diri dari pelukan itu. Netra mereka bersirobok, namun tak lama kemudian Atala mengalihkan pandangan. Ia tak bisa jika harus berlama-lama menatap wajah pucat adiknya, sekalipun memang itu pemandangan yang selalu ia lihat sejak kecil.

"Kayaknya dulu pernah ada yang janji bakal boncengin aku lagi naik sepeda," ucap Athan.

Atala terdiam beberapa saat, ia sedikit lupa, tapi akhirnya ingatan itu kembali. "Nanti, ya, kalau adek udah membaik, kakak bakal bonceng kamu lagi naik sepeda. Lagian sepeda yang ada di rumah sekarang gak ada jok belakang, nanti kakak bawa ke bengkel buat ditambahin. Biar kamu bisa duduk disana."

"Membaik, ya?"

"Besok atau lusa, kalau kita dapet izin buat masuk sekolah, aku mau berangkat naik sepeda. Sama Atala, dibonceng sama Atala." Athan kembali bersuara, kali ini terdengar penuh harap. Atala jadi tidak tega untuk menolak, pada akhirnya ia setuju. Toh itu juga bukan permintaan yang sulit, meskipun pasti membutuhkan waktu lebih banyak untuk sampai ke sekolah.

Dengan tangannya, Atala mengusap rambut Athan penuh kasih sayang. Seolah kejadian beberapa hari ke belakang yang membuat keduanya terpaksa menginap di Rumah Sakit itu tidak pernah terjadi, seolah kecanggungan sebelumnya itu tidak pernah hadir.

Mereka kembali seperti semula begitu saja. Walaupun Atala tidak begitu yakin dengan hatinya. Apalagi setelah mendengar rencana Arion yang ingin menjadi pendonor untuk Athan. Ia tidak tahu, apakah setelah ini akan sama baiknya seperti dulu, atau justru sebaliknya.

***

"Kak Adara belum tidur?"

Adara sontak menoleh saat suara seseorang terdengar. Ia sedikit terkejut. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, cahaya remang-remang, dan wanita itu tengah melamun saat Arion tiba-tiba datang dan berjalan membawa segelas air sebelum duduk di meja makan; di hadapan Adara.

"Kamu kebangun, Yon?" Alih-alih menjawab pertanyaan adik pertamanya itu, Adara justru melempar pertanyaan lain.

"Iya, kak. Terus sekalian ngecek kondisi si kembar. Pas mau balik ke kamar malah pengen minum," jelas Arion. "Kalau kakak? Kenapa jam segini malah minum kopi? Masih ada kerjaan atau ada yang lagi kakak pikirin?"

Adara tak lantas menjawab, ia hanya tersenyum. Tiba-tiba menyadari jika dirinya memiliki 4 adik laki-laki dengan karakter berbeda-beda ternyata tidak buruk juga. Salah satunya Arion, anak itu cerewet, tapi justru itulah yang selalu bisa membuat Adara sejenak melupakan masalahnya.

Sebenarnya, walaupun tidak diungkapkan secara gamblang, Arion pasti sudah tahu apa yang sekarang tengah memenuhi isi kepala Adara. Arion sering menjadi tempat bagi dirinya untuk mencurahkan segala keresahan, meminta saran, atau sekadar ingin didengarkan.

"Kakak gak sengaja denger obrolan si kembar tadi. Athan bilang dia pengen masuk sekolah lagi." Adara sejenak menarik napas panjang, "Kakak jadi bingung gimana caranya ngomong sama adek kalau setelah ini dia gak boleh sekolah lagi. Kakak gak tega, Yon."

"Kak, 'kan aku udah bilang, jangan khawatirin biaya sekolah si kembar, aku masih punya tabungan. Bahkan kayaknya cukup untuk bayar UKT Arsen juga." Arion menarik tangan Adara untuk ia genggam. "Kasihan adek kalau berhenti, apalagi ini mimpinya dari dulu."

Adara pun tahu itu. Ia tahu sebesar apa keinginan Athan untuk bisa bersekolah seperti Atala, bahkan ia masih ingat seantusias apa Athan saat izin itu diterimanya. Adara juga tidak pernah sampai hati untuk melakukan ini, tapi keadaan yang mendesaknya memiliki opsi tersebut.

Adara dan keempat adiknya, mereka tidak berasal dari keluarga berada. Dulu Papa hanya pegawai kantor biasa dan Mama sempat bekerja di bidang yang sama sebelum akhirnya resign demi bisa sepenuhnya merawat Athan di rumah.

Adara sempat berpikir, jika dulu Papa bisa survive menafkahi keluarganya sendirian, Adara juga pasti bisa. Tapi, ternyata itu tidak sesederhana yang pernah ia pikirkan. Meskipun kini bekerja di tempat yang memiliki salary lebih tinggi, tapi tanggungan hidup lebih banyak lagi.

Arsen sekarang sudah kuliah, si kembar sudah mulai masuk SMA, dan pengobatan Athan yang masih harus berlanjut. Jujur, Adara kepayahan sendiri. Walaupun kini ada Arion yang berbagi beban dengannya, tapi rasanya belum bisa menutupi kekurangan yang ada.

Biaya berobat Athan semakin mahal, belum lagi peralatan penunjang yang harus disiapkan di rumah. Apalagi selama beberapa bulan terakhir kondisi si bungsu terus menurun dan membuatnya bolak-balik dirawat inap. Rasanya melelahkan sekali bagi Adara.

Tidak, ia tidak menyalahkan Athan yang terlahir sakit dan butuh perawatan khusus. Ia hanya lelah atas takdir yang tak kunjung memberinya kabar baik. Padahal katanya, sakit karena kehilangan Papa dan Mama akan diganti oleh sesuatu yang lebih baik.

Tapi, kapan? Itulah pertanyaan Adara selama ini.

"Kak, minta adek buat berhenti sekolah disaat ini momen yang dia tunggu-tunggu, pasti itu bakal buat dia sedih dan kecewa. Kakak juga tahu 'kan emosi yang berlebih itu pantangan buat orang sakit kayak adek." Dengan jarinya, Arion mengusap punggung tangan Adara. "Kita berjuang sama-sama ya, kak? Aku yakin setelah ini pasti ada kabar baik yang datang ke keluarga kita."

Di dalam sebuah rumah, pundak anak pertama memang dibentuk harus kuat. Adara sempat tidak yakin pada dirinya sendiri. Tapi, kehadiran Arion mampu membuatnya mengerti, bahwa esensi sebuah keluarga bisa hadir dari rasa saling melengkapi.

[]










[ Bonus Part Flashback ]
Atala & Athan, saat mereka berusia 12 tahun.

Malam semakin dingin, orang-orang pun mulai meringkuk di dalam selimut mereka masing-masing. Dalam keheningan yang semula tercipta di ruangan dengan 2 single bed terpisah itu, kini berubah. Atala mengerjapkan mata begitu suara seseorang memanggil namanya.

"Kak ... kak Atala ..."

Lagi, suara seperti bisikan itu kembali terdengar, kini Atala mulai membuka mata. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, tapi saat ia menoleh ke sisi kananㅡtempat dimana adiknya berbaring, saat itu juga Atala beranjak dari ranjangnya.

Tak peduli pada pening yang terasa setelah ia bangkit tiba-tiba, hanya ada Athan di dalam pikiran Atala. Wajah adiknya tampak begitu pucat seolah tidak dialiri darah, ia juga melihat dada itu membusung dengan tarikan napas yang terdengar susah payah.

Atala berusaha untuk tenang, walaupun jantungnya sudah bertalu tak menentu karena panik dan khawatir yang bercampur jadi satu. Ia lantas berlari keluar kamar, kemudian berteriak memanggil Papa dan Mama sekencang mungkin. Atala menangis, ia ketakutan.

Hingga saat kedua orang tuanya bangun dan segera melihat keadaan Athan, saat itu juga Atala merasa hatinya terluka dua kali lipat. Pertama, terluka karena melihat adik kembarnya kambuh. Kedua, terluka karena Papa ... menyalahkannya tanpa sebab.

"Kamu udah gede Atala, kamu seharusnya bisa lebih peka sama kondisi adek kamu. Kamu tahu paru-paru Athan itu lemah, dia gampang sesak, gampang kambuh. Kalau kamu terus-terusan ngandelin Mama sama Papa, nanti gimana kalau kita gak ada di rumah? Kamu mau biarin sampe adek gak tertolong karena terlambat ditangani?"

Air mata jatuh semakin derasnya, namun Atala mati-matian menahan diri untuk tidak bersuara. Di tengah dinginnya malam yang semakin menusuk kulit, Atala memeluk lututnya sendiri di halaman belakang rumah. Ia takut, ia takut untuk kembali ke kamar.

Atala tidak tahu bagaimana kondisi adiknya sekarang. Setelah Papa memasangkan bantuan oksigen, Athan mulai memejamkan mata. Tidak tahu apakah itu tidur atau pingsan. Sebab tak lama kemudian, Papa menarik tangannya dengan kasar keluar dari ruangan itu.

Papa memarahinya, mengatakan jika Atala tidak cepat tanggap. Padahal tujuan awal mereka disatukan dalam satu kamarㅡselain alasan karena mereka kembar, tapi itu juga untuk mempermudah Athan saat dirinya membutuhkan pertolongan. Atala tahu itu, tapi ia lagi-lagi membuat kesalahan.

Athan mungkin sudah cukup lama bergelut dengan sesak, tapi dengan bodohnya Atala tetap nyenyak dalam tidurnya. Seandainya ia lebih peka, mungkin Athan tidak akan kambuh seperti itu. Seandainya ia lebih cepat tanggap, mungkin Athan tidak akan menunggu lama untuk ditangani. Seandainya ia sadar akan tugasnya menjaga Athan, mungkin Papa tidak akan memarahinya.

Ada begitu banyak perandaian yang memenuhi kepala Atala, membuat ia refleks memukul bagian itu. Telinganya berdengung, banyak suaraㅡyang entah datang darimana, turut menyalahkannya. Menyebut jika Atala adalah kakak yang gagal dan anak yang tidak berguna.

Atala takut. Ia takut ruang gelap nan berisik di dalam kepalanya, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis dalam diam, karena ingin mencari seseorang pun ia tidak bisa ... tidak ada yang akan menerimanya. Menerima anak gagal seperti dirinya.

***

"Kak, semalem tidur dimana?"

Tangan yang tengah sibuk memasukkan barang ke dalam tas itu berhenti, Atala menoleh, ia menatap Athan yang tengah duduk bersandar di atas ranjang. Wajah itu tidak sepucat semalam, tapi nasal kanulanya masih belum dilepas sampai pagi ini.

"Disini kok."

"Bohong. Aku kebangun tadi subuh dan gak nemuin kakak dimanapun. Kasur kakak malah ditempatin Papa."

Atala tersenyum kecut, ia jadi teringat saat sekitar pukul 5 tadi melihat Papa dan Mama baru keluar dari kamar itu. Tidak ada yang berbicara, keduanya sama-sama mendiamkan Atala seribu bahasa.

Kendati merespon balik ucapan adiknya, Atala justru berjalan menenteng tas ransel dan jaket miliknya. "Kakak sekolah dulu, ya." Atala usap rambut adiknya pelan, lalu tersenyum. "Kakak pulang agak sore, hari ini ada pertandingan futsal antar sekolah."

Mendengar itu, air muka Athan mendadak berubah. Ia menahan tangan Atala agar tidak beranjak pergi. "Jangan ... kakak pulang di jam normal aja aku gak suka, apalagi kalau telat. Aku sendirian disini, aku gak tahu mau ngobrol atau main sama siapa lagi."

"Temen aku 'kan cuma kakak." Sambung Athan.

Walaupun sering mendengar kalimat terakhir itu dijadikan sebagai senjata agar Atala menurut, tapi kali ini ia ingin menolak. Bukan karena tidak lagi menyayangi adiknya, tapi pertandingan ini juga penting karena membawa nama baik sekolah, nama baik timnya, dan nama baik dirinya sendiri.

"Kak Arsen 'kan ada."

"Kalau aku maunya kak Atala, gimana?"

"Dek ... pertandingan ini penting."

"Aku gak lebih penting, kak?"

Atala menghela napas, kalau sudah seperti ini pasti ia harus mengalah lagi dan lagi. Tapi, masih berusaha untuk memberi pengertian pada sang adik, Atala kembali mengusap lembut surai hitam milik Athan. "Dek, sebentar aja kok, kalau udah selesai kakak langsung pulang."

Perlahan, genggaman tangan Athan mengendur, ia tak lagi menahan pergerakan Atala. Walaupun sempat heran, tapi Atala bersyukur jika kali ini adiknya mau mengerti dan membiarkan ia melakukan apapun yang ia ingin lakukan. Namun, baru beberapa langkah menuju pintu, suara serak milik Athan kembali terdengar.

"Aku seharusnya sadar 'kan, kak, kalau pada akhirnya aku juga bakal mati sendirian."

Atala menggenggam erat gagang pintu. Ia berusaha untuk menahan gejolak ingin marah, karena ia tahu itu tidak akan berguna. Marah hanya akan membuat adiknya kembali kambuh, tidak akan membuat adiknya paham dan mengerti posisinya.

Maka, dengan senyum yang ia paksakan mengembang, Atala memutar tubuh dan menatap wajah Athan yang sudah ditekuk; merajuk. "Kakak gak akan ikut pertandingannya, nanti kakak pulang seperti biasa. Gak akan telat biar adek gak sendirian."

Atala memang punya kehidupannya sendiri, tapi ia tidak memiliki kuasa untuk mengatur hal itu. Karena sejak ia sepakat terlahir menjadi saudara kembar Athan, sejak saat itu setuju dengan berbagai perjanjian di dalamnya. Termasuk untuk mempertaruhkan kebahagiaan dan hidup dalam keterbatasan atas dasar kepedulian dan persaudaraan.

Sekali lagi, Atala merasa ia hidup ... tapi juga mati.






Halo, sebelumnya maaf karena kemarin gak jadi double up. Ada beberapa kendala yang terjadi kemarin (di luar dari prediksiku) dan aku juga gak punya waktu banyak buat nulis. So, semoga kalian bisa paham, ya :) Terima kasih sudah meramaikan part sebelumnya!

Jangan lupa ramaikan juga part ini biar aku makin semangat buat update cepet :) See you!

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 175 5
Kisah hidup sang Matahari yang tidak selalu bersinar Gak jago bikin deskripsi.. Jadi baca aja okay Thankyou semua^^
66.2K 5.6K 55
BROTHERSHIP/NOT BXB!! Hidup itu rahasia dan penuh kejutan. Banyak hal tak terduga yang bisa saja terjadi dimasa depan tanpa kita ketahui rintangan se...
24.4K 1.7K 29
Hadirnya membuat orang lain kembali hidup dan merasa berharga.
355K 35.9K 48
Yang ia tau, impian itu adalah mimpi yang tak pernah tertidur. "Afnan yang dari awal emang salah udah lahir. Harusnya Afnan ga lahir, kan yah? Harus...