ANXI EXTENDED 2

Por wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... Más

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

5 - Luka

263 55 17
Por wins1983

.

.

"Kata siapa kalau tidak luka berarti tidak melawan?"

.

.

***

"Raesha!!"

Erika memeluk erat putrinya yang baru tiba di rumah duka.

Raesha menangis di bahu ibunya. Haya dan Elaine menatap iba. Mereka sudah mendengar dari Adli. Raesha disantroni rumahnya oleh pembunuh Ilyasa, justru saat Raesha sedang sendirian di rumah menunggu kedua anaknya pulang dari field trip di Puncak. Momennya juga pas dengan Erika yang sedang sibuk mengurusi orang tuanya yang wafat nyaris bersamaan. Itu artinya, Raesha mungkin telah diamati kegiatannya sejak lama. Sehingga penyusup itu beraksi tepat saat Raesha sedang sendirian di rumah.

"Ya Allah. Maafin Ibu, Nak. Orang bejat itu menyakiti kamu pas Ibu keluar rumah," ucap Erika sambil mengelus tulang pipi Raesha yang membiru.

Raesha menggeleng. "Gak apa-apa, Bu. Ibu memang mesti di sini. Semua sudah selesai, alhamdulillah kami baik-baik saja."

"Kamu gimana, Yunan? Pipimu berdarah! Haya! Cepat ambilkan obat luka!" titah Erika pada Haya.

Haya segera bergegas mencari kotak P3K. Dan sekalian membuat kompres air dingin, dibantu oleh Elaine.

"Aku gak apa-apa, Bu. Cuma luka kecil," kata Yunan.

"Tetap harus diobati. Cepat masuk ke kamar! Di sini masih ada tamu pelayat. Anak-anak gimana?"

Ismail terlihat ragu memperlihatkan memarnya. Erika paham bahwa bocah itu tidak nyaman membuka bajunya di ruang tengah yang meski mulai sepi, ada saja tamu pelayat yang belum pulang.

Mereka ramai-ramai masuk ke kamar. Tak lama, Haya dan Elaine bergabung.

Elaine mengobati luka di pipi Abinya. Sementara Erika mengkompres tulang pipi Raesha.

Erika meneteskan air mata. "Brengsek orang itu! Masih hidup gak sih dia?? Ibu mau balas tonjok mukanya!" ucap Erika emosi jiwa. Ibu mana yang tidak emosi kalau putrinya yang sedang hamil besar, dipukul wajahnya dan nyaris diperkosa.

"Sudah, Bu. Biarkan saja dia. Sebentar lagi dia akan diadili dengan pasal berlapis-lapis. Aku akan terkejut kalau dia tidak dipenjara seumur hidup setidaknya," kata Raesha berusaha menenangkan ibunya.

Haya membuka baju Ismail. "Ya Allah. Lengan dan betismu memar. Kasian, sayangkuu!" Haya memeluk Ismail erat. Tak tega rasanya. Keponakannya masih kecil sudah harus mengalami teror mengerikan itu di rumah sendiri.

Haya mengkompres memar di tubuh Ismail. 

"Kamu ada luka gak, Ishaq?" tanya Yunan seraya mengelus kepala Ishaq.

"Gak ada luka sama sekali, Om," jawab Ishaq.

"Alhamdulillah," sahut Yunan tersenyum.

Ishaq malah terlihat sedih.

"Kenapa mukamu cemberut gitu?" tanya Yunan lagi.

"Semua orang ada lukanya, kecuali aku," Ishaq mengatakannya dengan kepala tertunduk.

"Bagus, dong, kalau kamu gak luka, Ishaq," kata Raesha yang bingung kenapa anak bungsunya ini malah kelihatan sedih karena tidak luka.

"Luka pertanda melawan. Aku gak ada lukanya. Artinya, aku gak melawan," imbuh Ishaq dengan ekspresi murung.

Semua terdiam. Tak menyangka Ishaq bisa berpikir demikian.

"Kata siapa kalau tidak luka berarti tidak melawan? Melawan bisa melalui hati dan do'a. Hati yang turut bersedih saat melihat muslim lain dizalimi, adalah termasuk luka pada hati," kata Yunan, mengusap-usap pucuk kepala Ishaq sambil tersenyum.

Ishaq menegakkan pandangannya, menatap senyum Om Yunan yang enak dipandang.

Pintu terdengar diketuk dari luar. "Ibu di dalam?" suara Adli.

"Iya. Masuk, Adli," sahut Erika.

Pintu terbuka. Wajah lelah Adli muncul di muka pintu.

"Bu, ada teman-teman SMA Ibu, datang melayat Mbah. Katanya, mereka khawatir gak keburu melayat besok pagi. Takutnya keburu selesai penguburan. Jadi mereka melayat sekarang," lapor Adli.

"Masya Allah. Malam-malam begini mereka datang?" seru Erika tak percaya. Terharu rasanya. Teman-teman lama Erika, rela melayat jenazah kedua orang tua Erika, malam-malam buta begini?

"Ibu keluar dulu, ya. Raesha, Yunan, Ismail dan Ishaq, kalian belum makan malam, 'kan?" tanya Erika memastikan.

Raesha dan Yunan saling tatap.

"Kamu sudah sempat makan malam?" tanya Yunan pada Raesha.

"Belum, Kak. Tadi aku baru mau makan tapi gak jadi," jawab Raesha.

"Kalo aku, tadi di bus udah dikasih sandwich sama Bu guru, tapi kalau dikasih makan lagi, aku mau," komentar Ishaq.

Semua tertawa geli mendengar Ishaq.

"Nanti berat badanmu naik lagi, Ishaq," kata Ismail menasehati adiknya.

"Aku 'kan masih dalam masa tumbuh, Kak. Jadi emang harus banyak makannya! Biarin aja temenku yang ngatain aku bayi ikan buntal!" kilah Ishaq membela diri.

Tawa terdengar lagi di kamar itu.

"Siapa temenmu yang berani ngatain kamu bayi ikan buntal? Sini biar Tante jewer!" kata Haya sambil menghampiri Ishaq dan mencubit kedua pipi Ishaq. Gemas sekali dengan tingkah Ishaq.

Mereka sempat khawatir anak-anak trauma pasca insiden mengerikan yang baru terjadi, tapi syukurlah sepertinya Ishaq tidak terpengaruh. Sementara Ismail seperti agak memaksakan diri tersenyum dan tertawa. Kejadian itu jelas mempengaruhi Ismail lebih kuat. Wajar, mengingat Ismail anak yang karakternya lebih serius dan pemikir seperti almarhum bapaknya.

"Aku boleh ikutan keruntelan di sini?" tanya Adli, nyaris membuat Elaine tertawa karena Adli terdengar seperti bocah yang memohon.

"Ya udah sini masuk. Temenin Kak Yunan, Kak Raesha dan anak-anak. Atur aja remot AC kalo kurang dingin. Malam ini kita tidur bareng aja di sini. Nanti kita gelar dua kasur lipat biar muat. Soalnya kalo tidur di lantai atas, nanti capek naik-turun ngurusin pelayat sama saudara-saudara kita yang datang," kata Erika.

"Aku bawa masuk kasur lipatnya sekarang, deh," kata Adli sebelum ngeloyor ke arah gudang. Tak lama, Adli datang dan menggelar dua kasur di lantai. Haya dan Elaine membantu memasang sprei. Raesha hendak ikut membantu, tapi dilarang Haya. Setelah apa yang dialami Raesha barusan di rumahnya, mereka tak akan membiarkan Raesha mengerjakan apapun itu, apalagi Raesha sedang hamil besar.

"Ibu keluar dulu, ya. Elaine, tolong bawakan makan malam untuk Abi, Tante Raesha, Ismail dan Ishaq. Haya! Sini! Bantuin bagiin camilan sama minum buat teman-teman Ibu!" titah Erika pada Haya.

Haya yang baru saja bisa rebahan santai di dalam kamar ber-AC, terpaksa bangkit berdiri dan ikut keluar kamar bersama ibunya.

"Aku ambilkan makanan dulu," kata Elaine pamit keluar kamar menyusul Erika dan Haya.

"Gimana lukanya Kak Raesha, Kak Yunan?" tanya Adli saat duduk di ranjang di samping Raesha.

"Cuman memar aja. Kak Yunan tuh, yang sampai berdarah," jawab Raesha.

"Tergores sedikit. Sudah diobati tadi sama Elaine," kata Yunan.

"Maaf tadi aku gak tahu kalau situasinya seburuk itu. Dan tadi suasananya hectic semenjak dari rumah sakit. Pikiranku ke mana-mana. Kalau aku tahu, aku akan ikut bersama Kak Yunan ke rumahmu, Kak. Aku pastikan orang itu akan mendapatkan beberapa bogem mentah dariku!" kata Adli geram seraya mengangkat kepalan tangannya ke udara.

"Gak apa-apa, Adli. Kakak ngerti. Kamu sibuk di sini. Makasih sudah kirim pengawal ke rumah Kakak. Mereka menolong Kak Yunan yang sempat diancam dengan pisau, waktu Kak Yunan akan mengikat Sobri," ucap Raesha tersenyum.

"Syukurlah. Waktu pertama kali dengar kabar Kakak lewat pengawal yang kukirim, aku kaget sekali. Kalau bukan karena Kak Yunan curiga, aku mungkin akan tetap di rumah Mbah, tanpa tahu kalau Kakak akan dicelakai laki-laki itu. Kalau gara-gara itu, lalu Kakak sampai --"

Raesha dan Yunan terkejut melihat Adli tiba-tiba meneteskan air mata.

"A-Aku gak akan maafkan diriku sendiri! Aku sudah kehilangan Ayah, Eyang Dana, Mbah kakung dan Mbah putri. Kalau aku sampai kehilangan Kakak karena kelalaianku, aku --"

Raesha memeluk Adli, membiarkan air mata Adli membasahi jilbabnya. "Jangan begitu, Adli. Ini semua di luar perkiraan kita. Kakak gak menyalahkan siapa-siapa. Jangan dipikirkan lagi. Yang penting, Kakak, Kak Yunan dan anak-anak selamat, alhamdulillah."

Adli mengangguk saat membalas rangkulan Raesha. Yunan tersenyum, meski dalam benaknya sebenarnya dia merasa iri tiap melihat Adli bisa berpelukan dengan Raesha tanpa perlu merasa bersalah seperti dirinya. 

Pintu terbuka. Elaine masuk membawakan beberapa piring makanan di nampan. Adli mendadak melepas rangkulannya. Sibuk menyeka air mata. Gengsi kalau Elaine sampai melihatnya menangis. Raesha merasa geli melihatnya. Adli adiknya yang gagah itu, ternyata kepincut dengan Elaine yang masih remaja tanggung. 

Elaine membagikan piring-piring makanan pada Abinya, Tante Raesha, Ismail dan Ishaq. Nasi kuning dan ayam goreng.

"Ini beli atau --," tanya Yunan sambil menatap hidangan di piringnya.

"Nasi kuning ini dikasih dari ibu-ibu pengajian komplek. Mbah uyut ternyata selama ini sudah membayar iuran untuk persiapan kematian, jadi begitu kami mengabari bahwa Mbah uyut meninggal, RT setempat dan majelis pengajian langsung mengurusi semuanya. Pemandian jenazah, mengkafanan, persiapan penguburan dan termasuk makanan untuk keluarga jenazah dan untuk pelayat," jelas Elaine.

"Oh syukurlah," gumam Yunan sebelum memejam sekian detik, berdo'a lalu makan.

"Sebentar. Aku ambilkan air mineral," kata Elaine sebelum bersiap keluar kamar lagi.

"Kamu jadi bolak-balik, Elaine," ucap Raesha merasa bersalah.

"Gak apa-apa, Tante," sahut Elaine tersenyum.

"Aku mau juga, dong," pinta Adli.

"Om mau minum apa?" tanya Elaine.

"Ada yang dingin gak? Aku kegerahan," jawab Adli sambil mengibas kerah kemeja kerjanya. Fix setelah ini dia akan mandi dan ganti baju. 

"Ada sirup jeruk, mau, Om?" tanya Elaine lagi. 

"Mau, deh. Makasih, Elaine."

"Iya. Sebentar ya, Om." Elaine keluar kamar.

Adli menjaga imejnya di depan Yunan. Seandainya tidak ada Yunan di ruangan ini, dan suasananya tidak sedang berduka, bisa dipastikan Adli pasti sudah bertingkah ajaib, menggoda Elaine secara halus. 

"Makan, Adli," kata Yunan bersopan-sopan pada Adli.

"Iya, Kak. Makanlah. Aku tadi sudah makan bareng ibu, Haya dan Elaine."

"Makasih kamu mengirim pengawal ke rumah Raesha. Mereka datang di saat yang tepat," ucap Yunan tersenyum.

"Sama-sama, Kak. Sudah sepantasnya. Karena aku tadi sedang tidak bisa ke sana," sahut Adli balas tersenyum.

"Oh ya. Tadi aku lihat, ada beberapa wartawan di luar rumah ini."

Informasi dari Adli itu, mengejutkan Yunan dan Raesha. "Mereka sudah di sini?" tanya Yunan.

"Iya. Tapi jangan khawatir. Aku sudah siapkan banyak penjaga di sekeliling rumah ini. Besok akan ada lebih banyak body guard. Just in case wartawan besok pagi lebih ramai. Supaya proses penguburan jenazah lancar tanpa dihalangi oleh mereka."

Raesha nampak lega. Adli orangnya antisipatif, persis ayah Yoga.

"Rae, besok, kamu, anak-anak, ibu, Haya, Elaine di sini saja. Yang berangkat ke pemakaman biar Kakak dan Adli," putus Yunan.

"Iya, Kak," Raesha mengangguk patuh. Dia juga sedang segan muncul di depan umum, setelah teror yang terjadi malam ini.

"Dan setelah kejadian malam ini, kemungkinan kita akan sibuk bolak-balik ke kantor polisi dan pengadilan, Kak," kata Adli dengan tampang serius.

"Kita? Kamu juga?" tanya Yunan heran. Kalau dirinya, Raesha dan anak-anak, jelas akan dimintai keterangan oleh kepolisian lantaran berada di TKP saat teror Sobri terjadi.

"Iya, Kak. Aku pasti kena juga. Karena peluru body guard-ku mengenai pundak si pelaku. Aku dengar begitu dari laporan body guard-ku barusan," jawab Adli.

Yunan dan Raesha saling tatap. "Tapi, Sobri gak mati 'kan?" tanya Raesha.

"Tidak. Dia cuma pingsan. Sekarang dia dibawa ke rumah sakit, di bawah pengawasan ketat kepolisian. Orang suruhanku tadi melapor," kata Adli.

"Apa tembakan itu akan jadi masalah? Tapi pengawalmu menembak dengan alasan untuk pembelaan diri. Sekiranya dia tidak menembak, Sobri mungkin sudah membuat kerusakan lebih banyak dengan pisaunya," ucap Yunan dengan nada heran.

Adli tersenyum miring. "Kak, penembakan itu melibatkan keluarga kita, keluarga Danadyaksa. Tentu saja, akan ada orang-orang tertentu yang akan menjadikannya masalah."

Yunan dan Raesha kini nampak cemas. Begitukah? 

"T-Tapi, di sini yang jadi korbannya adalah aku, anak-anak dan Kak Yunan! Kenapa yang dipermasalahkan jadi --"

Adli hanya membalas ucapan Raesha itu dengan kerlingan mata. 

Kak Raesha dan Kak Yunan polos amat. Pasti gak pernah baca berita kriminal di negeri ini, ya? Orang melapor karena dianiaya aja, bisa-bisa yang melapor malah masuk bui! 

.

.

***

Seguir leyendo

También te gustarán

2.8M 169K 34
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
385K 33K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
476K 57.9K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...