NING, Dan Sebuah Kisah Dalam...

By Diarysna

47.4K 4.3K 1K

(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki ima... More

PROLOG
Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an
Bab 2. Anak Rembulan
Bab 3. Sang Penolong
Bab 4. Wasiat
Bab 5. Hutang Budi
Bab 6. Getaran Rasa
Bab 7. Secercah Cahaya
Bab 8. Titik Terang
Bab 9. Sebongkah Tanya
Bab 10. Pendar Rembulan
Bab 11. Janji
Bab 12. Sajak Ranah Kinanah
Bab 13. Mengeja Surga
Bab 14. Yang Terpilih
Bab 15. Pemantik Rasa
NOTE
Bab 16. Sketsa Waktu
Bab 17. Buah Bibir
Bab 18. Rahasia Hati
Bab 19. Jejak Yang Retak
Bab 20. Seterang Siang
Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan
Bab 22. Hati Yang Tergores
Bab 23. Ikatan Dari Masa Lalu
Bab 24. Nasib Dan Takdir
Bab 25. Menunggu Titik Temu
Bab 26. Rangkaian Harapan
NOTE

Bab 27. Mengambil Langkah

1.9K 115 84
By Diarysna

Hiruk pikuk Haul Al-Maghfurlah Kyai Fardan semakin berdenyut menjelang hari-hari puncak.

Tujuh tempat yang dialokasikan menjadi dapur sudah tampak ramai dengan para peladen, baik dari kalangan santri, abdi ndalem maupun masyarakat sekitar Al-Dalhar.

Asap-asap mengepul berbaur dengan aroma harum masakan di udara. Bahan-bahan masakan itu telah disiapkan oleh panitia pawon sejak sebulan lalu, meski begitu, waktu memasaknya baru di mulai empat hari menjelang hari puncak.

"Jadi inget, waktu SD, aku lemparin kambing buat acara haul pakai batu gara-gara aku hampir kena seruduk. Akang-akang santri udah pada panik nyelamatin aku, eh Kakak kandung sendiri malah nanyain keadaan kambingnya," cetus Nisrin dengan jemari sibuk membentuk kotak nasi.

Tsania, Naora, Una, dan Farida tertawa lepas.

"Mungkin waktu itu harga kambing lagi mahal," timpal Naora kemudian.

"Lah, terus aku lebih murah, gitu, Mbak?"

Sekali lagi gelak tawa terdengar memenuhi langit-langit aula outdoor Sayyida Al-Hurra.

Seseorang tiba-tiba memanggil mereka dari arah belakang. Tawa para santriwati itu menguap seketika saat tahu bahwa orang tersebut adalah Bu Nyai-nya.

"Mbak-mbak, Ibu minta tolong anterin makan siang buat akang-akang santri ke ndalem-nya Kyai Zainal, nggih," ujar Bu Nyai Fatma yang langsung dijawab takzim dan serempak oleh mereka.

Una berjalan beriringan dengan Naora ketika secara kebetulan harus berpapasan dengan dua personel hadroh Al-Dalhar yang hendak cek sound di panggung.

"Gus Anam, Mbak Na," bisik Naora membuat Una mendongak seketika.

"Sapa, Mbak," bisik Naora lagi sembari cengengesan.

Una hanya berdecak kesal, mempercepat langkah.

Ketika dua gadis itu berpapasan langkah dengan Gus Anam dan kawannya, Naora merasa ada yang janggal. Ia pun segera menyejajarkan langkahnya dengan Una yang sudah lebih dulu di depan.

"Biasanya Gus Anam ramah nyapa sampeyan, kok tumben sekarang cuek, Mbak?"

Una hanya memasang wajah acuh. "Kenapa ndak sampeyan tanyain, aja ke orangnya, Ra?"

Naora hanya menghela napas. Dan memilih kembali menggoda Una. "Kalian putus, ya?"

Mata Una berkilat.

"Becanda, Mbak," timpal Naora buru-buru sambil memamerkan gigi-giginya.

Gus Anam marah? Mungkin, saja. Pemuda itu mungkin kecewa, kesal, dan merasa malu di saat yang sama. Una tidak bermaksud bersikap jahat, tapi mungkin begitulah cara terbaik agar pemuda itu tak berharap banyak padanya. Lagi pula, selama ini Una tidak pernah menjanjikan serta memberikan harapan padanya.

Beberapa malam yang lalu, setelah sekian lama hilang, Gus Anam kembal mengirimnya pesan lewat Whatsapp. Ia berterus terang jika dirinya baru saja pergi ke Bahrul Falah untuk menanyakan Una pada Sang ayah. Gus Anam juga menjelaskan jika Kyai Kafabihi tidak bisa menjanjikan apapun, apalagi Una masih menyelesaikan hafalan Al-Qur'annya.

Di akhir kata, Gus Anam akhirnya memberanikan diri meminta kepastian pada Una yang justru membuat gadis itu merasa sedikit kesal.

'Bukannya dulu saya pernah bilang sama sampeyan, Gus. Kalau saya mau fokus pada pendidikan dulu. Sampeyan mau menunggu, ya monggo, tapi saya ndak bisa menjanjikan apapun.'

-Manunal Ahna-

Saya tahu, Ning. Saya minta maaf. Mungkin saya lancang telah sowan pada abah sampeyan tanpa bicara dulu dengan sampeyan.  Saya cuma ingin menunjukan keseriusan saya, Ning. Apa itu salah?
Saya siap menunggu sampai sampeyan siap, tapi saya mohon berilah saya sedikit titik terang agar saya tahu apakah saya menunggu sesuatu yang nyata atau sesuatu yang kosong.

-Gus Anam-


Jujur, saya menghargai keseriusan sampeyan, Gus. Mungkin ndak ada yang salah dengan itu.
Tapi, apakah sampeyan yakin, kalau sampeyan melakukan itu bukan karena sampeyan takut ndak bisa memiliki saya? Atau orang lain mendahuli sampeyan?
Ngapunten sebelumnya, seharusnya sampeyan lebih tahu jika jodoh adalah kehendak Allah, mau jalannya berliku gimanapun kalau Allah mau ya bersatu. Sebaliknya, mau berusaha digenggam seerat apapun jika Allah bilang bukan ya ndak bakal bersatu.

-Manunal Ahna-

Saya setuju sama sampeyan, Ning.
Kalau begitu saya sekarang mau menanyakan satu hal saja, mohon dijawab.
Apakah ada seseorang yang sampeyan kagumi? Dan apakah laki-laki itu bukan saya?

-Gus Anam-

Nggih.

-Manunal Ahna-

Setelah itu, foto profil Gus Anam menghilang. Una tahu pemuda tersebut baru saja mem-block kontaknya.

🌸🌺🌷🌻


"Ini contoh kumpulan tes seleksi beasiswa S2 ke Sudan, Maroko, Mesir dan Lebanon dari tahun ke tahun, beserta surat edaran dari Kemenag." Perkataan Ning Bilqis siang itu di perpustakaan berhasil membuat Kafa mendongak.

Kafa segera memperhatikan layar laptop itu dengan antusias.

"Aku dapat ini dari kawannya Mas Amyaz yang sekarang lagi menimba S2 di Sudan. Jadi kupikir ini cukup akurat."

Kafa mendongak dengan senyum tersungging. "Boleh saya minta salinan file-nya?"

"Monggo, Mas."

Sembari menunggu Arina dan Farhan kembali dari memoto-kopi makalah, Kafa kini sibuk membaca seluruh contoh soal bertulisan arab itu di layar laptopnya.

Diam-diam Bilqis tersenyum memperhatikan pemuda di hadapannya itu. Sudah cukup lama gadis itu tak berinteraksi lagi dengan Kafa, tepatnya sejak Kafa tak lagi membuka jasa proofreading dan terjemah.

Sebenarnya, Bilqis bisa saja mencari alasan lain untuk bergabung dengan kelompok belajar Kafa seperti sekarang, namun ia cukup sibuk beberapa Minggu ini menyelesaikan tasmi' Al-Qur'an-nya.

Kabar baiknya, Bilqis baru menyadari jika pesaing terdekatnya yakni Naora sudah mundur secara teratur. Konon, anak komplek Sayyida Al-Hurra itu tak pernah lagi menemui dan mendekati Kafa. Mungkin ia sudah memiliki crush lain.

Sebenarnya Bilqis merasa saat ini adalah saat paling tepat untuk menyelami isi hati seorang Abdullah Kafabihi. Bukankah saat ini, Bilqis satu-satunya gadis yang paling sering mengobrol dengan Kafa. Malah mungkin dia satu-satunya gadis yang paling dekat dengan Kafa. Pertemanan mereka sudah terjalin cukup lama. Tak terhitung berapa kali Bilqis membantu Kafa, pun sebaliknya.

Sekarang, rasanya Bilqis sudah sangat yakin jika mereka bisa saja lebih dari sekedar teman. Bukan pacaran, tapi berkomitmen untuk saling percaya sampai akad menyatukan mereka. Setidaknya dengan cara itu, Bilqis akan semakin tenang menutut ilmu tanpa tergoda oleh laki-laki.

Bilqis tahu, tak selamanya perempuan harus menunggu. Tak selamanya perempuan harus menjadi seperti Siti Fatimah Az-Zahra yang menyembunyikan rapat perasaannya pada Ali. Bilqis sudah memilih, dia akan menjadi selayaknya Khaulah binti Hakim yang dengan lantang menyerukan perasaannya pada Rasulullah.

Bilqis tak akan melewatkan kesempatan lagi, meski itu berarti ia harus mengebalkan keberaniannya. Mungkin gadis lain akan berpikir apa yang dilakukan olehnya itu memalukan. Bilqis tak peduli, ia tahu tujuannya baik.

Imam Qasthalani pernah berkomentar tentang hadis ketika seorang sahabat wanita yang mengidolakan Nabi Saw meminta beliau menikahinya.

"Dibolehkan bagi perempuan untuk menyerahkan dirinya kepada orang saleh. Hal itu tidak tercela, malah menjadi dalil terkait keistimewaan sifatnya. Namun jika tujuannya adalah perkara dunia semata, maka itu tercela."

"Mas?"

Bola mata Kafa kembali teralihkan. Ia berdehem.

"Aku kagum, loh sama sampeyan," sambung Bilqis nyaris membuat Kafa memandangnya kaget jika saja gadis itu tidak tertawa beberapa detik kemudian. "Aku kagum dengan akhlak, keyakinan dan ketekunan sampeyan untuk menggapai cita-cita. Aku juga kagum dengan prinsip dan ke-istiqomahan sampeyan. Seolah sampeyan itu ndak pernah tergoyahkan."

Kafa yang sebelumnya diam seksama kali ini hanya bisa tersenyum. Namun beberapa detik setelah menghela napas, pemuda itu berkata. "Tidak juga. Saya hanya manusia biasa. Istiqomah saya juga masih kerap kalah oleh rasa malas. Begitu juga prinsip dan niat saya sering kali goyah."

Senyum terbit di wajah Ning Bilqis. Kaca mata minusnya tampak berkilap. "Tapi, aku tetap yakin orang seperti sampeyan cobaannya mungkin lebih berat. Jadi rasanya wajar. Tidak seperti orang seperti aku yang goyah oleh hal-hal sepele seperti perasaan pada lawan jenis."

Senyum tipis di wajah Kafa berubah getir. Bilqis mungkin tak menyadari jika pemuda itu justru merasa malu dengan prasangka Bilqis itu.

"Sama, saja."

Mendengar ucapan itu membuat Bilqis mendongak antusias. Nampaknya, Bilqis sedikit lagi akan mendapatkan apa yang ia mau.

"Maksudnya? Memangnya sampeyan juga pernah goyah oleh perasaan pada seseorang, Mas?" tanya Bilqis hati-hati. Nadanya tak terlalu menekan, seolah tengah bercanda.

Mungkin gadis berkacamata itu sedikit kecewa ketika pertanyaan tersebut hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Kafa.

Bilqis mencari cara lain. Setelah sempat berpikir, ia kembali bertanya sembari sedikit terkekeh. "Ngomong-ngomong, Mas Kafa juga pernah mengagumi seseorang ndak? Penasaran, aja. Apakah orang sependiam dan secuek sampeyan juga merasakan hal seperti itu."

"Saya juga manusia biasa."

"Pernah berarti?" kejar Ning Bilqis lagi seraya sedikit tertawa.

Setelah tersenyum kecil, Kafa mengangguk.

Bilqis tampak mengatur napasnya sesaat. Setelah diam beberapa jenak mengusir ragu, gadis itu berkata. "Jujur, Mas. Aku itu gak mudah dibuat kagum sama laki-laki. Selama hidup, baru ada dua laki-laki yang bisa bikin aku kagum. Pertama laki-laki yang pernah kuceritain sama sampeyan itu, kedua, ya sampeyan sendiri."

Bilqis dengan gentar mendongak, mengintip reaksi Kafa. Dadanya berdenyut saat tahu Kafa masih bergeming.

"Selama hidup, hanya dia dan sampeyan lah teman laki-laki yang aku kenal," ucap Bilqis lagi, ia berharap Kafa mulai mengerti ke arah mana pembicaraan ini. "Jujur, awalnya  aku bermimpi bisa membangun komitmen dengan dia, sayangnya hal itu akhirnya pupus karena aku memilih untuk menunggu. Dan dia ndak pernah datang dengan perasaan itu. Makanya, jika ada kesempatan lain, kayaknya aku gak bakal memilih buat menunggu lagi. "

Kafa terlihat sedikit tegang.

"Meski aku dari kalangan pesantren. Aku selalu ingin memilih calon imamku sendiri, bukan lewat perjodohan. Kalau sampeyan gimana?"

Kafa menengok gelagapan mendengar pertanyaan dadakan itu. Tanpa sempat membiarkan pemuda itu menjawab, Bilqis sudah tersenyum dan melanjutkan. "Ngomong-ngomong memangnya sampeyan ndak ada target kapan memilih calon pendamping, Mas?"

Kafa menghela napasnya. "Mungkin setelah menyelesaikan sarjana."

"Kandidatnya sudah ada?"

Kafa sedikit kaget menoleh. Lantas sekali lagi, senyuman menjadi jawaban yang ia berikan. Entah kenapa, Bilqis masih merasa yakin jika Kafa juga sebenarnya menyembunyikan perasaan padanya.

"Kalau masih ada kesempatan, apakah aku boleh daftar?"

Kafa merasakan tubuhnya dingin seketika.

🌻🌸🌺🌷

Ada yang kangen?
Gak terasa udah luamaaaa banget gak update. Akunya lagi kena writer's block hehe.

Moga-moga lapaknya masih rame.

Luv banyak banyak buat kalian ❤️❤️❤️

Eh, Iya. Ceritanya aku up cerita baru, masih anget. Mungkin bisa jadi selingan selagi menunggu update-an cerita Ning Una dan Kang Mas Kafa ini 😅

Boleh mampir dan baca ceritanya.

Judul : Jeda Hingga Reda
Genre : Roman, Religi, Drama, Life marriage


Setiap luka biarlah berlalu oleh waktu. Pun rasa kecewa biarkan lupa mengobatinya.

Ainun Mahya selalu butuh jeda dalam hidupnya;
Jeda untuk percaya
Jeda untuk rela
Jeda hingga segala hal mereda.


Cover : Pinterest @Hestunim

Continue Reading

You'll Also Like

Gentle touch By K

General Fiction

66.7K 1.4K 34
It had been mere months after her eighteen birthday, when she was pulled from the safe haven of her life and forced into the fantasy the women had cr...
510K 32.6K 41
Let's see how different personalities mends with each other to form a beautifull bond together. Where the Eldest is calm and cold, Second is aggress...
39.6K 3.6K 10
Wanna visit rajasthan than read this special book about my love Rajasthan ๐Ÿ’—