ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14.2K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

7 - Berita

214 61 6
By wins1983

.

.

"Jangan urusi yang bukan urusanmu." 

.

.

***

"Ustadzah! Ustadzah Arisa!!"

Seruan berulang yang disertai gedoran pintu itu, membuat Arisa bersegera membukakan pintu.

"Ada apa?" tanya Arisa heran melihat Maryam terlihat panik.

"Ustadzah sudah lihat berita di TV?" tanya Maryam dengan napas tersengal karena dia berlari dari rumahnya ke rumah Arisa, setelah menonton berita di televisi.

"Belum. Ada apa?"

Tak lama, kedua wanita itu menonton televisi di ruang tengah rumah Arisa. Seorang reporter pria berdiri membelakangi sebuah rumah yang pagarnya ditutup garis polisi hitam-kuning.

"Tersangka pembunuh Ustaz Ilyasa, akhirnya tertangkap. Sobri sang tersangka pembunuh Ustaz Ilyasa, nekat mendatangi rumah Ustadzah Raesha, janda dari almarhum Ustaz Ilyasa, semalam sekitar pukul tujuh."

Arisa menutup bibirnya. Sobri benar-benar mendatangi rumah Raesha? Tepat di masa berkabung wafatnya Mbah mereka?

"Dari informasi yang kami dapatkan, Sobri ternyata berniat membalas dendam pada Ustadzah Raesha, sebab pemecatan dirinya dari madrasah milik Ustaz Ilyasa, terkait dengan viralnya rekaman video mengajar Ustadzah Raesha.

Namun niat Sobri itu kemudian digagalkan oleh Syeikh Yunan Lham, kakak Ustadzah Raesha, yang kebetulan sedang berada di Jakarta untuk tujuan melayat kakek dan nenek mereka yang wafat kemarin dalam waktu berdekatan."

Arisa kembali dibuat syok. "M-Mbah putri meninggal juga?" seru wanita yang sedang mengenakan daster panjang itu, makin syok mendengar lanjutan isi berita di televisi. Suaminya menggagalkan usaha balas dendam Sobri? Pantas Yunan tidak bisa dihubungi sampai sekarang.

"Sobri beraksi saat Ustadzah Raesha sedang sendirian di rumahnya. Ibunya yang belakangan tinggal di rumahnya, tengah berada di rumah duka, sementara kedua putranya belum pulang dari acara sekolah di Bogor."

Ya Allah, Raesha ... batin Arisa iba. Raesha sedang hamil tua pula. Sungguh tega lelaki bernama Sobri itu.

"Dari berbagai sumber yang kami dapatkan, sebelum melakukan aksinya, pelaku terlebih dahulu mematikan listrik rumah Ustadzah Raesha, dan Ustadzah Raesha nyaris mengalami pelecehan seksual oleh pelaku."

Arisa kembali syok. Astaghfirullah ... tidak cuma disantroni rumahnya, tapi Raesha juga nyaris mengalami pelecehan seksual! Dalam keadaan hamil besar? Sungguh keterlaluan!

"Teror itu berlangsung selama nyaris tiga jam lamanya. Pelaku sempat menangkap kedua putra Ustadzah Raesha dan mengikat mereka. Teror berakhir saat Syeikh Yunan Lham menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka dan sempat berkelahi dengan pelaku, sebelum akhirnya pelaku berhasil dibekuk dan dibawa ke rumah sakit oleh pihak kepolisian."

Arisa meneteskan air mata. Tak terbayang. Anak-anak itu turut merasakan teror mengerikan itu.

"Menurut keterangan tetangga Ustadzah Raesha, mereka sempat mendengar suara letusan senjata, sebelum akhirnya melihat pelaku dibawa oleh dua orang pengawal keluar rumah, sebelum dimasukkan ke dalam mobil polisi. Hingga berita ini diturunkan, kami belum mendapat informasi, apakah senapan itu milik Sobri, atau milik orang lain."

Arisa mengernyit. Yang jelas, senjata itu bukan milik suaminya. Meski pernah diancam nyawanya berkali-kali sepanjang sejarah dakwahnya, Yunan tidak pernah sekalipun menyimpan pistol.

"Pasca kejadian, kami sempat merekam Ustadzah Raesha dan kedua putranya, keluar dari rumahnya bersama Syeikh Yunan Lham, sebelum menaiki mobil yang membawa mereka ke rumah duka. Berikut adalah rekamannya."

Layar menampakkan Yunan berjalan di depan, didesak oleh ramai wartawan. Arisa menahan napas saat melihat pipi suaminya tergores sesuatu seperti bekas goresan pisau.

"Ya Allah!" seru Arisa tertahan.

"Ustadzah sudah menghubungi Syeikh? Apa Syeikh membalas?" tanya Maryam dengan raut cemas.

"S-Sejak kemarin, chat-ku belum dibaca. Aku coba telepon tapi nomor Yunan tidak aktif. Kupikir, wajar karena mungkin Yunan sibuk di sana. Bertemu saudara-saudaranya. A-Aku tidak tahu kalau --," jawab Arisa sambil menitikkan air mata.

Mereka kembali menatap layar televisi. Di belakang punggung Yunan, nampak sesosok wanita berhijab panjang, sedang bersembunyi. Itu adalah Raesha, tebak Arisa. Yunan menggandeng Ismail, dan Raesha menggandeng Ishaq.

Sesuatu terasa nyeri di dada Arisa. Selalu seperti ini tiap melihat suaminya sangat dekat dengan keluarga Raesha. Arisa segera mengenyahkan perasaan itu. Tidak! Dia tidak boleh egois! Raesha dan keluarganya sedang ditimpa musibah. Jika keluarga Raesha ditimpa musibah, itu artinya suaminya juga ikut tertimpa musibah. Dia tidak boleh egois dan hanya memikirkan perasaannya sendiri.

"Mereka dekat sekali, ya. Syeikh dan -- ," Maryam segera menutup mulut. Apa yang ada di pikirannya, auto-terceplos begitu saja.

"Ya. Mereka memang dekat. Sangat dekat," gumam Arisa dengan tatapan tertunduk. Siapa pun paham siapa yang dimaksud Maryam. Dari bahasa tubuh keduanya, orang akan langsung menangkap kesan bahwa suaminya dan Raesha sangat dekat.

"Yunan adalah yang merawat Raesha sejak bayi. Jadi --," jelas Arisa dengan senyum tipis, seolah berusaha menjelaskan kedekatan Yunan dan Raesha.

"Ooh --," komentar Maryam kikuk. Dia pernah menanyakan hal itu pada Zhafran sebelumnya. Tentang mengapa Yunan terlihat sangat dekat dengan Raesha, padahal keduanya bukan saudara kandung. 

Dan komentar Zhafran pada istrinya singkat saja, "jangan urusi yang bukan urusanmu." 

Zhafran, suami Maryam yang sedikit bicara itu. Padahal Maryam yakin, suaminya setidaknya tahu sesuatu. Zhafran dan Yunan sangat dekat. Tidak berlebihan jika Zhafran disebut sebagai tempat curhat Yunan satu-satunya di dunia.

Kedua wanita itu kembali fokus ke arah layar televisi.

"Tolong beri kami jalan. Adik saya sedang syok. Kami juga harus melayat, ada saudara yang meninggal dunia."

"Ustadzah! Coba cek status chat-nya! Mungkin Syeikh sudah baca chat dari Ustadzah!" kata Maryam antusias. 

Arisa mengecek ponselnya. "Masih belum dibaca," ujar Arisa dengan jari telunjuk menempel di permukaan layar ponsel.

"Ustadzah gak coba hubungi keluarga Ustadzah yang lain?" desak Maryam seolah ia gemas pada Arisa yang terlalu sabar. Jika dirinya, pasti ia sudah telepon kesana-kemari.

"Sudah chat ibu mertuaku dan Raesha juga, tapi sampai sekarang juga sama, belum dibalas. Tebakanku, mereka mungkin masih syok dengan kejadian Raesha, dan lagi, mereka pasti sibuk menyambut kedatangan para pelayat. Aku gak enak kalau telepon. Takut mengganggu, di masa berkabung ini," jawab Arisa.

Maryam menghela napas. Ini bukan masalahnya sebenarnya. Tapi ia kasihan pada Arisa yang malah berada di sini di momen genting suaminya. Atau, mungkin lebih tepat jika disebut momen genting adik angkat suaminya.

"Eh?" seru Arisa dengan mimik terkejut, masih sambil menatap layar ponselnya.

"Ada apa, Ustadzah?" tanya Maryam penasaran.

"Ponsel Yunan tiba-tiba aktif sepertinya. Statusnya online, tapi chat-ku belum dibaca juga."

"Coba telepon Syeikh, Ustadzah!" ide itu disampaikan Maryam penuh semangat.

Arisa mencoba menelepon suaminya. Alisnya berkerut setelah beberapa kali nada yang sama berulang terdengar dari pengeras suara ponsel.

"Gak diangkat," kata Arisa sambil membatalkan sambungan telepon.

Maryam mendesah kecewa. 

"Mereka mungkin sibuk. Penguburannya sekarang. Wajar saja kalau --," komentar Arisa berusaha husnuzon dengan keadaan ini yang sejujurnya membuat dia merasa dirinya orang luar dalam keluarga itu. Keluarga Danadyaksa. 

"Ustadzah! Hari ini, acara maulid yang rencananya Ustadzah hadiri, jam berapa aja?" tanya Maryam.

"Siang ba'da Zuhur, sama malam ba'da Isya. Kenapa memangnya?" Arisa bertanya dengan ekspresi heran. Maryam pikirannya memang seringkali random. Melompat-lompat dari satu topik ke topik yang lain. Maryam dan Zhafran, adalah pasangan yang berbeda karakter seratus delapan puluh derajat.

"Ahh! Sayang sekali. Coba kalau maulidnya sampai sore saja. Ustadzah bisa berangkat ke Jakarta. Tapi kalau sampai malam, lebih baik ke Jakartanya besok saja, Ustadzah."

Arisa terdiam. "Ke Jakarta?" tanya Arisa bingung. Memangnya yang bilang mau ke Jakarta siapa?

"Iya! Masa' Ustadzah gak nyusul Syeikh ke jakarta? Syeikh 'kan baru aja terluka gara-gara melindungi Ustadzah Raesha dan keluarganya! Setelah kejadian ini, Syeikh pasti akan terpaksa tertahan di Jakarta, untuk dimintai keterangan oleh kepolisian! Belum lagi proses pengadilan! Syeikh pastinya akan dimintai jadi saksi! Bisa-bisa, Syeikh ada di sana sebulan atau dua bulan!"

Dugaan Maryam yang berdasar itu, membuat Arisa berpikir. Benar. Jika Yunan ada di Jakarta sebulan atau dua bulan, bersama -- 

Bayangan Arisa akan suaminya bersama Raesha, Ismail dan Ishaq, lagi-lagi membuatnya gelisah. Dadanya berdebar. Perasaan apa ini? Terasa menyesakkan.  

"Iya. Benar. Mungkin aku sebaiknya menyusul," ucap Arisa meski ada nada ragu pada suaranya.

"Iya benar, Ustadzah!" tukas Maryam menyemangati. 

Arisa terdiam. Berusaha menenangkan hatinya. Tenang. Tenang. Jangan terbawa emosi. Jangan gegabah ambil tindakan.

"Tapi, aku sebaiknya minta izin suamiku dulu. Jadi, aku akan menunggu balasan dari suamiku," putus Arisa.

Maryam kecewa meski diam saja. Itu adalah keputusan yang tepat, dia tahu. Tapi memang dasar Maryam pembawaannya gemas kalau menyaksikan situasi yang  tidak jelas seperti sekarang ini.

.

.

Pagi jelang siang itu, Zhafran duduk berhadap-hadapan dengan Mahzar.

"Syukurlah, kalau Syeikh baik-baik saja, setelah berusaha mencegah teror dari pelaku itu. Saya tadi malam sempat lihat siaran breaking news-nya. Sempat panik, saya berusaha mengirim chat pada Syeikh, tapi tak ada satupun yang dibalas. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. 

Padahal saya sudah menawarkan diri saya untuk mengawal beliau ke Jakarta, tapi Syeikh bilang tidak usah. Saya lebih baik menemani Ustaz Zhafran saja di sini, katanya."

Mahzar menceritakan kegelisahannya, sambil menggigit jari. Ia stress sebenarnya, tiap kali tahu Yunan dalam bahaya dan dia berada jauh dari Yunan.

"Biarkan, Mahzar. Syeikh merasa tidak enak ditemani kamu untuk urusan keluarga," ucap Zhafran tenang.

"S-Saya tidak rela! Melihat goresan pisau itu di pipi Syeikh! Sungguh saya tidak rela!" Mata Mahzar berkaca-kaca.

Mata Zhafran kini beralih dari layar ponsel miliknya, ke arah Mahzar yang nyaris menangis.

Suara tatakan cangkir keramik terdengar digeser ke arah Mahzar.

"U-Untuk apa ini?" tanya Mahzar seraya mengusap air mata.

"Buat kamu aja," sahut Zhafran sambil kembali sibuk mengamati lini medsos yang kini ribut membahas Sobri dengan terornya semalam kepada keluarga Raesha.

"Kenapa malah kopinya dikasih ke saya? Saya 'kan buatkan kopi ini untuk Ustaz!" kata Mahzar bingung.

"Kamu lebih perlu kopi ketimbang saya. Nanti saya bikin kopi sendiri aja." 

Ingin menolak, tapi wangi aroma kopi yang menguar di udara, membuat Mahzar ragu untuk menolak. Kopi itu akhirnya disesapnya. "S-Syukran, Ustaz," ucap Mahzar yang tangannya gemetar saat mengangkat cangkir kopi.

"Afwan," sahut Zhafran singkat.

Mahzar mengamati tingkah Zhafran sambil mengerutkan alis.

"Kok Ustaz bisa kelihatan tenang sekali? Ustaz kirim-kirim chat ke Syeikh juga? Dibalas gak?" tanya Mahzar penasaran.

"Enggak. Karena saya tahu percuma. Syeikh pasti sedang sibuk di sana," jawab Zhafran yang masih khusyuk mengamati layar ponsel.

"Lagi liatin apa, Ustaz?" tanya Mahzar lagi.

Zhafran menurunkan posisi ponselnya, sambil menatap malas ke arah Mahzar. Mahzar ini benar-benar ... lebih bawel dari istrinya.

"Lagi liatin medsos!" seru Zhafran.

Mahzar mengernyitkan dahi. Iri pada Zhafran. Kok bisa-bisanya dalam keadaan seperti sekarang ini, Zhafran malah ngeliatin medsos??

Kokk?? Kok -- gitu, sih?

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

389K 33.3K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
2.6K 222 6
Rahma harus menikah dengan kakak iparnya. padahal dia sudah mempunyai kekasih, Satya namanya. Tapi karena harus memenuhi wasiat almarhum kakaknya Sof...
162K 15.7K 22
[COMPLETED] Muhammad Raiz seorang anak muda yang mengaku dirinya sebagai anak munafik di keluarganya. Zahra Nurazizah seorang perempuan shalihah yan...
6.2M 438K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...