ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14K 3.5K 846

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai

21 - Berkah

329 54 6
By wins1983

.

.

Ya Allah, berkahilah rumah ini beserta seluruh penghuninya.

.

.

***

Suasana di ruang makan malam ini agak canggung. Anggota keluarga bertambah satu, yaitu Arisa.

Jika bukan karena apa yang dialami Arisa di bandara sore tadi, mungkin suasana makan malam hari ini akan jadi semarak dan diisi dengan canda tawa. Sekarang, orang-orang menahan diri dari melawak, sebagai tanda bersimpati terhadap Arisa yang mungkin masih syok.

Yunan menyantap ayam bakar lalapan di piringnya. Ia makan dengan tangan, berbeda sendiri dengan yang lain yang menggunakan sendok garpu. Sementara Arisa memilih sup asparagus.

Arisa tersenyum melihat bulir nasi yang menempel di samping bibir suaminya.

"Sayang, ada nasi di pipimu," kata Arisa setengah berbisik, tapi cukup untuk terdengar oleh yang lain di meja makan itu.

"Di sebelah mana? Sini?" tanya Yunan sambil mengusap pipi kanannya dengan punggung tangan, sebab telapak tangannya belepotan bumbu ayam bakar bercampur nasi.

"Bukan. Sini, biar aku aja." Arisa mengambil butir nasi di pipi suaminya, terlihat seperti membelai lembut.

"Sudah, sayang," ucap Arisa terdengar mesra meski ekspresi wajahnya tidak nampak di balik cadarnya.

Yunan terlihat canggung. Tidak seperti biasanya, Arisa menampakkan perhatiannya di depan orang-orang. Tepatnya, di depan keluarga Danadyaksa.

Raesha mengalihkan perhatian, dari pasangan itu, ke arah piringnya. Kini ayam bakar yang masuk ke mulutnya terasa berbeda. Semestinya, kemesraan antara Yunan dan Arisa sudah dianggapnya biasa. Apa boleh buat. Mereka suami istri. Wajar saja kalau sedikit banyak mereka menampakkan kemesraan meski di depan umum. Apalagi ini di lingkungan keluarga sendiri. Mestinya sih begitu. Mestinya. 

Erika, Haya dan Adli mengamati drama roman yang menyedihkan itu. Menyedihkan bagi Raesha, tepatnya.

Kak, Kak ... nasibmu. Kenapa kamu harus jatuh cinta sama lelaki beristeri? Kakak angkat sendiri pula, batin Adli melirik Raesha dengan tatapan iba.

"Kamu dapat surat panggilan ke kantor polisi, Adli?" tanya Erika. Berharap pertanyaannya bisa mengalihkan perhatian Raesha yang nampak sedih setelah terpaksa menyaksikan kemesraan Yunan dan Arisa di meja makan.

"Iya, Bu. Aku cuti besok," jawab Adli.

"O-Om Adli dipanggil polisi?" seru Elaine.

"Iya. Jangan khawatir, Elaine. Aku gak dipanggil sebagai tersangka, kok," sahut Adli dengan senyum lebar. Elaine membalasnya dengan tatapan datar.

Haya nyaris tersedak makanannya, sebelum gemetar menahan tawa. Adli selalu punya stok lawakan, padahal bukankah mereka semestinya sedang dalam suasana prihatin?

"Kuasa hukum kita besok pagi katanya mau mampir ke sini?" tanya Erika lagi. Dia mendengar informasi itu tadi dari Yunan.

"Iya, Bu. Elena katanya mau ke sini besok pagi. Dia akan sarapan bersama kita," jawab Adli sambil menyesap supnya dengan anggun.

Elaine membelalak matanya. Elena -- Elena yang 'itu'? Yang pernah dibahas Om Adli saat mengantarnya ke sekolah?

"Ibu lihat dia di headline news tadi siang. Orangnya masih muda sekali, ya. Seumur kamu, 'kan? Kamu kenal dia di mana?"

"Dia 'kan mantan pacar Kak Adli waktu SMA, Bu!" celetuk Haya.

"Haya, diamlah," ancam Adli dengan muka angker. Haya malah tertawa.

Elaine meneguk air putih, dengan pandangan tertunduk. Berusaha meredam perasaan aneh yang menyelimuti benaknya. Rasa yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Perasaan 'terancam'. Seolah sesuatu yang berharga darinya hendak diambil oleh orang lain. Kenapa dia merasa seperti ini? Memangnya, sejak kapan Om Adli jadi miliknya?

"Tidak apa-apa kah kasus ini ditangani oleh kuasa hukum semuda itu? Apa tidak sebaiknya kita cari yang lebih senior?" Erika mengucapkannya dengan raut wajah cemas.

"Tidak perlu, insya Allah. Aku percaya dengan Elena. Dia akan mengusahakan yang terbaik. Dan lagi, aku merasa lebih nyaman dengan orang yang sudah kukenal," jawab Adli yakin.

Dada Elaine serasa menciut mendengarnya. Adli terdengar seperti sangat menyukai karakter wanita bernama Elena itu. 

Arisa meneguk minumannya. Diam-diam mengamati air muka putrinya. Paham kalau nama 'Elena' mengusik Elaine.

"Dulu pacaran berapa lama sama dia, Kak?" goda Haya dengan senyum nakal.

Adli menatap adiknya tajam. "Aku dua tahun sekelas sama dia, oke? Memangnya kamu berapa lama kenal Husein? Kok langsung mau nikah aja?" balas Adli baper, terpancing emosinya.

"Hei! Jangan bawa-bawa Husein!" protes Haya.

"Heh sudah! Jangan berantem di meja makan!" omel Erika mulai muncul taringnya. Adli kalau sudah bertengkar dengan Haya, hal sekecil apapun bisa jadi pemicunya.

"Ya udah. Kita berantem di kamar aja, Kak!" ajak Haya sambil mengepalkan tangan, siap gelut.

"Lihat, Bu! Dia mulai duluan!" kata Adli menunjuk ke arah Haya. Persis anak bocah mengadu.

Elaine nyaris tertawa. Dia tahu Adli punya sisi kekanak-kanakan yang jarang ditunjukkannya.

"Haya, jangan cari masalah dengan kakakmu, atau hapemu Ibu sita," putus Erika galak.

Haya merengek. Adli mengulurkan lidahnya ke arah Haya. Rasain! batin Adli. Jelas Adli tidak akan dihukum Erika. Mana mungkin Erika menyita ponsel Adli? Bagaimana pula Adli akan mengurus perusahaan tanpa alat komunikasi?

"Om Adli sama Tante Haya kok kayak anak kecil?" komentar Ishaq polos, diiringi tawa semua orang di ruang makan. Ishaq kalau nyeletuk memang suka bener.

Raesha nyengir miris. Hape disita, adalah hukuman yang dulu diterimanya saat nekat tetap berusaha mendekati Kak Yunan. Jadi teringat masa-masa jahiliyah yang kelabu itu.

"Jangan khawatir, Bu. Elena kelihatan sangat bertanggung jawab. Pas aku dan Raesha datang ke kantor polisi dari tes visum di rumah sakit, tahu-tahu Elena sudah ada di sana. Dia mengurus surat laporan resmi dengan polisi, lalu dia juga jadi juru bicara kami saat konferensi pers. Dia bahkan datang ke sana tanpa membahas bayaran sama sekali dengan Adli. Ya 'kan, Adli?" kata Yunan pada Erika, dengan lirikan penuh arti ke arah Adli.

"I-Iya," sahut Adli malu-malu. 

Elaine tercenung. Melihat reaksi Om Adli, Elaine merasa, Om Adli dan Abinya pasti sudah membicarakan tentang Elena sebelumnya. Apa yang diceritakan Om Adli pada Abinya tentang Elena? Jika Elena menerjunkan dirinya dalam kasus keluarga mereka bahkan tanpa membahas bayaran terlebih dulu, mungkinkah itu karena Elena masih punya perasaan pada Om Adli? 

 Setelah makan malam berakhir, Elaine melihat Adli memberi arahan pada Prama.

"Prama, besok kita akan kedatangan tamu penting. Namanya Elena. Dia kuasa hukum untuk kasus yang menimpa keluarga kita. Pastikan kamu dan beberapa orang pelayan, menyambut kedatangannya di lobi. Langsung arahkan dia ke ruang makan untuk sarapan. Siapkan menu yang lebih bervariasi. Tambahkan buah-buahan dan salad juga," kata Adli.

"Baik, Tuan," sahut Prama membungkuk sopan. 

Elaine menggigit bibir. Sebegitu pentingnya kah wanita bernama Elena itu? Sampai disambut sedemikian rupa? 

Elaine memunggungi mereka dan hendak kembali ke kamar bersama Ummi dan Abinya. Adli melihat gadis itu dari ekor matanya.

"Elaine!" panggil Adli.

Elaine berbalik. Hanya dipanggil namanya oleh Adli, padahal. Tapi jantungnya berdebar keras. Suara bariton Adli yang terdengar seksi, selalu punya efek itu terhadapnya. 

"Ya, Om?" sahut Elaine.

"Maaf, besok aku gak bisa antar kamu dan Haya ke sekolah. Supir akan mengantar kalian," kata Adli terdengar agak sedih. Ketimbang surat panggilan dari kepolisian, Adli jauh lebih menyukai surat cinta dari Elaine, tentu saja. Yang mana itu tidak akan terjadi di dunia nyata. Only in my wild dreams, of course, imbuh Adli dalam hati.

"Iya gak apa-apa, Om. Panggilan dari kepolisian lebih penting," kata Elaine berusaha tersenyum. Wanita bernama Elena itu juga, lebih penting dari dirinya, pastinya. 

Enggak, sih. Panggilan cinta dari kamu, jauh lebih penting, racau Adli dalam benak. 

"Pertanyaanmu waktu itu, bikin aku jadi teringat Elena. Siangnya, aku langsung cari nomor telepon Elena, dan minta dia jadi kuasa hukum keluarga kita. Ini gak mungkin kebetulan. Pasti takdir dari Allah. Makasih, Elaine!"

Ucapan Adli membuat Elaine terkejut. Pertanyaannya pagi itu di mobil Om Adli, tentang apakah Om Adli punya kenalan yang bernama sama dengannya, malah mengarahkan Adli pada Elena? Takdir, kata Om Adli.

Kini dada Elaine serasa tertusuk. Mungkinkah kejadian ini adalah tanda bahwa Om Adli ditakdirkan berjodoh dengan Elena? 

Elaine memaksakan bibirnya tersenyum. "Alhamdulillah, Om. Aku ikut senang. Aku pamit ke kamarku dulu, Om," pamit Elaine segera.

"Iya," sahut Adli membalas senyum Elaine, sebelum melihat Elaine berjalan di koridor bersama kedua orang tuanya. Elaine memang terlihat tersenyum, tapi entah mengapa, seperti ada yang mengganjal.

.

.

Yunan berjalan di depan. Di belakangnya, Arisa dan putrinya berjalan berdua. Arisa membuka cadarnya, karena sudah tak ada siapa pun di sana selain mereka bertiga.

"Kamu terganggu dengan nama Elena?" tanya Arisa tanpa berbasa-basi, membuat Elaine gusar karena merasa kepergok.

"E-Enggak, Ummi!" kilah Elaine dengan kepala tertunduk ke arah lantai.

Arisa melengos. Gemas dengan putrinya. Dari tindak-tanduk Elaine, terlihat jelas bahwa Elaine masih menyimpan rasa pada Adli. Malah, rasa itu sepertinya bertambah besar, dibanding terakhir kali Arisa berjumpa dengan Elaine di acara pelantikan Adli sebagai CEO baru, lalu di acara pertunangan Raihan.

"Ummi bilang juga apa. Jangan melibatkan dirimu dengan mantan playboy! Jangan tempatkan mereka dihatimu!" omel Arisa dengan suara tertahan. Tak ingin percakapan ini terdengar oleh Yunan, meski mungkin Yunan sudah tahu. Dia sendiri heran, bagaimana suaminya itu bisa begitu tenang, mempercayakan putri satu-satunya di bawah perlindungan Adli Pratama Danadyaksa?

"Yang sengaja menempatkan dia di hatiku siapa, Ummi?? Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri suka pada siapa! Tapi aku 'kan sudah pernah bilang, insya Allah aku tetap menjaga tindak-tandukku, menjaga kehormatan keluarga kita!" sahut Elaine balas berbisik.

Yunan tahu kedua perempuan di belakangnya saling berbisik. Dia tersenyum tipis. Pasti sedang ada sesi women's talk, batinnya.

"Mestinya kamu cari laki-laki yang seperti Abimu! Yang paham ilmu agama, dewasa, perhatian, tidak play--" Kalimat Arisa terhenti. Mendadak teringat dulu saat dirinya pernah putus dengan Yunan. Yunan saat itu seperti terdistraksi dengan seseorang. Teralihkan dengan ... entah -- siapa.

Elaine menatap Umminya bingung. Kenapa menggantung begitu kalimatnya? batinnya. "Boy," ceplos Elaine melanjutkan kalimat Arisa yang terputus.

Arisa melengos. "Kenapa kamu gak percayain aja ke Ummi sama Abi? Nanti Ummi cariin calon suami yang bener buat kamu!" 

Elaine membalas dengan tatapan malas. "Oh plis, Ummi," gumam Elaine lesu. Drama Elena sudah membuatnya lelah. Tolong jangan ditambah lagi dengan drama perjodohan. Tak lama, Elaine masuk ke kamarnya. Akhirnya. Elaine butuh privasi saat ini. Sangat.

"Kamu masuk duluan," kata Yunan pada istrinya.

Arisa menatapnya penuh tanda tanya. "Kamu mau ngapain di luar? Kamu gak pergi ke mana-mana, 'kan?" tanya Arisa curiga. Belakangan, pikirannya gampang teralihkan. Apa yang dia pikirkan? Yunan diam-diam ke kamar Raesha? Arisa buru-buru istighfar dalam hati.

Yunan menghela napas lelah. "Emangnya aku mau ke mana? Aku mau cek pintunya, kemarin pintunya sepertinya agak bermasalah," jawab Yunan. Tidak sepenuhnya benar, dan tidak sepenuhnya bohong. Yang dimaksud Yunan dengan 'bermasalah' adalah, pintu ini diketuk jin tadi malam. Tengah malam buta. Dan dia ingin melakukan sesuatu pada pintu ini sekarang, tanpa dilihat seorang pun termasuk istrinya sendiri.

"Oh ya?" gumam Arisa melirik pintu kayu jati yang sepertinya masih kokoh itu. Tidak terlihat bermasalah di matanya. "Oke. Aku masuk duluan," kata Arisa pasrah. Dia merasa bersalah, barusan punya pikiran yang tidak-tidak tentang suaminya.

 Arisa masuk ke dalam kamar dan pintu kamar ditutup. Yunan diam mematung di tempatnya. Penerangan koridor kini terang benderang, atas perintah Adli pada para pelayan untuk menyalakan semua lampu di luar kamar, bahkan di jam tidur.

Mata Yunan memejam. Berusaha menajamkan kepekaannya yang belakangan menipis. Banyaknya skenario yang terjadi, membuatnya hilang fokus. Sulit untuk bisa tenang dan berbicara dengan kata hati.

Mereka tidak ada di sini, setidaknya saat ini.

Tangan Yunan menyentuh pintu. Batinnya merapalkan amalan sebelum tidur. Gelombangnya memancar ke seluruh permukaan pintu. 'Memagari' bukan hanya pintu, melainkan sekeliling rumah hingga ke pagar terluar. Beberapa nama orang sholeh, disebut Yunan dalam hati. Tawasul.

Kekhusyukannya sedang tidak berada di tingkatan yang dia harapkan, tapi ini yang terbaik yang dia bisa lakukan saat ini.

Mata Yunan perlahan terbuka. Ia membuka pintu kamar dan membaca ayat kursi saat masuk ke dalamnya.

Ya Allah, berkahilah rumah ini beserta seluruh penghuninya.

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

470K 37.6K 23
[COMPLETED] Keterkaitan cerita #6 Humaira gadis lugu yang terperangkap cinta dalam diam yang tak terelakan. Arkan sosok lelaki yang memiliki segudang...
722K 61.4K 69
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasakan penyesalan. Perasaan dimana aku berada diantara kasihan pada diri sendiri dan membenci diriku sendiri...
2.8M 250K 69
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
35.4K 561 17
Kumpulan puisi tentang cinta