ANXI EXTENDED 2

By wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... More

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
15 - Telepon Masuk
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

4 - Malam Mencekam

237 61 17
By wins1983

.

.

"Kamu boleh lakukan apapun padaku, tapi tidak pada anak-anakku!"

.

.

***

"Cantiknya," kata Sobri sambil mengelus pipi Raesha. Keduanya duduk di tepi ranjang. Ruangan masih gelap gulita. Hanya sesekali cahaya kilat menerangi dari arah jendela.

Raesha memicingkan mata. Merasa jijik. Ini adalah sentuhan kesekian dari tangan Sobri di wajahnya. 

"Ustaz Ilyasa beruntung sekali. Pernah merasakan hidup bertahun-tahun dengan wanita secantik kamu. Istriku jelek sekali, tubuhnya bahkan seperti karung beras. Aku terpaksa menikahinya dulu, karena, siapa wanita yang mau dengan orang sepertiku yang tampang dan dompetnya pas-pasan?"

"Itu karena kamu tidak bersyukur! Orang tidak dinilai semata-mata dari fisiknya! Kalau kamu bersyukur, kamu akan menemukan sisi baik dari pasanganmu!" komentar Raesha ketus.

Sobri tertawa. "Cih. Masih sempat ceramahi aku? Sebentar lagi, hidupmu akan berubah total. Kamu tak lagi menjadi wanita terhormat, setelah apa yang akan kulakukan padamu. Dan ditambah lagi, wajahmu akan kubuat menjadi buruk rupa. Kita lihat saja. Apa setelah itu, kamu masih bisa bersyukur?"

Raesha berkaca-kaca matanya, lalu air matanya mengalir lagi. Sabar. Sabar. Sebentar lagi siksa dunia ini akan berakhir. Sebentar lagi. Yang penting, ini bukan siksa akhirat. Mungkin musibah hari ini akan menjadi penebus seluruh dosanya di dunia. Mungkin.

"Ayo kita mulai, sayang. Sesuai janji, aku akan hati-hati, supaya kamu masih bisa melihat bayimu lahir dalam keadaan hidup."

Raesha memejamkan mata saat hijabnya dibuka. Tangisnya makin deras. Ilyasa akan hancur hatinya, jika tahu istrinya diperlakukan tak senonoh saat sedang hamil anak ketiga mereka.

"Ibuuu!! Assalamu'alaikuum!" 

Jeritan anak kecil itu, membuat Sobri dan Raesha terkejut.

"Wah. Kita kedatangan tamu ternyata?"

"T-Tolong jangan apa-apakan kedua putraku! Kamu boleh lakukan apapun padaku, tapi tidak pada anak-anakku!" pinta Raesha sambil menangis sesenggukan.

"Ikut aku," ucap Sobri singkat, sambil menyeret Raesha mendekati sebuah kursi di kamar tidur. Sobri mengeluarkan tali dan mengikat Raesha di kursi, serta menutup mulut Raesha dengan sepotong kain. 

"Akan kupersilakan tamu-tamu kecil kita untuk masuk. Supaya permainan kita lebih ramai," kata Sobri dengan senyum dingin.

Raesha menggeleng kuat. Berusaha menjerit, ingin menyuruh kedua anaknya untuk pergi mencari bantuan, tapi percuma karena suaranya tak terdengar.

Tak lama, Raesha mendengar jeritan Ismail dan Ishaq dari arah taman kolam. Raesha panik berusaha berontak. Ini akan jadi malam terburuk dalam hidupnya, jika pria gila bernama Sobri itu sampai membunuh Ismail, Ishaq atau bayi dalam kandungannya.

Tidak! Ya Allah! Ya Arhamarrahimiin! Turunkanlah pertolongan! Raesha membatin dengan tangis yang membuat urat di lehernya nampak lebih jelas.

.

.

Yunan akhirnya tiba di depan pagar rumah Raesha.

"Perlu saya payungi, Tuan?" tanya supir.

"Tidak perlu. Terima kasih, Pak. Bapak tunggu di sini saja," jawab Yunan sebelum turun dari mobil dan tubuhnya diguyur hujan. 

Sempat terjebak macet karena banjir di beberapa tempat. Sepanjang perjalanan, Yunan menggila berusaha menelepon Raesha, namun tak ada hasil. Mobil mewah yang ditumpanginya, bersuhu dingin karena AC, tapi dahi Yunan berkeringat sepanjang perjalanan. Cemas yang sungguh menyiksa batinnya.

Tangan Yunan mengecek gembok rumah. Terkunci. Tapi ada yang tidak beres. Semestinya ada lampu di dinding pagar, tapi lampu itu mati. Dan tidak nampak bias lampu dari dalam rumah. Tidak mungkin mati lampu, karena rumah tetangga menyala lampunya.

Yunan nekat memanjat pagar. Untungnya di waktu semalam ini, tak ada orang melintas. Supir Adli fix bingung melihat Yunan memanjat pagar. Jelas bukan kebiasaan ulama pada umumnya. 

Yunan mengatur napas saat ia mendarat di garasi rumah Raesha. Kapan terakhir kali dia olah raga? Kegiatan yang menguras tenaga ini, jelas bukan kesehariannya. Adli yang rutin ke gym, mungkin akan bisa melakukannya lebih baik dari Yunan.  

Saat tiba di pintu depan, Yunan mencoba memutar kenop pintu. Terkunci. Ia nyaris berteriak memanggil Raesha, tapi intuisinya berkata, sebaiknya ia tidak melakukan itu.

Alih-alih mengetuk pintu atau memanggil Raesha, Yunan memutuskan menyusuri bangunan rumah. Berharap ada celah yang membuat dia bisa masuk ke dalam.

.

.

Ismail dan Ishaq berusaha berontak. Keduanya dalam keadaan terikat tangan dan kakinya, serta mulut mereka ditutup erat dengan kain yang diikat sampai ke belakang kepala.

Sobri membuka ikatan yang menutup mulut Raesha. 

"Ini urusan antara aku dan kamu! Jangan libatkan anak-anakku!" bentak Raesha penuh emosi.

Ismail dan Ishaq menangis melihat ibu mereka yang sedang hamil besar, memar tulang pipinya. Dan ibu mereka dalam keadaan tidak berjilbab. 

"Tenang, sayangku. Aku cuma mau mereka melihat kemesraan kita," kata Sobri dengan senyum miring.

"A-Apa? Kamu sudah gila? Aku tidak mau!! Kamu boleh lakukan apa saja padaku, selama tidak menyakiti bayiku, dan tidak di depan kedua putraku!" jerit Raesha frustrasi. Jika kedua putranya menyaksikan dirinya digagahi pria mesum ini, itu akan menjadi trauma besar bagi Ismail dan Ishaq, dan Raesha tak akan membiarkan itu terjadi.

"Memangnya, kamu pikir kamu dalam kondisi bisa memutuskan saat ini, hah? Harusnya kamu bersyukur aku belum membunuh siapa pun sampai detik ini," sahut Sobri tak perduli dengan protes Raesha.

Pria itu melepas ikatan di tangan dan kaki Raesha, lalu mendudukkan Raesha di tepi ranjang.

Ishaq hanya bisa menangis, sementara Ismail menjerit di balik penutup mulutnya dan tubuhnya berontak hebat. Ia tidak sudi ibunya diperlakukan tidak senonoh oleh penyusup ini. Ia lebih baik mati dari pada diam saja selama ibunya digagahi pria ini.

Brakk!! 

Kursi yang diduduki Ismail, terjatuh ke lantai. Dalam keadaan terikat di kursi, Ismail merasakan sakit yang teramat sangat pada tubuh sebelah kanannya, terutama lengan dan betis. 

"Keras kepala. Dia persis Bapaknya! Apa sebaiknya kubunuh saja dia?" cetus Sobri dengan nada kesal pada suaranya.

Ismail mendongakkan kepala ke arah ibunya. Masih berusaha menggerakkan kursi yang mengikat tubuhnya, menuju kamar ibunya. Tangisnya bercucuran. Tahu bahwa usahanya sia-sia belaka. Kursi yang mengikatnya, hanya bergerak sekian senti.

"J-Jangan! Jangan bunuh dia! I-Ismail! Jangan masuk, sayang! Jaga adikmu di luar! Tutup mata kalian!" jerit Raesha sambil menangis. Selama hidup, ia sudah mengalami berbagai cobaan, namun kali ini adalah yang terberat dirasanya. Meski ini menyakitkan, dia akan berusaha bertahan, agar mereka berempat bisa keluar dari penyiksaan ini dalam keadaan hidup. Dirinya, Ismail, Ishaq dan bayinya. Raesha masih berhusnuzon, Allah akan mengeluarkan mereka dari tragedi ini dalam keadaan hidup. Agar bisa tetap menyambung tali dakwahnya Rasulullah.

Ismail menjerit sekencang-kencangnya. Andai ia pria dewasa. Andai. Dia ingin bisa melindungi ibu dan adiknya. Menjadi pria segagah bapaknya, Ilyasa Ahn. 

Raesha menutup mata saat Sobri hendak mencium bibirnya. Ia hanya ingin semua bencana ini cepat selesai.

Bugghh!! 

Suara jeritan Sobri membuat Raesha membuka mata. Sobri terjatuh di lantai. Apa yang terjadi? Rupanya seseorang melompati jendela yang terbuka dan menyerang Sobri.

Sesosok lelaki mengenakan jaket tipis, menghajar Sobri di lantai. Keduanya bergulat. 

"K-Kakak??" gumam Raesha dengan bibir gemetar. Ia mengenali Yunan akhirnya, setelah cahaya kilat dari jendela menerangi wajah Yunan yang sedang berkelahi di lantai kamarnya. Tangis Raesha berbeda sekarang. Tangis penuh harapan dan rasa haru. Ismail dan Ishaq berusaha menjerit-jerit, seolah keduanya menyemangati Yunan, tapi di saat bersamaan juga mengkhawatirkan Om kesayangan mereka akan terluka karena perkelahian itu.

Raesha mulai cemas. Kak Yunan bukanlah orang yang tepat untuk berkelahi. Yunan nampak kesusahan mengimbangi Sobri. Wajar saja, mengingat selama ini Sobri sudah ditempa hidupnya dengan menjadi kuli berbagai macam pekerjaan kasar. Sementara Yunan kehidupannya berkisar di antara kegiatan majelis seperti mengkaji kitab, ceramah, menghadiri seminar dan semacamnya. Ilyasa dan Adli bahkan lebih berotot dibanding Yunan.

Raesha mencari-cari benda apa saja yang bisa dia pakai untuk melawan Sobri. Gunting? Ah tidak! batinnya saat yang ditemukannya adalah gunting berukuran kecil di laci nakas.

Sobri mengacungkan pisau ke arah Yunan. Ismail dan Ishaq berteriak ketakutan. Raesha panik mencari lagi, benda apa yang bisa -- 

Mata Raesha tertuju pada sebuah botol di salah satu laci. Benar. Masih ada ini. Walaupun, -- 

Tanpa pikir panjang, Raesha mengambil botol itu, membuka tutupnya dan menyiram isi botol ke tubuh Sobri.

Sobri menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya, bagian yang paling banyak terkena racun dari dalam botol.

Yunan sempat melihat ke arah Raesha dengan bingung. Cairan apa kiranya yang baru disiramkan Raesha ke tubuh Sobri?

Namun Yunan menyadari dirinya harus menyerang Sobri selagi ada kesempatan. Ia mendorong rak besi yang terdekat darinya.

"Awas, Rae!!" jerit Yunan saat mendorong rak sekuat tenaga. Jika tenaga badannya tidak bisa diharapkan, maka setidaknya beban berat dari rak besi ini, mungkin bisa melumpuhkan Sobri. Mungkin.

Raesha menyingkir dan rak besi itu jatuh menimpa Sobri.

Bruaakkk!! 

Sebuah benda jatuh dari rak paling atas. Menggelinding dan terpantul hingga memukul telak wajah Sobri. Palu mainan punya Ilyasa. Sobri terdiam tak bergerak. Pingsankah dia? 

Semua orang terdiam melihat drama mencekam yang baru saja berakhir. Tangis Raesha pecah.

Yunan tanpa sadar berlari dan memeluk Raesha erat. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Dia takut. Takut sekali! Bukan takut pada Sobri, tapi takut kehilangan Raesha. Jika sampai terjadi sesuatu pada Raesha -- 

"K-Kakak! Aku takut!" rintih Raesha saat merengkuh Yunan. Menangis deras di dada Yunan.

"A-Apa Kakak terlambat? A-Apa dia sudah --?" tanya Yunan saat memberi jarak di antara mereka. Pipi Yunan basah dengan air mata. 

Raesha menggeleng. "Dia memang akan -- tapi tidak sempat," jawab Raesha dengan tangis sesenggukan.

Yunan memeluk Raesha lagi. Keduanya menangis. Tidak. Mereka tidak sanggup hidup berjauhan. Raesha semestinya -- 

Yunan tersadar dan melonggarkan pelukannya. "Kakak buka tali Ismail dan Ishaq dulu. Kamu pakailah jilbabmu," kata Yunan.

Raesha mengangguk patuh. Ia mencari jilbab syar'inya. 

"Om Yunan!" seru Ismail setelah penutup mulut dan tali yang mengekangnya dilepas.

Yunan memeluk Ismail erat. "Gak apa-apa, sayang. Gak apa-apa," ucap Yunan seraya mengelus kepala Ismail dan Ishaq dalam pelukannya. Kedua anak itu menangis dengan tubuh gemetaran. Kasihan. Pastinya kejadian ini membuat mereka trauma.

"Kamu dan anak-anak, keluar rumah. Minta bantuan tetangga. Kakak mau ikat dulu orang ini," kata Yunan pada Raesha.

"Iya, Kak. Hati-hati, Kak," ucap Raesha sambil memboyong kedua anaknya keluar rumah. Hujan telah reda di luar sana.

Yunan mengambil tali untuk mengikat Sobri yang tergeletak di lantai, tertimpa rak besi. Yunan mengangkat rak besi itu dan menyingkirkannya. Sudut mata Yunan menangkap sebuah benda yang nampak familiar. Palu mainan milik Ilyasa. Palu itu tadi yang memukul tepat di wajah Sobri sebelum Sobri pingsan. Seolah Ilyasa masih ada di ruangan ini. Mata Yunan berkaca-kaca. 

Tanpa Yunan sadari, Sobri tiba-tiba siuman. Ia duduk dan mencengkeram kerah baju Yunan. Pisau telah menempel di pipi Yunan, sedikit menggores pipi Yunan hingga berdarah. Sobri bernapas terengah sambil meringis kesakitan. Efek siraman cairan entah apa yang tadi mengenai Sobri, tebak Yunan.

"Siapa kamu? Merusak rencana yang sudah kususun lama! Ah -- sepertinya mukamu pernah kulihat. Bukankah kamu kakak angkat Ilyasa yang pernah dipukul Ilyasa di dalam lift? Aku lihat di televisi. Kita punya musuh yang sama. Mestinya kamu bekerja sama denganku!"

Yunan terdiam. Bergeming menatap Sobri. Tak ada ketakutan maupun kebencian di sorot matanya, membuat Sobri bingung melihatnya.

"Ilyasa bukan musuhku, dan aku tidak bekerja sama dalam kejahatan," kata Yunan, sebelum suara pistol terdengar dari arah belakangnya.

Sobri tumbang. Bekas tembakan masih berasap di pundak Sobri. Dua pria bersenjata masuk dari jendela yang terbuka, mengenakan setelan serba hitam dan memakai ear phone di telinga mereka.

"Target sudah dilumpuhkan, Tuan Adli. Tuan Yunan dalam kondisi aman," ucap salah satunya sambil menekan tombol di dekat ear phone.

"Tuan tidak apa-apa?" tanya salah satu body guard sembari menyodorkan tangannya ke arah Yunan.

"Tidak apa-apa. Terima kasih," ucap Yunan berdiri dan keluar dari rumah Raesha. Sobri diseret keluar oleh kedua pengawal.

Di luar, hujan telah berhenti. Hanya tersisa sedikit gerimis. Yunan melihat Raesha sedang berpelukan dengan ibu-ibu tetangga sebelah. Mobil polisi datang. 

"Kakak? Kakak kenapa?" tanya Raesha berlari menghampiri Yunan yang terluka pipinya.

"Gak apa-apa, Rae. Tadi dia sempat sadar dan mengancam Kakak dengan pisau, tapi dia sudah dilumpuhkan pengawal suruhannya Adli," jelas Yunan.

"Ya Allah, Rae. Pipimu --," suara Yunan terdengar lirih seolah ikut merasakan nyeri di pipi Raesha. Yunan baru menyadarinya sekarang, setelah Raesha disinari lampu jalan.

"Gak apa-apa, Kak. Cuma segini. Aku bersyukur, Kakak datang tepat sebelum dia --," Raesha berkaca-kaca matanya. Yunan menahan diri untuk tidak memeluk Raesha. Tidak seperti sebelumnya, tadi di kamar Raesha. Dia tadi kelepasan. Sesuatu yang Yunan sesali, tapi tadi seolah otaknya tidak bisa berpikir karena tegangnya suasana.

"Ayo. Kita ke rumah Mbah," ajak Yunan.

Raesha mengangguk. Ia menggandeng tangan Ishaq, dan Yunan menggandeng Ismail.

"Permisi! Permisi, Pak! Kami ingin meliput!" 

Seruan itu membuat Yunan dan Raesha menoleh ke asal suara. Beberapa wartawan rupanya telah tiba di lokasi.

"Jangan dulu! Anda tidak boleh masuk!" sahut seorang polisi yang bertugas. Polisi lainnya memasang garis polisi di luar pagar rumah Raesha.

"Ayo cepat. Kita ke mobil dan pergi dari sini!" kata Yunan berbisik pada Raesha. Dia tidak suka publisitas semacam ini, walau tahu ini tak bisa dihindari.

"Hei! Itu Ustadzah Raesha! Ustadzah!!" seorang wartawan berhasil mengenali Raesha dan kini ramai wartawan mengerumuni mereka.

"Sembunyikan wajahmu di belakang Kakak, Rae!" kata Yunan yang merasa tidak rela Raesha diliput, terutama dalam kondisi pipi lebam seperti sekarang. 

"Ustadzah! Apa benar rumah anda disantroni buron pembunuh Ustaz Ilyasa, Sobri?? Apa yang dia lakukan terhadap anda? Apa dia menyakiti anda?"

"Ustadzah, apa Sobri melakukan tindakan asusila terhadap anda?"

"Apa anak-anak anda dilukai? Ustadzah!!"

"Syeikh Yunan! Anda yang menolong Ustadzah Raesha saat berada dalam kondisi kritis? Bisa diceritakan kronologisnya, Syeikh?"

"Bagaimana anda bisa tahu kalau Ustadzah Raesha dalam bahaya?"

Lampu-lampu blitz menyala-nyala. Yunan tetap terlihat tenang.

"Tolong beri kami jalan. Adik saya sedang syok. Kami juga harus melayat, ada saudara yang meninggal dunia," ucap Yunan, terdengar seperti perintah.

Wartawan memberi jalan. Namun setelah Yunan lewat, wartawan kembali mengekori Raesha, Ismail dan Ishaq. Yunan memastikan mereka bertiga masuk ke dalam mobil, sebelum dirinya duduk di samping supir. Mobil mereka berlalu pergi, menuju ke rumah duka.

Di dalam mobil, Raesha menangis seraya merangkul kedua putranya. Nyaris saja. Nyaris dia menjadi korban pemerkosaan dan penyiksaan sadis. 

Yunan menoleh ke belakang. Menatap Raesha dengan tatapan teduh yang seketika membuat hati Raesha merasa tenang.

"Gak apa-apa, Rae," ucap Yunan lembut.

Raesha menggigit bibir. Mengangguk penuh keharuan. 

Tidak apa-apa, Rae sayang. Kalimat yang terpendam dalam, dirutuki hati Yunan setelahnya. Yunan memejamkan mata. Ia tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini.

.

.

***

Continue Reading

You'll Also Like

5.8K 963 37
Tentang aku di masa kecilmu. Taya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan bertemu seseorang yang bisa menorehkan luka dan suka di waktu yang sama hin...
343 65 13
" Bagaimana bisa kamu mengejarnya dengan mencari kesempurnaan, kamu ga lihat aku yang berusaha menjadi sempurna untuk kamu." Ucap Shezi dengan derai...
470K 37.6K 23
[COMPLETED] Keterkaitan cerita #6 Humaira gadis lugu yang terperangkap cinta dalam diam yang tak terelakan. Arkan sosok lelaki yang memiliki segudang...