ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14K 3.5K 848

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai

35 - Sudahlah

198 48 19
By wins1983

.

.

"Ah sudahlah! Kalian sesama wanita memang biasa saling membela!"

.

.

***

"Syukran, Malik. Kamu sudah repot-repot datang ke pengadilan," ucap Raesha ramah. Mereka sudah di teras lobi, menunggu mobil datang menjemput.

"Dengan senang hati. Sama sekali gak merepotkan," sahut Malik tersenyum manis. Lesung pipitnya nampak.

Adli mengamati tindak tanduk pria yang menjadi partner dakwah Raesha di televisi ini. Fix pria ini naksir Raesha. Tapi, katanya dia beristri dan punya dua anak? Kenapa ya, Raesha jadi semacam magnet untuk pria beristri? Nasibmu, Kak, komentar umum Adli untuk Raesha, dalam batinnya.

"Lain kali, gak usah datang lagi," ceplos Yunan.

Arisa mencubit pinggang belakang suaminya. Sungguh kelakuan kekanak-kanakan Yunan membuatnya malu. Padahal Yunan biasanya tidak seperti ini. Dia jadi ajaib kalau ada masalah terkait Raesha.

"Jangan begitu, Yunan!" omel Erika dengan tatapan tajam ke arah Yunan.

"Gak apa-apa, Tante. Saya mulai terbiasa," komentar Malik dengan senyum basa-basi pada Yunan.

"Kamu sudah balik ke rumahmu?" tanya Malik pada Raesha.

"Belum. Rumahku lagi direnovasi. Ganti pintu dan jendela yang rusak. Ada lantai keramik yang rusak juga. Masih berantakan. Makanya aku sama anak-anak masih tinggal di rumah Adli," jawab Raesha. Padahal bukan cuma karena sedang direnovasi, melainkan juga karena masih trauma dengan kejadian malam itu saat Sobri muncul. Tapi Raesha tidak ingin membahasnya dengan Malik. Cukup orang-orang terdekat saja yang tahu.

"Anak-anak kok gak diajak ke pengadilan?" tanya Malik lagi.

Telinga Yunan jengah mendengarnya. Malik menyebut 'anak-anak' seolah Malik dekat sekali dengan Ismail dan Ishaq.

"Memang sengaja gak diajak. Kasihan. Di pengadilan lagi bahas kasus pembunuhan bapaknya, soalnya. Nanti saja diajaknya, kalau sudah harus bersaksi untuk kejadian pembobolan rumah."

"Ooh iya. Benar juga. Sebaiknya begitu. Kapan kamu syuting lagi? Studio terasa sepi gak ada kamu."

Orang-orang di sekitar mereka berdua, mendadak jadi serasa nyamuk pengganggu.

"Raesha lagi sibuk dengan kasusnya. Belum sempat mikirin syuting. Lagipula, studio TV 'kan ramai orang. Mana mungkin kamu kesepian?" ucap Yunan pedas.

"Kakak!" seru Raesha dengan suara tertahan. Mulai kumat deh Yunan. Super nyinyir ke Malik.

Mobil sedan hitam menepi. Adli merasa lega karena akhirnya bisa kabur dari sana.

"Kami duluan, ya, Ustaz Malik," kata Adli sopan.

"Baik. Hati-hati di jalan," sahut Malik.

"Mari, Ustaz. Kapan-kapan mampir ke rumah, Ustaz," ucap Erika bukan berbasa-basi. Dia senang saja kalau Malik main ke rumah.

"Benarkah boleh mampir? Apa saya tidak merepotkan?" tanya Malik dengan tatapan berharap.

"Merepotkan! Gak usah datang ke rumah segala!" kilah Yunan galak.

"Sayang!" seru Arisa sebelum menepuk keningnya dari luar cadar. Ampun deh, Yunan. Bisa gak sih, suaminya dibikin tidur sementara, supaya gak perlu berantem gaya anak bocah seperti ini?

Erika hendak mengomeli Yunan lagi, tapi Adli berhasil menarik ibunya masuk ke dalam mobil. Sebaiknya mereka tidak ikut campur urusan pelik yang melibatkan Kak Yunan dan Kak Raesha. Nanti bisa berabe urusannya.

Mobil sedan yang membawa Yunan cs datang.

"Hati-hati. Maaf aku sepertinya cuma bisa hadir di sidang perdanamu. Semoga Allah kasih kelancaran sampai pengadilannya tuntas," kata Malik sambil melambaikan tangan.

"Gak apa-apa. Syukran sudah datang. Salam untuk kru studio." Raesha membalas lambaian tangan Malik. Arisa mengatupkan tangan. Yunan tak sudi dadah-dadah dengan Malik.

Mobil melaju keluar dari gedung pengadilan. Raesha cemberut ke arah Yunan yang duduk di depan. 

"Gak pantes dia hadir ke pengadilan kasusmu!" mulailah omelan Yunan berlanjut.

"Kenapa gak pantes? Dia rela meluangkan waktu untuk memberi dukungan moril padaku!" bela Raesha.

"Ya iyalah gak pantes! Banyak wartawan! Kamu gak kapok digosipin lagi sama dia kayak waktu itu??"

"Beda kondisinya! Waktu itu dia semeja sama aku di taman bermain anak!"

"Bandel banget sih kamu! Gak pernah nurut kalo diomongin!"

Uh oh, batin Arisa dengan raut wajah pucat di balik cadarnya.

"Sudah, sayang. Jangan terlalu mengatur Raesha. Dia bukan anak kecil lagi," bujuk Arisa dengan suara lembut.

"Tuh denger, Kak! Aku udah besar! Bukan anak kecil yang bisa Kakak atur-atur!" ujar Raesha yang mendapat angin karena dibela Arisa.

"Kamu jangan ikut-ikutan! Tadi kulihat kamu duduk di samping Malik! Memangnya gak ada tempat duduk lain??" seru Yunan pada istrinya sambil memutar tubuhnya menghadap bangku belakang mobil.

"I-Iya. Tadi soalnya --," jawab Arisa gugup. Disangkanya Yunan tidak melihat. Arisa tadi buru-buru ingin berdiri setelah sidang ditutup, ternyata Yunan keburu menoleh ke belakang dan menemukan dirinya masih duduk di samping Malik.

"Yang nonton sidangnya 'kan ramai! Bisa aja Kak Arisa gak punya pilihan selain duduk di sana!" bela Raesha.

"Ah sudahlah! Kalian sesama wanita memang biasa saling membela!" kata Yunan sebelum kembali menatap ke depan. Melipat tangan dengan gaya tak acuh.

"Yang saling membela siapa? Kami cuma bicara apa adanya! Kakak aja yang aneh!" Raesha memblewekkan matanya ke arah Yunan, persis anak bocah.

Ya ampun, batin Arisa. Semoga dia dan Yunan cepat kembali ke tempat suluk. Terjebak di antara pertikaian mereka berdua, sungguh membuat depresi.

.

.

Esok harinya ...

Suasana sunyi di dalam mobil. Adli merasa kikuk, hanya berdua dengan Elaine saja di mobilnya. Haya tidak ikut sebab sepagi tadi, Haya menangis kesakitan sambil memegang pipinya. Dikira kenapa, ternyata sakit gigi.

"Katanya sakit hati lebih sakit dari sakit gigi! Bohong! Ini sakit bangeett!!" jerit Haya.

"Memangnya kamu pernah sakit hati?" komentar Adli datar.

"Pernah!!" bentak Haya.

Oh iya. Haya pernah terpaksa putus sama mantan pacarnya, batin Adli.

"Ibuuuu!!" rengek Haya sambil menangis memeluk ibunya.

"Iya iya. Buruan mandi. Ibu anter kamu ke dokter gigi," kata Erika yang baru bangun karena pintu kamarnya digedor-gedor Haya pagi-pagi.

"Berarti, ... ," kata Arisa sambil menoleh ke arah putrinya dan Adli di meja makan. Erika dan Haya sudah tak ada di sana, sebab mereka sudah pergi melesat ke dokter gigi.

"Biar aku antar Elaine ke sekolah, Kak," kata Adli tersenyum ke arah Arisa, meski ia tak bisa melihat wajahnya dari balik cadar. Adli sungguh kagum bagaimana Kak Arisa teguh menutupi wajahnya bahkan di saat makan. Pastinya sulit makan sambil mengenakan cadar.

Arisa diam saja. Justru karena diantar berdua sama Adli itulah --, batin Arisa.

"Aman insya Allah. Ada Adli," gumam Yunan sambil makan.

Suami yang terlalu santuy, imbuh Arisa dalam hati. Suaminya terlalu percaya dengan Adli.

Arisa mengamati putrinya yang tersipu malu. Dijamin, Elaine dalam hati senang karena akan diantar ke sekolah berdua saja dengan Adli, tanpa ada Haya bersama mereka.

"Atau Kak Arisa dan Kak Yunan mau ikut, mungkin?" tanya Adli berbasa-basi. Padahal dalam hatinya ...

Jangan ikut, plis. Jangan ikut.

Arisa menoleh ke suaminya yang duduk di sampingnya.

"Aku di rumah aja lah. Mau istirahat. Capek kemarin di pengadilan," sahut Yunan.

Ya iyalah capek. Kemarin ngomel-ngomel terus sih! pikir Raesha sambil melirik nyalang ke arah Yunan yang duduk di seberangnya.

"Ibu kenapa ngeliatin Om Yunan?" tanya Ishaq polos.

Muka Raesha merah padam. "E-Enggak! Ibu gak ngeliatin --"

Tuh 'kan. Kak Arisa ngelirik ke arahku! jerit Raesha dalam hati. Benar-benar, Ishaq. Mulutnya harus ditatar supaya gak ngomong sembarangan.

Ismail cekikikan. Yunan melirik sekilas ke arah Raesha, sebelum menundukkan pandangan. Masa' iya, Raesha ngeliatin dia?

"Kalian berangkat berdua aja, Adli. Titip Elaine, ya," kata Arisa ramah.

"Iya, Kak," sahut Adli berusaha menyembunyikan kegirangan hatinya saat menjawab. Uhuyy!! Dia mengantar Elaine tanpa ada Haya! Momen langka, ini!

Arisa diam-diam mengamati Raesha dan Yunan yang sedang meneguk minuman hangat.

Bahaya mereka kalau ditinggal di rumah. Walaupun Yunan dan Raesha tidak berbuat yang aneh-aneh, bagaimana kalau ada makhluk-makhluk ajaib yang muncul dan membuat mereka jadi --

Arisa memutuskan tidak jadi mengekori putrinya dan Adli ke madrasah. Lagi pula, kalau dia ikut Adli dan Elaine, nanti dia pulangnya gimana?

.

.

Adli berdehem. "Kamu mau dengar musik?" tanya Adli.

"Enggak, Om," jawab Elaine gugup. Pendingin mobil menyala padahal, tapi berduaan bersama Adli membuat Elaine merasa panas, entah mengapa.

Hening. Adli merasa detak jantungnya tak keruan. Haruskah ia membuka jendela kaca? Bagaimana seharusnya? Tiap berdua dengan Elaine, dia merasakan desakan aneh dalam dirinya, seolah ia tidak tahan ingin mengungkapkan perasaannya. Sabar. Sabar. Tunggu Elaine lulus madrasah. Inhale. Exhale. Inhale --

"Om sering ketemuan sama Tante Elena?"

Pertanyaan itu membuat Adli spontan bengong.

"Ketemuan sama ... Elena?" gumam Adli berusaha mencerna pertanyaan Elaine. Otaknya penuh dengan Elaine. Begitu disebut nama selain Elaine, fokusnya jadi pecah tak keruan.

"M-Maksudku, di luar kantor atau -- di luar persidangan," lanjut Elaine memainkan jemarinya gelisah.

Alis Adli bertautan. "Enggak. Kenapa aku harus ketemuan sama Elena? Meeting membahas kontrak 'kan sudah selesai. Belum ada hal yang perlu dibahas juga."

"Oh. Kupikir ... "

Adli melirik wajah Elaine yang tertunduk. Berusaha memahami arah pertanyaan Elaine tapi gagal.

"Soalnya, Tante Elena sepertinya orang yang sangat penting buat Om. Sampai masuk ke mimpi Om segala."

Mata Adli membulat mendengarnya.

"Apa?? Mimpi ... Elena?" tanya Adli membelalak.

"Iya. Aku dengar waktu itu di kamar mendiang Mbah. Om manggil-manggil nama Elena pas tidur," kata Elaine membuang muka ke arah samping kaca mobil.

Bibir Adli ternganga. Berusaha menyatukan kepingan-kepingan pertanyaan Elaine, sebelum wajahnya berubah semerah kepiting.

"B-Bukan! Bukan Elena! Itu --," ucap Adli gugup. Untungnya dia masih bisa fokus menyetir di jalan tanpa menabrak.

"Hah?" sahut Elaine dengan tampang heran.

"A-Aku ... gak sedekat itu sama Elena. Dulu pun, cuma pacaran sebentar saja. Aku gak pernah mimpi Elena sekalipun," jelas Adli salah tingkah.

Kening Elaine berkerut. Oh ya? Bukan Elena yang disebut Om Adli waktu itu?

"Yang sering aku mimpiin itu -- bukan Elena, tapi --"

Elaine terdiam melihat perubahan warna di wajah Adli. Merah sampai ke telinga.

Gimana ini? Apa sekalian saja bilang kalau aku -- pikir Adli galau.

Adli kembali fokus ke jalanan. Tidak! Dia harus menahan diri! Tahan! Jangan ngaku dulu, pokoknya!

Sekarang rona merah muncul juga di pipi Elaine. Bohong. Namanya kah yang disebut Adli saat mengigau waktu itu?? Bohong, 'kan??

Adli menelan saliva. Pikir sendiri lah, Elaine! Masa' aku harus bilang sekarang? Sekarang belum saatnya!

Adli menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Lain kali jangan berdua saja dengan Elaine. Jangan lagi.

Elaine merapatkan bibir, sebelum membuang pandangan ke luar kaca mobil.

Bohong, 'kan?? Gak mungkin Om Adli mimpiin aku! Om Adli mimpi apa tentang aku?? jerit Elaine dalam hati.

Adli terdiam menahan rasa bersalah.

Semoga dia gak tanya, aku mimpi apa! Maaf, Elaine! Mimpiku gak bener banget, deh pokoknya!!

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 435K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
72K 2.5K 11
Diandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi m...
688 54 8
Safana Azizah, gadis yatim piatu yang diangkat anak oleh sebuah keluarga dari kecil. Hidupnya sungguh bahagia karena diterima oleh seluruh anggota ke...
4.7M 284K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...