ANXI EXTENDED 2

Af wins1983

14K 3.5K 846

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... Mere

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai

26 - Kenapa

185 48 6
Af wins1983

.

.

Kenapa harus dia? Dari sekian banyak pengacara di negeri ini?

.

.

***

"Hei, Elena."

Elena mendongak dan menemukan rekan kerjanya di depan meja. Pria yang seumuran dengan Elena itu, nyengir cengengesan. Kemeja kremnya nampak serasi dengan dasi cokelat bergaris kuning.

"Kenapa, Cahya?" tanya Elena dengan mata mengerling.

"Eciyee. Yang baru dapet klien kakap. Slamet, ye! Kapan traktirannya?" todong Cahya, seorang kuasa hukum junior, sama seperti Elena.

Elena melengos. "Jangan salah paham, ya. Bukannya pelit. Aku gak merasa ada yang perlu dirayakan. Dipilih menangani kasus keluarga Danadyaksa, sebenarnya buatku serasa dibebani tanggung jawab besar. Sebenarnya, aku kurang tidur semenjak aku diminta jadi kuasa hukum mereka."

"Kenapa gitu? Bukannya kasusnya gampang? Sobri 'kan sudah dinyatakan bersalah meracuni Ustaz Ilyasa. Dan bukti-bukti di lapangan, mengarahkan bahwa Sobri memang menerobos masuk ke rumah Ustadzah Raesha tanpa izin. Mestinya, tinggal ungkapkan bukti-bukti yang menyudutkan Sobri di pengadilan dan voila! Sobri masuk penjara, atau bisa-bisa dihukum mati. Ya 'kan?" kata pria bernama Cahya sambil mengangkat bahu.

"Mereka berharap Sobri mendapatkan hukuman seumur hidup. Dan aku harus mengusahakannya. Harus. Bukan demi fee kemenangan, tapi aku ingin membuat mereka merasa puas. Terutama Ustadzah Raesha. Karena Syeikh Yunan Lham terlihat lempeng saja. Dia manut apa mau Ustadzah Raesha saja katanya." Senyum tipis terbit di ujung bibir Elena. Tergelitik untuk menceritakan hubungan yang agak 'unik' antara Yunan dan adik angkatnya, tapi ia buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Rahasia keluarga Danadyaksa, aman di tangannya, insya Allah. Dia mungkin ember bocor, tapi dia tidak berani menggosipkan ulama.

"Hukuman seumur hidup, pantas untuk Sobri. I'm sure you can do it. Please send him to jail for the rest of his life," Cahya nyengir saat mengatakan itu.

Elena mendengkus. Tak semudah itu, Bambang, batin Elena. Kalau pengacara Sobri lihai meraih simpati hakim dan para juri, bisa-bisa Sobri hanya dihukum lima belas atau maksimal dua puluh tahun penjara.

"Oh ya. Kamu dipanggil si bos ke ruangannya. Kayaknya dia mau bahas kasusmu," kata Cahya.

Elena segera berdiri dan beranjak ke depan pintu ruangan bosnya. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, Elena mendorong pintu bermotif serat kayu di depannya. Seorang pria duduk di ruangan khusus itu. Berkumis putih. Namanya terpampang di papan nama sebagai Direktur Hadisuwito and Partners Law Firm, dengan sederet gelar pendidikan di belakang namanya. Adi Suyatno Hadisuwito S.H, M.H, M.Kn, LL.M.

"Duduklah, Elena," kata Pak Hadi, begitu dia biasa dipanggil di kantor ini.

Elena duduk tepat di depan Hadi.

"Saya lihat, kasus Ustadzah Raesha sudah resmi masuk daftar kasus biro kita," kata Hadi membuka percakapan.

"Iya, Pak. Kontraknya sudah ditandatangani Bapak Adli. Pembayaran fee juga sudah lunas. Jadi saya sudah laporkan ke kantor dan masukkan datanya ke daftar kasus," sahut Elena sembari mengangguk.

"Oke. That's good. Berhubung ini kasus yang cukup menyita perhatian masyarakat, kita perlu atur strategi supaya tersangka bisa menerima hukuman yang pantas."

Elena manggut-manggut.

"Kamu sudah tahu, siapa pengacara Sobri?" tanya Hadi.

"Belum, Pak," jawab Elena.

Hadi melirik ke jam dinding. "Saya dengar, konferensi persnya akan disiarkan live --," kata Hadi sambil meraih remot televisi dan menekan tombol mengarah ke televisi layar tipis yang tersemat di dinding ruangan.

"Dengan ini, pihak kepolisian menyampaikan informasi kepada masyarakat bahwasannya saudara Sobri telah dinyatakan sebagai tersangka dalam dua kasus sekaligus, yaitu kasus pembunuhan terhadap Ustaz Ilyasa Ahn, dan kasus penerobosan tanpa izin ke kediaman Ustadzah Raesha, sekaligus penganiayaan ringan terhadap Ustadzah Raesha Akhtar dan Syeikh Yunan Lham, serta pelecehan seksual terhadap Ustadzah Raesha."

Elena terkesiap melihat konferensi pers digelar di auditorium yang sama yang kemarin dihadiri dirinya, Raesha dan Yunan. Sebentar. Kliennya tidak ada di konferensi pers itu, 'kan?

Mata Elena mengabsen satu per satu orang di layar televisi. Elena merasa lega saat tidak melihat kliennya di mana pun di layar itu. Karena jika ada, berarti ia telah lalai mendampingi klien berharganya. Yang ada adalah Sobri yang mengenakan pakaian berwarna oren. Wajah Sobri menatap lurus ke depan, seolah tidak merasa bersalah. Di samping Sobri, duduk seorang pria gagah yang lebih tinggi tubuhnya dari Sobri. Pria yang mukanya sedingin es itu, nampak arogan, dengan dagu terangkat sedikit.

"Dia ... pengacara Sobri?" tanya Elena sebelum menelan saliva. Siapa pun yang berkecimpung di dunia hukum Indonesia, pasti mengenal pria itu.

"Ya. Theo Hayden," jawab Hadi, seolah sedang menyampaikan kabar buruk. Theo Hayden, seorang pengacara senior yang disegani karena tak punya rekor gagal selama membela kliennya. Namun ia juga diisukan sebagai pengacara yang tak segan menggunakan taktik kotor dalam pembelaannya. Apapun dilakukannya demi memenangkan kasus.

Oh tidak. Kenapa harus dia? Dari sekian banyak pengacara di negeri ini? batin Elena dengan wajah pucat.

Di televisi, konferensi pers masih berlangsung.

"Tersangka Sobri telah pulih pasca perawatan di rumah sakit, dan akan memasuki tahapan penyelidikan serta penyidikan kasus penerobosan tanpa izin ke kediaman Ustadzah Raesha. Sementara untuk kasus pembunuhan Ustaz Ilyasa Ahn, proses penyidikan telah selesai dilakukan. Proses akan berlanjut dengan gelar perkara dan rekonstruksi kejadian, sebelum kita akan memulai persidangan terbuka.

Saudara Theo Hayden telah resmi ditunjuk menjadi pengacara tersangka Sobri. Jika ada yang ingin disampaikan, kepada saudara Theo Hayden, kami persilakan."

Pria yang disebut namanya, menarik mikrofon di hadapannya. Salah satu alis matanya yang tebal, tertarik ke atas, sebelum pria bermata tajam itu bicara.

"Perkenalkan, saya Theo Hayden mulai hari ini resmi mewakili klien saya Sobri Aditya Qosim. Maka segala bentuk komunikasi yang menyangkut beliau, termasuk jika nantinya ada pertanyaan dari pers, akan diwakilkan kepada saya untuk menjawabnya.

Untuk saat ini, belum banyak yang bisa kami sampaikan. Yang terpenting, alhamdulillah saat ini klien saya telah pulih dari penembakan yang menimpanya. Selain dari penembakan di bahu, klien saya juga menderita luka di dada. Mengenai penyebabnya, saat ini belum dapat kami sampaikan, sebab proses penyidikan masih berlangsung."

Pernyataan dari Theo sontak membuat para wartawan ramai berebut bertanya.

"Pak Theo, apakah anda tahu siapa yang menembak Sobri?"

"Pak Theo, luka apa yang dialami Sobri di dadanya? Apakah parah?"

"Boleh minta waktunya untuk wawancara eksklusif, Pak Theo?"

"Mohon maaf. Sekali lagi saya ingatkan, konferensi pers kali ini, sifatnya satu arah. Tidak ada tanya jawab. Saya ulangi. Tidak ada tanya jawab! Terima kasih," sergah kepala Humas kepolisian.

Layar televisi mendadak berubah gelap. Hadi mematikannya. Pria paruh baya itu melengos.

"Begitulah Theo. Nyebelin, 'kan? Pengadilan belum dimulai, tapi dia sudah bisa bikin kesal," komentar Hadi sambil menggeleng.

Elena melongo. "B-Bagaimana dia bisa bilang begitu, seolah Sobri adalah korbannya??" jerit Elena. Dia fix emosi, hanya dengan menonton aksi Theo beberapa detik saja. Pria itu pakai bilang 'alhamdulillah' segala.

"Jadi, begitulah, Elena. Maksud saya memanggilmu ke sini adalah, agar kamu tahu siapa yang akan kamu hadapi. Saya tidak bermaksud menakut-nakutimu. Tapi kamu tahu 'kan, track record Theo bukan kaleng-kaleng?" Hadi menaikkan alis matanya, sebelum mengembuskan napas.

"Iya, Pak. Saya tahu. Sebaiknya bagaimana, Pak? Saya sungguh tidak menyangka, orang seperti Theo akan bersedia membela Sobri. Maksud saya --," Elena kehabisan kata.

"Ya. Agak membingungkan sebenarnya. Entah apa motif Theo membela Sobri. Jika untuk uang, Sobri bukanlah tersangka koruptor kakap atau semacamnya. Penjahat itu tidak punya uang. Artinya, kemungkinan Theo membela Sobri tanpa bayaran. Tapi jika dibilang untuk menaikkan pamor biro hukumnya, kemungkinan itu sangat kecil. Sebab bironya sudah terkenal," sahut Hadi dengan mata memicing saat berpikir keras.

Elena diam dengan kepala tertunduk. Serasa ada angin dingin di dalam tubuhnya. Ia punya firasat tidak enak, hanya dengan melihat wajah orang itu. Theo Hayden.

"Dengar, Elena. Saya bukannya meragukan kemampuanmu. Tapi, mengingat Theo dan kamu punya selisih jam terbang yang cukup jauh, bagaimana kalau kamu ditemani seorang pengacara kita yang lebih senior? Ehm ... tapi, tentu saja itu kalau kamu setuju. Kalau kamu merasa lebih nyaman sendiri -- ," Hadi mengucapkan penawaran itu setengah sungkan. Ia berusaha sebisa mungkin menjaga perasaan Elena.

"Setuju, Pak!" ceplos Elena tiba-tiba.

"Hah?" gumam Hadi terbengong-bengong.

"Oke, Pak. Saya tidak masalah dengan itu. Dengan senang hati, kalau ada senior yang ingin satu tim dengan saya, saya akan menerimanya! Yang paling penting bagi saya adalah, Ustadzah Raesha dan Syeikh Yunan Lham bisa dibela hak-haknya dengan sebaik-baiknya!" kata Elena dengan senyum dan sorot mata penuh keyakinan.

Hadi tersenyum. "Baiklah. Rizal akan membantumu. Kalian berdua, silakan diskusikan kasus ini bersama."

"Siap, Pak!" sahut Elena dengan sikap hormat.

Hadi ingin tertawa melihat gaya Elena.

Saat Elena hendak pamit dari ruangannya, Hadi memberikan saran dengan mimik serius.

"Elena, sebelum bertanding di pengadilan, kamu perlu mengenal siapa lawanmu. Pelajari baik-baik, siapa Theo Hayden. Latar belakangnya, karakternya, kebiasaan-kebiasaannya saat beraksi di pengadilan, kehidupannya. Semuanya."

"Baik, Pak," jawab Elena.

Saat wanita itu berdiri di luar pintu ruangan, sorot matanya menyiratkan tekad. Theo boleh menang dalam jam terbang dibanding dirinya, tapi bukan hanya Theo yang ingin memenangkan kasus ini. Lebih dari sekadar ingin menang, Elena punya rasa empati besar terhadap Ustadzah Raesha dan Syeikh Yunan. Dan Adli juga, tentu saja. Tapi Adli lagaknya seperti orang tidak terseret kasus saja. Dia tidak terpengaruh bahkan oleh surat panggilan dari kepolisian.

Elena mengangkat kedua belah tangannya.

Ya Allah. Tolonglah! Jangan biarkan Sobri lolos begitu saja dari kejahatannya, atau hanya dihukum dengan hukuman ringan. Bukan hanya demi Ustadzah Raesha dan Syeikh Yunan, tapi juga demi almarhum Ustaz Ilyasa.

Tengkuk Elena meremang, membayangkan di pengadilan nanti, bisa jadi ruh Ustaz Ilyasa mengamati.

"Lagi ngapain? Berdo'a kok di tengah koridor," komentar Cahya geleng-geleng.

Elena buru-buru kabur dari sana. Kembali ke meja kerjanya dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya. Tak ingin kalah dari pria itu. Theo Hayden.

.

.

***

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

72K 2.5K 11
Diandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi m...
2.1M 168K 33
Mona tiba-tiba ditugaskan untuk menjadi ajudan seorang komandan muda beranak satu yang sebentar lagi datang untuk memimpin kesatuannya, Skadron Udara...
2.8M 250K 69
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...