ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

22 - Biarkan

180 54 11
By wins1983

.

.

"Biarkan saja.

Mereka dengan niat dan usaha mereka. Kita dengan niat dan usaha kita.

Yang terjadi, tetap adalah takdir Allah."

.

.

***

Elena ternganga saat tiba di depan teras lobi kediaman keluarga Danadyaksa. Ini rumah atau istana? batinnya. Lantas, kenapa pula pelayan berjejer mengapit akses masuk utama? Bukan untuk menyambut dirinya, 'kan?

Seorang pria berusia tiga puluhan, menghampiri mobil Toyota RAIZE GR Sport kuning milik Elena, dengan senyum mengembang.

Elena membuka kaca depan mobilnya dan membalas senyum pria berseragam itu yang ditebaknya sebagai seorang butler.

"Selamat pagi," sapa Elena.

"Selamat pagi, Bu Elena!" balas Prama dengan wajah berseri-seri.

"Kok tahu kalau saya Elena?" tanya Elena dengan tampang bingung.

"Tadi penjaga di gerbang depan sudah info ke saya," jelas Prama.

"Ooh. Oke. Anu, saya parkir di mana, ya?" tanya Elena nyengir. Tempat parkir luas tak terkira. Saking luasnya, sampai-sampai Elena takut salah tempat parkir.

"Anda bisa serahkan kunci mobilnya, Bu Elena. Biar supir kami yang parkirkan," ucap Prama sopan.

"Ooh oke oke," sahut Elena manggut-manggut. Vallet parking ternyata, batinnya.

Setelah turun dari mobil dan menyerahkan kunci, Elena berdiri terbengong-bengong melihat akses pintu masuk rumah dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi. Dia jadi merasa seperti berada di museum atau gedung bersejarah bergaya klasik.

"Silakan masuk, Bu Elena. Anda sudah ditunggu," kata Prama membungkukkan tubuhnya dengan tangan mengarah ke pintu depan berdaun ganda yang terbuka lebar.

Elena mengangguk dua kali, masih sambil mengagumi tiap sudut rumah yang menawan. Bahkan bunga-bunga mawar di taman, terlihat sangat cantik, mempercantik rumah megah ini.

Masya Allah, Adli! Nenek moyangmu gimana ceritanya bisa membangun rumah gedong segede ini??

.

.

"Elena!" seru Adli yang otomatis berdiri dari kursi makan, saat melihat tamunya datang diantar Prama. Elena masih cantik seperti dulu waktu SMU. Sekarang, aura wanita karir sangat terpancar dari dirinya.

"Assalamu'alaikum!" sapa Elena yang nampak modis dengan jas dan celana panjang hitam dengan aksen dua kancing dan garis setengah melengkung di bagian kerahnya, serta kerudung menutupi leher berwarna ivory dengan motif marmer cokelat yang memberi kesan berkelas.

"Wa'alaikum salam!" sahut semua orang yang memang sudah berkumpul di ruang makan. Yunan, Raesha dan Adli, bahkan sengaja mandi lebih awal pagi ini, supaya mereka bisa langsung berdiskusi dengan Elena. 

Elena berjabat tangan dengan Adli.

Elaine diam membeku di kursinya, saat itu terjadi. Hatinya serasa dicubit pedih. Bertahun-tahun mengenal Adli, tak pernah tangan mereka bersentuhan sedikitpun. Elaine tahu kalau Adli masih belum bisa tidak bersalaman dengan yang bukan mahram. Sulit, terutama bagi seorang pengusaha yang klien dan rekan kerjanya beragam latar belakang. Orang yang berkecimpung di dunia perkantoran, akan memandang orang-orang yang memegang syari'at, sebagai orang-orang yang aneh. Sungguh Adli kagum pada Yoga yang dulu bersikukuh tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, sepulang dari suluknya. Dicerca banyak orang? Pastinya. Tapi Yoga tetap pada pendiriannya. Sayangnya, Adli belum sekuat Yoga.

"Ini Ibuku. Bu, ini Elena," kata Adli memperkenalkan Elena pada Erika. Kedua wanita itu bersalaman, saling tersenyum. 

Elaine tertunduk. Adli seolah sedang mengenalkan Eyang putri pada calon menantunya. 

"Ini Haya, adikku. Udah pernah kukenalin dulu, 'kan?" tanya Adli pada Elena.

"Sudah. Aku masih ingat, kok," sahut Elena saat bersalaman dengan Haya.

"Apa kabar, Kak Elena?" tanya Haya dengan senyum ramah.

"Baik, alhamdulillah. Kamu makin cantik aja, Haya," puji Elena.

"Jangan dipuji. Nanti dia makin narsis," celetuk Adli.

"Enak aja! Kakak tuh, yang narsis!" protes Haya.

Semua tertawa melihat tingkah Adli dan Haya. Bawaannya kalau mau gelut terus.

Raesha, Ismail, Ishaq dan Yunan dilewati oleh Adli, karena Elena sudah mengenal mereka di kantor polisi kemarin. 

"Ini Kak Arisa, istri Kak Yunan, dan di sampingnya adalah Elaine, putri Kak Yunan."

Arisa dan Elaine spontan berdiri dan menyambut jabatan tangan Elena.

"Namamu Elaine? Sepintas mirip namaku!" komentar Elena ceria. 

"I-Iya, Tante. Memang mirip," kata Elaine dengan senyum kecut. Justru karena mirip itulah, Elaine berpikir dirinya salah dengar suara Adli saat tidur mengigau di rumah mendiang Mbah waktu itu.

"Aku dipanggil Tante. Jadi berasa tua," canda Elena sambil menoleh ke arah Adli.

"O-Oh. Maaf!" seru Elaine sambil menutup bibirnya.

"Dibandingin sama Elaine, kamu emang udah tua. Kamu pantesnya malah dipanggil Eyang, Ember Bocor," kata Adli seolah membela Elaine.

"Hus! Ngawur ae! Siapa yang kamu panggil Ember Bocor??" seru Erika dari ujung meja. 

"Emang dia panggilannya Ember Bocor, Bu!" kilah Adli membela diri.

"Maafin anak saya, Elena. Emang Adli kalo ngomong suka ngasal. Saya juga sering dibikin kezel. Bawaannya pengin borehin cabe ulek ke mulutnya," kata Erika, malah membuat Elena tertawa. Berhubung Adli aneh, jadi dia maklum kalau keluarga Adli juga ajaib.

"Ayo duduk, Elena. Kita sarapan bareng," kata Erika mengarahkan Elena untuk duduk di antara dirinya dan Adli.

Elena makan bersama keluarga Adli. Menu makanan yang beragam, membuat Elena sempat galau mau makan apa. Akhirnya Elena memilih pancake. Sambil mengobrol dengan Erika -- ibunda Adli yang kocak dan menyenangkan -- Elena mencicipi salad terenak yang pernah dimakannya. Mirisnya, dulu waktu pacaran dengan Adli, makan bersama ini tidak pernah terjadi. Sekarang, justru kasus kakaknya Adli yang membuat peristiwa ini terjadi.

Elaine diam-diam melirik iri melihat kedekatan Elena dan Erika. Dia membayangkan Elena bersanding dengan Adli. Cocok. Mereka sangat cocok, dibandingkan Adli dengan dirinya yang masih remaja ini.

"Elena masih single?" tanya Erika, mulai berani bertanya hal pribadi, setelah merasa nyaman berbincang dengan Elena yang ternyata senang bicara alias nyerocos.

"Masih, Tante," jawab Elena tersenyum. Tidak nampak tanda-tanda bahwa dirinya tersinggung dengan pertanyaan Erika.

"Nah! Adli juga masih single, nih! Yakin gak mau balikan lagi sama Adli? Siapa tau jodoh, ya 'kan?" ceplos Erika tanpa saringan.

Kaki Haya spontan menginjak kaki ibunya. Kurang ajar memang, tapi dia bingung bagaimana cara menegur ibunya tanpa terlihat orang-orang.

Elaine menundukkan kepalanya dalam. Ia ingin segera berangkat saja ke sekolah. Tak tahan berlama-lama di ruangan ini.

"Kenapa sih, Haya? Kok injak kaki Ibu?" kata Erika, malah memperjelas kalau Haya menginjak kakinya. Haya menepuk kening. Ibunya mulai pikun kah? Masa' Erika lupa kalau Adli naksir Elaine?

"Adli sudah punya calon istri katanya, Tante," sahut Elena, spontan membuat semua orang terdiam.

"Dasar Ember Bocor beneran," ucap Adli sambil menutup mukanya yang merona merah.

"Oh ya?? Adli gak pernah --," Erika terputus kalimatnya. Barulah Erika teringat kalau Adli naksir Elaine. Dia mulai pikun rupanya. Erika pikir, Adli cuma cinta monyet saja. Apa iya sampai sekarang Adli masih naksir sama Elaine? Sekarang Erika paham kenapa Haya mendelik galak ke arahnya.

Semua orang diam-diam melirik ke arah Elaine. Sementara Elaine menatap Adli dengan alis berkerut. 

Om Adli punya calon istri? Siapa?? Jadi, Elena bukan -- 

Adli perlahan menatap Elaine dengan ekspresi malu. Sementara Elaine malah buang muka. 

Apa Om Adli punya pacar? Di kantor? Atau teman alumni kampusnya, mungkin?

Mungkin. Sangat mungkin. Wajar saja, dengan tampang keren seperti Om Adli.

Tak lama, Haya dan Elaine bersiap pergi ke sekolah bersama supir. Adli mengantar kepergian mereka sampai lobi.

"Hati-hati. Maaf, ya. Aku gak bisa antar," kata Adli pada Elaine yang sedang memakai sepatu. Haya sengaja menunggu di teras luar. Memberikan ruang untuk kakaknya dan Elaine.

"Gak apa-apa," sahut Elaine cemberut.

"Kamu kenapa?" tanya Adli, menyadari raut muka Elaine berubah. Perasaan tadi pas makan, Elaine belum merengut seperti ini.

"Gak apa-apa," ulang Elaine sebelum berlalu keluar rumah menyusul Haya.

Haya antara kasihan dan ingin tertawa, melihat ekspresi menyedihkan Adli saat tak diacuhkan Elaine.

Adli berdiri lesu melihat sosok Elaine dan Haya menuruni anak tangga menuju mobil yang akan membawa mereka ke sekolah.

Ya Allah. Kenapa lagi sih, dia? Lagi PMS kali, ya? tebak Adli dalam benak. Dicuekin Elaine, rasanya pahit. Pahit sekali. Kapan dia bisa melihat senyum Elaine lagi? 

Cepetan kelar kek, PMS-nya.

.

.

Adli, Elena, Raesha dan Yunan berkumpul di ruang kerja. 

"Mana kontraknya?" tanya Adli dengan tampang serius di meja kerjanya. Tangannya meraih pena di tempat alat tulis. Sebenarnya, mood-nya menukik turun semenjak pagi tadi melihat Elaine terkesan dingin padanya. Tapi apalah daya. Adli tetap harus mengerjakan macam-macam hal hari ini, termasuk penandatanganan kontrak kuasa hukum dengan Elena, mendampingi diskusi antara Kak Yunan, Kak Raesha dan Elena, lalu berangkat bersama Kak Yunan dan Kak Raesha ke kantor polisi. Bisa jadi Adli akan stuck di kantor polisi sampai sore.

Elena menyerahkan sebuah map di meja. Adli mempelajari isi kontrak dengan saksama.

"Oke. Everything seems fine. Aku tanda tangan sekarang," kata Adli tanpa negosiasi sama sekali. Pada klausa kpntrak kerja, disebutkan tarif kuasa hukum, lalu biaya transport dan lain-lain di luar tarif akan dikenakan kemudian. Jika kasus berhasil dimenangkan Elena, atau penanganan kasusnya sesuai harapan, akan ada fee tambahan.

"Fee-nya bisa dibayar nanti saja, tidak apa-apa," kata Elena.

"No. I better do it now," sahut Adli membuka laci dan mengeluarkan buku cek. Menulis dengan cepat sejumlah nominal di sana, lalu memberikan secarik cek itu pada Elena.

"Please check. Bener gak nominalnya?" tanya Adli sambil meletakkan kembali buku ceknya ke dalam laci.

"Oke. Sudah benar. Makasih, Adli," kata Elena tersenyum.

"Nanti kalau persidangan kita mulus dan Sobri dihukum sesuai dengan hukuman yang kita harapkan, i'll doubled your additional fee," kata Adli.

"Oke, bos," sahut Elena dengan cengiran. Adli orang kaya yang tidak pelit. Elena tahu itu. Dulu waktu mereka pacaran, Adli membelikannya macam-macam, membayari ini-itu dan tidak pernah mengungkit-ungkit pemberiannya.

"Gimana dengan Sobri? Kamu sudah dengar kabar tentang dia? Apa dia sudah sadar di rumah sakit?" tanya Adli saat menyatukan jemarinya, raut wajahnya nampak lebih serius.

"Kudengar sudah. Sebentar lagi mungkin polisi akan menggelar konferensi pers, memperlihatkan Sobri sebagai tersangka tunggal," jawab Elena.

"That's good. Bayangin kalau Sobri mati karena ditembak pengawalku. Bisa-bisa aku yang masuk penjara," komentar Adli dengan tampang berubah masam. Yunan, Raesha dan Elena spontan tertawa.

"Untuk hukuman Sobri, Ustadzah berharap bagaimana?" tanya Elena pada  Raesha.

Semua orang menatap Raesha yang nampak bimbang.

"Saya dengar, ada tekanan dari publik supaya Sobri dihukum mati," kata Yunan tiba-tiba.

"Ya. Memang, Syeikh. Publik menuntut agar Sobri dihukum mati, dan pengadilan dilakukan secara terbuka," sahut Elena.

"Aku ... entahlah. Awalnya memang, aku terpikir hukuman mati untuk Sobri. Maksudku, dia sudah meracuni Ilyasa," suara Raesha tercekat saat menyebut nama Ilyasa.

Adli menarik sehelai tisu dan memberikannya pada Raesha. Raesha menggumamkan terima kasih dan mengusap ujung matanya yang mulai berair. Sekiranya Ilyasa bisa bicara padanya sekarang, apa yang akan Ilyasa katakan?

"Sayang, pembunuhmu sudah tertangkap. Kamu mau hukuman apa untuknya?"

Begitukah Raesha akan bertanya pada Ilyasa? Lalu, Ilyasa akan menjawab apa?

Raesha memejamkan mata.

"Mengingat Sobri tidak terlihat menyesali perbuatannya, dan malah berniat balas dendam padaku sebagai jandanya Ilyasa, aku berharap Sobri dipenjara seumur hidup. Itu saja. Tapi kalau hakim memutuskan hukuman mati, dengan berbagai pertimbangan, maka -- terserah keputusan hakim saja," jawab Raesha.

"Baiklah, Ustadzah," kata Elena sambil mencatat di buku notesnya.

"Kalau saya, terserah Raesha saja. Hukuman apa untuk Sobri yang membuat Raesha ridho," kata Yunan.

"Baik, Syeikh," sahut Elena mengangguk.

"Jadi intinya, Elena, kami berharap setidak-tidaknya Sobri mendapat hukuman penjara seumur hidup," Adli menyimpulkan.

"Oke. Ah ya. Ada kabar yang kudengar dari rekan-rekanku yang pengacara," ucap Elena serius.

"Apa itu?" tanya Adli.

"Kudengar, beberapa pengacara top, mendekati Sobri. Mereka berebut jadi pengacara Sobri, bahkan rela membela Sobri secara cuma-cuma."

Semua terkejut mendengar informasi itu dari Elena.

"Kenapa begitu?" seru Raesha nyaris menjerit.

"Karena, kasus ini kasus besar, dan melibatkan banyak tokoh ternama. Almarhum Ustaz Ilyasa, Ustadzah Raesha dan Syeikh Yunan. Para pengacara itu ingin menjadikan kasus ini untuk mendongkrak ketenarannya, sekaligus menjadi ajang kebolehan mereka dalam membela klien. Mengingat Sobri telah ditetapkan sebagai tersangka sejak lama, dan Sobri malah menambah kasus barunya, yaitu penerobosannya ke rumah Ustadzah Raesha, artinya kemungkinan Sobri bisa lolos dari hukuman mati atau hukuman seumur hidup, sangat kecil. Dugaanku, mereka akan berusaha supaya Sobri dihukum seminimal mungkin. Belasan tahun saja, misalnya," jelas Elena.

Raesha mengepalkan tangan. Kesal setengah mati. Belum mulai pengadilan, sudah seperti ini.

"Biarkan saja, Rae. Mereka dengan niat dan usaha mereka. Kita dengan niat dan usaha kita. Yang terjadi, tetap adalah takdir Allah," ucap Yunan.

Binar mata Yunan yang nampak damai, membuat emosi Raesha kembali stabil.

Raesha mengangguk pelan. Pipinya tersipu.

Adli terkesiap, menyadari lirikan Elena ke arahnya. Lirikan yang dipahami oleh Adli maknanya.

Mereka berdua ada 'something', 'kan? Ayolah. Cerita padaku!

Adli menatap Elena dengan tatapan datar.

Dasar Ember Bocor kepo-an!

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

343 65 13
" Bagaimana bisa kamu mengejarnya dengan mencari kesempurnaan, kamu ga lihat aku yang berusaha menjadi sempurna untuk kamu." Ucap Shezi dengan derai...
476K 57.9K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
2.8M 169K 34
[า“แดสŸสŸแดแดก แด…แดœสŸแดœ sแด‡ส™แด‡สŸแดœแด ส™แด€แด„แด€!] ส€แดแดแด€ษดแด„แด‡ - sแด˜ษชส€ษชแด›แดœแด€สŸ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
27.2K 1.9K 15
Tentang sebuah Dendam yang berakhir dengan Penyesalan Tentang sebuah Cinta yang datang saat Perjalan sudah harus terhenti Tentang Cinta sejati yang t...