ANXI EXTENDED 2

Door wins1983

14.2K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... Meer

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

20 - Surat Panggilan

173 53 7
Door wins1983

.

.

"Welcome to the club, Adli." 

.

.

***

"Dia menyuruhmu kembali ke tempat suluk?" tanya Yunan saat akhirnya bicara empat mata dengan istrinya di kamar.

Arisa mengangguk. Cadar dan jilbabnya sudah dilepas. Kulitnya pucat lantaran baru saja syok setelah apa yang dilihatnya di bandara.

"Iya. Dia bilang, dia akan sibuk mengurus macam-macam di Jakarta. Waktunya tidak tepat kalau aku datang sekarang, katanya."

"Lalu?"

"Aku menarik lengannya, tapi dia kelihatan tidak suka. Dia menyuruhku jangan dekat-dekat. Kupikir, kamu sakit. Eh -- dia -- sakit. Aku mendekat padanya, bertanya apa kamu -- eh -- makhluk itu, sakit. Lalu ... "

Bibir Arisa gemetar. Yunan menggenggam jemari istrinya erat. Memberi kekuatan agar Arisa bisa menyelesaikan ceritanya.

"Makhluk itu menjerit melengking, sebelum terbakar dan asap putih membumbung menutupi tubuhnya hingga habis dan hilang begitu saja. Hanya aku yang melihatnya, sementara orang-orang di sekitarku, ternyata melihatku bicara sendiri."

Yunan mengangguk. Arisa bicara dengan makhluk itu dari jarak dekat, karena Arisa menyangka makhluk itu adalah suaminya. Yunan paham kalau makhluk itu sepertinya terbakar karena napas Arisa saat bicara. Napas orang yang melazimkan salat sunnah Dhuha, mampu membakar jin.

Air mata Arisa menetes. "D-Dia hilang. Tak ada jejaknya. Apa itu -- makhluk serupa yang pernah kulihat dulu waktu kamu akan bicara dengan Raesha di ruang tamu rumah ini?"

"Mungkin. Dari jenis mereka. Entahlah. Bentuk mereka bermacam-macam. Mereka ada banyak," jawab Yunan.

Arisa menghapus air matanya. "K-Kamu dan Raesha masih diganggu? Kapan terakhir kali --"

"Semalam. Di rumah ini," jawab Yunan singkat. 

"Ya Allah," gumam Arisa sambil menutup muka.

"Mereka tak akan berhenti. Entah sampai kapan," kata Yunan dengan tatapan tertunduk ke lantai.

Arisa terdiam. Ucapan Yunan membuatnya berpikir.

"Jangan khawatir, sayang. Aku sudah bicara dengan Zhafran. Mereka sebenarnya kesulitan mencari celah, karena kita semua alhamdulillah punya amalan. Maka yang bisa mereka lakukan hanya itu. Mengganggu dan membuat kita merasa tidak nyaman, atau tidak betah. Kalau dulu, mereka bisa masuk melalui Raesha. Tapi alhamdulillah Raesha yang sekarang sudah jauh berubah dibanding dulu."

Arisa menatap wajah suaminya yang tersenyum teduh. 

"Aku sudah bicara pada Raesha. Tak ada satupun dari kami yang perlu lari dari makhluk-makhluk itu. Kita hadapi mereka sama-sama. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja, insya Allah," kata Yunan dengan penuh keyakinan.

Arisa memaksakan bibirnya tersenyum. Ia merasa gamang. Memang, bisa saja mereka mengabaikan semua gangguan-gangguan itu. Tapi, bukankah hidup mereka akan menjadi tidak nyaman karenanya? Sementara pertemuan Raesha dan Yunan tak terelakkan. Meski tidak sedarah, mereka tetap keluarga. 

Sampai kapan mereka harus seperti ini?

.

.

Pintu kamar Raesha diketuk dari luar.

"Nyonya Raesha, makan malam sudah siap," suara pelayan wanita.

Raesha melengos. Alangkah malasnya keluar kamar dan bertemu pasangan itu. Kak Yunan dan Kak Arisa. Tapi apa boleh buat. Dia terpaksa. Akan aneh jika dia mengurung diri tanpa setidaknya bersalaman dengan Kak Arisa.

"Ya. Terima kasih. Nanti saya ke ruang makan," sahut Raesha dari dalam.

"Ibu gak apa-apa?" tanya Ismail dengan senyum yang mengingatkan Raesha pada almarhum Ilyasa.

"Kenapa kamu tanya begitu? Ibu gak apa-apa, sayang," jawab Raesha seraya mengusap kepala Ismail.

Raesha merindukan Ilyasa. Rindu sekali. Dulu sebelum dirinya menikah dengan Ilyasa, Ilyasa mengenali tanda tiap kali Raesha galau karena Kak Yunan. Ilyasa memahami Raesha tanpa Raesha harus bicara.

"Nah gitu, dong. Emak-emak nyinyir gak pantes kalo sok sedih kayak banyak pikiran gitu," kata Ilyasa waktu itu. Lalu wajah Raesha tersipu karenanya. Ilyasa memperhatikannya, meski saat itu perhatian Raesha hanya tertuju pada Kak Yunan.

Raesha menghela napas lesu. Baiklah, pikirnya. Dengan mengucap basmallah dalam hati, Raesha bangkit dari ranjang. Perlahan berdiri sambil memegangi perutnya yang besar. Hanya perutnya saja yang besar. Bagian tubuhnya yang lain, tetap biasa seperti sebelum hamil. Mukanya juga tidak menggembung.

"Ayo Ishaq, Ismail. Kita makan malam dulu," ajak Raesha sembari mengenakan jilbab instan berwarna pink pastel.

"Iya, Bu!" sahut keduanya.

Pintu kamar dibuka. Raesha keluar dari kamar dan ... kejutan! Ada pasangan 'favorit' Raesha sedang melintasi koridor.

"Kak Arisa. Assalamu'alaikum. Afwan tadi belum sempat salaman," kata Raesha yang segera membungkuk, hendak mencium tangan Arisa. 

"Wa'alaikumussalam. Kakak juga tadi belum ngucapin salam," sahut Arisa menjabat tangan Raesha tapi menarik tangannya halus, tepat saat Raesha akan mencium tangannya.

Ismail dan Ishaq menyusul mencium tangan Arisa.

"Kamu sehat, Raesha? Masya Allah. Kandunganmu sudah besar sekali," kata Arisa sambil melirik perut Raesha.

"Alhamdulillah sehat, Kak. Iya kandunganku sudah mau delapan bulan, Kak," ucap Raesha malu-malu.

"Aku ke kamar Adli dulu," kata Yunan pamit pada istrinya. 

"Iya, sayang," jawab Arisa. 

Rasa sakit hati membuat Raesha spontan menundukkan pandangan, sehingga ia tidak melihat Yunan yang sempat tersenyum sekilas padanya. Entah kapan Raesha akan terbiasa dengan panggilan 'sayang' pasangan ini. 

Yunan berlalu meninggalkan mereka, ke arah kamar Adli.

"Ismail, Ishaq, kalian duluan aja ke ruang makan," kata Raesha. Kedua bocah itu manut dan pergi ke ruang makan.

"Kakak turut prihatin dengan kejadian yang menimpamu dan anak-anak, di rumah kalian malam itu. Syukurlah, Yunan datang tepat waktu," Arisa mengatakannya dengan ekspresi simpati yang tidak dibuat-buat.

"Iya, Kak. Alhamdulillah. Aku juga bersyukur waktu itu Kak Yunan menggagalkan niat orang itu," ucap Raesha sebelum ia tercenung. Bayangan akan dirinya dan Yunan berpelukan erat setelah insiden malam itu, membuat Raesha merasa bersalah.

"Gimana penerbangannya tadi, Kak?" tanya Raesha mengalihkan topik pembicaraan.

"Penerbangannya sih lancar. Tapi ada kejadian aneh pas sampai bandara Jakarta," jawab Arisa memicingkan mata.

"Oh? Kejadian ... apa, Kak?" tanya Raesha penasaran. Ini mungkin adalah situasi 'genting' yang dibilang Kak Yunan tadi saat mereka di kantor polisi.

Arisa menceritakannya setengah berbisik. Padahal keluarga Danadyaksa sudah tahu semua. Tapi Arisa merasa risih jika kisah yang janggal itu diceritakan dengan suara lantang.

Raesha mengucap istighfar. Pantas tadi Kak Arisa dari gelagatnya terlihat ketakutan dan syok, sampai menangis dan memeluk Kak Yunan di depan orang-orang. Padahal itu bukan karakter Arisa.

"Kata Yunan, semalam 'mereka' mengganggu kalian juga? Apa yang terjadi?" tanya Arisa berbisik.

"Iya, Kak. Jadi, semalam ... "

Raesha menceritakan yang terjadi semalam, saat makhluk pengganggu itu menyerupai Prama dan Ismail.

"Ya Allah," gumam Arisa. "T-Tapi, akhirnya gak terjadi apa-apa, 'kan?" tanya Arisa dengan debaran di dadanya. Ia selalu tegang tiap mendengar kisah antara suaminya dan Raesha. Ada rasa cemas, takut jika makhluk jahat itu berhasil menjebak keduanya. Na'udzubillahi min dzalik. Itu adalah bencana besar bagi mereka semua.

"Enggak ada apa-apa, Kak. Kak Yunan akhirnya bikinin aku dan Ismail mi goreng, karena mi-ku gosong. Terus kami makan bareng," Raesha tercekat suaranya, menyadari air muka Arisa berubah. Arisa sedang membuka cadarnya, karena sedang tak ada siapa pun di koridor. Maka Raesha bisa melihat binar cemburu di mata Arisa.

"M-Makan mi gorengnya bertiga sama Ismail," imbuh Raesha sebelum cengengesan. 

Arisa berusaha tersenyum. "Alhamdulillah, kalau tidak ada apa-apa."

"He he. Iya, Kak. Alhamdulillah. Ayo kita ke ruang makan, Kak," ajak Raesha segera. Usahanya untuk mengalihkan perhatian Arisa.

Keduanya menuju ruang makan. Arisa menutup cadarnya, sebab mulai nampak pelayan laki-laki dari arah dapur. Wanita itu diam saja. Seolah cerita Raesha barusan tak berdampak padanya, padahal ia langsung membayangkan suasana makan mereka semalam. Yunan, Raesha dan Ismail. Meski ada Ismail di sana, tapi tetap saja Arisa tak bisa mengelak bahwa dirinya cemburu.

.

.

"Adli, ini Kakak." Suara sapaan Yunan di luar pintu kamar Adli, terdengar bersamaan dengan ketukan.

Adli segera membuka pintu itu dalam tiga detik. Dia tidak ingin Kak Yunan menunggu terlalu lama di luar. Ada dua alasan. Alasan pertama, Kak Yunan adalah kakaknya meski tidak sedarah. Alasan kedua, Kak Yunan dia harapkan akan menjadi mertuanya kelak. Prikitiw! Adli membatin sambil cekikikan dalam hati.

"Ya, Kak?" sahut Adli tersenyum.

"Ada waktu sebentar, sebelum makan malam?" tanya Yunan membalas senyum Adli.

"Ada, Kak. Masuk, Kak," ucap Adli membuka lebar pintu kamarnya, mempersilakan Yunan masuk.

Mereka duduk berhadapan di meja bundar.

"Gimana tadi di kantor polisi, Kak?" tanya Adli membuka percakapan.

"Yah, pemeriksaannya berjalan lancar. Tapi Ismail dan Ishaq terpaksa baru bisa diwawancara besok, karena tadi Arisa sedang seperti itu keadaannya."

"Ah ya. Lagipula, kasihan anak-anak kalau di kantor polisi sampai malam."

"Ya. Kakak juga bilang begitu sama penyidiknya. Oh ya. Ini ada titipan dari kepolisian," kata Yunan meletakkan sesuatu di meja. 

"Apa ini?" tanya Adli saat melihat amplop cokelat bertuliskan 'Kepolisian Negara Republik Indonesia' dan logo kepolisian di sisi kiri amplop. Tulisan 'Kepada Yth : Adli Pratama Danadyaksa' di sisi kanan amplop, langsung membuat Adli paham.

"Nah. Keluar juga surat panggilannya," kata Adli santai.

Yunan tertawa. "Sepertinya cuma putranya Ayah Yoga Pratama saja, yang bisa menanggapi surat panggilan dari kepolisian sesantai ini," komentar Yunan tergelak.

"It's okay. Welcome to the club, Adli," ucap Adli, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri. Akhirnya dalam hidupnya, Adli merasakan rasanya mendapat surat panggilan dari kepolisian. Yah. Selalu ada saat pertama untuk segala sesuatu, bukan?

Yunan terkikik geli. Ini yang membuat dia kangen keluarga Danadyaksa. Dulu pun, Yoga tidak pernah gagal membuatnya tertawa.

"Lalu, besok pagi kemungkinan Elena akan datang ke sini," imbuh Yunan.

"Oh ya? Elena belum bilang apa-apa."

Ponsel Adli berbunyi. Adli mengecek chat masuk. Dari Elena. "Oh ini dia. Elena baru bilang. Oke. Kalau begitu, sebaiknya aku cuti saja besok. Kita konvoi saja besok ke kantor polisi."

Yunan tersenyum mendengar istilah yang dipakai Adli. 'Konvoi'.

"Elena langsung menangani kasus kita, tanpa bicara sedikitpun tentang fee-nya. Bagus lah kalau dia datang ke sini besok pagi," kata Adli manggut-manggut.

"Elena teman SMA-mu?" tanya Yunan.

"Iya, Kak," jawab Adli malu-malu.

"Dia langsung menangani kasus kita, bahkan tanpa bicara sama sekali tentang bayarannya. Berarti, dia pasti teman dekatmu. Kalau bukan teman dekat, mana mungkin mau seperti itu."

Muka Adli merah merona. "D-Dia ... sebenarnya mantan pacarku, dulu," aku Adli akhirnya.

Hening sesaat. Dilirik Adli, Yunan mengulum senyum. "Mantan?" tanya Yunan seolah tidak yakin.

"B-Beneran mantan, Kak! Sungguh! Kami cuma pacaran enam bulan waktu SMA!" jelas Adli, sebelum calon mertua di masa depannya salah paham tentang dirinya.

"Oke. Kakak 'kan cuma tanya," komentar Yunan santai.

Adli menggigit bibir. Mukanya masih terasa panas. 

"Selama enam bulan itu, aku gak ngapa-ngapain sama dia, Kak! Cuma pernah jalan tiga kali ke mall! Beneran, Kak!" seru Adli. Pembelaan diri part dua. 

Yunan tertawa. "Iya iya."

.

.

***

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

2.8M 185K 39
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
345 65 13
" Bagaimana bisa kamu mengejarnya dengan mencari kesempurnaan, kamu ga lihat aku yang berusaha menjadi sempurna untuk kamu." Ucap Shezi dengan derai...
688 54 8
Safana Azizah, gadis yatim piatu yang diangkat anak oleh sebuah keluarga dari kecil. Hidupnya sungguh bahagia karena diterima oleh seluruh anggota ke...
72K 2.5K 11
Diandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi m...