.
.
Wajar saja kalau mereka tidak paham bahwa hal-hal janggal itu berhubungan.
.
.
***
"Kenapa anda memutuskan untuk menjemput saudari Raesha dan kedua putranya malam itu, padahal anda bilang tadi, ada beberapa mobil beserta supir keluarga anda, yang stand by di luar kediaman mendiang Mbah anda? Bisa saja tugas itu dilakukan oleh salah satu supir di sana, tanpa anda perlu ikut ke sana?"
Pertanyaan staf penyidik itu, dilontarkan oleh seorang polisi muda berpangkat bripda. Brigadir Polisi Dua. Tanda kepangkatan berbentuk sebuah segitiga perak, tersemat di seragamnya. Ahmad, demikian namanya tertulis di kantung bajunya.
"Memang benar. Bisa saja Raesha dan anak-anak dijemput hanya oleh supir. Tapi malam itu saya memutuskan ikut, karena saya punya ... firasat tidak enak," jawab Yunan hati-hati. Tentunya dia tidak akan bilang bahwa dia sudah tahu sesuatu yang buruk akan terjadi, dari cerita Zhafran. Dan firasat itu mengerucut ke arah Raesha, saat Yunan mendengar bahwa Raesha sendirian saja di rumah malam itu.
Seorang staf polisi muda lainnya, mengetik jawaban Yunan di depan komputernya.
"Firasat? Hanya itu? Anda tiba-tiba saja punya firasat bahwa adik anda dalam bahaya?" tanya sang penyidik.
"Ya. Kami tumbuh bersama sejak kecil. Jadi bisa dibilang, kami sangat dekat. Saya rasa, wajar jika terkadang muncul firasat akan bahaya yang mendekati orang terdekat kita," kilah Yunan beralasan.
Andre mengangguk. "Lalu, jam berapa anda tiba di rumah adik anda?"
"Sekitar jam setengah sepuluh, atau jam sepuluh. Entahlah. Saya tidak begitu memperhatikan, karena sepanjang perjalanan saya sibuk berusaha menghubungi Raesha, tapi nomornya tidak aktif."
"Semestinya hanya perlu tiga puluh menit maksimal, dari rumah Mbah anda ke rumah saudari Raesha?"
"Karena waktu itu hujan deras. Banjir di beberapa tempat. Supir harus berputar mencari jalan lain."
"Lalu, saat tiba di rumah saudari Raesha, apa yang terjadi?"
"Waktu itu saya --," Yunan berhenti bicara, saat ponselnya dirasanya bergetar di kantung jaket.
"Maaf. Boleh saya cek sebentar hape saya?" tanya Yunan sopan.
"Silakan," sahut Andre sang penyidik.
Yunan mengeluarkan ponselnya dari kantung. Arisa menghubunginya.
"Maaf, Pak. Boleh saya terima dulu telepon dari istri saya?"
"Silakan."
Yunan menjauh ke sudut ruangan, mengangkat telepon dari Arisa.
"Assalamu'alaikum," sapa Yunan terlebih dulu.
"W-Wa'alaikumussalam. S-Sayang, kamu barusan di bandara?" tanya Arisa dengan suara panik.
"Hah?? Apa maksudmu? Aku masih di kantor polisi. 'Kan aku sudah bilang kalau gak bisa jemput kamu ke bandara," jawab Yunan dengan ekspresi bingung.
"S-Soalnya ... barusan, aku lihat kamu di bandara. T-Terus ... ," kalimat Arisa terhenti, berganti dengan tangis.
"Kamu kenapa?" seru Yunan syok. Menangis terisak-isak, bukan kebiasaan istrinya. Perlu hal besar untuk membuat Arisa menangis. Dan salah satu hal itu adalah, jika mereka berdua bertengkar.
"Kamu masih di bandara?" tebak Yunan, karena terdengar suara berisik orang lalu-lalang, lalu suara pengumuman jadwal penerbangan, khas di bandara.
"I-Iya. Aku masih --"
"Nyonya Arisa, ini minumnya," suara seorang pria terdengar dari tempat Arisa berada. Sebelum suara ucapan terima kasih singkat, terdengar dari Arisa.
"Kamu kenapa?" tanya Yunan lagi, dengan kernyitan di keningnya.
"A-Aku barusan melihatmu. Kamu ada di sini, tadi. Lalu kamu --," Arisa menangis lagi.
Yunan mengucap istighfar. "Di sana ada supir yang menjemputmu?"
"Ada."
"Berikan hapemu padanya. Aku mau bicara."
"I-Iya."
Ponsel Arisa beralih ke supir Adli.
"Ada apa, Pak? Kenapa istri saya belum diantar pulang?" tanya Yunan.
"A-Anu, Tuan. Tadi pas saya baru datang, Nyonya Arisa dalam keadaan ketakutan dan syok hingga nyaris pingsan. Akhirnya Nyonya Arisa duduk dulu di lobi, dan saya carikan air minum untuknya. Katanya, tadi Nyonya Arisa sempat lihat Tuan di sini."
Yunan menelan saliva. Dia tidak menyangka, jin-jin itu demikian berani sampai meniru dirinya segala. Mengganggu istrinya.
"Oke. Makasih, Pak. Saya ingin bicara lagi dengan istri saya, Pak."
"Baik, Tuan," sahut pak supir sebelum ponsel Arisa kembali pada pemiliknya.
"Sayang, tenanglah. Istighfar. Istighfar," ucap Yunan, berusaha menenangkan istrinya.
Arisa manut merapalkan istighfar beberapa kali.
"Tidak ada apa-apa. Oke? Jangan khawatir. Nanti kita bicara di rumah Adli. Kamu pergilah ke sana. Aku masih ada sesi wawancara di kantor polisi."
"K-Kamu bersama Raesha di sana?"
Pertanyaan itu membuat Yunan terdiam sesaat. "Iya. Kasus yang menimpa Raesha ini, melibatkan aku. Jadi kami dipanggil ke kantor polisi. Ada anak-anak juga," jelas Yunan. Aneh sekali istrinya. Jelas-jelas dirinya dan Raesha dipanggil bersama. Pakai tanya segala, apa dirinya ada bersama Raesha atau tidak.
" ... cepatlah pulang! Aku menunggumu! Jangan terlalu malam pulangnya!" pinta Arisa dengan suara memelas.
Yunan menghela napas berat. "Oke. Insya Allah. Akan kulihat, apa proses pemeriksaan ini bisa selesai sebelum Isya," kata Yunan. Sebenarnya, anak-anak belum ada yang diwawancara sama sekali. Yunan berpikir akan meminta penyidik agar hari ini cukup dirinya dan Raesha saja yang diwawancara. Giliran anak-anak besok saja.
Percakapan itu berakhir. Yunan meneruskan sesi wawancaranya yang berakhir saat Maghrib tiba.
"Kalau begitu, kami akan titipkan surat panggilan untuk Bapak Adli, pada anda. Anda bilang tadi, anda menginap di rumah Pak Adli, 'kan?" tanya penyidik.
Setelah menceritakan seluruh kejadian malam itu di rumah Raesha, penyidik akhirnya jadi tahu bahwa peluru yang sempat ditembakkan ke bahu Sobri, adalah milik keluarga Danadyaksa, dan penembakan itu adalah atas seizin Adli. Maka Adli akhirnya turut mendapat panggilan wawancara ke kantor polisi.
"Baik, Pak. Apa boleh sesi wawancara kedua keponakan saya, dilanjutkan besok saja? Saya ada keperluan mendesak, dan lagi, kasihan anak-anak kalau harus diwawancara sampai larut malam," kata Yunan bernegosiasi.
"Tentu. Boleh. Kalau begitu, besok siang anda bisa datang dengan anak-anak."
Yunan pamit dan keluar dari ruang pemeriksaan.
"Sudah selesai, Kak? Sekarang giliran anak-anak?" tanya Raesha yang wajahnya mulai nampak lelah. Wajar. Mereka nyaris seharian di kantor polisi.
"Kita pulang saja. Anak-anak biar besok saja wawancaranya. Ada yang ... genting di rumah," jawab Yunan.
"Ada apa, Kak?" Wajah Raesha nampak cemas saat menanyakannya.
"Nanti saja Kakak jelaskan," putus Yunan. Raesha mengangguk patuh.
Yunan menghubungi supir, lalu tak lama mobil menunggu mereka di teras luar kantor polisi.
Setelah semua masuk ke dalam mobil, Raesha berharap Yunan akan menjelaskan apa yang membuat mereka pulang terburu-buru seperti ini. Tapi hingga mobil mereka memasuki halaman kediaman keluarga Danadyaksa, Yunan tak bicara sepatah kata pun. Berbagai skenario bermunculan di kepala Raesha. Ada apa kiranya yang terjadi? Berhubungan dengan Kak Arisa yang tiba di bandara sore ini kah? tebak Raesha. Jika masalahnya wajar-wajar saja, semestinya Yunan bisa cerita di dalam mobil. Tapi Yunan memutuskan tidak cerita sekarang. Apa karena di dalam mobil ada supir dan kedua anak Raesha? Ketidakjelasan ini membuat jantung Raesha berdebar cemas.
.
.
Pelayan meletakkan teh panas di meja.
"Minumlah, Arisa," kata Erika yang duduk di seberang Arisa.
"I-Iya. Makasih, Bu," sahut Arisa sebelum memegang cangkir dengan tangan gemetar.
Elaine yang duduk di samping Uminya, mengelus lengan Uminya dengan lembut.
Di ruang duduk itu juga ada Haya. Lalu tak lama, Adli keluar dari kamarnya, sudah salat Maghrib dan berganti pakaian dengan kaus dan celana santai.
Adli duduk di samping Haya. Semuanya menatap Arisa dengan iba. Meski wajah Arisa terhalang cadar, tapi mereka yakin wajah Arisa sekarang setidaknya pucat pasi. Bagaimana tidak? Arisa baru mengalami kejadian supranatural yang sangat janggal dan sekaligus menyeramkan.
"Tenanglah, Arisa. Kamu yakin yang kamu lihat itu Yunan?" tanya Erika.
Arisa mengangguk. "S-Setidaknya, fisiknya. Sangat persis. Sangat -- tatapannya mungkin agak beda. Seperti ... agak dingin. Tapi fisiknya --," jawab Arisa sebelum menyesap lagi teh panasnya, dengan hati-hati memasukkan cangkir teh dari bawah cadarnya.
Semua orang saling tatap. Erika masih nampak ragu. Elaine percaya karena Uminya yang bicara. Haya bingung harus percaya atau tidak. Sementara Adli percaya seratus persen. Sebab baru semalam kejadian janggal terjadi di rumah ini. Erika dan Haya tidak tahu, jadi wajar saja kalau mereka tidak paham bahwa hal-hal janggal itu berhubungan. Seolah kejadian-kejadian di luar nalar, otomatis akan terjadi selama Kak Yunan dan Kak Raesha bertemu.
"Tuan Yunan, Nyonya Raesha dan anak-anak sudah tiba," kata Prama pada Erika, karena tadi Erika meminta dikabari jika mobil yang membawa Yunan, Raesha dan anak-anak sudah datang.
Semua orang berdiri. Arisa setengah berlari, seolah girang sekali mendengar kedatangan suaminya.
.
.
Pintu mobil dibuka. Yunan turun lebih dulu. Ia membukakan pintu untuk Raesha. Lalu Ismail dan Ishaq bergantian menyusul keluar.
Saat hendak menaiki anak tangga di teras lobi, Yunan heran melihat Arisa turun berlari ke arahnya.
"Sayang!!" jerit Arisa disertai tangis.
Semua orang terkejut melihat Arisa memeluk erat Yunan. Terutama Raesha yang nampak rikuh.
"Tenanglah, sayang. Tenang. Ayo kita ke kamar saja," kata Yunan yang entah mengapa merasa tidak enak dengan pandangan semua orang yang tertuju ke arah mereka. Di muka pintu, ada Erika, Elaine, Haya dan bahkan Adli yang jarang-jarang sudah ada di rumah jam segini.
Raesha menundukkan pandangan. Ia tidak ingin melihat kemesraan mereka. Apalagi mendengar Kak Yunan mengajak istrinya ke kamar. Dadanya terasa nyeri mendengarnya.
"Ayo, Ismail, Ishaq. Kita masuk ke dalam," ajak Raesha seraya menggenggam tangan kedua putranya. Ismail mengamati ekspresi wajah ibunya yang seperti ingin menangis.
Uh oh, batin Erika, Adli dan Haya yang melihat Raesha menaiki anak tangga dengan wajah murung. Melewati Arisa dan Yunan yang masih berpelukan. Pasangan suami istri itu akhirnya melepaskan pelukan mereka, namun Arisa enggan melepaskan genggamannya.
Raesha membawa masuk anak-anak, tanpa bicara apapun pada keluarganya yang lain. Mereka masuk ke dalam kamar. Selepas salat Maghrib, Raesha masih malas ke luar kamar. Bayangan akan Kak Yunan yang berpelukan dengan Kak Arisa, masih menggelayuti benaknya. Mengganggu, menyakitkan. Bagai luka dibubuhi garam.
Tak sanggup menahan gelombang emosional dalam dirinya, Raesha masuk ke dalam kamar mandi dan mengurung diri di dalam sana.
Ishaq tak menyadari yang terjadi pada ibunya. Bocah itu masih berceloteh mengomentari video acara anak di layar ponsel ibunya.
Sementara Ismail diam saja. Tahu bahwa ibunya sedang menangis di dalam sana.
.
.
***