ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

6 - Tersambung

258 58 11
By wins1983

.

.

Hanya orang yang tersambung kepada Allah dan Rasul-Nya, yang bisa menyambungkan orang-orang kepada Allah dan Rasul-Nya. 

.

.

***

Piring-piring kotor ditumpuk dan dibawa ke dapur oleh Elaine. Erika dan Haya masih sibuk melayani teman-teman alumni SMA Erika yang datang melayat malam ini. 

Adli sebenarnya merasa tidak tega melihat Elaine akan mencuci piring. Ia ingin menggantikan tugas gadis itu, meski sebenarnya dirinya sendiri juga kelelahan. Tapi setelah dipikir-pikir, sebaiknya Adli tidak ke mana-mana dan tetap di kamar ini, sebab jika dia pergi, maka Kak Yunan dan Kak Raesha di kamar ini hanya bersama anak-anak. Dan tentunya itu bukan hal yang baik, mengingat mereka bukan mahram. Ismail dan Ishaq belum baligh. Bagaimana jika kedua anak itu tidak dihitung orang ketiga di antara Yunan dan Raesha? Mereka akan dianggap berduaan di dalam kamar, dan khawatirnya hal-hal janggal yang mengganggu akan terjadi, seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya? Masalahnya, kamar ini ruangan tertutup. 

Ingin memberi sedikit ruang pribadi pada Yunan dan Raesha, Adli selonjoran di kasur bawah bersama Ismail dan Ishaq.

"Kakak tadi berani banget," kata Ishaq dengan bibir manyun, membuatnya sepintas mirip anak itik yang menggemaskan.

"Berani apanya? Kakak 'kan gak ngapa-ngapain," komentar Ismail.

"Kakak berusaha masuk ke kamar Ibu, sampai kursi Kakak jatuh dan badan Kakak memar. Sudah begitu, Kakak masih berusaha merangkak," jelas Ishaq.

"Tapi 'kan gagal. Kakak tetep gak bisa masuk ke kamar Ibu," kilah Ismail.

"Ya tapi 'kan tetep keren! Pokoknya, mulai sekarang, Kakak idola aku!" putus Ishaq sambil menepuk dadanya sendiri.

Ismail tergelak. "Apa sih kamu?" komentarnya sambil geleng-geleng kepala. Ishaq memang suka ajaib perkataannya.

"Ismail, coba Om lihat memarmu," kata Adli pada keponakannya.

Ismail menarik lengan baju dan celana panjangnya. Adli meringis melihat lengan dan betis Ismail kebiruan, seperti tulang pipi Raesha.

"Maafin Om. Om gak ada di sana pas kejadian itu di rumah kalian," ucap Adli dengan nada sedih.

"Gak apa-apa, Om. Ini sudah takdir dari Allah," kata Ismail tersenyum.

Adli menatap Ismail dengan binar keharuan di matanya. Putranya Ilyasa Ahn, batin Adli.

Dari sudut mata, Adli melirik Kak Yunan dan Kak Raesha yang sedang mengobrol. Entah apa yang diobrolkan, sepertinya serius sekali. Tak ada yang benar-benar tahu hubungan kedua orang itu. Yang jelas, jika keduanya bertemu, mereka seperti punya dunianya sendiri. Mengingat mereka punya masa lalu yang membuat keduanya seperti punya hubungan batin yang tersambung dengan kuat, Adli maklum saja. Bahkan Kak Yunan seperti punya firasat buruk sejak akan berangkat dari bandara Padang. Aneh sekali, padahal saat itu sepertinya belum ada tanda apa-apa. 

Sementara Erika yang notabene ibu kandung Raesha sekalipun, tidak punya firasat apa-apa sebelum insiden di rumah Raesha dan keluarganya. Los los saja seperti air mengalir.

.

.

"Rae, cairan apa yang kamu siram ke tubuh Sobri?"

Raesha tetiba merah padam mukanya. Ia nampak ragu menjawab. Jemarinya saling bertaut gelisah.

"Apa itu racun? Racun yang sama dengan yang membunuh Ilyasa?" tanya Yunan lagi, tanpa terdengar memojokkan Raesha.

Mata Raesha berkaca-kaca. Perlahan wanita itu mengangguk. "I-Iya, Kak. Tapi, a-aku 'kan tidak memaksa dia meminum racun itu, Kak! Racun itu tidak akan sampai membunuhnya! Mungkin hanya akan menimbulkan efek seperti penyakit kulit!"

Yunan menatap adik angkatnya dengan ekspresi tenang. "Kenapa kamu menyimpan botol racun itu di laci kamarmu?"

Air mata Raesha lolos ke pipi tanpa bisa ditahannya. Raesha menggigit bibir. "A-Aku sebenarnya ... pernah terlintas dalam pikiranku untuk membalas Sobri. Aku menyiapkan racun itu, tadinya dengan niat akan menyuntikkannya ke tubuh Sobri, jika dia benar-benar datang ke rumahku seperti dugaan polisi!" 

"Rae --!" seru Yunan dengan suara pelan nyaris berbisik. Dia paham kalau ini adalah aib. Aib Raesha. Tentunya Raesha tak ingin hal ini diketahui orang lain.

"T-Tapi, aku kemudian membatalkan niatku, Kak! Sungguh! Dan yang mengubah pikiranku adalah ... Kak Arisa," lanjut Raesha sambil mengeringkan air matanya, khawatir Adli melihatnya menangis.

"Arisa?" tanya Yunan. Yunan jadi ingat, dia belum sempat mengabari istrinya itu. Seharian ini hectic sekali. Mungkin nanti.

Raesha mengangguk. "Iya, Kak. Kak Arisa menemukan botol racun itu di laci kamarku. Dia menanyakan kenapa aku menyimpannya. Lalu -- " Raesha menutup muka saat menangis lagi. 

Yunan menatap Raesha iba. Kasihan. Rasa sakit yang teramat sangat karena kenyataan bahwa Ilyasa meninggal diracun, membuat Raesha sampai seperti itu.

"Kak Arisa menasehatiku dengan lembut. Akhirnya aku membatalkan niatku. Lalu aku kembali membenahi amalanku yang tadinya sempat kosong setelah Ilyasa tiada. Perlahan aku bangkit lagi dan kembali berdakwah."

Arisa ... Yunan trenyuh mendengarnya. Dia sudah menyaksikan dan merasakannya sendiri. Istrinya itu adalah wanita salehah. Hanya orang yang tersambung kepada Allah dan Rasul-Nya, yang bisa menyambungkan orang-orang kepada Allah dan Rasul-Nya. Kata-kata Arisa yang berasal dari hati, telah menyentuh hati Raesha.

Raesha tertunduk kepalanya. Bulir bening air matanya jatuh ke ujung jilbab. "A-Apa Kakak jadi benci padaku, setelah mendengar itu? A-Aku buruk sekali, bukan, Kak? Aku merasa tidak pantas berdakwah, dan tidak pantas jadi adikmu."

Yunan terkejut mendengarnya, namun ia kemudian tersenyum. "Memangnya Kakak bisa benci sama kamu? Gimana caranya benci sama kamu?"

Tatapan keduanya bertemu. Raesha menundukkan pandangan. Merasa pipinya menjadi panas.

"Rae, nanti di kantor polisi dan di persidangan, kalau ada pertanyaan terkait racun itu, bilang saja kalau kamu mencari racun itu karena didorong rasa ingin tahu mengenai zat yang membunuh Ilyasa. Karena kamu tidak menemukan senjata lain untuk membela diri, maka kamu terpaksa menggunakan racun itu untuk menyerang Sobri. Jawaban untuk melindungi marwahmu sebagai pendakwah. Yang penting, kamu tidak memaksa Sobri meminum racun itu. Kamu paham, Rae?"

Raesha menatap Yunan dengan sorot haru di matanya. Kak Yunan sampai memikirkannya sejauh itu. Memikirkan bagaimana jawabannya jika racun itu nanti dipertanyakan oleh polisi dan persidangan.

"Iya, Kak," ucap Raesha manut.

"Kakak akan mengusahakan agar persidangan itu tidak berlangsung secara terbuka. Tapi seandainya persidangan terbuka tak terelakkan, kamu jangan khawatir. Ada Kakak bersamamu."

Raesha menggigit bibir. Menahan rasa ingin memeluk pria di hadapannya. Bahagia, haru dan sedih bercampur menjadi satu.

Yunan menyentuh lap kompres di meja nakas. "Masih dingin, nih. Sini Kakak kompres pipimu."

Raesha merasa dinginnya kompres tidak bisa meredakan panas di wajahnya, saat Yunan menempelkan lap dingin ke pipinya.

"B-Biar aku aja, Kak," ucap Raesha segera. Lap kompres kini berpindah ke tangannya. Raesha merasa tidak tahan dengan debaran jantungnya yang menggila, jika Yunan terlalu lama mengkompres pipinya.

"Kak, itu di pipi kanan Kakak, dekat telinga, ada bekas memar juga!" seru Raesha terkejut. Dia baru melihatnya. Memarnya kecil, tapi kalau dari dekat baru terlihat.

"Oh? Tadi kena pukul. Gak apa-apa. Kompresnya buat kamu aja," kata Yunan sambil menyentuh spot yang dimaksud Raesha.

Yunan terkejut saat Raesha tiba-tiba menempelkan lap kompres di pipi kanannya. Menyadari wajah Yunan merona seperti wajahnya, Raesha jadi kikuk, tapi rasanya aneh kalau dia kembali menarik tangannya.

"Sudah," kata Raesha saat meletakkan lap kompres di mangkuk berisi es.

"A-Aku mau mandi dulu," kata Raesha pamit ke kamar mandi. Melarikan diri, sebenarnya.

Yunan hanya merespon dengan senyum. Ia mengusap keningnya sambil menghela napas, setelah Raesha pergi. Mestinya dia mengabari istrinya, tapi pikirannya sibuk, hingga dia tak menyadari bahwa ponselnya mati kehabisan baterai.

.

.

Malam sudah larut. Pintu depan dan pagar rumah orang tua Erika, telah terkunci. Beberapa pengawal nampak mondar-mandir berjaga di luar rumah. Masih ada beberapa wartawan yang ngotot tetap berada di sana. Para wartawan itu berusaha mengorek informasi dari penjaga, tapi tak ada keterangan yang mereka dapatkan, selain dari info wafatnya kedua orang tua Erika, alias kedua Mbah dari Raesha, dan bahwa besok pagi baru akan dilakukan penguburan kedua jenazah.

Di dalam kamar milik mendiang orang tua Erika, keluarga Erika berkumpul, tidur bersama. Momen yang baru pertama kali terjadi.

Di kasur besar, ada Erika, Raesha, Ismail dan Ishaq. Satu kasur lipat di lantai ditiduri oleh Yunan dan Adli. Satu kasur lagi, menjadi tempat tidur Haya dan Elaine. Mereka sudah seperti pengungsi saja.

Seperti ada alarm alaminya, mata Yunan terbangun pukul tiga dini hari. Otaknya loading. Sebentar. Ini di mana? Oh ya. Dia sedang di rumah mendiang Mbah, di Jakarta, dalam kamar tidur style pengungsi mode on. Idenya Erika, ibu angkatnya yang antik. Yunan duduk dan mengusap matanya sambil membaca do'a bangun tidur.

"E-laine."

Yunan menoleh ke samping. Adli mengigau. Dia bilang apa tadi? Elaine?

"Elaine, I love u," gumam Adli sambil mencium guling.

Yunan menatap Adli dengan sorot mata datar. Dasar Adli, batinnya.

Teringat belum mengabari Arisa sejak kemarin, Yunan berdiri dan mengecek ponselnya di dalam tas. Mati ternyata. Saking paniknya sejak kemarin, Yunan baru menyadari kalau ponselnya mati. Kemarin saat bolak-balik menelepon Raesha di dalam mobil, ponselnya memang sudah berbunyi notifikasi low batt.

Yunan segera mencolok kabel charger ke stop kontak. Mencoba menyalakan kembali ponselnya tapi belum bisa. Biarlah. Nanti saja, pikirnya sebelum mengambil sikat giginya di tas lalu beranjak ke kamar mandi. Tak lama, Yunan keluar sudah berganti baju koko, sarung hijau dan peci putih di kepalanya. Yunan menorehkan parfum di pergelangan tangannya, lalu ia menggosok kedua pergelangan tangan sebelum menempelkan pergelangan tangannya ke leher dan tubuh.

Mata Raesha perlahan terbuka. Ia merasa mencium aroma wangi gaharu. 

"Sudah bangun? Salat, Rae," kata Yunan dengan suara lembut.

Raesha tersenyum sambil mengucek mata. "Kakak mau salat di mana?" tanya Raesha.

"Di ruang tengah saja. Sekalian mau bacain Yasiin buat Mbah," jawab Yunan.

Raesha terlihat sedih, entah mengapa. "Gak di sini aja salatnya, Kak?" 

Pertanyaan itu terdengar sekaligus merajuk. "Gak bisa. Penuh begini. Kakak di luar saja," jawab Yunan.

Mata Raesha berkaca-kaca. Yunan terkejut melihatnya. "K-Kenapa?" tanya Yunan dengan suara tertahan, tak ingin membangunkan orang-orang.

"Gak apa-apa. Aku cuma sedih. Gak bisa jama'ah sama Kakak," Raesha membuang muka. Malu. Kenapa dia baperan sekali di kehamilannya yang ketiga ini? Mudah tersentuh hatinya. Gampang menangis, apalagi untuk urusan yang terkait dengan Yunan. Jika Raesha nekat salat bermakmum dengan Yunan di ruang tengah, tanpa ada orang selain mereka kecuali jasad Mbah putri dan Mbah kakung, khawatirnya akan muncul gangguan-gangguan yang dulu biasa terjadi.

"Jangan sedih. Kakak akan bangunkan Elaine. Dengan begitu, kita bisa salat berjama'ah," kata Yunan sambil mengusap kepala Raesha yang tertutup jilbab.

Raesha mengangguk. Kapan terakhir kali Yunan mengusap-usap kepalanya seperti ini? Rindu sekali.

"Aku mau wudu' dulu," kata Raesha.

Sebelum keluar ke ruang tengah, Yunan sempat membangunkan putrinya.

"Elaine, bangun. Tahajud," bisik Yunan seraya mengguncang bahu Elaine.

Elaine membuka mata. Haya masih tidur pulas, sama sekali tidak mendengar suara Yunan.

"Wudu', pakai mukena. Kalau sudah siap, segera keluar. Kita jama'ah."

Elaine mengangguk lalu berdiri. 

Ismail terbangun. "Om mau ke mana?" tanya Ismail saat melihat Yunan hendak keluar kamar.

"Mau tahajud di ruang tengah. Kamu mau jama'ah sama Om?" tanya Yunan tersenyum.

"Mau, Om," sahut Ismail membalas senyum Yunan meski matanya masih separuh mengantuk. Di samping Ismail, Ishaq dan Erika tertidur pulas. Erika bahkan mendengkur.

"Om tunggu di luar, ya," kata Yunan sebelum keluar kamar.

Saat keluar dari kamar mandi, Raesha terkejut melihat Elaine dan Ismail mengantri di luar pintu kamar mandi. 

"Kamu duluan aja, Ismail," kata Elaine sambil menutup bibirnya saat menguap. Jika tidak dibangunkan Abinya, Elaine mungkin masih tidur karena kelelahan melayani para pelayat.

Ismail wudu' di dalam kamar mandi. Sementara Elaine dan Raesha memutuskan duduk di tepi ranjang sambil menunggu Ismail keluar dari kamar mandi. 

"Tante duluan aja nyusul Abi di ruang tengah," kata Elaine yang heran kenapa Raesha malah ikut menunggui Ismail selesai wudu'. 

"Gak apa-apa. Tante mau bareng kalian aja keluarnya," jawab Raesha tersenyum ramah. Elaine tidak tahu apa kemungkinan yang bisa terjadi kalau Raesha dan Abinya berduaan saja di ruang tengah tanpa ada orang lain.

Elaine merespon dengan senyum meski masih bingung. Sudut mata Elaine melirik ke arah Adli yang sedang tidur sambil memeluk guling. Gadis itu tersenyum geli. Lucu sekali tampang Om Adli kalau sedang tidur, seperti anak bocah saja.

"Love u, E-laine."

Raesha pura-pura tidak dengar. Elaine melotot. A-Apa itu tadi? Om Adli mengigau apa?

.

.

Yunan mengambil jarak dari kedua jenazah dan membentangkan sajadah. Ismail berdiri di belakangnya. Sementara di belakang Ismail berjejer Raesha dan Elaine.

Yunan membaca niat salat qiyamul lail berjama'ah, sebelum takbiratul ihram. Raesha menitikkan air mata nyaris di sepanjang salat. Luapan emosi ini persis dengan yang dirasanya saat Yunan mengajak mereka sekeluarga ke danau di Sumatera Barat. Di musholla dekat danau itu, Raesha akhirnya merasakan salat berjama'ah diimami Yunan, seperti yang dulu pernah jadi kesehariannya tiap hari bersama Yunan. 

Tiap jeda setelah dua raka'at dan salam, Elaine melirik ke arah tantenya. Menyangka Tantenya sangat khusyuk salatnya sampai kesulitan berhenti menangis.

Setelah qiyamul lail dan witir tiga raka'at, mereka membacakan surat Yasiin di samping jasad Mbah putri dan Mbah kakung. Tak lama kemudian, waktu Subuh tiba. Yunan, Adli, Ismail dan Ishaq salat Subuh di masjid komplek. Para wanita salat di rumah berjama'ah diimami Raesha. 

Selepas Subuh, mereka berbagi tugas. Elaine dan Haya menyiapkan sarapan dan sarapan duluan, sementara yang lainnya bergiliran mandi. Lalu gantian Elaine dan Haya mandi sementara yang lain sarapan. Pintu depan dibuka. Para pelayat mulai berdatangan lagi. 

Yunan bersiap memimpin salat jenazah. Selepas salat, Yunan mengangkat keranda yang membawa jasad Mbah kakung, sementara Adli perwakilan keluarga yang mengangkat keranda Mbah putri. Saudara jauh mereka juga turut mengangkat keranda, dibantu pengurus masjid. 

Seperti diduga, jumlah wartawan bertambah banyak dibanding semalam. 

"Syeikh Yunan! Ustadzah Raesha tidak ikut mengantar kedua Mbahnya dimakamkan?" salah satu wartawan bertanya.

Yunan yang telah menutupi luka di pipinya dengan kasa dan plester, diam saja tidak menanggapi.

"Maaf permisi, ya! Mohon jangan dihalangi kerandanya! Tolong pengertiannya! Keluarga sedang dalam suasana duka!" peringatan dari salah satu pengawal Adli yang berdiri di depan membuka jalan.

Jika Raesha ikut mengantar ke pemakaman, bisa dipastikan wartawan akan makin menggila.

.

.

Para wanita dan anak-anak, semuanya tetap di rumah. Erika dan Raesha sibuk menerima ucapan belasungkawa dari para tetangga dan saudara jauh. Sementara Haya dan Elaine sibuk membagikan makanan dan minuman.

Kedua bocah lebih suka mengurung diri di kamar saja.

"Kak, kita ngapain sambil nunggu Om Yunan dan Om Adli pulang?" tanya Ishaq dengan bibir manyun. Adiknya itu mulai bosan sepertinya. 

Ismail sedang melipat sajadah dan sarungnya selepas salat Dhuha. "Ya kita rebahan aja. Habis, mau ngapain?" komentar Ismail sambil nyengir.

"Kita libur sekolah hari ini, Kak?" tanya Ishaq.

"Iya. Ibu sudah izin ke wali kelas kita," jawab Ismail.

"Bosen ah. Gak ada hape yang bisa aku mainin," gumam Ishaq sambil berguling dan menuruni ranjang, lalu berjalan ke arah meja.

"Ini hape siapa, Kak?" tanya Ismail penasaran, saat melihat ponsel yang sedang di-charge.

"Jangan diutak-utik! Itu punya Om Yunan!" cegah Ismail. 

"Oh? Hapenya sudah penuh baterainya. Aku copot, ah," kata Ishaq sebelum melepas colokan charger ke listrik. "Terus, aku nyalain power-nya," imbuh Ishaq sekonyong-konyong seolah itu ponsel miliknya sendiri.

"Ishaq!" bentak Ismail namun sudah terlambat.

Bunyi notifikasi datang bertubi-tubi ke ponsel Yunan, sebelum suara nada dering qasidah Tarim berbunyi.

"Kak, ada yang telepon. Tante Arisa. Aku boleh angkat?" tanya Ishaq dengan tampang polos.

"Gak boleh!!" jawab Ismail lantang.

"Terus, diapain?" tanya Ishaq lagi.

"Biarin aja. Nanti kita bilang ke Om Yunan, kalau Tante Arisa telepon," kata Ismail tersenyum, tanpa tahu seberapa cemas si penelpon di ujung sana. 

.

.

***



Continue Reading

You'll Also Like

63K 10.9K 20
Pernikahan seperti apa yang kamu impikan? Menikah dengan seseorang yang kamu cintai dan mencintaimu? Dikarunia putra dan putri yang menggemaskan dan...
27.2K 1.9K 15
Tentang sebuah Dendam yang berakhir dengan Penyesalan Tentang sebuah Cinta yang datang saat Perjalan sudah harus terhenti Tentang Cinta sejati yang t...
386K 33.1K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
723K 61.5K 69
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasakan penyesalan. Perasaan dimana aku berada diantara kasihan pada diri sendiri dan membenci diriku sendiri...