The Open Door

By Dinni83

1.4M 78.6K 4.2K

Kisah seorang perempuan yang masih terikat pada masa lalu. More

The Open Door - 1
The Open Door - 2
The Open Door - 3
The Open Door - 5
The open Door ~ 6
The Open Door ~ 7
The Open Door ~ 8
The Open Door~ 9
The Open Door ~ 10
The Open Door ~ part 11
The Open Door ~ Part 12
Just Info
The Open Door - 13
The Open Door 14
The Open Door 15
Sekilas Info

The Open Door - 4

74.8K 4.5K 403
By Dinni83

Cahaya menyusup dari balik tirai. Biasnya mengenai wajah Nadia, mengusik kenyamanannya dalam buaian mimpi. Matanya perlahan bergerak, sedikit membuka meski tubuhnya masih berlindung di balik selimut tebal. Dia mengedarkan pandangan  ke sekeliling kamarnya. Butuh waktu beberapa menit hingga dia menyadari apa yang terjadi kemarin. Oh, sial. Kenapa alarm tidak berbunyi sih.

Tidak ingin membuang waktu, disingkapnya selimut ke sembarang arah. Dengan cepat dan terburu-buru, kegiatan paginya diselesaikan tanpa melihat jam. Memikirkan kemarahan Revian karena dia tertidur di kamarnya membuatnya harus meminta maaf.

Eh tunggu dulu, kalau dia hanya tertidur di kamar Revian berarti seharusnya di luar gelap bukan terang seperti ketika matahari baru bersinar. Isi kepala Nadia menjadi kosong. Wajahnya memucat menyadari belum pernah melihat kamar mandi yang dimasukinya. Bila ternyata  dia memang ketiduran hingga pagi, semoga saja Revian tidak pulang kemarin. Jika harapannya meleset maka hari ini dipastikan akan jadi buruk sekali.

"Pagi, Nadia. Tidurmu nyenyak."

Tubuh Nadia membeku. Sedingin es dan seberat batu puluhan kilo. Tangannya yang masih memegang kenop pintu saat membuka pintu kamar mandi bergetar.

Revian duduk di kursi kerjanya, menatap tepat ke bola mata bulat wanita di depan pintu kamar mandi. Dia sengaja memamerkan seringai licik sekaligus tatapan tajam. Pertunjukan pagi ini membuatnya luar biasa senang setelah semalam suntuk memaksakan diri tidur di kursi. Rasanya tidak nyaman tapi sebanding dengan pemandangan yang dilihatnya pagi ini. Nadia tampak ketakutan persis seperti dugaannya.

Dia baru pulang menjelang tengah malam setelah berkumpul bersama teman-temannya. Pertemuan dengan Nadia membuat perasaannya diliputi kegembiraan layaknya bisa mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan setelah sekian lama mencari. Dia mentraktir teman-temannya makan dan bersenang-senang di sebuah klub malam terkenal di kota ini. Kepalanya tidak boleh terisi bayangan Nadia, itu sebabnya dia mencari hiburan yang dapat mengalihkan perhatiannya.

Seharusnya kesenangan malam itu menjadi penutup hari terbaik. Revian masih cukup sadar walau sempat minum beberapa sloki. Kesadarannya tetap terjaga meski kepalanya agak pusing. Para wanita muda berpakaian seksi tidak berhenti mendekatinya, mengajak berkenalan yang bisa dengan mudah berlanjut ke hotel andai dia mau. Tapi hasratnya menguap. Dia sibuk menahan diri, mengusir bayangan Nadia yang menyela konsentrasinya ketika mengobrol dengan mereka.

Tubuhnya begitu lelah. Mandi, berganti pakaian dan tidur akan membantunya pulih. Rencana itu pupus sewaktu mendapati sesosok wanita tertidur di ranjangnya.

Wajah Nadia begitu tenang hingga keinginan membangunkannya menyusut. Dia justru melepas alas sepatu dan mengankat tubuh sintal itu ke tengah ranjang lalu menyelimuti dengan selimut tebal. Anggap saja dia masih punya rasa kasihan.

Revian mandi dan berganti pakaian di ruangan yang bersebelahan dengan kamarnya. Dia bisa memilih tidur di ranjang lain. Rumah ini memiliki kamar lebih dari dua. Logikanya begitu kalau dia memang tidak berniat membangunkan atau mau repot menggendong Nadia ke paviliun.

Perasaan lain berkecambuk dalam hatinya. Bayangan masa lalu yang membuatnya tergerak mengamati wanita di ranjangnya. Dia sudah menghabiskan tiga cangkir kopi demi terjaga. Nuraninya tidak bisa dibohongi, cinta itu belum usai. Dan hanya di saat seperti ini dia bisa tenang tanpa terpikir menyakiti Nadia dengan kata-katanya.

Wanita itu semakin cantik. Bulu matanya tebal. Hidung mancung. Belum lagi bibirnya yang menggoda untuk dicium. Ramburnya panjang terurai, berantakan namun memberi kesan seksi. Igauan lirih membuatnya geram sendiri saat membayangkan wanita itu mengerang memanggil namanya.

Revian berdecak pelan. Kesadarannya setelah berkelana dalam lamunan telah pulih. Ini waktunya bermain kembali tapi sebelum itu dia harus mengistirahatkan tubuhnya di tempat yang seharusnya.

"Kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa. Karena kamarin hari pertamamu bekerja, saya tolelir kecerobohanmu tidur di kamar ini. Bekerjalah dengan baik. Ingat posisimu. Saya menerimamu karena terpaksa bukan karena menganggapmu pantas menggantikan asisten yang lama. Sekarang pergi dan suruh Mbok Imah datang ke kamar saya. Bilang kalau dia harus mengganti seprai dan membersihkan kamar mandi sekarang juga." Revian memutar wajahnya ke arah pintu, memberi isyarat agar Nadia keluar dari kamarnya. "Tunggu kabar dari saya. Hari ini kamu temani saya pergi. Jangan sampai ketiduran lagi."

Nadia mengangguk pelan. Senyumnya berusaha tersungging. Sudut hatinya seolah diremas kuat. Dia sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan tapi baru kali ini dia dianggap seperti mengidap penyakit menular.

Langkahnya gontai ketika menyusuri koridor. Mbok Imah yang kebetulan ditemuinya segera pergi ke lantai dua setelah memberitahu sarapan sudah siap.    Nadia bergerak menuju ruang makan. Ruangan itu sepi. Keberadaan Tante Lyana tidak terlihat di manapun.

Nadia menyeret salah satu kursi. Meraih roti dan mengolesnya dengan selai kacang dengan tangan bergetar. Dia tahu telah melakukan kesalahan dan pantas mendapat teguran. Roti isi di tangannya habis dalam waktu singkat. Untuk menghilangkan dahaga, diraihnya segelas air putih lalu meminumnya dalam sekali teguk. Dia ingin segera kembali ke kamarnya.

Waktu berlalu begitu cepat ketika sudah menunjukan hampir jam makan siang padahal Nadia merasa dia belum lama menenangkan diri di kamar.  Mbok Imah muncul, memberitahunya kalau Revian sudah menunggu di carport. Laki-laki itu meminta menemani pergi ke suatu tempat. Kebetulan Teddy sudah mengingatkannya kalau Revian ada jadwal makan siang bersama seseorang.

Revian melirik tajam, menunjuk dengan jarinya agar Nadia duduk di depan bersama Pak Adi ketika wanita itu tiba di carport. Pikirannya sudah lebih tenang dan segar. Dia bahkan telah memikirkan serangkaian aksi balas dendam. Rasanya menyenangkan bisa membalas hal yang dulu tidak bisa dia lakukan.

Entah kenapa Nadia berpikir ini bukan hari terbaiknya. Sesekali sudut matanya memperhatikan Revian di bangku belakang. Laki-laki itu bersikap layaknya raja, mengatur dan menunjuk sesuka hati. Pantas gaji yang ditawarkan Tante Lyana besar. Butuh ekstra kesabaran mempunyai bos seperti dia. Teddy mungkin sudah hapal tabiatnya hingga bisa bertahan menghadapi laki-laki itu.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah berlantai dua, besar dan megah di  kompleks pemukiman mewah. Nadia menurut ketika Revian turun dari mobil dan memintanya menunggu. Seorang perempuan berambut panjang keluar dari rumah itu. Revian menghampirinya dan memberi pelukan singkat.

"Itu Non Ziva. Teman kampusnya, Den Revian," kata Pak Adi. Dia pasti bisa membaca gurat keingintahuan di wajahku.

Mulut membentuk hurup O dan mengangguk pelan. Penampilan Ziva sangat menarik. Wanita bertubuh tinggi semampai itu mengenakan dress peach bercorak bunga di atas lutut dan cardigan panjang berwarna hitam. High heels terpasang sempurna di kakinya sementara tangannya menenteng tote bag cokelat keluaran salah satu brand terkenal berharga mahal.

"Ziva, kenalkan ini asistenku yang baru, Nadia." Nadia menoleh ke belakang, tersenyum ramah ketika Revian mengenalkan dirinya dengan wanita yang sejak tadi dikaguminya.

Ziva mengulurkan tangan. "Aku Ziva, teman kuliahnya Revian. Senang berkenalan sama kamu." Sambutan hangat wanita cantik itu tidak dibuat-buat. Kulitnya lembut dan harum saat menjabat tangannya.

Sepanjang perjalanan Nadia hanya diam. Dia pura-pura mengalihkan perhatian ke luar jendela. Obrolan kedua orang di bangku belakang tak urung menganggu bahkan mengusik rasa penasaran. Sikap Revian berubah seratus delapan puluh derajat. Senyumnya tidak berhenti mengembang. Sesekali pembicaraan keduanya diselingi derai tawa. Meskipun perlakuan yang dia dapat sebaliknya, Nadia berharap mood bosnya tetap begitu. Selama bisa terhindar dari omelan, terlihat seperti pesuruhpun biarlah.

Perkiraan Nadia memang tidak meleset. Sejak tiba di mal terbesar di kota ini, dirinya hanya mengekor dua manusia yang asyik mengobrol. Sesekali Ziva mengajaknya bicara bahkan menarik pergelangan tangannya agar sejajar dengan mereka. Nadia pura-pura menolak, dia tidak bisa mengabaikan tatapan tajam Revian yang memintanya tetap diam di belakang.

Hati kecilnya hanya mampu mengangumi tas maupun pakaian setiap keluar masuk toko. Revian mengajak Ziva khusus membelikan dia hadiah sebagai kado ulang tahun. Keberadaan Nadia tidak lebih sebatas pemberi saran apakah model atau warna barang yang akan Ziva cocok atau tidak.

Revian tampak sangat royal pada sahabatnya. Dalam hitungan jam, tangan Nadia penuh barang-barang belanjaan Ziva. Wanita itu hanya mengangguk ketika tambahan paper bag memenuhi genggaman hingga jemarinya memerah.

Ziva merasa kurang setuju dengan cara Revian memperlakukan Nadia. Tapi dia hanya bisa protes karena asisten baru sahabatnya tampak tidak keberatan.

"Ini kamu pakai untuk makan siang." Revian mengambil semua barang belanjaan dan menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. "Nanti saya kabari kalau sudah selesai."

Nadia mengangguk dan menganggap ini kesempatan untuk sejenak melarikan diri dari perintah Revian. Lagi pula sebagai wanita biasa, terbersit rasa ingin memiliki barang-barang yang sempat dilihatnya ketika menemani Ziva belanja tapi begitu mengetahui label harga barang-barang itu, Nadia cuma mengulum senyum. Dia harus menguras sisa tabungannya demi satu tas.

Kepalanya menggeleng, meneruskan langkah menuju foodcourt. Setiap orang memiliki rezeki masing-masing. Dia tidak boleh iri hanya karena orang lain lebih beruntung.

Lapar  setelah berkeliling terobati dengan sepiring nasi goreng dan es teh manis. Dia menggunakan sisa kembalian untuk membeli buku lalu mencari tempat duduk sembari meregangkan otot kaki. Tangannya menatap sebuah kartu nama. Kebetulan dia bertemu teman lama saat makan tadi. Dia menawarinya menjadi model untuk acara lomba fotografi karena ada salah satu model yang mendadak tidak bisa datang. Tawaran yang menarik. Bayarannya lumayan untuk tambahan tabungan tapi dia harus berpikir panjang sebelum memutuskan.

Selang satu jam menunggu kabar, Revian tiba-tiba menghubunginya dan memintanya pulang dengan taksi. Dia harus ke tempat lain. Teman-temannya mengadakan acara ulang tahun untuk Ziva. Keduanya akan langsung ke tempat acara setelah dari mal.

Nadia sadar diri. Statusnya sekadar karyawan biasa, baru beberapa hari kerja lagi. Mana mungkin dia berani datang tanpa diajak. Dan jelas Revian tidak berniat mengikutsertakan dirinya dalam acara itu. Lagi pula kalaupun ikut, dia akan kesulitan berbaur dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Kembali ke kamarnya adalah pilihan paling aman. Dia bisa beristirahat, melanjutkan membaca buku yang baru dibeli atau mencari kesibukan lain. Setelah memasukan buku dalam tas, Nadia melanjutkan langkahnya keluar dari mal.

Revian memandangi kemeriahan pesta yang diadakan teman-temannya untuk Ziva di sebuah restoran. Dia baru mengetahuinya saat makan siang tadi. Canda tawa, aneka makanan lezat dan meriahnya pesta terasa datar. Pikirannya tidak berada di tempat ini meski setengah mati berusaha menikmati suasana.

Entah kenapa wajah sendu Nadia berkelebat. Dengan mudah dia bisa membaca raut wanita itu ketika mereka memasuki toko demi toko. Wanita itu sempat dipergokinya menghela napas saat melihat label harga sebuah tas. Awalnya perasaannya senang karena niatnya memanasi Nadia membuahkan hasil tetapi tidak berapa lama dadanya justru sesak oleh rasa bersalah. Terutama ketika ingatan di kepala memutar saat dirinya melihat jemari wanita itu memerah karena terlalu banyak menenteng belanjaan dalam waktu lama.

Dulu Nadia memang selalu mengomelinya, mudah marah karena masalah kecil atau merengut saat dia tidak bisa melakukan permintaannya. Wanita itu seperti monster dalam mimpi buruk namun ada hal yang masih menempel dalam kenangan. Nadia selalu menerima  apapun pemberiannya meski bukan benda berharga mahal.

"Kok di sini, Rev? Ada masalah?" Ziva menghampiri Revian yang merokok sendirian di luar restoran.

"Biasa, orang rumah," balas Revian. "Aku pulang dulu ya. Tolong sampaikan sama yang lain. Dan selamat ulang tahun." Dia merangkul bahu Ziva.

"Nanti aku sampaikan. Terima kasih untuk hari ini. Jangan lupa sampaikan maafku sama Nadia karena telah merepotkannya. Hati-hati di jalan."

Revian bergegas pergi meninggalkan restoran. Dia meminta Pak Adi kembali ke mal yang didatangi sebelumnya. Awalnya dia berniat membeli tas biasa tapi tiba-tiba saja kakinya sudah masuk ke toko tas branded. Tanpa pikir panjang dia menunjuk tas berwarna hitam yang sempat diperhatikan Nadia pada salah satu karyawan. Rencana membeli barang lain diurungkannya. Perubahan sikapnya bisa ditanggapi lain oleh  wanita itu.

Pak Adi kebingungan melihat raut wajah anak majikannya. Beberapa jam lalu, ekspresinya seperti sedang mencari musuh. Galak dan dingin tetapi sekarang Revian terlihat tersenyum sendiri sambil memandangi paper bag yang dibawanya dari mal.

Senyum itu hanya bertahan beberapa saat. Setibanya di rumah, Revian meradang mengetahui Nadia pergi ke tempat kosnya.

"Besok jumat kan tanggal merah. Mama sengaja kasih Nadia tambahan libur hari sabtu supaya dia bisa membereskan sisa barang yang dia butuhkan. Kepindahannya serba mendadak. Lagi pula pekerjaannya nggak sesibuk Teddy dulu. Biarkan dia mengurus semua keperluan biar nggak bolak balik ke tempat kosnya," jelas ibunya saat Revian menanyai keberadaan mantan kekasihnya.

"Tapi kenapa dia nggak minta izin dulu sama aku. Dia kan, asistenku."

"Mama yang minta jangan mengabari kamu. Nadia bilang kamu sedang menghadiri pesta ulang tahun Ziva. Biasanya kamu sendiri yang nggak suka diganggu saat bersenang-senang dengan teman-temanmu." Tante Lyana melanjutkan menonton berita.

Revian mengacak-acak rambutnya. Dia tidak menyalahkan ucapan ibunya tentang kebiasaannya. Hanya saja  kali ini berbeda. Nadia merupakan pengecualian dan tentu saja ibunya tidak mengetahui itu.

"Sudahlah, Ma. Malam ini aku mau jalan lagi. Mbok Imah atau yang lain nggak perlu menungguku." Revian bergerak menuju tangga.

"Pergi lagi? Kamu belum bosan bermain-main?"

"Mama bilang besok tanggal merah. Bukan hanya Nadia yang boleh libur."

"Tapi kamu punya tanggung jawab besar, Revi. Setidaknya pikirkan nama baik perusahaan sebelum melakukan tindakan apapun. Mama nggak akan membantumu lagi kalau kamu terlibat masalah."

"Tentu, Mamaku sayang," balas Revian dari kejauhan.

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meski usianya beranjak senja itu menggeleng melihat tingkah laku putranya. Revian jarang mengecewakan setiap diberi tugas atau ketika  menyelesaikan pekerjaan. Otaknya encer dan bisa diandalkan. Namun sifat keras kepalanya tidak juga berkurang. Sering bersikap seenaknya apalagi kalau sudah disuruh datang ke kantor. Padahal sewaktu kecil laki-laki itu adalah anak penurut. Semenjak kuliah jiwa pemberontaknya semakin menjadi seolah baru keluar dari kerangkeng besi.

Semburan air hangat membasahi sekujut tubuh Revian. Mata laki-laki itu terpejam. Kedua tangannya menyentuh dinding keramik dengan kepala menunduk.

Dia kesal setengah mati mendapati kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Seharusnya Nadia berada di kamarnya, menatapnya waspada dan mengucapkan terima kasih atas hadiah darinya. Kepalan tangan Revian menghentak dinding. Geraman lolos dari bibirnya. Dia harus menemui wanita itu secepatnya.

Di waktu namun tempat berbeda, Nadia sibuk membersihkan kamar kos-nya. Sekembalinya dari rumah Tante Lyana, tangan dan kakinya tidak berhenti bergerak. Setiap sudut ruangan disusuri hingga tak menyisakan debu sedikitpun.

Nadia harus mengapresiasi tindakannya sendiri. Dia belum pernah serajin ini padahal kamarnya tidak besar. Ah, dia bersemangat bukan karena sok rajin atau baru menyadari seberantakan apa kamarnya. Nadia cuma sedang berupaya, mencari berbagai cara mengabaikan sesak di dadanya.

Setiap kali mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari mantannya atau bos-nya yang menyebalkan tadi, sesosok bayangan laki-laki bertubuh gemuk namun memiliki senyum ramah muncul dalam ingatannya.  Raditya, pacar pertama yang tiba-tiba saja menghilang, pindah dari sekolahnya tanpa memberi kabar lebih dulu.

Keberadaannya menghilang seperti tidak pernah ada. Kabarnya tentang dirinya cukup beragam, ada informasi bahwa keluarganya pindah rumah, tinggal di luar kota dan masih banyak lagi. Tapi yang jelas sosok penyayang itu pergi dari hidupnya.

Raditya sering menjadi target bully teman-temannya, sesama senior di SMA mereka. Perlakuan buruk tidak pernah membuat laki-laki itu sakit hati. Buktinya dia bisa bertahan selama dua tahun lebih.

Nadia menghela napas, mengutuk dirinya sendiri. Keduanya mulai menjalin kasih di awal semester, ketika dirinya masih tercatat sebagai siswa baru. Hubungan mereka belum lama, sekitar tiga bulan ketika Raditya pindah sekolah. Perlakuan wanita itu yang sering memarahinya, membantak, sarkas bahkan meremehkan keberadaan dia sebagai laki-laki mungkin jadi salah satu penyebab.

Sesungguhnya bukan kesan seperti itu yang ingin Nadia berikan. Dia tidak bermaksud melukai perasaan Raditya. Pada waktu itu keadaan keduanya cukup sulit. Nadia hanya ingin laki-laki itu semakin kuat. Sayang, pemikiran atau mungkin sudut pandangnya terlalu naif hingga perpisahan jadi kado terburuk. Di antara laki-laki yang pernah dia kenal, Raditya adalah sosok yang paling menyayanginya.

Nadia bukannya tidak pernah berusaha mencari. Dia melakukan yang sekiranya bisa membantu, termasuk menjalin hubungan dengan mantan pacar terakhirnya karena laki-laki berengsek itu berjanji bisa mencari informasi tentang Raditya. Dan Nadia terlalu bodoh hingga terperangkap bualan picisan. Dia hanya ingin minta maaf pada Raditya bukan ingin mengusik hidupnya kembali.

Semoga Raditya bahagia, gumannya dalam hati.

Tangan Nadia baru saja meraih tempat sampah ketika pintu kamarnya diketuk. Terpaksa ditaruh kembali benda itu lalu beranjak demi mencari tahu siapa tamunya.

Revian berdiri di depan pintu kamar kos. Tangannya menenteng paper bag dan plastik besar berisi snack dan makanan. Senyumnya datar, cukup lega karena dari penampilan Nadia, wanita itu bukan sedang bersiap pergi ke suatu tempat. Mengingat ibunya memberi libur tambahan, Revian mengira-ngira kalau kedatangannya akan sia-sia.

"Ada apa ya, Rev?" tanya Nadia setelah meredakan keterkejutannya. Bukankah Tante Lyana memberinya libur lusa nanti.

Revian melewati Nadia tanpa diminta. Dia telah menanggalkan sepatunya di luar pintu. Ruangan ini lebih bersih dari yang pertama kali dilihatnya.

Nadia mengelus dada memperhatikan laki-laki itu bersikap tak acuh saat duduk di lantai. Beruntung dia sudah membersihkan kamar, kalau tidak entah apa omelan yang keluar dari mulut Revian.

"Ini ada hadiah cuma-cuma. Saya  ingin kamu memakainya kalau kita sedang ada tugas di luar. Penampilanmu nggak boleh memalukan meski cuma asisten."

Kaki Nadia belum beranjak dari tempatnya. Pandangannya menatap paper bag di meja kecil. Meski hanya pemberian ala kadarnya, dia tidak pernah terpikir Revian akan menghadiahinya. Dalam hati dia justru menilai laki-laki itu bukan hanya sosok angkuh tetapi juga pelit.

"Terima kasih." Akhirnya Nadia mendekat, melihat pemberian dari Revian sebagai balasan kemurahan hatinya. Matanya sempat terbelalak ketika mengetahui tas berlabel mahal yang sempat membuatnya menelan ludah ada di dalam paper bag itu. "Ini buat saya?" ucapnya tak percaya.

"Menurutmu saya pantas memakai tas model begitu?"

"Bukan, maksud saya, tas ini sangat mahal."

Revian meraih remote dan menyalakan televisi. Tingkahnya seolah pemilik kamar ini. "Kenapa memangnya kalau mahal. Kamu pikir saya bos yang pelit?"

Kepala Nadia menggeleng walau dia memang pernah memikirkannya. "Sekali lagi terima kasih."

Keduanya terdiam. Suara televisi memecah kesunyian. Nadia masih bingung kenapa bos-nya belum pergi juga? Dan untuk apa repot-repot mengantarkan tas ini? Dia bisa menyuruh Pak Adi atau menunggu hingga Senin depan.

"Ini ada makanan. Saya sudah susah payah membelinya. Jangan sok malu-malu menolaknya. Pasti kamu belum makan, kan? Seharian ini saya capek berkeliling. Pak Adi juga sudah pulang. Jadi hari ini saya akan jadi tamu kamu."

"Mm... maksudnya gimana ya?" Nadia kesulitan menangkap jawaban laki-laki di depannya.

"Saya tadi bicara dengan salah seorang penghuni. Dia bilang boleh menginap asal minta izin. Saya bilang padanya kalau kita saudara jauh." Seringai Revian membuat Nadia bergidik. "Malam ini saya akan bermalam di sini."

"Eh, apa?"

Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

314K 32.1K 48
Update setiap: Selasa, Kamis, dan Sabtu Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya...
62.8K 10.3K 19
"Dokter Kama. Dokter benar dapat fellowship ke Australia?" tanyaku tanpa basa-basi. Ugh aku sebaiknya bertanya ia dari mana bukan? Namun otakku menga...
369K 32.8K 86
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
408K 28.2K 39
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...