ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

36 - Persiapan

177 45 3
By wins1983

.

.

Theo Hayden tidak mungkin menawarkan diri untuk membela Sobri secara cuma-cuma tanpa tujuan dan tanpa persiapan.

Tidak mungkin.

.

.

***

Mereka bertiga berada di ruangan Hadi. Hadi, Rizal dan Elena. Ketiganya fokus menonton rekaman sidang perdana kemarin, melalui layar laptop milik Hadi.

"Itu adalah salah satu gejala terpapar racun arsenik. Anda tahu racun arsenik, 'kan?"

Di layar, senyum Theo sedikit terangkat pada akhir kalimat. Pertanyaan Theo membuat para penonton di ruang persidangan menjadi berisik, berdiskusi dengan sesamanya. Pastinya. Publik belum tahu tentang apa yang terjadi pada dada Sobri. Kalau soal penembakan di bahu Sobri, mereka sudah tahu dari pemberitaan dan pengumuman resmi dari kepolisian. Walau mereka juga belum tahu siapa yang menembak Sobri.

"Dari mana saudari saksi bisa yakin kalau memang korban meninggal keracunan padahal gejalanya tidak terlihat di kulit korban?"

Hadi mem-pause rekaman itu.

"Bagaimana menurut kalian?" tanya Hadi.

"Dia sengaja memanas-manasi keluarga korban, Pak," jawab Rizal tanpa keraguan. Jika tidak karena ditahan oleh Rizal, Yunan sudah berdiri protes saat Theo hendak memperlihatkan dada Sobri pada Raesha. Theo memang ahlinya membuat orang kesal.

"Iya, Pak. Dia memang kelihatannya senang kalau keluarga korban bereaksi kesal terhadapnya. A-Anu ... dia juga ... kadang menakut-nakuti saya," kata Elena ragu.

Rizal dan Hadi menoleh bersamaan le arah Elena.

"Theo ngapain kamu?" tanya Rizal.

"E-Em ... sebenarnya -- gimana, ya?" sahut Elena garuk-garuk kepala.

"Kenapa, Elena? Cerita aja! Kamu udah sempat menyelidiki tentang kehidupan dia?" desak Hadi dengan ekspresi penasaran.

"Iya, Pak. Sudah. Saya ketemuan sama sesama almamater kampusnya Theo. Dan -- "

"Terus, gimana hasilnya?" tanya Rizal yang kini ikut penasaran.

"Hm ... singkatnya, Theo ternyata punya sejarah yang kelam, kalau info yang saya dengar waktu itu benar. Saya tidak yakin apakah sebaiknya saya cerita atau tidak," jawab Elena hati-hati.

"Apa cerita itu ada kaitannya dengan kasus yang kita tangani sekarang?" tanya Hadi lagi.

Elena menggeleng. "Tidak, Pak. Itu hanya menyangkut kehidupan pribadi Theo."

Hadi menghela napas. "Kalau begitu, tidak usah cerita, tidak apa-apa."

"Ah kamu bikin saya kepo aja," celetuk Rizal membuat Elena dan Hadi tertawa.

"Terus, apa kaitannya dengan Theo membuatmu takut?" tanya Hadi.

"Itulah, Pak. Theo tahu kalau saya menyelidiki dia."

Hadi dan Rizal sontak terkejut.

"Dia tahu dari mana??" seru Rizal.

Elena mengangkat bahu. "Entahlah. Waktu itu, teman kampusnya juga kelihatan ketakutan waktu ketemuan sama saya di kedai kopi."

Hadi dan Rizal saling tatap.

"Ah sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting, Theo tidak mengancam kamu. Apa dia mengancammu, Elena?" Hadi bertanya dengan air muka serius.

"Tidak, Pak," jawab Elena singkat. Alih-alih mengancam, Theo terdengar semi menggodanya. Menggoda, tapi sekaligus menyeramkan. Maaf ya, Theo. Kamu ganteng, tapi Adli masih lebih ganteng dan lebih normal walau kelakuannya ajaib, batin Elena ingin tertawa.

"Saya jadi izin ke penjara sebentar ya, Pak," kata Elena pada Hadi.

"Oke. Hati-hati. Kalau ada apa-apa atau perlu bantuan, kabari Rizal," sahut Hadi.

"Kamu ngapain ke penjara, Elena?" tanya Rizal.

"Masih riset kecil-kecilan tentang Theo," jawab Elena dengan cengiran.

"Masih belum kapok?" canda Rizal.

"Belum!" jawab Elena tertawa. Meski dari luar tertawa, dalam hatinya Elena ketar-ketir. Kalau nanti disamperin Theo lagi, fix Elena auto-kabur.

.

.

Seorang pria mengenakan kaus oblong yang bolong di bagian bahu, tertidur pulas di meja hingga mulutnya ternganga. Asap dari celah tutup kuah pangsit, mengepul di udara siang ibukota, di sebuah kios mungil pinggir jalan.

"Pak! Bangun, Pak!"

Pria berumur tiga puluh tahun itu, terbangun setelah tubuhnya diguncang seorang wanita berjilbab sedada.

"Ada yang cari kamu, Pak!" kata wanita itu yang adalah istrinya.

Pria itu buru-buru mengusap mata.
"Siapa? Pelanggan?" tanyanya pada sang istri.

Namun istrinya menggeleng. "Kayaknya bukan. Coba Bapak tengok. Suruh dia masuk saja. Pelanggan biar aku aja yang urus."

Pria itu mengambil kacamatanya dan melangkah keluar, menemui tamunya.

Sosok tinggi sang tamu dan sorot matanya yang dingin, membuat pria itu terdiam berdiri. Untuk sesaat, wajah tamunya samar karena berdiri membelakangi arah cahaya matahari, namun perlahan ia bisa melihat bahwa tamunya ini bukan orang sembarangan. Setelan jas rapi, dasi mahal, sepatu dan tas bermerek. Tidak mungkin orang parlente semacam ini, ingin makan siang mi pangsit di kedai sederhana miliknya.

"Bapak Hanif?" tanya tamu pria itu dengan suara dalam.

Hanif menelan saliva. "I-Iya. Maaf, anda siapa?"

Tanpa menjawab, tamu misteriusnya malah melihat sekeliling.
"Apa anda pernah membayangkan akan menjadi tukang mi pangsit dan bukan seorang Ustaz?"

Pertanyaan yang terkesan meledek itu, terlontar sebelum seulas senyum nampak di bibir tamunya.

Hanif mengecil pupil matanya. Perutnya sontak merasa bergejolak. Jika pria ini tahu bahwa dulunya dia adalah seorang Ustaz, berarti maksud kedatangan tamunya ini, terkait dengan kejadian itu. Noda di masa lalu Hanif yang lama sudah terkubur.

Sang tamu menyodorkan tangan. "Theo Hayden."

.

.

Elena duduk di ruang berkunjung napi. Perutnya selalu mulas tiap kali harus berurusan dengan penjara.

Pintu terbuka. Seorang pria berewokan dengan rambut acak-acakan, dikawal seorang sipir, lalu pintu ditutup, meninggalkan Elena dengan napi itu.

Elena berdiri tersenyum menyambut pria itu. Adam Zulfikar. Seorang warga Betawi yang dulu pernah berseteru dengan klien Theo, memperebutkan status tanah di tengah kota. Perseteruan itu masuk ke sidang perdata, dan berakhir dengan Adam masuk penjara dengan tuduhan pemalsuan sertifikat.

"Assalamu'alaikum," sapa Elena sopan.

"Wa'alaikum salam. Lu siape? Mau ape?" sahut Adam tanpa basa-basi.

"Saya Elena, pengacara. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Boleh saya minta waktunya sebentar, Pak Adam?" tanya Elena pada pria yang usianya paruh baya.

Mendengar kata 'pengacara', Adam melotot matanya. "Pengacara? Mau apa lu? Kesel bat gua sama pengacara! Gara-gara pengacara si*lan itu, gua jadi dipenjara di sini!" Adam masih nyerocos mengeluarkan sumpah serapah.

"Itu yang ingin saya tanyakan, Pak Adam. Saya ingin bertanya tentang Theo Hayden. Saya tidak akan menyita waktu anda sia-sia! S-Saya akan memberikan imbalan!"

Mendengar kata 'imbalan', sikap Adam berubah melunak.
"Lu mau sogok gua, hah?"

"B-Bukan, Pak. Ini hanya sedikit dari saya. Mohon diterima," ucap Elena sambil memasukkan amplop putih ke bawah lubang pada penghalang kaca antara mereka.

Adam mengintip isi amplop dan berdehem. "Mau tanya apaan?" tanya Adam.

"Boleh tolong ceritakan kronologisnya, bagaimana anda bisa kehilangan tanah milik anda?" kata Elena dengan nada memohon. Dia sudah mempelajari kasus itu sebenarnya, tapi dia ingin mendengarnya dari Adam sebagai pemilik asli tanah setengah hektar di daerah Condet Kramat Jati, di perbatasan permukiman dan hutan lindung tepi sungai Ciliwung.

Adam mulai bercerita. Dulunya di masa penjajahan Belanda, tanah yang dimiliki Adam, dibeli oleh orang Belanda. Namun kemudian menjadi tanah partikelir, atau dengan kata lain, tanah yang dimiliki oleh perusahaan. Tepatnya adalah perusahaan Belanda saat itu. Di tanah itu, kemudian dibangun sebuah gudang bergaya arsitektur Belanda.

Saat Jepang berkuasa di Indonesia, perusahaan pemilik gudang itu, bangkrut. Sang pemilik perusahaan, kembali ke Belanda. Gudang itu dibiarkan berdiri. Menjadi bangunan kosong yang terlantar.

Oleh tentara Jepang, penduduk kemudian diarahkan untuk bercocok tanam di manapun ada tanah kosong, tanpa perduli tanah itu milik siapa. Orang tua Adam menanam sayuran di tanah sekeliling bangunan gudang kosong itu.

Datang masa proklamasi kemerdekaan. Jepang kalah perang. Tanah-tanah yang tak bertuan, dihimbau untuk didaftarkan sertifikatnya oleh orang yang mengurusi tanah tersebut selama ini. Orang tua Adam akhirnya menjadi pemilik tanah itu, meski mereka sebenarnya sudah memiliki rumah dan tanah untuk tempat tinggal.

Tanah beserta gudang itu, dirawat dan ditanami pohon-pohon rindang, sayur serta buah, dan panennya dijual di warung milik keluarga Adam.
Lalu tanah itu diwariskan ke Adam sebagai anak tunggal dari orang tuanya yang telah wafat.

Adam masih mengurus tanaman-tanaman di tanahnya tiap pagi, dan merasa tidak perlu menghancurkan gudang tua yang berdiri di tanah miliknya, karena ia sendiri tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Namun suatu hari, Adam memerlukan uang untuk biaya sekolah anaknya. Ia pun terpikir untuk menjual tanah itu.

"Saya niat mau ke gudang tua itu sore. Maksudnya mau ngecek kondisinya. Rencananya, mau saya robohin aja gudang itu. Supaya tanahnya bisa saya jual. Ternyata saya baru bisa tutup kios malem. Karena ngerasa tanggung, saya tetep berangkat malem-malem ke gudang itu. Kaget saya waktu lihat mobil-mobil mewah parkir di bawah pepohonan di tepi sungai menuju tanah saya."

Yang diceritakan Adam berikutnya, membuat Elena tercengang. Rupanya sedang berlangsung pertemuan rahasia di dalam bangunan bekas gudang itu. Orang-orang yang terlihat kaya dan berkelas, berdiri berkumpul mengenakan jubah dan tudung hitam. Diterangi nyala lilin-lilin di dalam gudang kosong.

"M-Mereka ngapain di sana, Pak?" tanya Elena nyaris berbisik. Bulu kuduknya meremang, membayangkan dirinya berada pada posisi Adam. Memergoki sekelompok orang misterius melakukan pertemuan malam-malam di dalam bangunan kosong.

Adam lanjut bercerita. Ternyata, belum sempat Adam mengintip lama dari jendela gudang, seseorang menepuk bahu Adam dari belakang.

Cerita itu membuat Elena menahan napas sambil menutup bibir.

"Pengacara itu. Theo Hayden. Dia yang memergoki saya."

"Y-Ya Allah!" seru Elena tertahan. Kalau dia jadi Adam malam itu, mungkin sudah auto-pingsan.

"T-Terus, Theo ngapain Bapak?" tanya Elena dengan raut ketakutan.

"Dia tanya saya mau apa. Saya bilang kalau saya pemilik tanah di situ, dan saya gak terima kalau gudang yang berdiri di tanah saya, ternyata dipakai tanpa izin!" jawab Adam galak.

"T-Terus, Theo bilang apa, Pak?" Elena bertanya masih sambil syok. Pak Adam berani amat. Kalau Elena sih, fix sudah kabur tunggang langgang.

"Dia bilang, mereka sudah pegang izin dari RT. Acara kumpul-kumpul almamater kampus, katanya. Mana ada perkumpulan almamater digelar di gudang kosong? Saya gak percaya, lah. Saya bilang ke dia, mau saya laporin ke RT. Eh dia malah ngancam saya. Katanya, percuma lapor juga. RT gak bakal percaya!"

Elena menatap Adam dengan fokus penuh, seperti sedang didongengkan cerita horor yang menegangkan.

"Habis itu, tiba-tiba ada yang bekap saya pakai saputangan dari belakang. Saya sempat cium aroma alkohol. Mendadak semuanya jadi gelap. Saya pingsan. Pas sadar, saya terbangun di teras gudang. Sepi banget. Gak ada siapa-siapa di sana. Saya cek hape, ternyata saya sempat tidak sadar sekitar tiga jam. Sudah lewat tengah malam waktu itu. Saya cek di luar, tidak ada mobil yang parkir satupun. Saya mulai ragu. Yang tadi itu beneran atau saya mimpi?"

Elena ternganga mendengar cerita itu. Jika dirinya jadi Adam, kemungkinan memang akan bingung, kejadian perkumpulan misterius itu, sungguhan atau mimpi?

"Saya lapor Pak RT, tapi dia gak percaya. Saya lapor polisi, gak percaya juga. Katanya saya gak boleh nuduh tanpa bukti. Akhirnya saya bertekad harus dapet bukti. Saya tungguin di tanah saya itu, tiap malem. Tapi gak ada yang datang. Jangan-jangan, mereka ngumpulnya gak tiap malem, pikir saya.

Seminggu kemudian, gak ada yang terjadi. Saya mulai curiga, waktu itu saya ketiduran di teras gudang, terus mimpi. Ya sudah. Saya anggap begitu.

Pas saya mau panggil tukang buat robohin gudang, tiba-tiba saya dihadang orang. Katanya, dia perwakilan dari orang Belanda yang ngaku pemilik asli dari tanah saya itu. Saya gak terima, lah! Saya tantang, bukti kepemilikan tanahnya mana? Ternyata dia juga punya sertifikat tanah.

Saya tuntut ke pengadilan sidang perdata. Ternyata yang jadi pengacara orang Belanda itu, adalah Theo! Saya pikir, ini dia orang yang waktu itu saya lihat pas malam itu di gudang! Berarti, kejadian itu bukan mimpi!"

"Gimana cara Theo bisa membalik keadaan? Kenapa malah Bapak yang dipenjara?" tanya Elena yang mulai emosional bak emak-emak terbawa suasana nonton sinetron.

"Itu orang jago bener bikin emosi! Pas di sidang, saya marah-marah. Saya lempar sepatu ke orang Belanda itu! Maksudnya mau lempar ke pengacara s*ngong itu, tapi dia ngeles, malah kena si bule! Dia nuntut saya melakukan penganiayaan ringan. Apes bener, dah!" jelas Adam lesu.

Elena geleng-geleng kepala. Nah ini dia. Jangan sampai kliennya terpancing emosi sampai begini nasibnya.

"Tunggu dulu. Bagaimana dengan tuduhan pemalsuan sertifikat??" tanya Elena.

"Saya dituduh memalsukan sertifikat. Padahal sertifikat saya asli. Sertifikat itu saya simpan baik-baik, tapi pas saya mau tunjukkan, sertifikat itu seperti agak berbeda, tapi saya tidak sadar awalnya. Ketika diperiksa, mereka bilang, sertifikat saya palsu! Seperti ada yang menukar sertifikat asli punya saya! Tapi sepertinya tidak mungkin! Siapa yang -- ah gak tau lah. Emang apes aja kali saya."

Elena terdiam. Itu adalah akhir dari cerita Adam, korban dari permainan cantik Theo di persidangan.

Elena berterima kasih dan pamit pada Adam. Ia keluar dari bangunan penjara dengan hati was-was. Dia tahu, Theo Hayden tidak mungkin menawarkan diri untuk membela Sobri secara cuma-cuma tanpa tujuan dan tanpa persiapan.

Tidak mungkin.

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

62.9K 10.9K 20
Pernikahan seperti apa yang kamu impikan? Menikah dengan seseorang yang kamu cintai dan mencintaimu? Dikarunia putra dan putri yang menggemaskan dan...
476K 57.9K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
723K 61.5K 69
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasakan penyesalan. Perasaan dimana aku berada diantara kasihan pada diri sendiri dan membenci diriku sendiri...
2.8M 169K 34
[า“แดสŸสŸแดแดก แด…แดœสŸแดœ sแด‡ส™แด‡สŸแดœแด ส™แด€แด„แด€!] ส€แดแดแด€ษดแด„แด‡ - sแด˜ษชส€ษชแด›แดœแด€สŸ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...