Quinsha Wedding Story

By niamaharaniID

3.3M 1.1K 71

Assalamualaikum Untuk teman-teman pembaca baru, Part 1-26 bisa dibaca di play store. Yang dipublikasikan ini... More

Bab 27 ~ First LDR
Bab 28 ~ Ngidam Jalan Kaki?
Bab 29 ~ Ini Gambar Apa?
Bab 30 ~ Dia ke Mana?
Bab 31 ~ Begitu Kalau Terlalu Percaya Diri
Bab 32 ~ Berburu hingga ke Batu
Bab 33 ~ Kembali ke Setelan Awal
Bab 34 ~ Dia Makin Cantik Saja
35 ~ Jodoh Pasti Bertemu
Bab 38 ~ Uhubbuki Fillah
Bab 39 ~ Kenapa Bisa Barengan?
Bab 40 ~ Side Job as MC
Bab 41 ~ Beri Aku Kesempatan

Bab 37 ~ Sosok dari Masa Lalu

474 83 0
By niamaharaniID

Perkenalan Reza dan Irfan menyisakan tanya. Bahasa tubuh pemuda itu yang tidak rileks, serba canggung, dan seolah ingin segera berlalu dari hadapannya, membuat Reza curiga. Mengapa dia bersikap seperti itu? Apakah ada bagian masa lalu Irfan yang berkelindan dengan Quinsha? 

Ditatapnya Quinsha yang asyik menikmati apel dicocol garam dan irisan cabe rawit. Tangan kirinya memegang buku teks referensi skripsinya. Reza hanya menggelengkan kepala. Dia betul-betul tidak paham dengan selera makan ibu hamil.

"Kok, liat-liat, Al? Pengin ya?" Quinsha menawarkan sepotong apel pada suaminya.

Reza menggeleng mantap. Apel room beauty yang dipegang Quinsha itu rasanya dominan masam, meski ada manisnya. Rasanya renyah dengan kadar air tinggi memang cocok untuk rujakan. 

"Di kulkas ada jambu kristal kalau mau. Apel fuji dan pir juga ada. Kuambilkan ya?"

"Biar kuambil sendiri, Ca." 

Nah, kalau antara keduanya itu saling menyebut nama panggilan masing-masing, artinya mereka lagi dalam mode pertemanan.  

"Kamu butuh buah apalagi?" tawar Reza.

"Mangga muda. Ada kan?"

"Ya, ada."

Reza mengambil mangga, jambu kristal, dan bumbu rujak manis. Setelahnya, ia kembali duduk di depan Quinsha. Reza memilih rujakan dengan bumbu kacang dan gula merah. 

"Ca, aku boleh nanya sesuatu?" tanya Reza dengan seulas senyum tersungging.

"Tanya aja. Moga-moga aku bisa jawab, Al."

"Tadi kenapa Ochy ditarik pulang sama abangnya ya? Dia ga pamit ke ortunya?" Reza main aman.

"Ochy-nya sudah pamit. Malahan yang ngantar mereka ke sini ya abangnya itu, Irfan."

Lancar bener nyebut Irfan, batin Reza.

"Trus kalo sudah tahu adiknya bakal pulang telat, kenapa pake ditarik-tarik segala?" 

Quinsha menjeda memasukkan apel masam ke dalam mulutnya. Sebagai gantinya, ia minum. Mulutnya ber-huh hah karena kepedasan. Reza mengangsurkan jambu kristal yang telah dicocol bumbu rujak manis.

"Setelah adik-adik itu pulang, aku sempat nanya sama Yunita yang ada di meja resepsionis tadi. Katanya, Irfan itu sempat melihat kita yang masuk ke lift lantai ini. Dia juga sempat nanya ke Yunita tentang aku."

"Memangnya kalian saling mengenal?" Jantung Reza berdegup lebih cepat. Walaupun Reza sudah bisa menebak jawabannya, tetapi ini tetap saja menarik untuk dikulik. 

Quinsha nyengir hingga matanya menyipit. Detik berikutnya dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Reza tahu, Quinsha menyembunyikan tawa.

"Jadi bener kalian saling mengenal?"

Masih dengan wajah tertutup, Quinsha mengangguk.

"Kok bisa? Gimana ceritanya?"

"Cie yang kepo ya? Apa jealous juga?" goda Quinsha begitu menemukan kesempatan.

"Keduanya. Dua-duanya yang aku rasa, Ca."

Quinsha mengambil bantal sofa, mengulurkannya pada Reza, "Ambil posisi wuenak karena ceritanya panjang, Al."

Reza patuh. Bantal segi empat itu diletakkan di belakang punggungnya yang bersandar pada rak buku.

"Dia kakak tingkatku. Kami beda jurusan, tapi sama-sama aktivis rohis. Nah, di rohis itu beberapa kali kami ada dalam satu kegiatan. Seringnya dia SC-nya, kami yang baru-baru sebagai OC-nya. Sebatas itu saja sebenarnya. Hanya saja, ternyata ada teman-teman yang "usil" menjodoh-jodohkan kami. Katanya cocok, serasi, bisa saling melengkapi, dan semacamnya. Semua itu kuabaikan, Al. Dia juga mengabaikannya. Kami tetap on the track."

Reza membatin. Oh, dia dijodoh-jodohkan dengan ikhwan itu? Menjodoh-jodohkan ini sesekali juga terjadi di kalangan ikhwan, kok! Khususnya di tempat kostku. Yang 'dijodoh-jodohkan' biasanya teman yang hampir lulus dan memang siap nikah. Dari gencarnya aksi menjodoh-jodohkan ini, akhirnya teman tadi benar-benar mengkhitbah akhwat yang dijodoh-jodohkan dengan dia. Sampai-sampai ada istilah witing tresno jalaran dipacok-pacokno. Cinta datang dari dijodoh-jodohkan. Sekali lagi. Itu sesekali saja dan sifatnya pun sebatas internal. Tidak pernah sampai terdengar keluar dan menjadi rumor.

"Sampai suatu ketika, dia diberi kesempatan menjadi ketua pelaksana sebuah kegiatan, aku dipasang jadi wakilnya. Padahal sungguh, aku yang anak bawang belum paham detil pernik-pernik kepanitiaan. Masih ada banyak senior yang lain yang lebih berkompeten dan pengalamannya banyak. Aku protes, tapi tidak didengar. Aku menghibur diri, nggak apa-apa untuk dicoba. Selagi aku sanggup dan bisa membatasi interaksi, insyaallah semuanya akan baik-baik saja."

Quinsha menghela napas.

"Nyatanya tidak seperti yang kubayangkan, Al. Suara-suara itu makin santer. Aku mengklarifikasi berharap suara itu reda, tetapi pihak sebelah tidak kunjung mengklarifikasi. Katanya, abaikan saja. Kalau tidak terbukti nanti akan berhenti sendiri. Yang dikatakannya memang ada benarnya dan bagi dia mudah karena ada di komunitasnya cowok-cowok. Nah, aku? Ada di komunitas cewek-cewek itu ga mudah meredamnya. Apalagi itu bukan sebatas konsumsi anak rohis."

"Wuih, sampai kesebar gitu ya?'

"Iya, tapi dia kan tidak memerhatikan efeknya sampe ke sana. Dia fokus di kegiatan yang tambah dekat pelaksanaannya. Entah, aku ga paham dunia laki-laki itu seperti apa? Kok bisa isu sebesar itu tidak mereka dengar."

"Ya, karena fokusnya beda, Ca. Circle pertemanannya juga tidak ada yang bahas-bahas sampai ke sana."

"Oh, begitu ya? Nah, kembali ke kepanitiaan itu, akhirnya aku mengajukan untuk mundur. Toh, persiapan sudah tujuh puluh persen. Posisiku digantikan Arsa. Dia kader terbaik di angkatanku."  

Oh, aku ingat sekarang. Kejadian ini pernah diceritakan Quinsha pada si kembar dulu. Jadi, cowok itu si Irfan. Setelah bertemu Irfan, Quinsha hebat bisa menolak pesona seorang Irfan. 

"Gimana acaranya setelah kamu mundur?"

"Alhamdulillah sukses. Sukses peserta dan opini. Oya, di luar aksi walk out sang wakil ketua, kepanitiannya solid. Dia berhasil mengondisikan tim seolah tidak terjadi apa-apa."

"Kamu muji dia, Ca?"

"Emang iya," jujur Quinsha, "kamu jealous?"

"Yaiyalah, Ca. Kamu muji-muji cowok lain di hadapan suami sendiri."

"Maaf, maaf, Al. Aku tidak bermaksud begitu. Coba pahami konteksnya, kepanitiaan itu kutinggal di saat terakhir, setelah ada isu besar yang diembuskan orang-orang "iseng dan menganggap sebagai candaan". Aku marah dengan kondisi itu, bisa jadi dia juga marah kan? Kerennya, dia berhasil mengabaikan urusan pribadinya, tetap fokus pada sukses acara."

"Tuh kan muji-muji lagi." Reza terus menggoda istrinya.

"Terserah, deh!" Quinsha mengambil seiris jambu kristal, mengunyahnya hingga terdengar suara kres-kres dari mulutnya.

"Ceritanya masih ada sambungannya, apa udah finis?"

"Ada, dong! Janji ga jealous lagi kalo kulanjutin."

"Ya, aku janji." Reza sudah tahu kelanjutan ceritanya, tapi dia ingin Quinsha bercerita secara terbuka padanya. Dulu, Reza tidak sengaja menguping.

"Begitu acara itu selesai, sekitar dua minggu pasca acara, aku mendapatkan selembar amplop tebal dari dia. Isinya bisa ditebak karena dijelaskan sedikit oleh yang mengantarnya. Saat itu langsung kutolak. Suratnya kukembalikan, tetapi mbak-mbak yang mengantar surat itu tidak mau membawanya. Dia meminta aku berpikir lagi. Ya, mau berapa lama surat itu kupegang, keputusanku tidak akan berubah."

"Bukannya dianjurkan istikharah, Ca?"

"Pokoknya aku ga mau taaruf-taarufan dulu. Belum mau nikah apalagi masih semester dua. Kamu tau, aku baru hijrah. Malah belum setahun hijrah. Semangat belajar Islamku masih menggebu-gebu. Mulai kajian subuh sampai kajian bakda asar aku ikuti semua. Hari Minggu juga aku ikut kajian. Aku ga mau terganggu dengan kewajiban baru sebagai istri, menantu, dan ibu."

"Kalau dia ngajakin taarufan, artinya dia suka kamu, Ca. Tidak mau mengklarifikasi rumor itu karena aslinya dia memang suka."

"Wallahu'alam. Sepertinya memang begitu, sih. Apalagi tadi pas dia marah ke adiknya. Ya, kan?" Tanpa menunggu jawaban suaminya, Quinsha melanjutkan ceritanya, "Trus, tidak lama setelah itu, dia dapat beasiswa Monbukagusho. Kita tau, seleksi beasiswa MEXT ini lumayan lama, bisa berbulan-bulan sampai tiba pengumuman. Kalo kusimpulkan, nih, keinginan taarufnya atau niatnya buat nikah itu tidak seserius pas dia menyiapkan seleksi beasiswa ini."

"Maksudnya dadakan gitu ya?"

"He-em," sahut Quinsha kembali mengunyah mangga muda.

"Trus kalian hilang kontak sampai tadi itu ya?"

"Iya. Aku juga baru tau kalo dia kakaknya Uchy. Oya, tadi begitu adek-adek yang lima orang itu meminta penjelasan soal pernikahan kita, yang paling beda, sih, wajahnya Uchy. Teman-temannya pada berbinar-binar, Uchy kaya sedih."

"Jelaslah. Dia sedih karena kakaknya patah hati buat kedua kalinya dengan orang yang sama. Tragis ga, tuh?"

Quinsha mengangguk, "Ya Allah, kasihan ya? Kamu tahu, Al, ga sedikit pun terbersit aku bakal mencoba menarik perhatian mereka. Sebaliknya, berada di tengah-tengah mereka, aku merasa aman. Kupikir, antara aktivisnya tidak akan ada romantisme atau yang mengarah ke sana karena sudah paham ilmunya ..."

"Ga gitu juga, Ca. Yang namanya gharizatun nau' itu fitrah. Kita hanya bisa mengendalikannya saja, mencegah kemunculannya dengan mengalihkan pada kegiatan positif lainnya. Salah satunya dengan puasa. Kagum pada salah satunya itu masih sebatas wajar, sih. Yang salah bila dilanjutkan dengan interaksi di luar hajat syar'i. Misal, nih, sok-sok perhatian nanya sudah makan belum, minjemin buku, buka jasa konsultasi gratis khusus dia. Ya, semacamnya, deh."

"Setelah Irfan, siapa lagi?"

"Kalo di kampus, ga ada. Irfan itu top-nya aktivis deh. Pemegang tahta tertinggi."

Reza mengelus-elus dadanya. Wajahnya menyemburat senyum.

"Di luar kampus ada?"

"Ada, tapi mereka lewat ayah dan kakak. Jadi, aku ga tau dan aku ga pengin mencari tau."

"Baguslah. Alhamdulillah."

"Aku sudah menutup peluang berinteraksi dengan mereka, Al. Sejak hijrah, aku sudah tidak menerima pemotretan lagi, tidak maen sosmed, tidak mikir sampai ke gimana perasaan mereka yang berharap lebih ke aku. Aku memang terkesan egois ya, tapi semua itu agar aku bisa mengejar ketertinggalan di ilmu agama, agar bisa menutup dosa masa lalu. Sesederhana itu."

Reza beringsut ke sisi Quinsha, merengkuhnya, meletakkan kepalanya di pundaknya.

"Orang-orang di masa laluku, kamu sudah tau. Mungkin ke depan, Allah akan mengungkap orang-orang di masa lalumu. Meski kamu bilang ga ada, bisa jadi mereka masih menyimpan rasa seperti yang Irfan simpan buatku tadi," gumam Quinsha.

Reza memindai ingatannya. Adakah?




Continue Reading

You'll Also Like

31.6K 2.5K 20
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
93.9K 9.5K 41
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
74.3K 8.3K 30
[Spin off Hakim, bisa dibaca terpisah] Bahagia seperti apa yang diinginkan semua orang? Apa bahagia mereka sama seperti definisi bahagia yang Husna...
561K 50.3K 60
-Spiritual~Romance- Menikah dengan seseorang yang merupakan sahabat sejak kecil mungkin masih bisa keduanya toleransi, tetapi bagaimana jika menikah...